Kom ban wa! Gomen nasai, minna! Ini hanya proyek yang kukerjakan selama liburan sekolah, mungkin ceritanya agak aneh karena Author sedang galau saat menulis cerita ini! Anyway, hope you enjoy this.. a story i dedicate for my lovely, dear cousin..
.
.
Story by Juliet
Kuroshitsuji by Yana Toboso
.
.
Sebastian terhenyak. Hannah menelan ludah, berharap Sebastian tidak akan meledak setelah mendengar kabar barusan. Di luar dugaan, Sebastian hanya mengerjapkan matanya tiga kali, lalu dengan tenang menyesap au lait-nya tanpa bicara.
Di luar hujan gerimis, langit mendung dan matahari bersembunyi di balik awan. Sebastian memandang ke luar jendela, ke arah pepohonan yang basah oleh rintik air. Begitulah. Jadi itulah keputusan Claude. Akhirnya dia menemukan gadis baik-baik, dan menikah. Sesaat lalu, kabar itu menikam Sebastian dan dia merasa akan muntah, tapi kini dia mendapati dirinya baik-baik saja.
Tentu saja, pikir Sebastian kecut. Siapa yang akan memilih hubungan tidak jelas antar sesama pria ketimbang menikah dengan anak gadis orang kaya?
Hannah kelihatannya tidak yakin harus berkata apa. Dia sendiri membenci bagaimana dialah yang harus memberitahukan kabar ini pada Sebastian. Oke. Dia tahu hubungan kedua sahabat sejak kecilnya itu lebih dari sekadar 'sahabat'. Dia tahu bagaimana hubungan Claude dan Sebastian, dan dia memilih diam saja. Kini dia menyesali keputusannya itu, jika bisa memutar waktu dia akan memberi tahu mereka betapa salah dan hinanya hubungan mereka. Tapi Hannah tidak sampai hati untuk mengatai temannya homo, dan dia memilih menghindari kenyataan itu.
Baik Hannah dan Sebastian diam selama beberapa menit, Sebastian mencerna informasi baru itu ke kepalanya sementara Hannah menyesali apa yang telah terjadi. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul setengah enam sore, Hannah mendesah.
"Aku harus pulang, aku punya jadwal kursus." Gumam Hannah, setengah tidak yakin.
Oke, jangan berpikiran yang aneh-aneh, dalam hati Hannah berkata pada dirinya sendiri. Tidak mungkin kan kalau Sebastian bakal bunuh diri hanya karena hal semacam ini. Tidak. tidak mungkin. Tapi Hannah cemas sahabatnya itu bakal minum sampai pagi dan tepar di depan rumah orang asing. Bagaimanapun, Hannah harus pulang sekarang, muridnya akan datang ke rumahnya setengah jam lagi. Hannah mengajar biola, dan, ironisnya, setelah ini ia akan memberi kursus privat pada gadis yang jadi tunangan Claude Faustus.
Hannah akhirnya mengambil jaket dan tasnya. "Kau tidak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?"
"Nggak papa, aku juga mau pulang," ujar Sebastian seraya bangkit dari kursinya. Lantas keduanya berjalan ke lahan parkir.
Sebastian membanting pintu dengan kasar.
"Baru pulang udah bad mood," ujar William Michaelis heran. "Kenapa kau?"
"Nggak," balas Sebastian cetus pada kakaknya.
Will menggeleng-gelengkan kepala. Tapi dia memutuskan tidak akan ambil pusing. Tiga minggu belakangan ini Sebastian sudah bersikap sangat aneh, lebih sensitif dari biasanya, dan Hannah bilang hal itu hanya karena dia sedang berantem dengan Claude.
Biarkan sajalah, nanti juga baikan sendiri, batin Will dalam hati.
Hannah Anafeloz, Sebastian Michaelis, dan Claude Faustus, adalah teman sejak kecil. Mereka bersekolah di TK, SD, dan SMP yang sama, dan dulu mereka tinggal di kompleks perumahan yang sama. Ketiganya jadi akrab dengan mudah, dan dulu keluarga Anafeloz bertetangga dengan keluarga Michaelis. Lalu setelah orang tuanya meninggal, Hannah dan ketiga adik kembarnya, Thompson, Timber, dan Canteburry, pindah ke daerah kota utama. Hal ini memudahkan mereka untuk bekerja, tentunya kembar tiga bisa menghemat ongkos transportasi ke universitas dan jumlah murid Hannah bertambah.
Claude mengambil SMA dan kuliahnya di luar negri, mengikuti ibunya pindah ke Amerika setelah orang tuanya bercerai. Setelah ibunya meninggal karena kecelakaan tiga tahun lalu, Claude kembali ke Inggris dan persahabatan mereka, yang selama lima tahun digantungkan pada MSN dan facebook, berlanjut kembali.
Sebastian melemparkan dirinya ke kasur, kepalanya pusing. Dan di saat pikirannya kacau hal terakhir yang sampai ke otaknya adalah skripsinya yang tak kunjung selesai karena tidak adanya inspirasi.
Sekarang, di antara mereka bertiga, hanya Sebastian yang masih kuliah. Hannah tidak mengambil kuliahnya, semenjak orang tuanya meninggal keuangan keluarganya kacau, dan Hannah lebih suka adik-adiknya yang menamatkan sekolah, toh cita-citanya sejak kecil adalah mengajar musik pada anak-anak. Claude menyelesaikan SMA-nya dalam 2 tahun, dan kuliahnya di Amrik diselesaikan dalam 2,5 tahun, sekarang dia bekerja pada perusahaan ayahnya.
Teringat hal itu, Sebastian mendengus. Bukannya tunangan Claude itu anak gadis mitra bisnis ayahnya? Jangan bilang kalau mereka ditunangkan secara paksa...
Sebastian termenung. Mungkin saja pertunangan itu bukan salah Claude. Sepertinya dia harus merubah rencananya untuk membunuh mantan pacarnya itu dan terlebih dahulu menanyakan keadaan sebenarnya.
"Excellent!", puji Luca Trancy mendengar permainan biola adik perempuannya.
Alois tersenyum. Hannah tidak. Hannah hanya menatap kosong ke arah biola di tangan gadis tunangan Claude tersebut.
"Ma'am? Apa ada yang salah?" Alois bertanya, menyadari kebisuan mendadak gurunya.
"Ah, tidak," Hannah menutupi kecanggungannya dengan senyuman. "Tempo, gesekan, melodinya sempurna, Alois. Hanya saja..."
Alois menaikkan sebelah alis dengan jengkel.
".. kau tidak memasukkan perasaanmu." Ujar Hannah akhirnya.
"Tapi itu adalah perfect textbook performance!"puji Aleister Chamber kepada sepupu perempuannya itu.
"Terima kasih." Alois memasang senyum palsu. "Bisa beritahu aku apa maksudmu sebenarnya, Ms Anafeloz?" tanyanya dengan suara sedingin es, berbeda dengan nada ramah yang digunakannya terhadap pujian Aleister.
Hannah hampir merinding membayangkan gadis inilah yang ditunangi sahabatnya. Atau lebih tepatnya ditunangkan dengan sahabatnya.
Alois Trancy adalah tipe gadis yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan Hannah tahu, gadis itu terobsesi dengan Claude. Alois akan bertingkah manis hanya di depan orang yang disukainya. Jika tidak ada orang, Alois akan bersikap semena-mena kepada guru privatnya itu. Dan Hannah harus mengikuti apa maunya. Hannah butuh uang untuk membayar kuliah ketiga adiknya, dan Alois Trancy membayar dua kali lipat dari yang dibayar murid reguler, hanya untuk meyakinkan Hannah akan kekayaan dan kekuasaan gadis itu pada orang-orang di sekitarnya.
"Cobalah memasukkan perasaanmu," ujar Hannah mencoba mengabaikan rasa takutnya pada Alois. "Karena ini lagu romantis, dan sedih... maka tambahkan rit* di bagian terakhir dan lembutkan temponya."
"Aku melakukannya dengan sempurna." Alois berkata dengan suara yang bisa membekukan seluruh daerah khatulistiwa. "Temponya sempurna. Dan cobalah menghargai pengarang lagu ini. A ritardando* is not necesarry, because the composer said so."
Hannah menahan diri untuk tidak mendengus atau tertawa sinis. Ha! Alois Trancy menyuruhnya menghargai sang pengarang lagu! Benar-benar ironis. Alois adalah orang terakhir yang akan menghargainya, gadis itu hanya mengatakan hal semacam itu untuk menyatakan bahwa dirinya benar, bahwa tidak seorangpun lebih baik dibanding dirinya.
Hannah menahan diri untuk tidak muntah.
.
.
Udah, minna-san! Maaf pendek! Dan gomen nasai karena di sini Alois jadi cewek.. habisnya aneh abis deh kalo Claude ditunangin ama anak laki-laki mitra bisnis ayahnya =,="
Author masih bingung nih nentuin jalur cerita berikutnya gimana! #plakk... Readers ngarepinnya pairing yang kayak gimana? Karena Author nggak suka silent reader, jadi, REVIEW PLEASE? *puppy dog eyes
*Ritardando (rit.) istilah dalam musik yang berarti mengubah tempo secara bebas, di sini dalam konten melambatkan untuk menghayati
