Disclaimer: Masashi Kishimoto's
Warning: OOC, mature theme.
Don't like, don't read.
Chapter 1
Stranger in the Rain
Aku menatap ke atas, ke arah langit yang menjatuhkan jutaan titik air bagaikan jarum. Aku menyukai mereka. Aku selalu menyukai air. Mereka adalah ketenangan, simbol dari kedamaian, dan merupakan awal dari segala kehidupan. Aku membuka mulut sedikit dan titik-titik air tersebut menyerbu masuk membasahi tenggorokanku.
Aku tak peduli pada air yang membawa masuk ribuan kuman penyakit dan membanjiri paru-paruku. Aku hanya ingin terus berbaring seperti ini, menatap langit yang selalu ingin kucapai sambil terbaring diatas tanah kebebasan.
Langit diatas seakan-akan merayakan kemenanganku dengan terus mengguyur tubuhku, menghilangkan sisa kotoran yang menghantuiku selama aku dikurung disana.
Biarpun harus mati aku tak mau lagi kembali ke tempat yang seperti neraka itu.
Aku hanya ingin hidup bebas, apakah itu permintaan yang terlalu muluk?
Perlahan-lahan aku mengangkat kepalan tangan kananku ke arah langit. Aku belum terbiasa dengan kebebasan yang tiba-tiba ini. Sambil tersenyum, aku berbisik pada langit diatasku.
"Cheers."
Rara ah ah ah, roma, ro mama, gaga, ohlala, want your bad romance.
Suara ringtone murahan serta bunyi getar handphone di dashboard mobil itu membuatnya mengernyit. Seseorang pasti sudah mengganti nada deringnya, lagi. Rasanya malas mengangkat telepon saat menyetir ditengah badai seperti ini. Saat kau harus berkonsenterasi melihat jalan di depanmu untuk berhati-hati agar tak menabrak kucing atau anjing jalanan, kau juga harus berkutat dengan headset yang keberadaannya tak jelas dimana.
Ia memutuskan untuk meninggalkan headset dan langsung menjawab telepon itu.
"Ya, Gaara Sabaku disini."
"KEMANA SAJA KAU GAARA? KAU PIKIR SEKARANG JAM BERAPA?" Pengalaman membuat tangannya secara otomatis menjauhkan handphone butut itu dari telinganya.
"Lihat saja sendiri, kau kan punya mata." Hujan deras, tambah badai, tambah pemanas mobil yang rusak dan harus ditambah lagi dengan kakak yang terlalu overprotective? Tuhan jika Kau benar-benar ada diatas sana, bisakah Kau membuat kakakku bisu selama beberapa menit saja?
"Dimana kau sekarang? Kenapa lama sekali pulangnya? Aku lihat di TV jalanan dekat rumah kita banjir! Kau tak akan bisa pulang!" seru Temari dari telepon.
"Aku ini polisi, bukan pegawai kantor. Jam kerjaku bisa berubah setiap saat. Kupikir kau sudah tahu itu." Gaara sengaja menolak berkomentar mengenai jalanan banjir dekat rumahnya. Kekecewaan adalah reaksi umum begitu mendengar berita tersebut. Tapi ia lain. Ia senang karena tak harus mendengar Temari yang mengocehi pekerjaannya sepanjang makan malam.
Karena minggu ini baru gajian, mungkin ia bisa memberi sedikit kemewahan pada dirinya dengan menginap di hotel bintang lima. Jika Temari melihat senyuman adiknya sekarang, ia pasti merinding ketakutan.
"Aku tahu. Tapi siapa sih yang mau berjualan narkoba hujan-hujan begini? Kantormu seharusnya dipulangkan lebih cepat! Kankurou juga belum sampai. Aku makin khawatir. Cepatlah pulang Gaara, aku tak ingin sesuatu terjadi padamu."
Nada cemas Temari menggaruk perasaan bersalah dalam diri Gaara. Ia sudah menyetir mobil melewati belokan menuju apartemen keluarganya ketika Temari melontarkan kalimat sialan itu. Wanita memang paling pintar memanipulasi perasaan. Tapi, jika ia tetap berkendara ke hotel itu, ia yakin ia tak akan bisa tidur tenang malam ini.
Akhirnya Gaara menghembuskan napas kesal dan berkata, "Iya, iya, ini sudah dekat kok. Sana telpon Kankurou."
Dengan itu ia menutup telpon kemudian membanting setir ke kiri untuk mengambil putaran dan berbalik ke kawasan Greenery Road tempat apartemen-nya yang sederhana berada.
Saat itulah takdir mempertemukan mereka...
Hujan seakan-akan menghentikan guyurannya sementara agar lampu mobilnya bisa menyorot tubuh gadis itu yang tergeletak tak berdaya di atas trotoar. Insting polisinya langsung bekerja, dan ia pun meminggirkan mobilnya ke tepi jalan.
Meskipun hujan tadi sudah mereda sedikit, begitu Gaara turun dari mobilnya, badai kembali mengamuk. Ia tak pernah menyediakan payung dalam mobilnya sehingga dia hanya bisa mengandalkan mantel hitam yang saat ini melekat pada tubuhnya. Setelah merapatkan mantelnya, Gaara harus menunduk sedikit agar bisa berjalan menembus badai yang makin mengganas.
Disitulah gadis itu tergeletak. Rambutnya yang gelap dan panjang terurai menyentuh jalanan yang kotor. Kepalanya terkulai lemas ke samping, muka serta bibirnya sepucat mayat, dan yang membuat Gaara ngeri adalah pakaian yang dikenakan gadis itu.
Gadis itu hanya mengenakan gaun putih tipis pendek. Hujan yang membasahi pakaiannya membuat Gaara tak perlu berimajinasi lagi untuk melihat apa yang ada dibawah pakaian gadis itu.
Pelacur? Bukan. Tak ada pelacur berpakaian sesederhana ini.
Gembel? Dia terlihat bersih untuk standar gembel.
Orang gila? Ya! Mungkin saja dia orang gila. Gaara membungkuk sedikit untuk mengamati wajah gadis itu. Ia makin yakin gadis ini orang gila ketika melihat senyum yang bermain di bibir pucat si gadis.
"Hey!" Gaara berseru melawan derasnya bunyi hujan. "Hey!" Gaara mengulangi lagi sambil mengguncang-guncang bahunya. Ia meringis ketika merasakan kulit gadis itu sedingin es. Pasti ia sudah lama berbaring disini.
Perlahan-lahan, gadis itu membuka matanya, menampakkan sepasang pupil yang tak kalah pucat dengan bibirnya. Pandangannya sayu, dan ia tersenyum ke arah Gaara. "A-Apakah kau... malaikat?" Suaranya serak, mungkin karena sudah lama tak digunakan.
Shit, Gaara mengumpat dalam hati.
Wanita ini pasti berniat bunuh diri.
Tanpa menjawab pertanyaan polos gadis itu, Gaara langsung mengangkat tubuhnya (yang sesuai dugaan, sangat ringan) kemudian membopongnya sampai ke dalam mobil.
Gadis itu memejamkan mata tak berdaya ketika Gaara membaringkan tubuhnya di kursi belakang. Sebelum menutup pintu, Gaara mendengar gadis itu berbisik, "Mereka tak akan bisa menemukanku. Tak akan bisa... Tak akan bisa..."
"APA-APAAN INI?" seru Temari di depan pintu apartemen Gaara. Kedua tangannya di pinggang dan pandangannya nanar menatap adiknya yang seperti baru saja disiram segalon air. Tapi bukan penampilan basah kuyup adiknya yang membuat Temari siap membangunkan seluruh penghuni apartemen dengan teriakannya, melainkan gadis asing yang pingsan di lengan adiknya itu.
"Apanya apa?" Gaara tidak mengacuhkan Temari. Ia memindahkan si gadis ke bahu kirinya agar ia bisa merogoh kunci dari sakunya. "Kankurou sudah pulang?"
"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan ketika kau berbicara denganku Gaara Sabaku! SIAPA WANITA ITU?" Ia berseru lagi.
Gaara menghembuskan napas kesal. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi ketika ia memutuskan untuk membawa gadis ini ke apartemennya saat ia seharusnya membawanya ke rumah sakit atau mungkin ke kantornya. Tapi ada sesuatu yang janggal pada diri gadis ini yang membuat Gaara yakin jika ia bersikeras membawanya ke rumah sakit, ia akan berakhir dengan kerja lembur malam itu untuk mencari tahu keberadaan keluarga gadis ini. Karena itulah Gaara lebih memilih untuk menghadapi kakak bawel yang sekarang sedang berdiri disampingnya ini.
"Jangan bilang kau menabraknya. Katakan padaku kau tidak menabraknya kan Gaara?" Suara Temari berubah menjadi khawatir sekarang.
Ketika pintu apartemennya terbuka, Gaara melangkah masuk diikuti oleh Temari. Apartemen ini memang tak seluas apartemen milik Temari yang terletak di lantai teratas gedung ini. Namun cukup luas untuk seorang pria lajang dengan gaji pegawai pemerintah seperti dirinya.
Gaara membawa si wanita asing ke satu-satunya kamar tidur di apartemen itu, kamarnya, kemudian membaringkan wanita yang basah kuyup itu di tempat tidurnya. Ia tak peduli jika seprainya akan basah. Toh, malam itu ia pasti tak akan tidur disitu.
"Gaara, kenapa kau mengabaikanku?"
Begitu Gaara sudah membenarkan posisi si wanita asing diatas tempat tidurnya, ia berbalik menghadapi kakaknya. "Tidak. Aku tak menabraknya." katanya singkat.
"Jadi? Apa dia menumpang mobilmu lalu ketiduran dan kau tak tahu dimana rumahnya?"
Seandainya saja masalahnya sesederhana itu... pikir Gaara.
"Tidak. Aku menemukannya berbaring diatas trotoar."
"Apa?" Temari terlihat syok, "Apa dia diperkosa? Dirampok?"
Gaara berbalik dan melihat gadis itu. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa gadis ini mungkin korban perkosaan. Tapi jika ia memang habis diperkosa, tak mungkin dia tersenyum sambil menggumamkan hal-hal aneh itu kan?
"Tidak. Kurasa ia tidak diperkosa... atau dirampok. Dia terlihat senang berbaring di trotoar ditengah hujan seperti ini. Orang yang habis diperkosa tak mungkin berpakaian... utuh seperti itu. Pakaiannya pasti compang-camping. Dugaan sementaraku adalah ia mencoba bunuh diri."
"Kenapa kau tak membawanya ke rumah sakit?" Temari lebih tenang sekarang setelah mengetahui bahwa adiknya tidak habis menabrak seseorang. Ia duduk dipinggir tempat tidur lalu menyentuh kulit pucat si gadis misterius. "Ya Tuhan, dia pasti sudah berjam-jam di trotoar sana. Tangannya seperti balok es."
"Aku khawatir kalau aku membawanya ke rumah sakit mereka akan mulai menanyaiku dan melibatkan lebih banyak pihak. Untuk sementara mungkin aku hanya akan memanggil Sakura untuk mengobatinya..."
"Tapi bagaimana kalau keluarga gadis ini mencarinya?"
Gaara terdiam selama sesaat. Ia teringat akan gumaman gadis itu sepanjang jalan menuju apartemen sebelum dia jatuh pingsan.
Mereka tak akan bisa menemukanku.
Apa dia kabur dari rumah?
"Aku akan tahu jika ada laporan orang hilang yang mencari gadis ini."
Gaara berjalan keluar kamar, meninggalkan kakaknya yang masih mengamati si gadis misterius. Ia mengeluarkan handphone dari saku mantel kemudian memencet speed-dial nomor lima. Orang diujung lain telepon mengangkat pada deringan ketiga.
"Halo?" Suara feminim yang familiar itu terdengar lelah.
"Hey Sakura. Maaf mengganggu tengah malam begini."
"Oh hey Gaara! Tidak apa-apa... Aku hanya sedang menonton TV. Ada apa?'
"Bisakah kau datang ke apartemenku sekarang?" Ketika Sakura tidak menjawab apapun Gaara tiba-tiba sadar bahwa nadanya terdengar seperti memerintah. Ia cepat-cepat menambahkan, "Jika kau tak keberatan."
"Umm... S-Sekarang?"
"Ya sekarang. Ini lumayan penting. Aku membutuhkan bantuanmu."
"B-Baiklah! Aku akan kesana sekarang. Sampai jumpa Gaara." Dan mereka berdua pun menutup telepon.
Gaara kembali lagi ke kamar dan melihat Temari yang sedang sibuk membungkus si gadis misterius dengan seluruh selimut yang bisa ia temukan. Si pria berambut merah menghela napas melihatnya. Kurasa malam ini ia tak akan bisa tidur dengan tenang seperti rencana awalnya.
Gaara mengernyit saat melihat Temari dan Sakura yang keluar dari kamarnya dengan tampang gelisah. Sakura orang yang penuh ekspresi, jadi Gaara tak heran melihat ekspresi pada wajah gadis itu. Sementara kakaknya... Kakaknya adalah orang yang lebih memilih menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri. Jadi jarang sekali ia melihat kakaknya gelisah seperti itu.
"Sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Gaara pada kedua wanita itu.
Begitu Sakura datang setengah jam sebelumnya, Gaara langsung menjelaskan pokok permasalahannya pada gadis itu. Gadis medic cantik itu pun dengan sigap langsung melakukan check-up menyeluruh pada si wanita misterius dengan bantuan kakaknya. Karena pemeriksaan Sakura mengharuskannya untuk menelanjangi si wanita misterius, Gaara pun terpaksa harus menunggu diluar.
"Gaara... Aku perlu bicara denganmu." Sakura berkata dengan nada tenang yang Gaara tahu tak pernah memberikan kabar baik.
"Aku mau ke toilet." gumam Temari kemudian menyelinap pergi ke toilet yang berada dekat dapur.
"Jadi... Bagaimana keadaan gadis itu?"
"Aku... sangat jarang melihat kasus seperti ini." Sakura menatap kedalam mata Gaara, "Tapi... Aku yakin gadis ini sudah menjalani siksaan dalam kurun waktu cukup lama."
Gaara terbelalak mendengar pernyataan Sakura. Samar-samar ia bisa mendengar suara Temari yang sedang mengosongkan isi perutnya sebelum mem-flush toilet.
"Disiksa bagaimana?"
"Punggung gadis itu penuh dengan luka bekas cambukan, sayatan, lebam-lebam. Luka lama yang belum sembuh tertimpa luka baru. Aku juga menemukan beberapa jarum tertanam di pinggang gadis itu. Sampai sekarang aku masih belum mengerti apa tujuan jarum tersebut..."
Gaara mengernyit. "Apa ada tanda-tanda kekerasan seksual?"
"Ya." Sakura kali ini mengalihkan pandangannya ke bawah. "Kurasa masih baru... Dan kelihatannya gadis itu menerimanya secara reguler."
Tidak heran Temari langsung mual seperti itu, pikir Gaara.
Setelah berterima kasih pada Sakura, gadis itu kembali ke apartemennya yang terletak beberapa lantai diatas apartemen Gaara. Si polisi berambut merah diam-diam menyelinap kembali ke kamarnya. Ia melihat si gadis misterius tertidur dengan memakai salah satu kaos miliknya. Wajah gadis itu damai, tak ada sama sekali tanda-tanda bahwa ia bekas korban penyiksaan.
Hal ini hanya membuat kepala Gaara berdenyut-denyut. Sebuah suara dalam dirinya mengatakan bahwa cepat atau lambat gadis ini pasti akan membawa masalah untuknya.
Review dan komentar sangat ditunggu.
Makasih udah baca cerita ini :)
