Soul and Memory
.
.
Disclaimer: Yana Toboso
.
.
Summary: Jiwa Ciel hilang entah kemana. Seharusnya Sebastian bisa meninggalkan Ciel, toh ia tak akan mendapatkan jiwanya. Tapi kenapa ia tak meninggalkannya? / Warning: time set antara part 1 sama part 2, alur hampir sama kaya part 2, typo, agak gaje.
.
.
.
Tubuh tanpa jiwa terduduk di kursi dalam kamarnya. Wajahnya cukup manis untuk ukuran laki-laki, kulitnya seputih porselen dan mulus tanpa cela, sepasang matanya tertutup menyembunyikan kedua manik berbeda warna – biru langit dan ungu kelam-. Ciel Phantomhive kini hanyalah tubuh tanpa jiwa, tak bergerak, kini ia hanya seperti boneka. Tubuhnya baru saja dimandikan oleh butlernya, ia memakaikan pakaian bewarna biru tua yang sangat cocok untuk Ciel. Butler tersebut menggendong dan meletakannya dengan lembut di atas kasur, ia sendiri duduk di pinggiran kasur. Tangan kanan Ciel yang dingin di genggam erat oleh butler setianya, Sebastian Michaelis nama butler tersebut.
"Bocchan," Panggil Sebastian, ia masih menggenggam tangan Ciel.
"Walaupun perintah anda sangat menyebalkan dan merepotkan entah mengapa saya merindukannya," Ucap sang butler dan mengecup punggung tangan Ciel.
Entah apa yang membuat setan tampan ini berbuat seperti ini, ia hanya ingin tuannya bangun, tanpa alasan. Apa mungkin ia ingin merasakan jiwa itu lagi? Ataukah ada hal lain yang ia sendiri tidak sadari? Ia rindu akan kedua manik berbeda warna, kelam dan cerah, ia juga rindu akan bentakannya, perintahnya, death glarenya, semuanya.
Kali ini Sebastian mengubah posisi tubuh Ciel menjadi duduk dan mengelus pipi mulusnya.
"Bocchan," Sebastian memanggil namanya lagi, berharap akan ada yang menyahutnya.
Memang sekarang Sebastian bebas melakukan apa saja, ia tidak lagi terikat oleh kontrak yang ia sendiri buat, ia bebas mencari jiwa lain yang mungkin lebih nikmat dari jiwa Ciel. Ia bebas melakukan apa saja pada tubuh di depannya ini, ia bisa saja meninggalkannya sekarang, ia bisa saja membunuh tubuh tanpa jiwa ini, namun entah mengapa ia tak mau. Sebastian tahu dimana letak kelemahan kontrak itu dan dengan mudah membuat dirinya tak terikat lagi dengan tuanya yang sekarang tanpa jiwanya, namun ia tak mau.
Sang butler setia itu memeluk tubuh tuannya. Entah apa yang akan dilakukan Ciel jika ia tiba-tiba bangun. Mungkinkah ia akan marah-marah? Memaki Sebastian? Menampar Sebastian? Atau mungkin merona? Siapa yang tahu.
"Bodohnya saya bisa terperangkap oleh mangsa saya sendiri," Aku Sebastian.
Sebastian membenamkan kepalanya ke perpotongan leher Ciel, menghirup dalam-dalam aromanya. Namun hanya ada bau sabun yang baru saja Sebastian pakai untuk memandikannya, tak ada bau manis dari jiwa mangsanya itu. Hampa itu yang Sebastian rasakan.
Sebastian menjauhkan sedikit tubuhnya agar ia bisa memperhatikan wajah manis Ciel. Tangannya bergerak menyingirkan poni panjang Ciel yang menutupi wajah manisnya. Sebastian saat menyukai wajah tuannya saat tidur, begitu tenang.
"Saya akan mengembalikan jiwa anda, tak peduli bayarannya, saya janji," Sebastian berbisik tepat di telinga Ciel, namun sayang tak ada tanggapan sama sekali dari Ciel.
Sebastian memejamkan matanya dan menghirup nafas dalam-dalam, ia mencoba mencari jejak-jejak dari jiwa tuannya.
'Ah disana rupanya' Batin Sebastian dan membuka matanya kembali.
"Ne, Bochan sudah waktunya untuk pergi," Sebastian kembali menggendong Ciel dan meletakkan di koper yang baru saja ia siapkan. Ia menaruh Ciel dan memposisikannnya senyaman mungkin.
"Maafkan saya, ini tempat yang teraman yang saya pikirkan. Saya janji ini tak akan lama," Setelah berkata begitu Sebastian menutup kopernya rapat-rapat.
'Alois Trancy dan Claude lihat saja aku akan mengambil jiwa bocchan lagi,' Sebastian bertekad, ia langsung memakai jubah yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan membawa koper tersebut dengan lembut ke kediaman keluarga Trancy.
TBC
