Tap

Tap

Tap

Suara langkahan kaki itu membuat mata seindah samudra yang beraura gelap menatap keasal suara dengan tatapan dingin. Tangan, kaki dan tubuh yang dirantai membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Lantai dingin yang di pijaknya membuat bulu roma yang berada di tubuhnya meremang.

Tidak ada lapisan baju tebal atau hangat yang dipakainya untuk sekedar menghangatkan salah satu tubuhnya, hanya ada selapis kain yang menempel erat karena rintikan air yang berasal dari atas sel tahanan nya. Tubuh itu ringkih, hanya tulang berulang yang menempel erat pada lapisan kulitnya yang putih namun kusam itu.

Rambutnya yang dulu pirang pucat dengan cerah dan indah kini kusam, kumal, dan tidak terawat. Sang Female Titanpun sudah lama mendekam di sel penjara bawah tanah khusus selama lebih dari 2 tahun semenjak ia di tangkap.

"Annie."

Suara yang sangat di kenal itupun membuat pandangan sang Titan ke asal suara. Cahaya dari matanya perlahan muncul. Menciptakan percikan-percikan kehangatan yang selama ini tersembunyi. Mata sewarna biru itupun mengerjap, sebelum tarikan pada kedua bibirnya menghasilkan senyum yang indah.

"Hn?" Ya, Titan yang sedang di penjara ini adalah Annie Leonhardt. Seorang Police Military yang menjadi Titan. Gadis yang pernah masuk pada angkatan atau Squad legendaris, Squad 104. Tidak bisa dipercaya karena gadis yang selama ini pendiam menjadi musuh umat manusia. Bukan hanya dia... ada beberapa orang lain juga.

Bibir si gadis Blonde tertarik satu centi dari sebelumnya. Sangat sulit di lihat, apalagi di tempat gelap temaram seperti sel tahanan yang sedang di huni oleh si Blonde.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan disini?" Pertanyaan itu meluncur dengan mulusnya dari bibir pucat yang bahkan tidak menyimpan ranumnya untuk sedikit saja. Ia terlalu lelah, bahkan bisa dibilang tidak memiliki semangat untuk hidup kembali di dunia ini selain untuk'nya'. Tidak terlalu memohon, namun sekedar berharap meski itu adalah hal yang tidak mungkin.

Si pria yang memiliki rambut dan sama seperti Annie menggigit bibirnya sendiri. Jantungnya berdetak kencang. "Aku... " Pandangan nya berubah khawatir, dan cemas secara bersamaan. "... Ditugaskan untuk menjagamu." Pria yang lebih di kenal dengan nama Armin Arlert itu menunduk setelah jawaban yang mungkin akan membuatnya cemas itu berakhir.

Dia mengepalkan kedua tangan nya. Antara takut dan gugup. Irisnya menatap ke arah tanah yang dipijak oleh sepatunya. Tidak menyadari gadis di sudut sana yang terus menatapnya sedari tadi.

Mata itu berubah kembali dingin, cahaya yang tadi terpercik menghilang sudah. Dia kecewa. Annie Leonhardt kecewa akan jawaban yang membuat hatinya seperti terjepit.

"Ditugaskan? Tidak adakah niatanmu untuk menjengukku." Pandangan nya berubah sendu. Armin tidak bisa melihatnya. Sel itu gelap, membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang tengah berdiri dengan rantai di sekujur tubuhnya. Dia benar-benar amat menyedihkan sekarang. Sebuah api kecil yang ditimpa dengan air bah yang dingin. Membuatnya menggigil.

Armin menghela nafas. Lalu melangkah mendekati sel si Titan dengan perasaan ragu.

"Annie." Panggilnya pelan dengan sorot mata khawatir. Bibir bawahnya ia gigit agar tidak menghasilkan rasa khawatir atau cemas secara berlebihan, namun tetap saja, rasa takut dan rasa bersalah itu membekas di hatinya.

Dengusan terdengar dari sosok gadis dengan nama marga Leonhardt itu. "Lupakan. Kau harus menjalankan tugasmu untuk menjagakukan? Lakukan saja." Dan decihan terdengar pula saat kata demi kata itu terurai sempurna dengan nada dingin. Selalu poker face yang ia gunakan untuk menutupi sesuatu di hatinya yang terbalut dalam perasaan.

Ctrak

Suara stop kontak yang di hidupkan membuat sel tahanan itu menjadi terang. Dalam tundukan nya, Annie menarik bibirnya kembali. Ia sudah lama tidak melihat cahaya. Para pengawas sebelumnya selalu mematikan lampu, dengan alasan kalau ia akan melarikan diri dari sel ini, padahal kalaupun melihat cahaya, dengan tubuh di rantai ini, ia tidak akan sangup untuk duduk sekalipun.

Raut wajah Armin yang Shota berubah menjadi khawatir. "Apakah itu sakit?" Tanyanya dengan pandangan cemas yang menyorot bagian demi bagian Titan Female itu.

Dahi Annie menekuk binggung. "Apa?"

Mata Armin yang berwarna sama dengan Annie menyorot sendu. "Tanganmu." Jawabnya dengan rasa sesal. "Di ikat seperti itu."

Annie mendecih. Harusnya pria itu sudah tau kalau dia tidak suka dikasihani. "Cukup menyakitkan. Tapi tidak kalau kau melepaskan nya."

Kepala yang memiliki mahkota berwarna pirang itu menggeleng. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kecuali perintah." Jawabnya tegas dengan sorot mata penuh keyakinan.

Annie mendengus. Lalu seketika tertawa sarkatis akan kenyataan yang pahit. "Tapi jika mereka menyuruhmu mencintaiku apakah kau akan mencintaiku?"

Armin mengerjap. Mencerna pertanyaan retoris Annie yang membuat otak jeniusnya tidak mampu menyusun kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan gadis Blonde itu. Hanya terpaku dengan sejuta pertanyaan yang mendekam di kepalanya. Tidak terlontar ataupun keluar dengan bebas dari bibir tipisnya.

"..."

Annie kembali tertawa. Kali ini mentertawakan dirinya yang begitu bodoh karena mempertanyakan hal seperti itu. "Lupakan pertanyaan bodohku barusan. Meski aku serius." Dan mata berwarna Aquarimane itu kembali dingin dengan hatinya yang mulai menutup akan kenyataan yang membuatnya sakit. Begitu sakit hingga rasanya ia ingin mati sekarang.

Armin menunduk. Pemuda pirang itu merasa menyesal. "Maaf Annie, selama ini aku hanya menganggapmu sebagai teman." Ada rasa bersalah yang menggelanyuti hatinya ketika kata itu meluncur dengan bebasnya setelah lepas landas dari bibirnya.

Senyum pahit kini terukir dengan indah di bibir Annie yang tipis. "Bukan masalah, boy."


.

.

.

.


Disclamer : Hajime Isayama-sensei

Rate : T

Pairing : AruAnnie

Genre : Angst, Romance, Hurt, Friendship, Etc


.

.

.

.


Kaki itu melangkah dengan langkah tenang namun terburu-buru secara bersamaan. Anak rambut pada sisi pipinya bergoyang pelan saat angin nakal yang berhembus ikut menarik untuk terbang bersama mereka. Matanya menatap serius kearah depan tanpa ada perasaan hangat sedikitpun. Bibirnya menekuk ke bawah, tanpa ada satu sentipun tarikan pada kedua sudut yang ranum itu.

Tangan nya menggenggam buku sedang yang bersampul tua dan kusam.

Gadis Blonde itu berhenti. Di samping pemuda pirang yang sedang duduk. Buku yang berada di tangan nya langsung ia jatuhkan pada pemuda dengan rambut sama sepertinya yang sedang duduk dengan berselonjor di tanah sana. Pandangan nya tetap menyorot dingin pada pemuda itu yang kini menatapnya dengan tanda tanya pada kepalanya.

"Ackerman, dan Yeager itu masuk kesini karena kaukan?" Tanyanya langsung tanpa basa-basi. Nada dingin masih menjadi ikatan pada untaian kata yang terucap pada setiap kata demi kata yang ia keluarkan.

Rasa penasaran awalnya muncul saat melihat buku yang ia temukan di belakang barak laki-laki itu. Tidak sengaja ia menemukan nya ketika mengantar Rainer yang saat itu kembali kalah melawan nya. Ia menemukan buku tua dengan sampul bergambar yang di dalamnya di tulis nama 'Armin'.

Pemuda imut dengan nama Armin Arlert itu tersenyum. Bukunya ternyata ada pada gadis pirang dingin itu. "Ya." Akunya dengan senyum hangat yang kembali memancar pada dirinya. "Saat aku menunjukan buku yang berisi lautan pada mereka, Eren langsung bilang ingin masuk ke sini untuk melihat dunia luar."

Mata sang gadis Blonde tetap dingin, namun hatinya terlanjur penasaran. "Seperti apa dunia luar itu?"

Sapphire Armin yang meneduhkan mengarah pada Annie yang masih berdiri di sampingnya. "Kau belum pernah melihat dunia luar?"Alis itu menekuk bingung dengan apa yang dipertanyakan oleh si gadis Leonhardt.

Annie mendengus. Menyembunyikan ketidak ketahuan nya mengenai pemahaman dunia luar. "Aku tidak pernah tau. Semua orang melarangku mengetahuinya." Dan decihan itu meluncur dengan indahnya dari si gadis bermata Aquarimane. "Mereka bilang aku akan nakal." Ucapnya dengan senyum sinis yang hadir di bibirnya.

Tungkai kaki Annie berjongkok. Lalu dengan santainya dia duduk di samping si pemuda Arlert yang kini membuka lembaran demi lembaran buku di tangan nya. Seolah kembali membuka memori lama yang bersemayam. Jauh sebelum dia mengerti tentang semua yang didapatkan di sini. Seolah ingin mengenang kembali dimana dia menceritakan dengan kedua mata yang bersinar tentang apa itu dunia luar.

Armin mengulas senyum kecil.

Annie tetap mengawasi Armin dalam jangkauan matanya. Seolah tidak perduli dengan apa yang dilakukan oleh pria itu, dia memandang ke depan dengan sorot dingin. Membekukan semua yang dipandangnya dengan kedua mata Aquarimane indah itu. "Seperti apa lautan itu?" Dia membuka mulutnya. Mengatakan dengan tenang dan dingin.

Armin menoleh. Lalu tersenyum hangat. Menatap Annie yang sedang memandang ke depan tanpa ada sorot hangat di dalamnya. Dia menarik nafas dalam-dalam. Pipinya kali ini memerah.

"Seperti biru dan cerahnya matamu." Jawaban itu seketika membuat Annie menoleh.

Tatapan mereka beradu.

Biru dengan Biru.

Sapphire dengan Aquarimane.

Hangat dengan Dingin.

Cerah dengan gelap.

Semuanya terbalik. Dan Annie menyadari sesuatu yang kurang darinya. Sebuah Kehangatan.

Sebuah kehangatan yang kurang melengkapi dirinya, atau memang tidak pernah ada dalam dirinya? Dia tidak merasakan semua itu ada. Bahkan untuk merasakan perasaan hangat yang menjalar di hatinyapun tidak. Semuanya seolah mati dan dingin. Dia tidak berharap apapun saat ini. Menjalani kehidupan seperti biasanya dan tidak menginginkan apapun, karena itu hanya akan membuatnya sakit. Ia berjalan seperti air yang mengalir.

Annie menggeleng. Masih dengan ekspresi dingin nya yang tidak bisa diubah. "Mataku tidak menyimpan kehangatan." Jawabnya langsung tanpa berpikir panjang.

Armin menepuk puncak kepala gadis yang berbeda dengan nya sepuluh senti itu. Lalu dengan hangatnya tersenyum tanpa beban pada Annie yang kini menatap matanya dalam-dalam. Seperti tidak memiliki dosa yang dibuatnya. Dia masih seperti anak kecil yang polos dan manis. Annie merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika menatap pantulan mata indah itu.

Dia merasakan bahwa dia iri.

Iri pada pandangan matanya yang seperti tidak menyimpan dosa, karena di dalam lubuk hatinya... bara api Neraka terasa menusuknya dengan panas yang luar biasa.

"Kau hanya membutuhkan kasih sayang, Annie. Dan kau bisa mendapatkan nya dari seorang teman jika sebuah keluarga tidak bisa memberikan nya."


.

.

.

.


Annie menunduk. Anak rambutnya yang keluar dari ikatan menjuntai. "Dan saat itu aku berharap kau yang memberikan kasih sayangnya padaku." Lirihnya dengan menyorot sendu pada lantai yang masih menitikkan butiran air dari atas. Meski ia mengakui bahwa saat itu ia masih belum merasakan apapun. Ia terlanjur takut bahwa semuanya akan membuat hatinya menitik sakit. Merintis awal nyeri yang membuatnya terasa bagai digantung pada tiang yang tinggi.

Mata Armin berubah sendu seperti halnya Annie. "Jangan memikirkan apapun, Annie. Kau terlihat kurus, sekarang." Ucapnya dari luar sel tahanan itu. Perasaan khawatir terselip dari nada manis yang di keluarkan nya, tapi bagi Annie, Armin hanya memberikan sebuah harapan palsu yang tidak bermakna untuknya. Harapan palsu yang membuatnya lagi-lagi merasa sakit.

Annie tau lagi-lagi ia terlalu Melankonis.

Helaan nafas terdengar dari sang Leonhardt. Putus asa akan harapan hidup yang menggantung di kepalanya. "Aku banyak pikiran, mungkin." Dan senyum miris terukir kembali di bibirnya yang tipis. Gadis itu sepertinya sangat tertekan. Bahkan dari nada suaranyapun seperti frustasi. "Seperti apakah kau akan menerima cintaku?"

Dan Armin takut akan menerima kenyataan kalau saat ini gadis yang sedang terikat dengan rantai di depan sana sakit hati.

"Annie."

Annie menggeleng dari kejauhan. "Sudahlah, aku tidak apa-apa. Jangan dipikirkan." Jawabnya masih dengan nada dingin yang selalu keluar dari bibirnya yang kini pucat itu. Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Armin tentang perasaan Annie sekarang. Dia bukan hanya sakit hati, dia juga Takut. Takut akan pria yang menjadi tiangnya kini menolaknya.

Pemuda yang ia gantungkan harapan nya menolaknya. Dan ia Takut akan hal tersebut.


.

.

.

.

.


To Be Continue


Sebenernya ke inspirasi sama lagunya Celine Dion, yang Ten Days. Tapi di pikir-pikir, kalo 10 hari itu lama banget. Ya, jadinya 2 hari deh. Kagak lamakan? Ini fic pertama di Shingeki no Kyojin ini sebenernya. Emang rada-rada freak sama rambut pirang, jadinya gini deh...

Tinggalkan Review atau jejak kaki lain nya jika sempat yah...