Ore to Boku to Watashi

Disclaimer: Fairy Tail by Hiro Mashima

Warning: AU, School life, OOC (?), Typo (s), dsb.

Happy Reading…

.

.

"Jellal, cepat bangun! Mau sampai kapan kau tidur?" ucap seorang gadis berambut merah panjang itu. Tangannya tak henti-hentinya mengguncang-guncang tubuh laki-laki yang ia sebut Jellal itu.

Sesekali matanya melirik jam dikamar 3x4m itu dengan cemas, sambil terus mencoba membangunkan laki-laki berambut biru yang tampak begitu enggan membuka mata.

"Jellal!" kali ini kesabarannya habis. Ia tarik selimut yang dipakai pemuda itu dengan kasar, membuat sang empunya mau tak mau membuka mata.

"Ngg… bisakah kau membangunkanku dengan lembut?" ucapnya tanpa dosa, membuat gadis bernama Erza itu jengkel.

"Daritadi aku sudah membangunkanmu dengan lembut tuan Fernandes! Kau saja yang seperti putri tidur," ucapnya dengan penekanan kata Fernandes.

"Lalu… kenapa kau tak membangunkanku layaknya putri tidur, nona Scarlet?" Rona kemerahan jelas terpancar dipipi gadis scarlet, yang paham betul makna dari ucapan pemuda itu. Tapi ia buru-buru menampiknya, sebelum pemuda itu menyadarinya. Ia menarik tangan Jellal, yang hendak kembali bergelut dengan bantalnya.

"Cepat mandi, atau aku akan menghukummu karena telat masuk sekolah!" ancam Erza yang sudah habis akal menghadapi pemuda itu.

"Ya… ya… nona komite kedisiplinan."

Dengan malas Jellal berjalan menuju kamar mandinya. Tapi, tak lama ia berbalik dan berkata, "Tapi, bukankah kau juga akan telat, nona Scarlet?"

"JELLAL!" Erza melemparkan bantal yang ada dihadapannya tepat kearah laki-laki itu. Stok kesabaran pada dirinya sudah habis menghadapi kelakuan laki-laki itu. Sudah tahu mereka akan telat, tapi pemuda itu masih saja bisa menggoda gadis Scarlet itu.

Jellal hanya terkekeh pelan melihat kelakuan teman masa kecilnya itu. Sepertinya harinya belum lengkap sebelum mengerjai gadis itu.

.

.

.

Jellal dan Erza adalah teman masa kecil. Bersama empat lainnya, Shou, Milliana, Shimon dan Wally, mereka Sedari SD sampai SMP selalu sekolah disekolah yang sama. Sayangnya, setelah kematian salah satu teman mereka, shimon, tiga tahun lalu, mereka memutuskan pergi ke sekolah yang berbeda. Shou dan Wally memutuskan pergi ke sekolah di kota yang berbeda dengan Erza dan Jellal. Sedangkan Milliana, memilih sekolah khusus perempuan yang tak jauh dari rumahnya. Alhasil, mereka jarang bertemu satu sama lain.

"Lagi-lagi kau datang terlambat Erza…" ucap seseorang yang begitu mirip dengan Jellal. Berbeda dengan Jellal, pembawaannya tenang dan tegas. Bajunya ia masukan sehingga tampak rapi, berbeda dengan Jellal yang seperti kebanyakan siswa-siswa lain di sekolah, selalu mengeluarkan bajunya. Tapi masing-masing dari mereka mempunyai pesona tersendiri yang mampu membuat para siswi berteriak 'kyaa…'.

"Seigrain…" ucap Erza pelan.

"Cih." Jellal sepertinya kurang suka akan keberadaan laki-laki dihadapannya ini.

"Inilah akibatnya kalau kau terus bersama orang ini."

Erza tak berkomentar, ia hanya memandang laki-laki itu tajam. Dengan santai Seigrain berjalan mendekati Erza, lalu memegang dagu gadis itu sebelum berbisik pelan, "Reputasimu sebagai anggota OSIS akan tercoreng kalau kau terus bersamanya, Erza…" sebelum melangkah pergi meninggalkan keduanya.

"Huff… kalian ini saudara kembar, tapi kenapa kelakuan kalian begitu berbeda?" keluh Erza tak habis pikir.

"Ya kau benar. Jadi… yang mana yang lebih kau suka?" tanya Jellal, acuh tak acuh.

Erza hanya tersenyum, sambil berjalan pelan diikuti Jellal dibelakangnya, ia pun menjawab, "…sebagai siswa, aku lebih menyukainya. Tapi sebagai sahabat, aku lebih menyukaimu."

"Jawabanmu selalu sama…" komentar Jellal, masih mengikuti Erza dibelakang.

"Salahmu sendiri, selalu menanyakan hal yang sama," balas Erza enteng.

"Hn."

"Jangan hanya 'hn', ayo cepat atau kita akan benar-benar terlambat!" perintah Erza menggandeng atau lebih tepat menyeret Jellal untuk berjalan lebih cepat. Jellal hanya menuruti perintah sahabatnya itu tanpa banyak komentar.

"Pagi Erza, Jellal. Kali ini lebih telat dari biasanya ya…" salam Lucy, -teman sekelas Erza dan Jellal- saat melihat keduanya memasuki kelas.

"Pagi Lucy. Ya, kali ini ada monster yang menghalangi jalan kami…" Jellal tersenyum tipis mendengar kata 'monster' yang ia tahu benar ditunjukan untuk siapa itu.

"…juga, 'raja tidur' yang enggan meninggalkan kasurnya." Senyumannya berubah jadi decihan pelan saat mendengar lanjutan ucapan yang terlontar dari mulut Erza.

"Seperti biasa, huh?" Erza hanya tersenyum tipis mendengar komentar gadis berambut blonde itu, lalu langsung menuju tempat duduknya yang berada dibarisan belakang, barisan pertama dari pintu. Jellal sendiri sudah sedari tadi pergi ke bangkunya yang terletak dibarisan paling depan, barisan terjauh atau keempat dari pintu.

Sebagai anggota kedisiplinan dan ketua kelas, ia memang sengaja ditempatkan dibarisan terakhir, agar dapat leluasa mengawasi siswa-siswa dikelas. Alhasil kelasnya selalu tampak sepi dan tenang, walaupun sedang tidak ada guru sekalipun.

"Woiii… Lucy! Lihat yang aku temukan!" teriak seorang laki-laki berambut merah muda, Natsu, yang tiba-tiba saja menerobos masuk, membuat seisi kelas terkejut dan memfokuskan pandangan mereka padanya. Menghiraukan reaksi mereka, Natsu menghampiri Lucy dan menunjukan apa yang ia bawa.

"Lihat, kucing ini berwarna biru!" ucapnya semangat.

"Wah, benar! Pertama kali aku melihatnya."

"Aku tidak sengaja menemukannya dihalaman sekolah saat aku dan Gray… yah kau tau lah." Lucy hanya menganguk-angguk mengerti. Lalu mengambil kucing yang ada ditangan Natsu. Diperhatikannya kucing itu dengan seksama, sebelum senyuman lebar diwajahnya merekah.

"L-lucunya…"

Para siswa yang tadinya acuh tak acuh dengan apa yang Natsu dan Lucy lakukan, kini mulai tertarik setelah mendengar komentar-komentar yang keluar dari mulut Lucy. Satu per satu dari mereka, menghampiri dua sejoli yang nampak asik dengan mainan baru mereka.

"Ah, benar. Lucu sekali…"

"Dan, kenapa warnanya biru?"

"Mungkin kucing ini saudaranya Jellal atau semacamnya…" Jellal segera saja men-deathglare orang yang, oh… ternyata orang yang sama, yang selalu mengganggu tidurnya di pagi hari. Erza mengabaikan tatapan maut Jellal, dan balik menatap Natsu dan yang lainnya dengan tatapan yang tak kalah menyeramkan dengan tatapan Jellal padanya. Mengerti akan maksud tatapan itu, satu-per satu dari mereka segera kembali ke tempat duduk masing-masing.

"Natsu."

"Y-ya?"

Mengerti bahaya yang menantinya, dengan susah payang, Natsu menjawab panggilan yang sangat menakutkan baginya. Perlahan, dengan tidak mengalihkan pandangannya dari Erza, Natsu mengambil kucing ditangan Lucy, dan dengan perlahan juga, ia mundur beberapa langkah menuju pintu. Tampak keringat dingin bercucuran menyelimuti wajahnya. Sementara Erza masih menatap Natsu dengan tatapan yang sama.

"S-sebaiknya aku pergi ke kelasku sekarang…"

Dan dengan kesepatan kilat, Natsu berlari meninggalkan sarang 'monster' dan kembali ketempat yang seharusnya.

"Huff… ya ampun." Erza hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan salah satu siswa yang menjadi black list catatan OSIS.

"Ngomong-ngomong Erza…"

"Apa?" jawabnya singkat. Jelas sekali sang komite kedisiplinan ini sedang dalam 'mode bad mood'.

Bukannya melihat orang yang ia panggil, pemuda berambut biru itu malah melihat keluar jendela disamping tempatnya duduk. Alhasil kelakuannya membuat 'mode bad mood' Erza bertambah.

"Sepertinya aku melihat saudaramu atau mungkin kembaranmu…" ucapnya masih melihat objek yang sama.

"Huh? Jangan bercanda. Semua saudaraku ada di Rosemary, dan aku anak satu-satunya. Jadi mana mungkin ada kembaranku."

Walaupun ia berkata begitu, tapi rasa penasaran tetap melingkupi pikirannya. Alhasil ia berjalan mendekati Jellal, memastikan kebenaran dari ucapan sahabatnya itu.

Rupanya, rasa penasaran juga menyelimuti semua siswa dikelas ini. Siswa yang duduk dekat jendela segera melihat keluar. Dan yang lain tetap berada ditempat duduknya masing-masing, dengan perasaan penasaran berkecambuk dalam diri mereka. Tapi, mereka tak mau berurusan dengan kemarahan Erza jika sampai meningggalkan tempat duduknya.

"Mana?" tanya Erza sesaat setelah sampai di bangku Jellal.

Tanpa repot-repot menjawab, Jellal menunjuk apa yang daritadi ia lihat. Erza memokuskan pandangannya pada objek yang Jellal tunjuk. Tapi ia sama sekali tak melihat ada orang atau apapun itu yang membuktikan apa yang Jellal ucapkan benar.

"Mana? Tidak ada."

"Ya ampun. Apa perlu aku membelikanmu sebuah kacamata agar matamu bisa melihat dengan jelas." Erza hanya cemberut mendengar komentar yang keluar dari teman masa kecilnya itu. Memang bukan hal yang aneh baginya mendengar ejekan-ejekan yang keluar dari mulut Jellal untuknya. Tapi, tetap saja hal itu membuatnya kesal.

"Itu, yang berwarna merah disana." Kembali Jellal menunjuk objek yang menurut jellal, adalah kembaran Erza.

"Hmph…" Sedikit menggerutu karena merasa diremehkan, Erza beranjak masuk kebangku Jellal. Mungkin dengan begini ia bisa melihat dengan jelas apa yang dilihat Jellal.

"U…Lat?" Tebak Erza tidak yakin.

"Yups! Berwarna merah. Kurasa ia juga saudaramu atau semacamnya…"

Oh Erza mengerti maksud semua ini. Balas dendam atas ucapannya tadi rupanya.

Tuk!

"Jangan samakan aku dengan ulat, bodoh!" ucap Erza sambil menjitak pelan kepala Jellal pelan.

"Bukankah kau duluan yang menyamakanku dengan kucing?" bela Jellal tak terima.

"Ulat dan kucing jelas berbeda!"

Yang lain hanya memperhatikan dengan seksama pertengkaran yang sudah tidak aneh lagi untuk mereka.

"Kalau kau tak mau disamakan dengan ulat, bagaimana kalau dengan hewan yang ada dibawah kakimu?"

"He?" perlahan Erza melihat kebawah kakinya, dan…

"Kyaa…" dengan sekejap dan spontanitas, Erza melompat kedalam pangkuan Jellal yang sedang duduk. Sang korban –Jellal- hanya diam tak bergerak, mencoba menganalisis apa yang baru saja terjadi.

Siiiing~

Suasana seketika berubah menjadi sepi, tatkala sebuah pemandangan yang jarang mereka lihat memasuki retina mata mereka. Menyadari keanehan disekitarnya, perlahan Erza membuka mata, dan seketika rona kemerahan muncul di pipinya yang putih.

Seolah dihentikan waktu, keduanya tak beranjak dari posisi masing-masing. Hanya saling menatap dengan rona merah dipipi keduanya. Tubuh keduanya seolah lumpuh, dan tak mau mengikuti apa yang ada dipikiran mereka. Detak jantung mereka berlomba-lomba dengan suara jarum jam.

"Ehem… maaf mengganggu waktu kalian berdua, tapi pelajaran akan segera dimulai," ucap Makarove – sang guru- menyadarkan keduanya yang sesaat lalu bagaikan berada didunia yang berbeda.

"I-itu bu-bukan tidak… ini tentang kecoa, lalu ulat dan… merah dan… dan…" Erza mencoba menjelaskan tapi, ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia katakan. Kepalanya overheat dan dunia seakan berputar. Makarove hanya tersenyum menanggapinya.

"Aku mengerti… Menjadi muda memang menyenangkan kan?"

"Anda sama sekali tak mengerti…" balas Erza sedikit menaikan nada bicaranya frustasi.

"Tenang saja, kau bisa melanjutkannya nanti. Tapi saat ini ada pelajaran yang menunggu kita," ucap Makarove dengan senyum tanpa dosanya, membuat Erza semakin terpuruk.

"T-tapi… tapi…"

"Sudahlah, sekarang kembali kebangkumu, pelajaran akan dimulai!"

Sementara Erza sibuk menjelaskan keadaan, Jellal hanya duduk santai sambil lagi-lagi melihat keluar. Tapi siapa yang tahu bahwa dibalik topeng acuhnya itu, sesuatu didalam dadanya sedang bergemuruh?

.

.

.

####~Tsuzuku ka? Owari ka?~####

OOC ya?

Sekali-kali bikin mereka kaya gini tak apa kan? #puppyeyesnomaho

Sebenarnya ini bisa dibilang prolognya, jadi masih ada lanjutannya. Tapi kalau mood nulisnya jelek, mungkin ini endingnya… :p

Continue or end?