New York.
Ketika semua mimpi terasa begitu dekat dengan angan-angan.
Ketika menggenggamnya ternyata tak begitu sulit.
Ketika setiap langkah yang mengiring terlampau segar dalam ingatan.
Ketika diri mu hanyut dalam nostalgia ayunan hiruk-pikuk di antara sepi melewati malam.
Ketika yang kau temukan hanya gelak lepas di tengah keramaian.
Ketika janji, untuk menjadi yang terbaik bagi diri sendiri, namun––
––blah, sampah dari mana ini?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BTS FANFICTION
TAEKOOK
RATE T/M
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jangan tersinggung, tapi kau memang super bodoh sangat. Ini poem buatan Yoongi-hyung. Sama-sama atas pujiannya, Tuan-Bodoh-Jeon."
"Hei, hei! Aku tidak bodoh. Kau tau? Aku hanya tidak mengerti dimana letak puisinya, Tuan-Penjilat-Bokong-Yoongi."
"What the fuck?!"
"Apa? Memang benar, 'kan?"
Yang diejek memutar mata, separuh menggelak. "Ya tapi tak ada hubungannya, Jungkook." Katanya. "Kau perlu diajari sopan-santun. Makin ke sini makin parah. Kau ini punya tongkrongan di mana saja, huh?"
Orang yang bernama Jungkook mendengung sebelum menjawab, "Maaf, privasi. Keep on the line, man."
"Oke. Great. Sekarang kau juga mulai brengsek."
Itu Jimin. Park Jimin.
Wajahnya rupawan tapi tak serupa dengan perangainya. Tingkah lakunya santai tapi saat kau sudah bolak-balik ke rumahnya, mencoba untuk mencuci celana dalam tanpa mesin cuci di kamar mandi flatnya yang bau, saling membiarkan kaus kaki dekil sebau telur basi di ujung pintu tanpa pernah ada yang protes, mandi bersama tanpa mengindahkan tatapan mesum ke satu sama lain, menonton film kelas B sembari mengolok-ngolok artisnya dan berakhir tertidur di sofa, di antara keripik-keripik berkeju tebal; kau akan tau dia blangsak tidak berguna. Bobrok tiada tanding.
Aku sempat berpikir mungkin Jimin memang ditakdirkan untuk tidak memiliki pasangan, seperti mungkin.. seumur hidup?
Namun prediksiku salah setahun setelahnya. Karna lucu memang, seolah kita bisa mengukur segalanya begitu mudah tetapi sebenarnya kita hanya tak tau apa yang akan terjadi.
Tepat di Rabu malam, Jimin berkata padaku, dia datang setelah menggedor-gedor pintu kamarku tak punya adab. Mentang-mentang aku tinggal di flat murah di wilayah pinggir kota New York.
"Jung! Kau harus tau!" Aku hanya memutar mata malas saking sebalnya dan tau-tau dia sudah masuk dan duduk di tepi ranjangku. Bertingkah seakan malam ini adalah kiamat yang merenggut habis energinya.
Aku menunggu. Tetapi hatiku tergerak untuk membawakannya air putih yang persetan, si manusia tengik ini bahkan tak napas setelah menegak habis air putih itu.
"Haaahh.. leganya," Jimin bersendawa singkat sebelum akhirnya angkat suara. "Kau pernah bertemu seseorang dan semua yang kau tau hanya tiba-tiba terasa tolol? Pernah kau, Jung?"
Aku nyaris terbahak kalau bukan kata-kata Jimin yang selanjutnya membuatku terpana setengah mampus. "Aku rasa aku suka dengan orang itu, Jung."
Kau tau? Senyuman Jimin tak pernah terlihat sebegitu tulus selama aku menjadi temannya lima tahun ini. Dan melihat temanmu sangat-sangat bahagia melampaui batas bahagiamu sendiri, itu adalah hal terluar biasa yang pernah aku rasakan.
Maka responku bukan memberinya kata-kata murahan seperti; wah, man. Selamat. Kau harus mendapatkannya atau kau akan menyesal. Atau seperti; kejarlah, dia memang jodohmu. Jangan ragukan itu. Kau beruntung, man.
Tidak.
Sejauh yang ku ingat, aku hanya melemparinya guling. Sampai akhirnya Jimin tersadar sepenuhnya, dan dia menghujatku habis-habisan.
Kami hanya tertawa setelahnya.
.
.
.
"Man, dengar. Aku hanya serius tidak tau sejak kapan pacarmu––si Min itu bisa menjadi sangat menjijikkan seperti ini, dengan menulis kata-kata keju semengerikan ini? Hayolah, kau pasti bercanda," aku berusaha terdengar menyenangkan lewat kata-kata barusan. Meski tau betul, aku tak ada niat apa-apa untuk menghina.
Jimin yang tengah mengunyah keripik berkeju tebal favorit kami, malah bangkit membetulkan posisi untuk berbalik utuh menghadapku. Keningku mengkerut tak peduli. Posisiku yang masih menghadap televisi sama sekali tak terusik. Sejenak menoleh untuk menemukan raut Jimin yang kini sok serius. Sialan, apa-apaan?
Jimin mencolek bahuku mencari atensi. "Huh? Apa?"
"Kau berpikir sama denganku apa tidak, kalau ternyata benar Yoongi hyung-ku ingin pulang ke Seoul agar dia bisa menjadi komposer lagu?"
Setengah berpikir sembari mengabil beberapa keripik keju di sebelahku, aku menjawab seadanya. "Kau berpikir begitu?"
"Ya!" Sambung Jimin cepat, "kau berpikir sama denganku, Jung?"
Aku mengunyah, "hng.. sejak kapan ini menjadi urusanmu? Maksudku, iya, aku tau kau pernah bercerita tentang kemauan pacarmu ini padaku, tapi, sejak kapan? Kau tau kita tidak pernah membahas ini lebih lengkap," kaleng soda di meja aku ambil dan keteguk isinya perlahan. Seperti menyeruput cokelat panas.
Jimin balik ke posisinya semula, menghadap televisi. Namun bahu kami kini bersentuhan. Lengan kami melengket rapat. Aku yakin bau badan kami pasti sudah tidak enak mengingat kami belum mandi dari kemarin.
"Entah lah, aku hanya berpikir begitu setelah kau mengomentari dengan kurang ajarnya puisi pacarku," Jimin tertawa. "Tapi kalau bisa jujur, aku pun sama. Jijik.."
Aku tertawa mendengarnya. "Dasar pacar sialan, aku berharap Yoongi-hyung mendapat pacar lain selain dirimu, astaga. Sumpah. Kau bangsat sekali soalnya,"
Jimin mengumpat sebelum berkata, "Jung, ingatkan aku untuk tidak membakar flat kecil-sintingmu ini agar kau tunawisma saja di jalanan," Jimin menendang tulang keringku agresif. "Dan jangan mengakui aku sebagai teman sepergumulanmu. Jangan. Pernah."
Aku kembali menggelak setengah mengusap-usap kakiku, entah sejak kapan percakapan seperti ini tak pernah melelahkan untuk kami. Nalarku menemukan topik baru. "Berbicara soal jalanan, aku pernah menjadi gembel dengan gitar cokelat––temanku. Kau lupa?"
"Ahh," Jimin menoleh, menyeringai dengan raut lembut di sana. "Kenapa kau berhenti sekarang?"
"Entahlah," bahuku merosot seketika. Dentuman rasa bersalah merayap penuh saat hal tersebut saling tumpang-tindih dengan memori yang terlintas. "Aku hanya tidak ingin lagi sekarang-sekarang ini."
Aku melihat Jimin mendesah dengan maksud mengejek sikapku yang begini. Mudah menyerah, dan aku yakin sebentar lagi pasti Jimin akan menguliahiku.
"Seharusnya kau jangan patah semangat begitu,"
Aku tersenyum, merasa menang atas dugaan sendiri.
"Ingat perjuanganku untuk mendapatkan Min Yoongi?" Pertanyaannya terdengar tulus untuk ukuran manusia yang tak pernah tulus ketika bertanya soal hal lain.
Aku hanya mengangguk sekali, merasa percuma menentangnya kali ini. Memang, motivasi kadang datang dalam bentuk yang berbeda-beda. Kali ini datang dari mulut si tolol Jimin.
"Kau sudah tau, bukan? Sekarang apa lagi yang kau tunggu?"
Sebentar. Aku sedikit tak paham situasi di sini. "Apa?"
Jimin mendesah frustasi saat kepalanya dia sandarkan di sofa dan sembari menatap langit-langit, dia berkata lumayan kencang. "Ambil gitar dan mengamenlah sana!"
Responku tak bagus maka aku masih diam. Hanya berucap, "Apa?" Lagi. Karna otakku menyerap semuanya dalam kelambanan.
Kepala Jimin menoleh ke arahku dengan posisi yang tak berubah. Bibirnya mengatup membentuk senyum samar saat akhirnya aku paham maksudnya. Dan Jimin benar-benar orang gila psikopat hidup.
"Baiklah, sialan! Kau berutang satu latte denganku tanpa penolakan."
"Hei! Apa-apaan?!" Jimin terlonjak tak terima.
Aku bangkit menuju kamar dan segera keluar lagi dengan gitar yang sudah tersampir di bahu kanan serta tempat gitar yang ku bawa di tanganku.
"Jika sampai aku bertemu Yoongi-hyung nanti," aku menunjuk-nunjuk Jimin dekat pintu keluar. "Akan ku suruh dia putus denganmu, psikopat!"
Jimin terbahak puas sekali, mengapresiasi kemarahanku dan itu terdengar menjijikkan mirip seseorang yang kerasukan iblis. "Sayangnya kau tidak akan," balas Jimin santai. "Pacarku akan kemari sepuluh menit lagi, dan dia membawa motor. Kau harusnya mencoba lebih giat, Jungkook." Jimin mencerca dalam satu seringai mantap.
"Fuck. Terserah." Lebih baik biarkan iblis psikopat itu melantur sendirian. "Habiskan satu ton kondom kalau perlu. Have fun with it."
Aku membanting pintu seperti habis marah-marah dengan seseorang yang berkepala batu––well, literally.
Dasar sial.
Untung saja dia masih punya rasa pertemanan yang tinggi. Karna kalau tidak––
"––Sial! Kenapa aku mau disuruh keluar Jimin, huh? Padahal itu kan kamarku dia hanya menginap? Dasar sinting! Pakai segala usir halus! Bilang saja dari awal dia ingin tidur dengan pacarnya di kamarku! Apa dia gila?! Pantas saja dia diusir oleh pemilik flatnya!" aku menggerutu kesal di sepanjang jalan yang menuju keramaian pusat hiruk-pikuk New York.
"Tapi serius, aku tidak tau harus apa sekarang.." Aku berhenti di perempatan jalan yang menghadap deretan toko mewah dengan merek yang terpampang megah di sana. Nyaliku menciut tanpa aba-aba. Rasanya sudah seperti berabad-abad ketika aku terakhir kali memilih berhenti bernyanyi untuk jalanan.
Yeah, bernyanyi untuk jalanan. Bahasa halus untuk mengamen. Terdengar lucu? Tidak apa, mungkin hanya kau yang tidak mengerti apa maksudku berkata demikian. Aku hanya merasa.. di mana pun aku bernyanyi, dalam keadaan apa pun itu, jiwaku terpanggil. Kami seperti menyatu? Panggilan tersebut begitu langka, bukan? Makanya, aku mungkin hanya butuh tempat selain, err, jalanan.
Misalnya.. panggung?
Aku menghela udara yang menumpuk di hidungku keras-keras. Merasa kebas dengan hidup. Kadang kala aku merasa ingin semua ketidak-tauan ini berakhir dan lantas menemui ujung baru yang menggembirakan. Sebab kau mesti tau, barangkali aku bukan tipikal orang bahagia yang semestinya menyicip rasa bahagia itu seperti apa.
Aku hanya... pecundang menyedihkan yang diberi kesempatan hidup oleh yang di Atas berkat melimpahnya kasih sayang orang tuaku di kampung halaman sana yang benar-benar mengharapkan keturunan sukses, bukannya malah menganggur terseok-seok di kota orang.
"Hhh.." aku mencoba mengulang kalimat sabar yang akhir-akhir ini sudah setara dengan rutinitasku memakai baju dan celana. Ku taruh pelan tempat gitar itu dengan terbuka agar mudah orang-orang melempariku koin secara harfiah, berdiri tegap-yang kurasa begitu, untuk lebih mudah memetik gitarku sambil berdoa; hanya malam ini saja, tolong.. jadilah malam baik untukku setidaknya aku bisa merasa lebih baik.
Mungkin.. bisa jadi tidak ada koin yang dilempar kepadanya, tetapi dari pada harus bernyanyi dengan nada sumbang? Itu akan menarik orang-orang untuk melemparinya sepatu.
Sederhana sekali, bukan?
Yea, aku berharap. Sangat berharap.
Aku membuat tenggorokanku bebas dari lendir-lendir pengganggu perusak suara. Membuatnya lebih jernih, dan jelas saat menendangkan lagu.
Bersiap dengan senar––yang sudah seperti berteriak diam-diam bahwa kau ini pecundang yang diberkati bakat menyanyi. Sial. Apa memang bakatku bukan menyanyi?
Halah persetan.
Spot di ujung perempatan jalan dekat dengan jalur pedestrian; sambil sesekali orang-orang mulai berjalan hilir-mudik tanpa mempedulikannya, menghadap lautan cahaya terbingkai rupawan di mata, debaran jantung yang tak juga kunjung berhenti, dan tali sepatu kiriku yang tak terikat.
Semuanya menyatu; mempersilakan aku agar menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Dan potongan lirik lagu City of Stars begitu saja membujukku supaya dinyanyikan.
City of stars..
Are you shining just for me..
City of stars..
There's so much that I can't see..
Aku mencoba untuk membuka kedua kelopak mataku perlahan. Petikan gitar di antara jemariku, tak pernah terbilang seberat ini. Dulu dia begitu lihai. Sampai-sampai Jimin pernah mengobati ujung-ujung jemari kanannya yang lecet-lecet bertemu kerasnya senar gitar kesayangannya.
Dan malam nampak lebih gulita dari biasanya. Hiruknya tenggelam dalam kegamangan, aku bisa merasakannya begitu. Liriknya seakan membuat segala yang hidup ikut melirih bahkan saat aku melihat banyaknya pejalan kaki yang berusaha mengejar waktu saling berceloteh atau pun yang berjalan seorang diri.
There's a lot that I wanted to tell.
Who knows..
Is this the start of something wonderful and new?
Or one more dream that I cannot make it true?
Aku menunduk setelah bait tersebut selesai. Merenungi artinya yang sialnya sama dengan nasibku saat ini. Dasar sial memang untukku; pencari lirik untuk lagu bukan hanya musiknya.
Fuck it now here is it.
City of stars..
Just one thing everybody wants..
There in the bars..
And through the smokescreen of the crowded restaurants..
It's love..
Yes, all we're looking for is love from someone else..
Gagap menerpaku saat satu sosok mendekat dengan cardigan sewarna bata oranye dengan kaus oblong di dalamnya. Pelan sekali. Seperti menapaki jalanan beraspal kapas tanpa sekali pun mengindahkan atensinya dari gitarku.
Sampai-sampai aku menunduk, melihat gitarku sendiri; baik-baik saja, jemariku sedang memetik senarnya sesuai tempo lagu, senarnya tak ada yang putus kok.
Aku kembali menatap sosok itu, seorang pemuda yang tingginya nyaris menyamaiku. Rambutnya pirang sengaja dimodel belah tengah. Hidung orang itu mancung––yang pertama kali ku perhatikan, sebab kesannya runcing tetapi entah kenapa melembut saat aku tanpa sengaja meluruskan pandang.. tepat di kedua iris cokelat cerahnya.
Akan tetapi.. apa itu? Aku tak mengerti. Ada apa dengan lengkung bibir tebalnya yang nampak menahan umpatan? Apa kau perhatikan urat wajahnya yang menegang.. seperti bekas amarah tertahan?
Aku jadi ingin bertanya, kenapa.
Alih-alih bertanya, aku hanya kembali bernyanyi. Pemuda itu kian dekat. Jaraknya sekitar tiga langkah dari tempatku berdiri.
A rush
A glance
A touch
A dance
A look in somebody's eyes
To light up the skies..
To open the world and send it reeling,
A voice that says I'll be here
And you'll be alright..
Aku belum pernah melihat orang yang tersenyum ketika sedang terluka, tepat di depan mataku.
Belum. Pernah.
Dan sekarang itu terjadi, tepat di depan gitar cokelat kesayanganku dan aku menjadi orang idiot secara otomatis.
Kedua lengan pemuda itu terlipat depan dada. Auranya membawaku teringat pada preman-preman New York bertubuh ceking namun tenaganya sekuat tendangan kuda.
Bangsat, jadi sebenarnya orang ini tengah berduka atau preman-preman ceking sok sedih?
Secepat aku menyesal menjadi orang idiot, sepersekian detik itu pula, aku acuh. Benar-benar mengangkat bahuku dan lanjut bernyanyi. Mungkin orang ini hanya ingin menonton saja dekat-dekat.
I don't care if I know
Just where I will go
'Cause all that I need is this crazy feeling
A rat-tat-tat on my heart
Think I want it to stay..
Hah, sial.
Apa orang itu benar-benar tertawa? Dia menggelak karna apa?
Kupetik senar dengan sisa-sisa semangat di jemariku. Berpikir jika penutup lagu harus bisa menghasilkan kesan lama yang mendekam dalam ingatan orang lain.
Oh, tapi wow, tunggu.
Sejak kapan di sekitar pemuda itu jadi banyak sekali orang-orang yang menonton dia?
Serius? Bahkan aku bisa menghitungnya lebih dari sepuluh termasuk pemuda itu?
Hei, serius!
Sejak kapan?!
City of stars..
Are you shining just for me..
City of stars..
You never shined so brightly..
Petikan terakhir seiring bait dengan lancar kumainkan, entah bagaimana orang-orang itu bertepuk tangan heboh. Dan yang aku lakukan hanya tersenyum sembari membungkuk, menguarkan kalimat terima kasih banyak-banyak. Hingga akhirnya...
Mereka memberiku lembaran dollar, bukan lagi koin-koin mungil yang rasanya ingin aku telan saking banyaknya.
Mereka sempat berujar––yang ku dengar; your voice is sweet, thanks. Lalu, hei, you're cute tho and you are so handsome. Lalu, bravo, man! Here's one dollar for ya! Lalu, suara berat yang bukan inggris membuat perhatianku terserap seluruhnya hanya untuk mendengar kalimat, "Gomawo."
.
.
.
.
.
bersambung
.
.
p.s.
ehehe. kepikiran bikin au!busk taekook vers.
eng.. lanjut tida?
