.
Author's note: Hai haaaaii~~ kembali lagi dengan saya Night Antares...! Yap, sesungguhnya Night Antares masih harus menyelesaikan satu fanfiksi lagi di fandom ini, taaappiiiiii begitu dapet kabar kalau 22-28 Juni adalah #mikoreiweek dari akun tumblr akhirnya Night Antares tergoda untuk menulis satu judul fanfiksi baru yang (mudah-mudahan) bisa update setiap hari sesuai dengan tema pada hari tersebut (engga di-post di tumblr karena, satu, pasti kepanjangan, dan dua, Night Antares jelek banget Bahasa Inggris-nya... kalau post pake Bahasa Indonesia bisa-bisa dilempar tomat gegara banyak orang ngga ngerti). Dan mohon maaf bagi yang menunggu update Kings karena Night Antares mau fokus dulu sama mainan yang satu ini XD *dijitak*
Peringatan!
Fanfiksi kali ini juga masih berkaitan dengan fanfiksi Kings (/s/10312330/1/Kings) yang masih dalam tahap penulisan dan belum tamat juga (ibaratnya akan ada beberapa bagian dari Kings yang akan masuk ke fanfiksi kali ini). Jadi mohon maaf sebesar-besarnya bagi pembaca Kings yang bakal merasa "mengulang" membaca beberapa adegan.
Warning: hint bl/shonen-ai... dan mohon maaf di awal kalau ternyata isi tulisannya dinilai tidak sesuai sama temanya *humbly bowed*
Pairing: Mikoto x Reishi... sisanya menyesuaikan kebutuhan tema per harinya #plaaakk
.
...
.
Project K (c) GoRa & GoHands
A WEEK FOR A LIFETIME
MikoRei week: Day 1 - Rivalry
.
"Oh? Arogan sekali sikapmu, Senpai. Atau kau memang tidak tahu etika tentang mengantre? Baiklah, akan kuingatkan kau bahwa mengantre itu—"
.
.
.
Munakata Reishi, empat belas tahun yang terbilang sangat muda untuk duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, nyatanya tengah melangkah tegap menaiki podium untuk memberikan kata sambutan sebagai perwakilan murid baru yang berhasil memperoleh nilai tertinggi sekaligus nilai sempurna pada ujian masuk SMA di kotanya. Namun jangan berani menilai dirinya dari penampilannya yang cenderung "manis" untuk pemuda seusianya—berterima kasih pada bulu mata lentik yang berhasil menyembunyikan sepasang ungu yang selalu menatap dunia dengan sinarnya tersendiri, kulit putih mulusnya (kalau tidak mau dibilang putih pucat, catat itu), dilengkapi postur tubuh ramping semampainya—atau siapapun yang berhasil menafsirkan seperti itu dijamin akan mendapatkan satu tusukan gratis dari pedang kayu sang empu yang juga ternyata merupakan atlet kendo junior tingkat nasional.
Pandangan lurus ke depan dan langkah kaki yang mantap. Reishi menaiki undakan podium. Mengangguk singkat pada guru yang mempersilakannya maju. Kemudian berdiri di mimbar. Menarik napas dalam.
"Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Selamat pagi, bapak dan ibu guru, serta senior dan teman-teman. Saya, Munakata Reishi, berdiri di sini sebagai—"
—KABOOOM!
Reishi terbelalak. Kedua bola matanya membulat maksimal. Dan tidak hanya dirinya yang mengeluarkan ekspresi serupa—beberapa di antara perempuan yang duduk di kursi bahkan ada yang menjerit ketakutan. Sementara tubuhnya sendiri kaku. Telinganya tidak mungkin membohongi dirinya tentang seberapa besar ledakan yang terjadi di luar gedung aula sekolah barunya. Ledakan apa itu? Mengapa bisa terjadi ledakan sebesar itu? Apakah disusul dengan kebakaran? Akankah kebakaran itu menjalar hingga ke aula ini?
Pikirannya berlari, berlomba dengan berbagai macam spekulasi. Dan ketika hampir seluruh guru-guru, diikuti para anggota OSIS, berlari keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi, Reishi tidak memberhentikan gerak tubuhnya yang ikut menyusul sekumpulan orang-orang tersebut.
Lalu pada lantai satu gedung utama, tepat di ujung sayap sisi Barat, derak kuda merah mengepung. Namun bukan hal itu yang pada detik berikutnya membuat degup jantung Reishi seakan berhenti untuk satu detik lamanya.
Yang membuatnya tepaku adalah sosok yang keluar dari kepungan api tersebut. Seorang pemuda dengan surai rambut semerah api yang menjilat-jilat, berjalan gontai dengan luka bakar sana-sini. Dan ketika manik amber itu berpapasan dengan ungu miliknya, Reishi tahu ada jalaran api lain yang menggeliat, memenjarakan jiwa dan raganya.
...
"SUOH MIKOTO…!"
Mikoto mendelik malas. Yang barusan meneriakkan namanya bukanlah guru-guru maupun petugas kebersihan yang mungkin setelah ini akan memberinya sanksi setelah meledakkan salah satu toilet sekolahnya. Yang kini setengah berlari menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa adalah seorang Kusanagi Izumo, yang tentunya siap menghajar kepalanya setelah apa yang ia lakukan beberapa menit yang lalu. Astaga… padahal badannya sudah sakit-sakit dan bagian sikut serta lututnya tidak berhasil selamat dari lahapan kobar api, lalu kali ini kepalanya harus jadi korban jitakan maut dari Izumo? Tidak, terima kasih. Lebih baik dirinya diskors saja sekalian, lumayan untuk menambah waktu tidurnya.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Izumo, setengah panik dan sebagian sisanya cemas bercampur murka. Bahkan teman masa kecilnya itu tampak tidak bisa mengontrol volume suara sedikit pun… tidak heran jika ia berujung menjadi tontonan para guru dan murid di sekelilingnya, kali ini dengan tagline berjudul "Ibu-Ibu Cerewet yang Memarahi Anaknya di Sekolah".
Mikoto menghela napas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Izumo barusan, "Merokok di toilet."
Jawaban singkat, padat, dan jelas. Benar saja. Satu bogem didaratkan telak di puncak kepalanya.
"Kau 'kan tahu kalau toilet yang di pojok ini dipakai untuk membuang larutan kimia berbahaya…!"
Namun Mikoto tidak membiarkan celotehan khas ibu-ibu a la Izumo menahannya di tempat itu lebih lama. Kulitnya sudah memerih dan memanas cukup lama untuk menunggu hingga obat luka bakar dioles di atasnya. Menghela napas dan menggaruk bagian belakang kepalanya, Mikoto bangkit dan berjalan, menyeret langkahnya, yang tentu saja tanpa basa-basi langsung dituturi Izumo, masih dengan rentetan omelan yang sudah sama sekali tidak masuk ke dalam telinga Mikoto.
Dan sejenak, ketika Mikoto berjalan melalui kerumunan para siswa yang semakin banyak berkerumun di tempat itu, matanya bertemu lagi dengan manik ungu itu. Sepasang warna yang sempat menjadi kontrasnya di saat pertama kali ia melangkah keluar dari kepungan si kuda merah. Sepasang warna yang menatap pada merah miliknya. Hanya beberapa detik, hingga Mikoto memutuskan kontak itu dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh lagi ke belakang. Tanpa mempedulikan sepasang warna yang tanpa henti menancapkan tatapan pada punggungnya.
...
Satu bulan kehidupan SMA-nya berlangsung, dan Reishi baru tahu bahwa seorang senior dari kelas 2-C bernama Suoh Mikoto ternyata merupakan seorang biang kerok kelas kakap… kalau tidak mau dikatakan sebagai calon-calon kepala preman pasar—dan jangan sebut istilah yakuza, karena bagi Reishi sendiri, kalangan mafia Jepang itu masih jauh, garis bawahi jika perlu, jauh lebih elit untuk disandingkan dengan Suoh Mikoto. Oh, jangan lupakan pula kroni setia dari kelas yang sama, Kusanagi Izumo, dan seorang lagi junior bertampang bodoh dari sekolah tetangga—bahkan Reishi yakin sekali kalau si junior yang tidak punya setelan wajah lain selain senyum lebar lima sentimeter kanan-kiri ini sebetulnya masih bocah SMP.
Semenjak kejadian satu bulan lalu, tepat di hari upacara penerimaannya sebagai murid baru sekolah tersebut, tepat ketika Suoh Mikoto meledakkan toilet yang dipenuhi sisa-sisa zat kimia reaktif di mana—menurut Reishi sembari membetulkan letak kacamatanya—dengan bodohnya sang senior bersangkutan menyundut rokoknya di toilet tersebut, Reishi tahu bahwa hari ini Suoh Mikoto baru saja kembali dari masa skorsing selama empat pekan penuh. Dan darimana ia tahu akan hal itu? Mudah saja, karena pertama, aura sekolahnya yang terasa begitu damai dan kondusif selama satu bulan ke belakang tiba-tiba saja menjelma menjadi aura murung mencekam dari tukang kebun sekolah yang paling pertama melihat kedatangan sang biang kerok kembali ke sekolah. Sementara yang kedua tidak lain karena….
"Minggir."
Reishi mengangkat sebelah alisnya. Tangannya masih menggenggam erat nampan kecil yang sudah diisi sebungkus roti susu. Sementara jantungnya nyaris meloncat ketika suara berat itu menyapanya… atau lebih tepatnya memerintahnya dengan nada monoton namun terdengar begitu menyebalkan di telinganya.
"Maaf? Kau tadi bilang apa?"
Si pemuda bersurai merah, si yang terduga memiliki nama lengkap Suoh Mikoto itu menatapnya singkat.
"Kau. Minggir. Aku mau ambil roti daging itu."
Oh. Jadi dirinya diperintah seperti itu hanya demi sepotong roti isi daging yang tinggal tersisa satu, yang semula sudah akan ia letakkan di atas nampannya, melengkapi roti susunya? Sekali lagi, oh.
"Mohon maaf sebelumnya, Suoh Mikoto-senpai, tapi aku yang mengantre terlebih dahulu. Sudah jadi resikomu jika kau kehabisan roti favoritmu karena kau tidak mengantre di barisan paling depan."
Satu detik setelahnya, terdengar tarikan napas tertahan, mengiringi suasana penuh ketegangan menggantung serba canggung seketika. Atau bahkan, Reishi tidak mendengar satupun orang di kafetaria—dari segerombolan anak kelas satu yang awalnya ribut di meja deretan tengah, anggota OSIS dengan handband di lengan yang tengah mengantre di depannya, beberapa anak kelas tiga yang berkutat dengan buku kumpulan soal mengisi meja-meja pojok ruangan, hingga si ibu penjaga kafetaria sendiri—berani menarik maupun menghembuskan napas. Beberapa saat setelahnya, Reishi baru memberanikan diri melirik sekitarnya, yang kemudian ia terheran-heran sendiri, mengapa seluruh orang di ruangan itu menatapnya dengan tatapan penuh iba, ketakutan, kecemasan, serta kekhawatiran mendalam?
Oh, ayolah. Memangnya apa yang akan terjadi dengannya? Suoh Mikoto tidak akan langsung melahapnya bulat-bulat hanya karena argumen logisnya barusan, bukan?
Kesunyian itu berlangsung hingga beberapa detik setelahnya. Kini pandangan Reishi kembali tertuju tepat pada sepasang manik amber di hadapannya. Warna yang seolah tengah membakarnya. Namun Reishi tidak gentar. Ia tidak mau mengalah. Ia tidak salah. Yang salah adalah seniornya itu. Dan Reishi tidak akan mundur untuk minta maaf. Semedi dulu seribu tahun juga tidak bakal.
"Ah? Begitu?" ujar Suoh Mikoto lambat-lambat, akhirnya memecah keheningan di antara mereka. Dan Reishi bersumpah, ia melihat sebuah kilat lain di mata seniornya, disertai satu lengkung tipis, dingin dan mencemooh. Pemuda itu melanjutkan lagi, "Persetan denganmu, Anak Baru. Aku lapar, dan aku makan apa yang ingin kumakan."
"Oh? Arogan sekali sikapmu, Senpai. Atau kau memang tidak tahu etika tentang mengantre? Baiklah, akan kuingatkan kau bahwa mengantre itu—"
—srekk!
Terlambat. Satu gerakan cepat dari si pemuda bersurai merah, lengan panjang itu menjangkau melaluinya, meraup sebungkus roti terakhir—yang sedari tadi menjadi objek yang diributkan—lalu menyobek bungkusan dan meraupkan roti tersebut ke dalam mulut dalam satu gigitan besar. Reishi hanya bisa menganga. Kepalanya hanya bisa mengikuti gerak sang senior yang kemudian menjatuhkan beberapa keping koin yen ke atas meja kasir.
Reishi terpaku. Bahkan hingga punggung itu sudah membelok di sudut koridor dan menghilang dari pandangan, Yang selanjutnya menemani hanyalah desis membisik kanan-kirinya, serta sebuah tepukan dan sebungkus roti kacang gratis dari ibu penjaga kafetaria… sembari mengingatkannya untuk tidak lagi mencari masalah dengan seorang Suoh Mikoto.
...
Arti nama yang dimiliki Reishi, yang berasal dari kanji 'rei' yang berarti 'kepatutan' dan 'shi' yang memiliki arti 'untuk memerintah atau menguasai', tidak membuat Reishi memutuskan mundur atau diam di tempat dalam menghadapi berbagai macam chaos di lingkungannya, tidak peduli seberapa besar maupun kecil skalanya. Baginya segala ambisi dan cita-citanya hanya bisa disangkutpautkan pada satu kata saja: ideal. Sementara menjadi sosok yang ideal dan menerapkan lingkungan yang ideal adalah misi yang harus dijalankan untuk mencapai visi hidupnya.
Reishi baru menginjak lima belas tahun, memang… tapi toh pemikiran tentang dunia idealnya itu memang sudah tertanam sejak kecil. Jangan tanyakan pula datangnya dari mana, karena sebagian anak kecil yang besar di lingkungan keluarga harmonis yang sekaligus memegang marga terhormat dan tersohor atas segudang prestasi, biasanya, akan terdoktrinasi-dengan-sendirinya, persis seperti halnya Reishi.
Berterima kasih pada lingkungan sekolahnya kini, hari-harinya yang diisi dengan kekacauan yang selalu saja disebabkan oleh oknum yang sama, semakin memantapkan langkahnya untuk menjadi sosok yang mampu digantungi harapan banyak orang… atau minimal, penjaga sekolah dan tukang kebun yang sudah sering disusahkan oleh trio biang onar tersebut—seperti memperbaiki pintu yang habis kena dobrak, menanam ulang tanaman-tanaman yang disinyalir diinjak-dengan-dalih-tidak-sengaja, mencari kelinci yang lepas ke seantero sudut sekolah, dan pada kasus paling parah memasang ulang kaca-kaca yang pecah telak setelah kena hajar. Dan berkat jerih-payahnya dalam memperoleh nilai sempurna dalam setiap ujian, serta sikap pemberaninya—jika tidak mau dibilang sembrono dan cari mati—pada setiap saat ia harus menghadapi Suoh Mikoto, tidak ada satu guru pun yang bertanya balik padanya ketika Reishi, di awal semester genap tahun pertamanya di SMA, mengajukan surat permohonan bergabung dengan OSIS.
"Pengurus OSIS termuda yang pernah sekolah kita miliki," cetus salah satu gurunya suatu kali, "lumayan, sekaligus satu-satunya aset untuk mengendalikan kelakuan brutal Suoh."
Kala itu Reishi hanya tersenyum. Apakah benar dirinya dibutuhkan, atau sekedar dimanfaatkan? Reishi tahu persis ia masuk ke dalam golongan yang mana. Dan jangan berani pandang dirinya sebelah mata, karena satu semester lagi… ya, satu semester lagi, lihat saja… dan tampuk sebagai Ketua OSIS akan jatuh ke tangannya, dengan suara dan keputusan mutlak, jika bisa.
Sayangnya Reishi tahu, dirinya mampu untuk mengejar segala ambisinya itu.
...
"Bocah yang sering mengajak ribut kita itu… dia masuk OSIS?"
Mikoto hanya bergumam tidak jelas menanggapi pertanyaan—yang lebih terdengar seperti pernyataan—dari Izumo. Sementara yang paling muda di sana, Totsuka Tatara, lantas menanggalkan segala bentuk lengkung di bibir dan mengubahnya menjadi sebuah cibiran.
"Hee? Benarkah itu, Kusanagi-san? Ah, kalau begitu ketika aku SMA nanti, aku tidak jadi masuk sekolah kalian, deh! Aku tidak mau berurusan lebih panjang dengan orang itu."
"Yah sebetulnya… kalau kita tidak bikin onar, sih, ia juga tidak bakal menyentuh kita seujung kuku pun. Atau bahkan, aku ragu bahwa ia adalah tipe yang memperhitungkan orang-orang minoritas yang tidak menonjol dalam segi apapun."
"Atau justru sebaliknya, Kusanagi-san? Menurutku, ia adalah tipe yang bahkan tidak bisa membunuh seekor semut sekalipun."
"Hmm… pandangan yang menarik, Totsuka. Kau memang mahir menilai orang dari dulu."
Yang paling muda di antara mereka itu tersenyum lebar. Mikoto mengalihkan pandangan. Kembali menatap langit luas sembari merebahkan kepalanya di dahan pohon.
"Bocah itu, siapa namanya?"
"Hmm? Oh, namanya Munakata Reishi. Anak kelas 1-A, kalau aku tidak salah ingat. Ada apa memangnya, Mikoto?"
Mikoto hanya mendengus. Lalu menutup matanya, melanjutkan tidur siangnya di dahan pohon Sakura di halaman belakang sekolah. Sudah jadi kebiasaan bagi Mikoto, bahwa ia akan menghabiskan istirahat siang hingga bel pulang berdentang nyaring di dahan pohon manapun. Sudah jadi kebiasaan pula bagi Izumo maupun Totsuka, antara ikut membolos pelajaran bersama Mikoto atau—dalam hal ini Izumo—masuk kelas demi mencatatkan materi pelajaran untuk kemudian disalin Mikoto di hari-hari menjelang ujian.
Namun kali ini, ada yang tidak berhasil diketahui, bahkan oleh Izumo sekalipun. Yaitu sebuah garis senyum samar yang dilukis Mikoto, menemaninya dibuai gelap hingga ke ujung mimpinya.
...
Dua minggu setelah tahun ajaran baru. Reishi lima belas tahun dan duduk di tahun keduanya di SMA. Serta jabatan baru yang berhasil diraihnya, naik dari posisinya sebagai sekretaris selama setengah tahun, kini menjadi Ketua OSIS.
"Selamat, Munakata-kaichou…!"
"Kaichou, selamat! Kau berhasil mendapatkan sembilan puluh sembilan persen dari total suara!"
Reishi mengangkat sebelah alisnya. Memang, sebetulnya sudah bukan urusannya untuk mengetahui faktor apakah yang membuat perolehan suaranya melawan kotak kosong pada agenda pemilihan Ketua OSIS tidak mencapai target yang dipasangnya: suara absolut seratus persen. Namun sesekali, hanya sekali, menggunakan kekuasaannya sebagai Ketua OSIS yang punya perintah mutlak terhadap seluruh murid di seantero sekolah, tidak ada salahnya juga, 'kan?
"Sembilan puluh sembilan persen?" tanyanya, kentara penuh ekspresi menyelidik. Sementara tanpa rasa curiga sama sekali, salah seorang senior kelas tiga yang juga menjadi panitia pemilihan dan pemungutan suara tersebut mengangguk dan membuka-buka berkas catatan.
"Betul sekali, Munakata-san. Hmm… menurut data yang kuperoleh, dari total seluruh murid di sekolah ini, hanya ada satu orang yang tidak mengembalikan kertas suara. Dan murid tersebut, hmm… berasal dari kelas 3-D."
"… 3-D? Benarkah hanya satu orang?"
"Eh? Iya, benar. Hanya satu orang yang tidak mengembalikan. Namun karena di kertas suara sama sekali tidak boleh dicantumkan identitas pemilih, maka kami tidak tahu siapa tepatnya yang tidak mengembalikan kertas tersebut pada perwakilan kelasnya."
Reishi terdiam sejenak sebelum mengangguk, membetulkan posisi kacamatanya, lalu berterima kasih pada seniornya barusan. Mengarahkan kakinya menuju ruang sekretariat OSIS untuk melangsungkan rapat pertamanya, betapa banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya kini sebagai ketua dewan siswa. Ia semakin tidak punya banya waktu kosong. Oh ya, dirinya juga harus mulai mengatur ulang jadwal latihan kendonya. Begitu banyak hal menyita pikirannya saat itu juga, membuatnya melupakan sebuah nama yang bertengger di sudut otaknya, satu-satunya nama—dengan probabilitas mencapai seratus persen—yang berhasil memberikan sebuah serangan balik di akhir babak pertarungannya.
...
"Mikoto, kau tidak menyerahkan kertas suaramu?"
Mikoto tersenyum tipis. Meluncurkan satu desah napas dari Izumo.
"Kalau sampai Munakata tahu… aku tidak tahu perintah apa lagi yang akan ia berikan untuk menghukummu, Mikoto."
Tidak ada reaksi. Mikoto hanya melemparkan kotak susu stroberinya ke dalam tong sampah.
"Kau tidak ingin memilihnya?"
Satu dengusan untuk menjawab pertanyaan Izumo.
"Ayo pulang."
Mikoto tahu itu adalah kalimat final terakhir yang bahkan sanggup membungkam mulut rewel Izumo sekalipun. Ia lalu menggiring sepedanya keluar dari halaman sekolah, diikuti geret jari-jari sepeda Izumo mengekorinya.
Dan melupakan secarik kertas yang sebenarnya Mikoto buang ke tong sampah bersamaan dengan kotak susunya. Secarik kertas tipis, dengan tanda contreng kecil dibubuhkan tepat di atas foto sang calon Ketua OSIS, Munakata Reishi.
...
Reishi terbangun di ruang OSIS. Sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Langit sudah dihiasi lembayung jingganya… ah, sepertinya ia tertidur ketika sedang menyelesaikan beberapa laporannya begitu jam pelajaran selesai tiga jam yang lalu. Dan betapa ia memiliki anak buah yang berbaik hati, mau membiarkannya terlelap tanpa membangunkannya.
.
.
"Kaichou, tolong tanda tangan berkas ini."
"Huaaa Kaichouuu…! Ada yang mencuri uang iuran OSIS kita, bagaimana iniiii…?"
"Kaichou-sama, kau dipanggil oleh pembina OSIS. Setelah rapat ini beliau memintamu untuk segera menghadapnya di ruang guru."
.
.
Menghela napas, Reishi melepas kacamatanya, sedikit memijit pangkal tulang hidungnya. Kepalanya dipenuhi berbagai hal yang terjadi seharian penuh. Sumber masalahnya memang tidak hanya satu, namun selalu saja yang menjadi katalis dari pening yang menginvasi otaknya tetap sama.
Dan lelah yang mulai membalut tubuhnya, menjalar manja merasuki sel-selnya. Sejak kapan dirinya mengenal sebuah kata bernama lelah? Tepat di saat-saat ia seharusnya bergairah untuk menjalankan seluruh misinya… di saat ia seharusnya bersemangat memikul segala beban yang ada di pundaknya. Buktinya seorang Munakata Reishi berusia tiga belas tahun saja masih sanggup menjadi Ketua OSIS SMP. Lingkungan sekolahnya pun tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikannya yang sebelumnya. Lalu apa yang berbeda dengan kali ini?
Ataukah kehadiran sebuah fungsi bernama Suoh Mikoto itu nyatanya memang benar-benar ampuh untuk menjungkirbalikkan ritme hidupnya? Apakah fungsi itu berhasil memutar definisinya akan 'dunia ideal' yang selama ini digenggamnya erat-erat, hingga memperkenalkan Reishi pada sebuah ungkapan 'rutinitas dan jenuh adalah dua hal yang akan membunuhmu secara perlahan'?
Ya. Kata-kata itu. Penat, lelah, jenuh. Apabila ia dihadapkan dengan rutinitas 'dunia ideal' miliknya.
Namun kata-kata itu tidak pernah muncul setiap kali Reishi harus berhadapan dengan seorang Suoh Mikoto. Yang selalu timbul-tenggelam adalah sebuah definisi lain. Kata-kata yang lain lagi artinya.
Yang jadi pertanyaan… kata apa yang tepat untuk mengungkapkannya? Terlebih lagi, bagaimana bisa?
.
.
"Kaichou…! Kaichou, tolong…! Para berandalan itu… mereka kembali membuat ulah di halaman belakang…!"
Setengah berlari namun dengan langkah mantap, Reishi keluar dari ruang OSIS, menyambangi beberapa koridor dan anak tangga, hingga tiba di halaman belakang yang menjadi TKP kali ini. Benar saja. Pemandangan kali ini sungguh membuatnya gatal ingin menguliti si senior berambut merah menyala dan satunya lagi yang bersurai pirang emas—oh, kali ini tidak didampingi junior idiot tukang pamer senyuman yang berasal dari sekolah tetangga. Ini baru pagi hari, dan Reishi sudah harus berhadapan dengan sejumlah keran air yang ceratnya patah hingga airnya menyemprot tinggi seperti air mancur taman kota.
Menyilangkan lengan di atas dada, Reishi berjalan mendekati seniornya yang bersurai pirang.
"Kusanagi-senpai, ada apa lagi ini?"
Dilihatnya sang senior hanya tertawa kering penuh rasa bersalah sembari menggaruk bagian belakang kepala. "Maaf, maaf, Munakata-kaichou. Sebetulnya ini—"
"—aku yang melakukannya."
Bagian ini. Bagian yang paling tidak disukainya. Bagian yang selalu saja berakhir membuatnya kehilangan mood untuk satu hari penuh.
Kali ini yang berhadapan dengannya adalah si senior berambut merah menyala, dengan tatapan ganas seolah singa yang siap menerkam siapa saja yang berani melawannya. Namun siapa pemuda itu dibandingkan seorang Munakata Reishi, yang terkenal jenius dan jadi murid kesayangan dari guru, kepala sekolah, sampai kakek tukang kebun dan penjaga sekolah? Reishi tidak takut, Reishi tidak akan gentar.
Meski Reishi tidak bisa memungkiri. Debar itu selalu datang setiap kali manik ungunya beradu dengan amber milik pemuda itu. Perasaan apa ini? Reishi belum mengetahui artinya.
"… Suoh Mikoto-senpai. Kali ini, pembelaan apa lagi yang harus kudengar darimu?"
Menanggapi pertanyaan ketusnya, pemuda itu mendengus dan tersenyum tipis. "Aku sedang gosok gigi, dan keran sialan itu tidak mau menyala satupun."
Jawaban ngeyel, sungguh. Reishi sudah tidak sabar ingin menghajarnya dengan sapu, pengki, atau malah pot terdekat yang bisa diraihnya.
"Hooo? Lalu kau merusak hampir seluruh cerat keran yang ada hanya untuk membilas gigimu dari busa odol? Dengan segala respek, tolong berikan alasan yang lebih masuk akal, Senpai. Lagipula mengapa kau tidak menggunakan kamar mandi di dalam gedung sekolah saja?"
"Kamar mandinya sedang dibersihkan oleh kakek tua itu, Munakata. Dan kau, sebagai ketua OSIS sekolah ini, bukankah seharusnya hapal dengan jam dibukanya ruang kelas hingga kamar mandi?"
Reishi mangap, baru saja hendak melontarkan kalimat pembenaran sebelum otaknya—juga kalimat terakhir seniornya ini—menghentikannya dan membawanya pada situasi ambigu. Canggung dan menggantung. Selalu saja seperti ini. Sudah berkali-kali, dan akhir pergulatannya dengan seorang Suoh Mikoto harus selalu berakhir canggung. Reishi yang akan selalu tertohok dengan setiap alasan—jika tidak mau disebut sebagai pembenaran—yang dilemparkan seniornya. Reishi yang akan selalu berakhir dengan mulut terkunci rapat dan pandangan nyalang menatap punggung para biang onar yang kemudian melenggang pergi tanpa dosa, meninggalkannya sendiri dengan kekacauan yang harus ia bereskan. Sekali lagi, seorang diri.
Menghela napas pasrah, Reishi mengeluarkan PDA-nya dan menekan beberapa nomor. Ia harus cepat-cepat memanggil tukang ledeng, atau surat teguran akan kembali dilayangkan ke dalam ruang OSIS-nya, sekaligus surat permohonan khusus dari kepala sekolah—yang sudah tidak bisa Reishi hitung untuk yang keberapa kalinya—agar Reishi bersedia menangani para berandalan itu, kalau bisa, sampai mereka berhasil diluluskan dari sekolah tersebut.
.
.
Apakah ini yang orang sebut-sebut sebagai adrenalin rush—pacuan adrenalin? Selama ini, dunia berputar seolah sesuai dengan perhitungannya, seolah dunia menari-nari di atas telapak tangannya. Tidak ada satupun variabel aksi-reaksi yang dilakukannya yang luput dari formulasinya. Namun ketika kini ia bertemu dengan Suoh Mikoto, Reishi kehilangan kemampuannya untuk mengkalkulasikan gerak langkahnya… terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan pemuda itu.
Karena gerak langkah Suoh Mikoto yang tidak terduga. Penuh kejutan. Dan Reishi akan selalu menemukan intrik terbaru dari cara sang senior berargumen melawannya. Argumen yang jika dipikir menggunakan otak sehat, argumen yang diberikan Suoh Mikoto selalu sederhana dan seringkali tidak berdasar. Seharusnya orang yang menomorsatukan logika seperti dirinya bisa langsung membabat habis pembenaran dan alasan-alasan tipikal tersebut.
Atau justru karena memang tidak berdasar itulah, Reishi tidak bisa melihat sosok asli seorang Suoh Mikoto.
...
"Kau sebetulnya tertarik dengan bocah itu, 'kan, King?"
Mikoto menyedot susu buahnya hingga kosong melompong. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Totsuka sama sekali.
"Tidak perlu dibilang lagi juga sudah kelihatan, Totsuka. Bahkan Mikoto lebih banyak melontarkan kalimatnya saat adu mulut dengan bocah itu, dibandingkan setiap kata yang Mikoto ucapkan untuk menjawab pertanyaan kita."
Sang junior tertawa lepas. Satu senyum lebar sehangat matahari kemudian menyapanya.
"King… seperti yang baru saja menemukan lawan tanding yang sepadan dan sama kuat dengan dirinya."
Mikoto mengangkat sebelah alisnya. Tidak mengerti arah pembicaraan Totsuka barusan. Sementara yang bersangkutan semakin melebarkan senyumannya dan melanjutkan kata-katanya.
"Munakata Reishi-san… kuharap ia juga menikmati hari-hari penuh persaingannya denganmu, King~!"
...
.
.
.
Author's note (again): Yaps~! Thanks for reading, and don't forget to leave a comment, please~! (^^)v
