Prolog

Seorang pria yang hanya pernah mencintai satu wanita. Seorang wanita yang hanya pernah mencintai satu pria. Seharusnya mereka bisa menjadi kisah yang indah.

Namun semua menghalangi mereka. Orang tua si pria yang tak merestui, ibu si wanita yang terlanjur getir. Orang-orang yang menunggu untuk dicintai. Lantas jarak beribu-ribu mil jauhnya, ketiadaan, dan kehidupan baru. Tapi bagaimanapun semua mencoba memisahkan mereka, mereka masih saling cinta.

Mereka masih saling cinta. Maka bertahun-tahun dan satu tunangan yang dia lepaskan, pria itu muncul lagi di hidup si wanita. Bertahun-tahun dan satu kekasih yang dia tinggalkan, wanita itu menyambutnya. Pada akhirnya, mereka bisa bersama.

Romantis sekali. Dan dalam kisah seperti itu, aku bukan pemeran utamanya.

Aku adalah corengan dalam gambaran indah itu. Seseorang yang telah diuntungkan oleh perpisahan mereka. Mungkin, aku malah peran antagonisnya. Entahlah. Yang jelas, dalam akhir yang bahagia itu, aku tidak berbahagia.

Aku kecewa dan bingung. Aku tidak punya rencana cadangan, tidak pernah memikirkan pilihan-pilihan lain. Aku hanya menunggu, karena itulah yang diharapkan dariku. Namun apa yang kutunggu, ternyata tidak akan pernah ditujukkan padaku. Kenyamanan semu dan keyakinan sia-sia telah menjatuhkanku.

Sementara itu waktu terus berjalan, umurku semakin tidak ideal, dan prospekku semakin suram dengan setiap upaya canggungku yang gagal. Aku tak bisa lagi mempercayai pertimbanganku dalam hal seperti ini, tidak punya waktu untuk belajar dari awal, namun juga enggan mempercayakan nasibku pada pertimbangan orang lain. Situasi yang pelik. Menjadi seseorang yang membuat malu dan merendahkan nama keluargaku tak pernah terdengar begitu masuk akal dan maklum bagiku yang dulunya hidup untuk memenuhi ekspektasi-ekspektasi yang ditimpakan padaku.

Pikiranku kacau. Dan dalam keadaan seperti inilah, aku mendengar tawaran gila itu. Itulah mengapa aku mungkin tidak sepenuhnya rasional dalam membuat keputusan-keputusanku selanjutnya. Apakah aku akan memilih apa yang kupilih jika situasinya tidak begitu genting? Entahlah. Meski begitu, saat itu aku memang percaya padanya. Sebelum hari itu kami tidak pernah berbicara lebih dari lima belas menit. Tapi entah bagaimana, segila apapun kedengarannya, aku mempercayainya.

"Kita berdua harusnya menikah." Pria itu berkata, seolah pada diri sendiri. Pandangannya tertuju pada suatu titik di kejauhan, di antara sejuta cahaya di malam metropolitan yang gemerlap. Lalu fokusnya kembali, dan dengan lebih mantap dia mengulang, "Kita seharusnya menikah."

Aku tidak langsung paham, waktu itu. Atau lebih tepatnya, aku tidak ingin berhenti untuk memahami apa yang aku dengar. "... Kau baru saja bilang... aku tidak seharusnya dijodohkan, Namikaze-san. Dan kau juga, tidak mau dipaksa menikah."

"Bukan begitu. Maksudku, kita berdua menikah. Dengan satu sama lain."

"Eh?"

"Pas sekali bukan, keadaannya? Kita berdua didesak menikah, kita tidak ingin dijodohkan. Jadi kenapa kita tidak memutuskan sendiri dan memilih masing-masing saja?" Pandangannya begitu jelas, saat itu, bahkan saat dia mengungkapkan hal yang sama sekali tidak masuk akal. Seolah apa yang dia katakan adalah fakta tak terbantahkan, dan akulah yang harus menggunakan logika untuk mencapai solusinya yang sangat jelas itu.

"Apa yang kau bicarakan, Naruto-san?" Aku menatapnya lekat-lekat, berusaha menemukan tawa dalam ekspresinya, namun dia menatap balik tak tergoyahkan.

"Bagaimana kalau kita berdua menikah, Hyuuga-san?"