Okay. Ini dia twoshot untuk sekuel "Mother's Paranoid". XD
Saran saya sih, lebih baik baca dulu prekuelnya sebelum baca yang ini. Biar lebih ngerti gitu… XDD
Disclaimer:
I do not own Naruto.
Warnings:
AU, OOC, chibi cuteness u.u and lebayness too, and bahasa yang tidak baku. XD Eh, ada shounen ai-nya ngga ya? *pasang pose mikir*
Do not like, do not read.
Saya persembahkan untuk semua reader dan reviewer yang minta dibuatkan sekuel MP.
Happy reading, Minna-chan… XD
-X-
Pagi yang sangat indah di hari Sabtu. Angin sepoi-sepoi yang sehat bertiup lembut, sementara sang surya memancarkan sinarnya yang hangat dengan begitu indah. Setetes air embun di semak-semak halaman kediaman Namikaze yang tenang menitik ke tanah. Membuat tanah cokelat yang basah menjadi semakin basah.
Rumah mungil bermodel minimalis itu terlihat sepi. Terlampau sepi. Padahal mobil sedan berwarna silver milik keluarga Namikaze itu tengah terparkir manis di garasi, pertanda bahwa sang pemilik tidak pergi ke mana-mana hari ini. Lalu… kenapa begitu hening? Padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan, yang seharusnya sudah—
"Mamaa~!"
Ah. Akhirnya sebuah suara serak-serak basah yang indah terdengar melengking di kediaman keluarga kecil itu. Menunjukkan kebenaran akan bukti adanya kendaraan silver yang terparkir manis. Sang anak, sang Mama, dan sang Pa—
"Kenapa Papa ndak kasih tau Nayu kalo…"—terhenti sejenak dengan suara tarikan napas pendek—"kalo… Papa mau pelgi keljha tadi malem, Mama?"
Oh… ternyata sang Papa tidak ada di rumah. Ternyata anggota keluarga Namikaze tidak lengkap pada pagi yang cerah ini. Ternyata di rumah bercat kelabu itu hanya ada sang anak dan sang Mama… Yeah. Setidaknya dugaan tadi tidak sepenuhnya salah.
Kushina menghela napas melihat anaknya. Naruto yang masih memakai piyama biru muda dan topi tidur berbentuk penguin yang tengah tersenyum itu mengukir raut wajah yang tidak semanis topinya. Balita pirang itu memanyunkan bibir dan menyatukan kedua alisnya. Kesal.
"Naru sayang…" Sang mama berjongkok di hadapan anaknya yang tengah merajuk itu. "Tadi malam Naru itu udah bobo. Mama sama Papa 'kan ngga tega kalo harus bangunin Naru," wanita berambut merah itu mendesah pelan. Ia sudah menduga kalau akan begini jadinya.
Anak pirang itu merengut lagi untuk yang kesekian kalinya pagi ini. Ia merasa kesal sekali. Dadanya terasa begitu panas seperti saat ia tengah kehilangan salah satu mainan kesayangannya.
Bagaimana tidak? Ia sudah berjanji pada teman barunya untuk melakukan sesuatu yang sangat mengasyikkan pada hari ini kemarin. Ia sudah berjanji akan ikut "berpetualang" dengan Uchiha bungsu, dan untuk itu ia membutuhkan sang Papa. Ia yakin—hampir seratus persen—kalau ia tak akan bisa ikut dengan teman barunya jika ia meminta izin pada Mamanya.
Huft... Naruto sudah tahu sifat Mamanya, dan karena itu ia hendak meminta izin pada sang Papa yang jauh lebih baik hati, peduli, mengerti keadaannya, dan santai. Seperti insiden "es krim" beberapa hari yang lalu itu, contohnya. Saat di mana ia sudah hampir putus asa dengan keinginannya untuk membeli sebuah cone es krim yang tidak mungkin terkabul karena ia meminta izin pada Mama. Tapi lalu, sang Papa tercinta datang membela. Lalu bahkan Papa juga yang memberinya selembar uang untuk dua buah cone es krim.
Mengingat hal itu, membuat dada Naruto kecil semakin sesak saja. Ia menunduk lesu. Habis sudah harapannya untuk pergi bermain bersama Sasuke hari ini…
"Naru…" suara lembut sang Mama terdengar. "Jangan merajuk begitu dong, sayang… Papa 'kan sudah sering dipanggil dinas tiba-tiba seperti tadi malam. Toh nanti malam atau besok pagi, Papa juga sudah ada di rumah lagi," sambung Kushina dengan nada membujuk khas seorang Mama.
Naruto menengadahkan wajahnya sambil tetap cemberut. Membalas pandangan teduh wanita bermata hijau itu dengan sepasang mata besar miliknya. Ia menghembuskan napas kecewa.
"Tapi Nayu tuh, mau—ng… ngomong sesyuatu cama Papa, Mama..."
"Hmm…" Sang Mama mendekap anak pirangnya erat. "Kalau gitu… kenapa Nayu ngga ngomong sama Mama aja? Kan Mama sekarang ada di sini…"
Balita pirang itu menatap Mamanya tak percaya sambil menggigit bibir. Justru hal ini yang ingin ia hindari sedari tadi, bukan? Aduuh—!
"Tapi Nayu 'kan maunya ngomong cama Papa, Mama…"
"Ehem," Kushina tersenyum lembut melihat anak tunggalnya tersebut. Aah. Ada yang sudah mulai main rahasia-rahasiaan dengan Mama, nih yaa…? "Masa' Naru ceritanya sama Papa aja sih? Mama ngga diceritain lagi sekarang, ya?" Sedikit rasa perih menghujam ulu hatinya. Apa iya, sekarang Naruto-nya yang terkasih sudah mulai meninggalkannya?
Mendengar perkataan sang Mama tersebut, Naruto merasa sedikit bersalah. Ia bisa menangkap nada sedih di kalimat Kushina tadi. Sambil menggigit bibirnya lagi, ia berkata pelan, "Nayu chayang banget cama Mama lho, Ma…"
Wanita berambut merah itu tertawa indah. Ia kembali menarik anaknya ke dalam sebuah dekapan hangat, sebelum menggosokkan hidung mancungnya ke pipi chubby Naruto. "Harus gitu dong, Naru sayang… Mama 'kan juga sayang banget sama Naru."
Dan Naruto kecil pun ikut tertawa.
-X-
Jarum jam dinding di ruangan keluarga Namikaze telah menunjuk angka sepuluh, menandakan bahwa pagi mulai menjadi siang. Namikaze Kushina menghela napas panjang. Kepalanya terasa sedikit berdenyut, dan ia merasa ingin sekali menghajar Minato.
Bahkan jika ia sama sekali tak memiliki alasan untuk melakukan hal itu.
Yeah… Naruto sudah melakukan hal apa yang sang mama inginkan tadi—bercerita pada Mama tentang apa yang ingin ia bicarakan dengan Papa—dan ternyata semuanya tidak bertambah baik. Naruto bilang kalau ia ingin meminta izin untuk bermain lagi bersama Sasuke selepas makan siang nanti.
Kushina tak akan terlalu keberatan jika hal itu dilakukan di rumahnya sendiri. Atau di halaman rumahnya, di jalanan depan rumahnya, dan bahkan di rumah keluarga Uchiha. Toh, Uchiha Mikoto juga adalah salah satu kawan dekatnya. Dan sejak kejadian "es krim" itu, Sasuke dan anak kecilnya sudah bisa dibilang bersahabat dekat.
Sungguh ia tak akan keberatan, tapi…
Sekali lagi sepasang mata beriris hijau itu melirik pada sosok mungil yang duduk di sebelahnya. Sosok mungil anaknya yang tengah duduk di atas sofa—sama seperti dirinya—sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang telanjang. Rambut pirang model spike-nya tak berdiri ke atas kali ini.
Saat mandi pagi (yang kesiangan) tadi sang Mama memaksanya untuk mencuci rambut (Naruto sangat membenci shampoo). sehingga helaian keemasan itu jatuh dan basah oleh tetesan-tetesan air berwangi strawberi. Walaupun tadi Mama sudah mengeringkannya sedikit menggunakan handuk.
"Kenapa harus main jauh-jauh seperti itu, Naru?" Kushina menghela napas. "Kalau Naruto minta izin main di rumah Uchiha, Mama memang masih mengizinkan, karena rumah kita dan rumah Uchiha itu masih satu jalan. Tapi masa' sekarang Naru mau minta main ke blok lain? Mama—" wanita berambut merah itu tak melanjutkan ucapannya. Ia hanya menggelengkan kepala pelan.
"Mama…" Naruto kecil memandang sang Mama dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ia tak suka melihat Mamanya sedih dan bingung begini. "Mama jangan syedih gitu, Ma…" ujarnya sambil melingkarkan kedua tangannya di lengan kanan Kushina yang langsing.
Sang Mama mendengus geli. Memangnya karena siapa ia jadi merasa gundah begini? Aah… sikap anak satu-satunya itu memang manis sekali.
"Lagian…" Naruto melanjutkan ucapannya dengan lebih pelan. Kushina bersumpah kalau ia melihat sedikit rona merah di wajah kecoklatan anaknya itu. "Ng—itu… 'kan Nayu mainnya bayengan cama Chacuke, Ma…" lanjut bocah itu, semakin memelankan volume suaranya.
"Terus?" sang Mama bertanya dengan tajam. Ia menangkap gelagat mencurigakan di dalam sikap anaknya ini, dan perasaan khawatir yang sedari tadi menyelimuti hati kecilnya semakin membesar saja. "Memangnya terus kenapa kalo Naru mainnya sama Sasuke?"
"Yaaah—" Wajah kecoklatan itu tertunduk. Kushina dapat melihat anaknya itu menggoyangkan kakinya semakin kencang pertanda tengah gugup. "Chacuke 'kan syudah beshar, Ma… Nayu 'kan ndak main cendilian kalo gitu."
Sang Mama menghela napas. "Tetap saja… Naru itu masih kecil banget, sayang…" Kushina menarik tubuh mungil anaknya untuk duduk di pangkuannya. "Naru itu masih terlalu kecil untuk main sendiri jauh-jauh gitu." lanjutnya lembut.
Naruto menggelengkan kepala pirangnya, sebelum membalikkan badan sehingga menghadap ke arah sang Mama. "Nayu ndak cendilian, Mama… 'Kan udah ada Chacuke."
Ingin rasanya Kushina menepuk keningnya sendiri. Sasuke lagi, Sasuke lagi… Hah! Bahkan bocah berambut hitam itu hanya dua tahun lebih tua dari anaknya. Apa istimewanya, coba?
"Sasuke juga 'kan masih kecil, Naru…" Kushina merasa kesabarannya sudah di ambang batas. Apa yang salah dengan anaknya ini? Mengapa ia bersikap seperti itu? Karena rasanya saat ia masih sekecil Naruto dulu, ia…
Tubuhnya seperti tersengat listrik saat ia mencoba mengingat masa kecilnya. Wanita berambut merah panjang itu tersentak.
Apa kegiatannya sehari-hari?
Ia bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya. Memberi makan anak kucing dengan semangkuk susu bayi yang ia ambil secara diam-diam dari dapur. Mencoba memanjat pohon seperti teman-teman laki-lakinya yang lain, lalu terjatuh. Memanjat pagar tetangga untuk mengambil bolanya yang terlempar ke halaman rumah orang. Bermain layang-layang di atas bukit yang sejuk. Berlomba mengejar dan menangkap kupu-kupu paling indah dengan sebuah jala kecil yang ayahnya berikan untuknya.
Wanita itu merasa terpukul.
Ia juga memancing di sungai dangkal dekat rumahnya dengan sebatang ranting yang diikat dengan seutas tali tipis, yang diujung talinya diberi umpan berupa cacing kecil berwarna cokelat muda. Belajar naik sepeda roda dua sampai ia mendapatkan banyak lecet di siku dan goresan-goresan berdarah di lututnya. Berpetualang mencari serangga (yang langka di lapangan berilalang lebat saat musim panas. Membeli es krim di kedai terdekat. Ia ingat, ia paling menyukai es krim rasa cokelat.
Kushina tercenung. Tak ada yang salah dengan anaknya. Karena di sini, yang salah adalah dirinya. Dirinya yang terlalu egois dan paranoid. Dirinya yang terlalu khawatir. Wanita itu menarik napas panjang. Tiba-tiba ia teringat dengan sosok suaminya yang ia kasihi itu.
"Tapi badannya Chacuke udah gedhe banget, Ma… Lebih gedhe dali badan Nayu. Chacuke itu udah… tinggi banget!"
"Gitu ya?" Kushina menghela napas lagi.
"Iya, Ma…" Naruto mengangguk dengan semangat. "Chacuke itu udah jadi—mmh… kakaknya Nayu."
"Okay, Naru sayang…" ujar sang Mama sambil mengarahkan anaknya untuk menatap wajahnya. Mama dan anak itu saling menatap lekat-lekat. "Memangnya hari ini Sasuke mengajak Naru main ke mana?"
Wajah bocah pirang itu mendadak sumringah. "Kata Chacuke ndak jauh kok, Ma… Cuma ke lumahnya—ng… N-naya aja." Terkadang Naruto kecil bertanya-tanya tentang bagaimana cara orang dewasa bisa merubah sikap secara cepat begitu. Karena tadinya ia berpikir Mama akan marah padanya. Ia merasa senang.
Naya? Kushina tersenyum kecil. Nara maksudnya? Kediaman keluarga Nara. Seingatnya jalan tempat rumah Nara berada hanya berbeda dua blok dari sini. Memang tidak terlalu jauh sih… Lagipula, di blok tempat keluarga Nara tinggal juga banyak anak-anak tetangga yang masih kecil. Mungkin saja hari ini Uchiha itu ingin mngenalkan anaknya pada anak-anak lain.
"Naru mau ngapain ke rumah Nara, sayang…?"
"Ng—kata Chacuke, ini lahasia lho, Ma…" Kushina melihat sepasang mata beriris biru milik anaknya itu menerawang sejenak sebelum akhirnya kembali menatapnya dengan berbinar-binar. Naruto menyunggingkan senyuman manis terbaiknya. "Kata Chacuke, kita mau beli esh klim di tukang esh klim lewat jalan—ng… jalan lahasia." Naruto terdiam sejenak sambil terus menatap Mamanya dengan senang. "Kata Chacuke kita mau lewat jalan—ng… pintas, Ma!"
Sungguh persis seperti dirinya saat masih bocah dulu. Senang bermain-main, selalu tertarik pada hal-hal baru yang padahal sangat sederhana, dan menganggap hal-hal remeh itu penting. Kekanak-kanakan. Tapi memang mereka masih anak-anak, bukan?
"Okay," Sang Mama meraih kedua bahu mungil anaknya, dan meremasnya pelan. "Mama pikir ngga ada salahnya Mama mengizinkan Naru main hari ini. Ya, Naru benar… 'kan udah ada Sasuke yang jagain Naru," Kushina menyunggingkan senyum lembut.
Bocah berambut pirang itu mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. "Benelan, Ma…?"
"Beneran, Naru sayang…" Kushina mendekap anaknya erat. "Tapi Naru harus mandi dulu nanti. Terus pakai baju lengan panjang, karena Mama ngga mau Naru digigit serangga. Terus Naru juga harus pakai kaus kaki sebelum pakai sepatu sandalnya, supaya kaki Naru ngga kotor kena tanah. Okay?"
Naruto menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk-angguk. "Tapi Nayu mau minta uang cama Mama ya? Chacuke bilang mau beli esh klim lagi, coalnya…" Bocah pirang itu mengukir cengiran tak berdosa.
Senyuman sang Mama menghilang perlahan. Es krim lagi? Bukannya beberapa hari yang lalu Minato baru membiarkannya membeli dua buah cone es krim. Walaupun saat pulangnya, Naruto bercerita bahwa ia memberikan sebuah es krim miliknya ke Uchiha itu.
Kushina menghela napas. Ucapan suaminya saat itu kembali terngiang di telinganya. Ia harus melepaskan anaknya perlahan-lahan. Tidak boleh begini terus. Karena… kapan anaknya bisa menjadi dewasa kalau ia selalu tak berani mengambil resiko untuk anaknya? Kushina harus berani.
"Ya, Naru sayang… Nanti Mama kasih uangnya," Dengan mengukir sebuah senyum yang dipaksakan, Kushina melanjutkan, "Kapan Sasuke akan menjemputmu, sayang?"
To be continued
Maafkan kesalahan saya di chapter ini. Silahkan review, Minna-chan… XD
