A/N : Padahal ada fic yang belum update, dan disibukkan dengan banyak tugas, tapi tangan dan pikiran benar-benar bernafsu untuk mengetik ini. Semoga cukup menghibur, dan sekarang saya sedang mengetik untuk chapter berikutnya.
Selamat membaca dan jangan lupa komentarnya *huggles*
.
.
Warning : Shonen-Ai/BoysLove/Percintaan sesama laki-laki, bahasa kasar, sedikit adegan dewasa, but no lemon-sorry.
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. This story belongs to me.
Pairs : SasuSai
Summary : Menjadi murid yang paling populer di sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi Sasuke. Namun dia mempunyai sebuah rencana untuk membunuh perasaan para penggemarnya terhadap dirinya, tentu dengan melibatkan seorang pemuda berkulit pucat.
.
.
.
.
Uchiha Sasuke mendesah pelan untuk yang kesekian kalinya, menatap gadis berambut ikal di depannya. Dia sudah mengerahkan apa yang dia bisa, melototinya, menggeram, bahkan mengeluarkan ucapan-ucapan sinis kepadanya. Dalam beberapa kasus hal ini memang terkadang tidak berhasil. Sasuke memijit-mijit dahinya, memikirkan hal apa lagi yang bisa dia lakukan.
Perempuan bisa menjadi sangat mengganggu. Setidaknya itulah menurut Sasuke, mengaca dari pengalamannya dengan para makhluk yang konon mempunyai hati yang lembut itu – Sasuke selalu menertawakan bagian ini karena dia sama sekali tidak mengerti bagian mana yang lembut dari makhluk yang selalu memaksa untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Mungkin jika semua orang setampan dan sepopuler Sasuke, mereka akan setuju dengannya. Namun sayangnya tidak semua orang seperti dia – tentu saja.
"Kau sama sekali bukan tipeku," ujar Sasuke dengan melodi yang dia pastikan cukup menusuk – sarat dengan penghinaan untuk lawan bicaranya. Tapi gadis itu tidak gentar.
"Katakan padaku bagaimana tipemu? Aku akan berusaha menjadi apa yang Sasuke-kun pinta!"
Sasuke memejamkan matanya. Berpikir mengapa semua orang tidak meninggalkannya sendirian untuk menikmati hidupnya yang damai? Tidak peduli berapa kali Sasuke merendahkan, berbicara kasar, selalu saja ada seseorang yang akan mengatakan menyukainya, mencintainya, ingin menjadi pacarnya, bahkan menjadi istrinya – ini gila, mereka bahkan baru berumur 17 tahun. Mengapa perempuan selalu cepat dewasa? Gerutu Sasuke.
Orang mungkin akan berpikir bahwa hidupnya sempurna. Memiliki wajah tampan, pintar, orang tua yang kaya, dan populer. Itu memang menyenangkan untuk menjadi pusat perhatian pada awalnya, dicintai banyak orang dan bisa mendapat apapun yang dia inginkan. Namun tidak akan menjadi menyenangkan lagi jika ada sekumpulan orang yang mengikutimu sepulang sekolah, menelponmu ditengah malam, mengirimu surat kaleng dengan tanda tangan dari darah, mendapat puluhan kotak bento saat jam istirahat yang berpotensi terdapat suatu ramuan pengikat di dalamnya dan menghadapi gadis yang memaksa ingin menjadi pacarmu, hampir setiap hari!
"Dengar, aku sudah punya pacar," kebohongan lain dia buat. Ini penting, karena hanya menolak mereka tidaklah cukup, terutama untuk tipe yang keras kepala seperti gadis dihadapannya ini. Sasuke telah menemui banyak kesulitan dengan para gadis yang selalu ditolaknya sebelumnya. Beberapa adalah drama queen, menggembor-gemborkan betapa Sasuke telah menginjak-nginjak perasaan tulus mereka, mengiriminya email tentang bagaimana rasa sakit mereka karena penolakan itu dan bagaimana mereka tidak bisa hidup tanpanya. Itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Ditambah surat yang selalu memenuhi lokernya tiap pagi, jatuh berantakan ke lantai setiap dia membuka lokernya dan membuatnya terlambat masuk ke dalam kelas karena harus membereskan surat-surat yang berserakan itu. Tidak peduli apa isinya, Sasuke selalu membuangnya ke tempat sampah yang ada dijangkauannya.
Beberapa gadis adalah yang sangat ekstrim, mengiriminya ancaman bunuh diri. Terhitung dua kali Sasuke harus berlari ke atap sekolah hanya untuk merayu mereka untuk tidak melompat dari sana – walau sebenarnya jauh di lubuk hatinya dia ingin mendorong mereka, melihat mereka jatuh dengan suara memuakkan dan menertawakan mayat jelek mereka. Sekali dia harus berurusan dengan polisi – karena seorang gadis dengan bodohnya mengiris pergelangan tangannya. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan namun tidak beruntung bagi Sasuke karena orang tua gadis itu melaporkan masalah ini kepada polisi, membuat Sasuke harus menginap di kantor polisi selama dua hari. Nasib sial terkadang memang tidak bisa dielakkan.
"Aku tidak percaya, jika Sasuke-kun sudah punya pacar kenapa kau selalu terlihat sendiri?" gadis itu menuntut, dia paham betul, Sasuke Uchiha hanya membual agar mereka meninggalkannya dengan damai. "Tunjukkan padaku siapa pacarmu. Dengan begitu aku akan menyerah akan perasaanku padamu," tantangnya dengan seringaian penuh kemenangan. Dia tahu Uchiha tidak punya pacar – setidaknya di sekolah ini, tidak ada yang tahu kehidupannya di luar sekolah karena Uchiha benar-benar sialan tertutup.
Sasuke mendengus. Gadis ini menantangnya. Dia tidak mungkin menarik ucapannya namun sial, dia benar-benar tidak mempunyai pacar dan meminta salah satu teman perempuannya untuk berpura-pura menjadi pacarnya bukanlah ide yang bagus karena perempuan selalu tidak bisa menjaga rahasia. Lagipula, dia tidak akan punya waktu untuk melakukan itu dengan gadis di depannya yang terlihat akan terus mengekor padanya sampai dia menunjukkan siapa pacarnya.
Sasuke menarik nafas panjang. Dia harus memikirkan hal yang bisa membuat gadis-gadis ini berhenti tergila-gila padanya, berhenti menganggapnya seolah dia adalah magnet yang membuat mereka terus menempel padanya. Gadis ini harus menjadi yang terakhir. Dia tidak bisa terus-terusan bersembunyi saat jam istirahat atau menghindari gadis-gadis dengan tatapan penuh nafsu yang ditujukan padanya. Dia ingin merasakan kehidupan normal di sekolah.
Sasuke mengedarkan pandangannya ke sekitar, mereka ada di belakang sekolah saat ini, yang berarti tidak ada orang lain selain mereka dan tidak ada orang yang bisa dimintanya untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Tidak sampai dia mendengar suara langkah kaki. Sasuke menoleh ke arah suara langkah itu, mendapati seorang laki-laki berkulit pucat berjalan ke arah mereka sambil membawa tempat sampah. Dia mengenalnya sebagai salah satu teman laki-lakinya di kelas. Tiba-tiba sebuah ide terbesit dibenak Sasuke.
"Well, yah, kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya pacarku…." Sasuke menyeringai sambil berjalan menjauh, membuat gadis itu memutar kepalanya, menatap pemuda lain yang berjarak beberapa meter dari mereka, diam terpaku. Sasuke mendekati pemuda itu dan dengan suara yang dibuat-buat, hampir menggoda dia berkata, "Menguping kami, Sayang?"
Sasuke hampir tidak bisa menahan tawanya saat melihat wajah pucat itu terkejut, membuat tempat sampah ditangannya terjatuh dan menumpahkan seluruh isinya ke tanah ketika dia melingkarkan lengannya di leher pemuda itu untuk mengecup singkat bibirnya - bibir yang di luar dugaan terasa begitu lembut. Dan sebelum pemuda berkulit pucat sempat melayangkan protesnya, Sasuke memeluk pinggangnya, menarik tubuh yang lebih kecil itu sehingga melekat pada dirinya.
"Yah, ini adalah pacarku. Seperti yang kau lihat, sebenarnya aku gay."
.
.
How To Kill Your Fangirls
-Act 1-
.
.
Sai mengerucutkan bibir merah cherrynya, cemberut. Dia tidak percaya bahwa dia baru saja digunakan oleh laki-laki paling populer di sekolah yang notabene adalah saingan terbesarnya, Sasuke Uchiha. Anggap saja ini hari sialnya, setelah seorang ibu-ibu bertubuh subur memaki-makinya di jalan tadi pagi – harusnya salahkan anak bodohnya yang menyeberang seenaknya sehingga Sai hampir menabraknya dengan sepedanya – lalu teman-temannya yang pemalas di kelas yang memaksanya untuk membuang sampah di belakang sekolah – hari ini bukan giliran piketnya, duh. Tapi dia tahu mereka akan terus mengganggunya jika dia tidak menuruti mereka. Lalu akhirnya terjadilah kecelakaan itu – dia lebih suka menyebutnya kecelakaan, berada di tempat dan waktu yang salah.
Sai menutup bukunya dengan lesu ketika bel tanda sekolah usai berbunyi. Dia tidak ingat apa saja yang telah dikatakan oleh gurunya di depan kelas. Untuk pertama kalinya, pemuda berkulit pucat itu tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang sedang berlangsung. Dan pemuda bermata onyx itu adalah penyebabnya.
Sasuke segera melepas pelukannya padanya setelah gadis itu pergi meninggalkan mereka – jelas karena terkejut dan patah hati yang membuatnya terlihat menyedihkan. Sesaat kemudian Sasuke beranjak meninggalkannya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan, bahkan dia sama sekali tidak melirik Sai saat dia melangkah kembali ke gedung sekolah. Seolah Sai tidak pernah ada sebelumnya. Sial.
.
Pemuda bermata onyx memeluk bukunya di dadanya dan beranjak dari tempat duduknya, hendak melangkah keluar kelas sampai kemudian bisikan-bisikan dan tatapan tajam yang ditujukan untuknya oleh sebagian murid perempuan di kelas menghentikan langkahnya. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak meringis, membuat bulu kuduknya merinding. Tentu gossip beredar dengan cepatnya, pikirnya. Sasuke menghela nafas panjang, dia menghadap ke belakang, menatap seorang anak laki-laki berkulit pucat yang masih mengemasi buku-bukunya di mejanya. Sasuke segera berjalan ke arahnya.
"Siap untuk pulang, Sayang?"
Sai hampir menjatuhkan kotak pensilnya saat sebuah suara maskulin namun halus tertangkap telinganya. Dia segera mendongakkan kepalanya untuk mendapati Sasuke Uchiha tepat di depannya, mengulurkan tangannya padanya. Sai menatapnya dengan pandangan kosong. Dia mengedipkan matanya berkali-kali, mengalihkan pandangannya kearah penghuni kelas yang sedang menatap mereka. Dia menelan ludahnya. Keringat dingin perlahan menetes di dahinya, membuat poni pendeknya saling melekat. Sai tahu, dia tidak akan bisa keluar dengan mudah dari situasi ini. Sial. Sasuke, sial.
"Ehem," Sasuke berdeham membuat Sai kembali mengalihkan perhatian padanya. Mata onyx itu menatapnya tajam, seolah mengancamkan agar ikut memainkan sandiwara yang dibuatnya. Sandiwara yang dibuat Uchiha hanya untuk kepentingan pribadinya belaka. Tanpa adanya tawaran upah atau keuntungan untuk pemuda berkulit pucat yang kini tampak pasrah.
Sai memejamkan matanya, mengangguk kecil lalu menyambut tangan Uchiha yang segera menariknya berdiri, seolah dia ingin segera keluar dari ruangan ini. Pemuda berkulit pucat itu terkesiap saat Sasuke dengan langkah panjang dan kasar menyeretnya. Sai harus berjuang agar isi tasnya tidak tumpah, memasukkan kotak pensil ke dalam tas dan menutup reslitingnya dengan satu tangan sementara dia harus mengimbangi kecepatan Sasuke agar tidak kehilangan keseimbangan.
Sasuke menyeretnya sepanjang koridor kelas, mengindahkan murid lain yang menatap mereka sambil berbisik-bisik, Sai bisa melihat pandangan iri dan sakit hati dari sebagian di antara mereka. Kejadian di belakang sekolah tadi siang benar-benar telah menyebar di seluruh penghuni sekolah ini. Sasuke terus menyeretnya hingga keluar gedung sekolah dan Sai segera teringat akan sesuatu ketika mereka hampir sampai ke depan gerbang. Sai menghentikan langkahnya, membuat Sasuke berhenti menyeretnya dan menatapnya dengan pandangan tidak sabar.
"A.. Aku membawa sepeda," ucap Sai gugup. Sasuke melepas genggamannya pada pemuda itu dan Sai segera menarik tangannya, meremasnya dengan jari-jarinya yang lain. Genggaman Sasuke tadi cukup erat dan menyakitkan. Menunggu apa yang harus dilakukannya kemudian, Sai hanya berdiri di sana. Tidak cukup berani untuk membuat langkah pertama. Sasuke terkenal karena kekasarannya. Dan Sai bukan orang yang bisa menghadapi hal-hal seperti itu.
Sasuke memiringkan kepalanya saat pemuda di depannya hanya diam menatapnya, seolah mengharapkan sesuatu. Sampai akhirnya dia sadar, pemuda berkulit pucat itu menunggu persetujuannya. Sasuke mengangkat alisnya dan mendongakkan dagunya sedikit lalu berkata, "ambil sepedamu."
Tanpa menunggu perintah yang kedua, Sai segera berbalik ke arah parkiran, setengah berlari. Sasuke hanya menggelengkan kepalanya. Dia sudah mendengar jika Sai sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk menolak perintah orang lain, namun dia tidak menduga jika dia sebegitu penurut seperti ini – bahkan tampak sedikit penakut. Pemuda yang selalu mengekor dibelakangnya di setiap mata pelajaran itu terkenal pendiam dan memiliki fitur yang sedikit feminine. Hal yang membuat anak laki-laki di kelasnya senang untuk menggangunya. Mungkin dia bisa memberi pemuda itu sebuah tawaran yang bisa menguntungkan mereka berdua. Tanpa sadar sebuah senyuman mengembang di kedua sudut bibir Sasuke. Yah, sepertinya aku telah memilih orang yang tepat, pikirnya sambil melangkah pergi.
.
.
"Itu adalah Uchiha Sasuke yang selalu kau ceritakan?" Sai mengangguk malas atas pertanyaan laki-laki di depannya. Dia menaruh dagunya di atas meja dan memejamkan matanya. Memfokuskan pendengarannya pada suara gaduh yang dibuat Shin. Ini selalu menyenangkan mendapati kakak laki-lakinya berada di dapur, memasak untuk makan malam mereka. Setelah lulus dari bangku kuliah setengah tahun yang lalu, Shin jarang berada di rumah. Pekerjaannya membuatnya sering pergi keluar kota. Meninggalkan adik satu-satunya di apartemen sendirian.
Sai baru saja bercerita tentang apa yang telah dilakukan Sasuke padanya – dia sudah terbiasa menceritakan kehidupan sekolahnya pada kakakknya - menciumnya, menggunakannya seenaknya dan meninggalkannya saat dia sedang mengambil sepedanya. Sai yakin Sasuke memintanya untuk pulang dengannya – setidaknya untuk meyakinkan para penggemarnya bahwa mereka benar-benar terjalin dalam sebuah hubungan. Namun setelah Sai kembali dari parkiran dengan sepedanya, dia tidak bisa menemukan Sasuke di manapun. Tentu saja, Sasuke sebenarnya tidak pernah berniat pulang bersama-sama. Sai hanya terlalu naif. Mengutuki kebodohannya sendiri, Sai segera mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh.
"Tapi bukankah itu bagus?" Sai membuka matanya dan menatap ke arah Shin yang saat ini sedang memotong sayuran dengan kecepatan yang selalu membuat Sai terpesona. Cepat dan metodis. "Yah, kau bilang kau selalu ingin berteman dengannya," tambah Shin saat menyadari tatapan bingung adiknya.
Sai segera memalingkan wajahnya, kembali memejamkan matanya. Wajahnya menjadi sedikit hangat. Dia memang selalu ingin berteman dengan Uchiha. Uchiha yang selalu ada di depannya, tanpa sedikitpun bisa Sai lalui. Sekeras apapun usaha yang dilakukan Sai, dia tak pernah bisa menyaingi bahkan menyamai Sasuke. Sasuke adalah sosok yang sangat bertentangan dengan dirinya. Sosok yang dia harap ada dalam dirinya sendirinya. Dia kuat dan tahu apa yang harus dilakukannya. Berbeda dengan dirinya yang sangat tipis, sehingga orang cenderung tidak menyadari kehadirannya. Sekuat apapun Sai berusaha, orang selalu menganggapnya sebelah mata. Perasaan kagum tumbuh dalam diri Sai saat pertama dia melihatnya. Sasuke adalah obsesinya. Obsesi terbesarnya untuk dia lampaui.
"Apa sekarang aku melihat seorang anak laki-laki yang sedang tertekan?"
Sai mengangkat kepalanya dan memutar matanya. Dia menyangga dagunya dengan telapak tangannya sambil menatap kakaknya cemberut. "Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa," ucapnya lirih.
"Yah, kau harus mulai dengan apa yang sebenarnya hati kecilmu inginkan," Shin berkata sambil tersenyum padanya. Tapi itu semua tidak membantu. Dia gelisah, gugup dan sedikit takut. Tidak mengerti apalagi yang akan terjadi setelah ini. Jelas berada di dekat Sasuke sama sekali tidak membuatnya nyaman. Emosi Sasuke bisa sangat tidak terguda. Dan dia tidak mau menjadi korban kemarahannya, tidak dengan orang yang dikaguminya itu.
"Shin…"
"Hm?"
"Kau tidak punya rencana pindah ke luar kota saja?"
"Kenapa bertanya begitu?"
"Kalau ada, bawa aku bersamamu."
"Hei, melarikan diri tidak ada dalam kamus keluarga Shimura."
Sai merasa tangan yang kuat mengusap kepalanya, membuatnya mengerang dan dagunya tergelincir dari tepalak tangannya. Menggerutu, dia menyingkirkan tangan kakaknya dari kepalanya. Shin baru saja mengiris bawang putih. Tampaknya dia harus mencuci rambutnya berkali-kali setelah ini.
.
.
"Biasakan dirimu," bisik Sasuke sambil mendorong tubuhnya ke dinding. Sai tidak mengerti, dia baru saja menutup lokernya dan hendak berjalan menuju kelas sampai kemudian seseorang menarik kerah seragamnya dan tahu-tahu punggungnya sudah menabrak dinding dengan keras. Sai hendak mengatakan sesuatu namun tanpa aba-aba Sasuke telah membungkamnya dengan bibirnya. Sai tidak bisa melakukan apapun selain membelalakkan matanya, terkejut.
Ciuman itu lebih intim daripada sebelumnya. Sai memejamkan matanya ketika dia merasa bibir lembut Sasuke melawan dirinya namun tidak berlangsung lama karena Sasuke segera memisahkan mereka. Mata onyx itu menatapnya singkat sampai kemudian dia memiringkan kepalanya untuk mengecup daun telinganya. Sai mengatupkan bibirnya rapat-rapat akan sensasi yang bisa menyebabkan erangan keluar dari tenggorokannya. Sasuke sedang bermain-main dengannya dan tidak ada alasan bagi Sai untuk menolaknya, tidak dengan puluhan pasang mata yang menatap mereka diam-diam.
"Beberapa orang yang melihat kita berpisah di gerbang kemarin curiga bahwa kita hanya melakukan sebuah sandiwara," bisik Sasuke kemudian. Membuat Sai menahan nafas, seolah menjelaskan tentang semua perilaku Sasuke padanya saat ini. "Biasakan dirimu," ulangnya sambil menggigit daun telinga Sai, membuat pemuda itu gemetar melawannya. Sasuke tidak bisa menyembunyikan senyumnya, dia tidak percaya bahwa Sai benar-benar menurutinya, tidak berteriak marah atau memberinya sebuah pukulan keras di wajah seperti hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki normal. Yah, mungkin ini akan menjadi sedikit menarik.
Sai menatap orang-orang dibelakang mereka dan mendapati bahwa mereka telah mengerti dengan jelas apa yang sedang terjadi, berpikir bahwa sudah seharusnya kontak di antara tubuh mereka dihentikan. Namun sepertinya Sasuke belum berniat untuk melepaskan dirinya. Mengumpulkan keberanian, Sai hendak melayangkan protesnya akan tetapi Sasuke terlebih dulu menekan jarinya di bibirnya, menghentikan pernyataan Sai yang tak sempat terucap.
"Ssstt.." bisik Sasuke di telinga Sai. Nafas hangatnya menggelitik hingga ke paru-paru Sai. Membakar wajah dan dadanya. Sai tidak mengerti, haruskah dia menikmati hal ini atau mendorong tubuh pemuda bermata onyx itu darinya. Dia mulai merasa tidak nyaman. Terlebih karena pengerasan telah terjadi di antara kedua kakinya.
Pemuda berkulit pucat itu terkesiap ketika Sasuke semakin menekan tubuhnya terhadap dirinya. Pemuda itu mengubur wajahnya di lehernya, menghirup aromanya dalam-dalam. Sai tidak bisa membantu selain membiarkan erangan kecil lolos dari bibirnya dan dia bersumpah mendengar tawa renyah dari mulut Sasuke. Seketika itu juga ekspresi Sai mengeras.
"Ini tidak lucu!" gerutu Sai sambil menatap tajam pada Sasuke yang kini menatapnya, terkejut akan kemarahannya yang tiba-tiba.
"Pffftt," Sasuke menutup mulutnya dengan punggung tangannya, berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Anak ini bahkan tidak meyakinkan saat marah, pikir Sasuke. "Coba lebih keras," tantang Sasuke yang segera merasa kecewa saat pemuda di depannya itu tampak kehilangan nyalinya. Menghela nafas, Sasuke memutuskan sudah waktunya untuk masuk ke dalam kelas. Jelas dia tidak ingin ada guru yang kebetulan lewat melihatnya dalam posisi yang seperti ini.
"Aku juga merindukanmu, Sayang," seru Sasuke dengan nada yang dibuat-buat dan cukup keras – memastikan orang-orang yang ada disekitarnya bisa mendengar itu. Dengan gerakan yang sama sekali tidak lembut, dia meraih pinggang Sai, menyeretnya menuju kelas bersama dirinya – tanpa mempedulikan mata yang melihat mereka dan wajah pemuda pucat itu yang tampak sangat merah dan tertekan.
Sepertinya semenjak peristiwa kemarin, kebebasan hidup Sai benar-benar telah terenggut sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
.
.
to be continue
.
.
Review?
