Disclaimer: Boku no Hero Academia hanya milik Kōhei Horikoshi.
DILARANG KERAS MENJIPLAK ATAU MELAKUKAN TINDAKAN PLAGIARISME. SEMUA ITU SUDAH DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG.
Warning: Typo(s), alur lambat/cepat, bertele-tele, OOC, garing, kentang banget euuy.
Gender Switch. Itu artinya akan ada seorang transgender! *plak* maksudnya aka nada perubahan gender untuk mendukung berjalannya cerita.
Latar yang dipakai bukan kanon. No Quirk! Tetapi author sebenarnya juga agak bingung sih kalau enggak pakai Quirk. Bagaimana nasib Hagakure dan karakter lainnya yang melekat erat sama Quirk-nya masing-masing. *nangis di pojokkan*
Pair: Todoroki Shouto x female!Midoriya Izuku
.
.
"Midoriya-shoujo, kau harus pindah!"
Gadis itu, menggenggam erat ponselnya, seakan dengan begitu hatinya akan lebih tegar mendengar segala celotehan sang lawan bicara.
"T-tapi aku tidak bisa pergi begitu saja, All Might." Ia semakin mengencangkan cengkeraman benda modern itu, bahkan kalau bisa ia ingin meremukkannya saja menjadi berkeping-keping. Telinganya terasa panas setelah suara berat orang itu hinggap di otaknya, mengemisnya untuk bergegas pergi dari rumahnya.
"Apa yang kau khawatirkan, Nak? Kau akan jauh lebih baik—bahkan, lebih bahagia di sini. Kau bisa melanjutkan masa-masa SMA-mu. Dan itu artinya kau tidak perlu banting tulang untuk menyambung hidupmu, Midoriya."
Suaranya benar-benar lirih di ujung kalimat, setiap orang itu memanggil namanya. Ada perasaan lembut seperti kasih sayang yang terselip di dalamnya. Orang awam pun mungkin akan salah mengira jika mereka terbungkus dalam ikatan darah.
Midoriya menarik napas yang terasa menyakitkan di rongga hidungnya dan menjadi jarum ketika sampai di paru-paru. Suaranya mogok di tenggorokan, enggan untuk keluar dan enggan untuk berbicara pada orang ini. Meskipun demikian, ia seharusnya berterima kasih. All Might, pria itu memperhatikannya dan masih memayungi kehidupannya setelah bencana hadir.
"Entahlah. Aku merasa ini benar-benar sulit," tukas si ikal hijau. "Aku lahir dan dibesarkan di Hosu. Semua pengalaman dan ingatanku rasanya tidak akan bisa pindah dari sini. Gomen, aku tidak bisa, All Might."
Samar-samar ia mendengar suara erangan frustasi di ponselnya, menandakan si lawan bicara mulai putus asa.
"Kau hanya perlu menyesuaikan diri, Midoriya-shoujo. Kau hanya perlu sabar dari masa-masa sulitmu dan pengalaman pahitmu. Di Yuuei, kau akan menemukan banyak kesenangan dari kepenatanmu di Hosu. Dan jika kau rindu, kau bisa kembali ke Hosu kapan pun kau mau," papar All Might bersikukuh pada tekadnya membuat Midoriya angkat kaki dari kampung halamannya.
"Aku tahu kau menderita di sana." Kini, suaranya begitu pelan dan berbisik, mencari keberadaan titik sensitif di hatinya. "Apalagi setelah ibumu meninggal."
Tanpa sadar dan tanpa diinginkannya, matanya terasa berat. Pandangannya menjadi buram tiap detiknya dan ketika ia terpejam, air matanya turun menjilati pipi.
"Aku bingung. Sungguh, aku tidak tahu harus ke mana lagi aku pergi. Okasan sudah tiada dan aku seorang diri di sini," keluhnya terdengar hampa. "Dan sekarang kau memintaku untuk pergi dari sini."
"Dengarkan aku, Midoriya. Kau akan baik-baik di sini seperti yang selalu kukatakan. Kau akan aman di sini, karena aku yang menjamin kehidupanmu. Inko benar-benar sayang kepadamu dan sangat menginginkan kau hidup bahagia meskipun dia telah pergi. Mungkin ini terdengar seperti sebuah paksaan apalagi setelah mendiang ibumu meninggal, tapi ini semua demi kelangsungan hidupmu."
Midoriya sesenggukan menahan tangisnya biarpun sudah pecah. "Kenapa kau bisa seyakin itu, All Might? Kau bukan Tuhan yang bisa mengatur hidupku semudah itu. Bagaimana jika di sana aku semakin terpuruk? Pindah ke sekolah baru dan aku jadi bahan bulan-bulanan?" Midoriya mulai putus asa dengan suaranya yang serak dan bergetar. Pikirannya mulai diserbu dengan halusinasi negatif.
"Kau bukan orang yang pesimis." Hanya kalimat itu yang Midoriya Izuku dapatkan. "Kau bukan orang yang seperti itu. Kekacauan di kepalamu benar-benar harus dihentikan."
Tidak ada balasan yang berarti selain isakan penuh takut di bibir merah muda itu.
Ia benar-benar cemas dengan kehidupannya setelah ini, setelah ibunya meninggal beberapa hari lalu saat sebuah truk besar menabrak wanita tambun itu. Ia teramat lelah hari itu sehabis pulang sekolah dan terkejut ketika seorang petugas berseragam muncul di rumahnya, lalu memberitahu berita yang tidak ingin ia dengar perihal kecelakan ibunya. Dunianya berhenti dan jantungnya pun demikian. Ia langsung meraung dan menangis dengan kacau di depan polisi. Ia kira, ini cuma bunga tidur yang ironi. Namun, setiap kali ia berkedip, air matanya terus mengucur tak karuan, membanjiri hidupnya dengan haru biru.
Semuanya, segalanya, dan seluruhnya yang selalu bisa ia jabarkan warnanya lantas menjadi sebuah jepretan hitam-putih. Dunianya pun hancur dan kebas dari warna.
.
.
"Jadi, kita akan pergi ke Hosu?"
Lelaki bermata empat itu mengangguk semangat. "Tentu. Tensei-nii memberitahuku ada taman kota di Hosu yang baru saja dibuka. Tamannya benar-benar indah," tutur Iida sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Souka? Itu benar-benar hebat!" seru Uraraka begitu antusias mendengar liburan yang akan mereka isi. "Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk pergi ke Hosu."
"Uraraka-chan sepertinya sangat bersemangat sekali ya, kero. Jadi, kita berangkat kapan, Iida-chan?" ujar Asui yang diikuti anggukan pria berkepala burung gagak, Tokoyami.
"Bagaimana dengan hari Sabtu?" usul Kirishima, cowok berambut merah dengan gigi hiu, tapi justru membuatnya terlihat keren. Karena ia pikir, giginya itu benar-benar jantan sekali.
"Ide yang bagus Kirishima-kun! Kita bisa menginap di hotel tempat Tensei-nii bekerja," Iida berucap sambil mengepalkan jarinya semangat.
Sekitar enam orang mengerubungi meja Tokoyami, mediskusikan hal yang menarik tentang acara berkunjung ke Hosu. Pagi ini, Iida sang ketua kelas mengutarakan pendapatnya untuk mengadakan jalan-jalan sekelas ke kota kecil tersebut. Dengan embel-embel untuk memperkuat tali silaturahmi anatar warga kelas 1-A, pendapatnya tidak disetujui semua pihak. Dan di meja Tokoyami inilah orang-orang yang berkenan ikut karena tidak berhalangan.
"Dengan demikian, kita hanya pergi berenam saja?" kata Tokoyami menatap Iida, Uraraka, Kirishima, Asui, dan Yaoyorozu bergiliran—memastikan jika mereka semua benar-benar andil dalam acara ini.
"Tentu saja. Apa kau tidak lihat tadi Iida-san sudah menawarinya, tapi seluruhnya menolak." Yaoyorozu menghela napas. Ia pikir, sepertinya akan menyenangkan jika wisata ini dihadiri ramai-ramai.
"Tapi kita belum menawari Todoroki-chan dan Bakugou-chan," kata Asui sambil mencuri pandang ke belakang Tokoyami, tempat di mana meja Todoroki sang pangeran kelas berada.
"Ah, Bakugou-kun rasanya tidak akan mungkin mau," bisik Uraraka. "Lagi pula, rasanya mustahil jika orang itu ikut."
"Tapi tidak ada salahnya dicoba, 'kan?" tukas lelaki yang mengaku jantan itu. "Hoi, Bakugou! Kau ikut tidak pergi ke Hosu bareng kami?" teriaknya, tanpa perlu menghampirinya.
Kepala durian itu menoleh ke belakang sekilas sebelum melengos berbalik ke depan. "Mendokusai! Buang-buang waktu saja pergi ke tempat itu, dasar bodoh!" dengusnya.
"Dia sepertinya benar-benar tidak mengerti apa itu liburan," komentar Tokoyami melihat penolakan telak dari Bakugou.
"Todoroki-san, kau mau ikut bersama kami ke Hosu?" Yaoyorozu berjalan ke belakang, menatap kepala dua warna itu. Ia tahu, bukan hal yang mudah mengajak orang itu, bahkan untuk sekadar berbicara saja lantaran Todoroki sangat pendiam di kelas. Orang itu bisa saja melewati tiga tahunnya di SMA tanpa berbicara jika ia mau.
Pria yang diajak bicara itu menutup bukunya dalam diam dan menatap datar ke depan, semuanya tampak memandangnya penuh harap.
"Aku ikut."
"H-honto? Kau yakin, Todoroki?" Kirishima tergagap melihat jawaban pria kalem itu. Rasanya hampir tidak mungkin seorang Todoroki Shouto pergi bersenang-senang dengan rombongannya. Apa yang Yaoyorozu masukkan dalam kalimatnya sebenarnya?
"Astaga, ini benar-benar hebat! Jadi, kita bertambah satu orang lagi!" Uraraka yang kelewat energik itu memekik senang, sampai-sampai Tokoyami yang terkenal dengan profil tenangnya itu berdecak kesal.
.
.
Hari Sabtu yang cerah menyiangi kota Hosu, kota kecil nan padat yang terletak di pedalaman Jepang itu tak bisa dibilang kuno. Jauh dari ibukota dan hiruk-pikuk teknologi, bukan artinya kota itu lekang dari sentuhan modern. Gedung-gedung bertingkat yang berlomba menyentuh pucuk langit membuat pelancong mana pun terkesima dalam sekali tatap. Papan-papan iklan yang bertengger di atap bangunan menambah kesan futuristik di sini.
Di pusat kota Hosu, di segala kejadian mungkin terjadi di kota kecil ini, terjadi pertumpahan pejalan kaki yang memenuhi jalan, trotoar, dan seisi kota ini. Benar-benar padat dan sibuk. Di akhir pekan, manusia semakin merapat di sini. Ditambah lagi, peresmian taman umum kota Hosu yang baru dibuka tempo hari.
Perempuan yang terbalut jaket berjalan di antara lautan manusia. Pikirannya kosong dalam langkah kakinya, tapi tidak terombang-ambing dalam arus hilir mudik pejalan kaki.
Setidaknya sudah dua hari ia berkeliling mencari sebuah tempat. Ya, tempat yang menawarkan lowongan pekerjaan untuknya. Pekerjaan apa pun, akan ia terima asalkan itu legal dan dapat menambal keuangannya.
Hidup sendirian itu tidak mudah, pikir Midoriya. Berkelana kesana kemari, menjadi seorang penyintas yang mencari sumber mata air kehidupan. Hingga kakinya membawa ke sebuah toko yang menjual berbagai pernak-pernik buah tangan dan cendera mata.
"Baiklah, aku pasti bisa!" serunya menyemangati dirinya sendiri.
"Maaf, tapi aku tidak mempekerjakan gadis di bawah umur," ucap pemilik toko saat Midoriya meminta pekerjaan kosong untuknya. "Memang, pekerjaan kasir itu mudah. Namun, aku tidak ingin ditangkap karena mempekerjakan anak kecil."
Seperti itulah ucapan pahit yang Midoriya dengar. Ini sudah yang kesepuluh kalinya ia gagal, dalam satu hari ini. Ia kembali berjalan menyusuri trotoar yang ramai. Sambil menendang kerikil di dekatnya, ia bergumam, "Apa salahnya jika umurku lima belas tahun?"
Midoriya menendang kerikil yang lebih besar dengan penuh amarah. Batu itu terpental dan headshot! Batu itu mengenai tepat tengkorak pemuda di depannya.
"Baka! Siapa yang melempar kerikil ini?" omel pemuda itu mengaduh kesakitan dan menoleh ke belakang, menemukan gadis imut berkuncir satu yang tampak berkeringat dingin.
"E-eh? Shindou-senpai?" cetus Midoriya terkejut.
Pria tampan di hadapannya ini adalah kakak kelasnya, pria yang disukainya, dan korban dari kerikilnya. Ia jadi kebingungan di tempat dan kian gugup saat mata hitam itu menembak fokus ke arahnya.
"G-gomen, aku sungguh tidak sengaja!"
"Midoriya? Kau Midoriya?" selidik Shindou dengan alis terangkat. "Sedang apa kau di sini?"
"Hiyaa … terlalu dekat!" jeritnya pelan. Tiba-tiba saja wajahnya terasa panas. Refkles, ia berjalan mundur dengan teratur. Oh, wajah itu bukan hal yang baik jika dipandang dari jarak dekat. Kedua lengannya terangkat berusaha menyampul mukanya yang memerah seperti tomat. Pasti terlihat memalukan!
Sebuah senyum mengembang di bibir Shindou. "Aku tidak apa-apa. Santai saja," ujarnya. "Kau ke sini ingin pergi taman kota Hosu, ya?"
Midoriya menarik kepalanya ke atas, memandang kakak kelasnya lurus, mengabaikan setiap manusia yang melewatinya. "B-bukan—eh, iya!"
"Apa?"
"Iya. A-aku ingin ke sana," dustanya. Midoriya melupakan tujuannnya keluar rumah: mencari pekerjaan. Ia ragu, antara mencari pekerjaan atau mungkin pergi bersama pria ini ke taman kota Hosu yang sebenarnya ia tidak berminat. Hei, tapi peluang pergi dengan Shindou sangat kecil. Mungkin inilah kesempatannya!
"S-Shindou-senpai ingin pergi ke taman kota Hosu?" Midoriya melirik asal sambil menggaruk pipinya.
Shindou mengangguk. "Iya. Mau bareng?" tawarnya.
Di ruang hatinya, Midoriya menjerit kesenangan. Memang itu yang diinginkannya. Urusan pekerjaan bisa nanti, pikirnya ceroboh.
Akhrinya mereka berdua pun pergi bersama menuju taman kota Hosu dengan jalan kaki. Jaraknya tidak terlalu jauh. Dengan kecepatan berjalan kaki pada umunya, mungkin waktu lima belas menit adalah minimal waktu tempuh.
Di antara mereka berdua, tak ada yang berniat membuka obrolan. Sesekali, Midoriya mencuri pandang lewat ekor matanya yang malah membuatnya salah tingkah sendiri. Laki-laki ini sangatlah tampan, pantas saja teman sekelasnya memujanya, termasuk dia sendiri. Shindou benar-benar mengingatkannya pada teman masa kecilnya, hanya saja orang itu sangat temperamental. Dan orang itu juga pernah menjadi sasaran asmara Midoriya. Tapi itu dulu, sebelum orang itu pindah ke daerah Yuuei.
"Aku tahu jalan tembusannya. Mau ikut?" Shindou akhirnya membuka mulut dan direspons anggukan dari cewek di sebelahnya.
Ia menarik tangan Midoriya sepihak, membawanya melangkah lebih cepat dan berjalan memasuki sebuah gang kecil yang terjepit di antara dua gedung. Begitu sempit dan kumuh. Shindou tidak salah kan mengajaknya kemari? Ini cuma jalan tikus.
"Shindou-senpai, kita mau ke mana?" tegur Midoriya merasa tidak nyaman melewati gang kecil itu. Roknya sempat tersangkut sesuatu dan jaketnya menyinggung sisi bangunan yang kotor, meninggalkan noda di jaket kesayangannya. "K-kita mau ke taman Hosu, 'kan?"
Shindou berbalik dan tersenyum ke arah Midoriya. Akan tetapi, senyum itu tidak berhasil membiusnya menjadi gugup. Malah membuatnya takut.
"Sangat kebetulan di tempat ini aku bertemu perempuan manis sepertimu."
"M-maksud Shindou-senpai?"
Itu terjadi cepat sekali. Tangan kekar pemuda itu meremas bahu Midoriya sampai si empu merintih dan membantingnya ke tembok. Hanya dalam beberapa detik berlalu, Midoriya terpojok dan ia terlalu terkejut mencerna apa yang terjadi. Pupilnya mengecil.
"Shindou-senpai, s-sakit," desis Midoriya. Punggungnya terasa nyeri karena permukaan dinding yang kasar menghantamnya.
"Ini belum seberapa. Bagaimana kalau aku memberimu rasa sakit yang nikmat?" bisiknya pelan, tepat di telinga.
Midoriya merinding dan tubuhnya terasa lemas, ingin merosot, tapi orang itu menahannya.
Ia merasa takut sekarang. Shindou mengunci pergerakan kakinya dengan kaki miliknya yang besar dan panjang. Tangan lebarnya juga menutup mulut Midoriya dengan kencang. Matanya mulai berkaca-kaca ketika pria ini mulai membuka risleting celananya. Netra hijaunya semakin membola saat salah satu tangannya mulai merangsek masuk ke dalam roknya. Merabanya perlahan.
Batin Midoriya menangis. Air matanya tumpah ruah, ia ingin menjerit, tapi tenaga orang ini seperti monster. Benar-benar kuat. Pria yang dipuja seluruh teman perempuannya, terkuak sudah siapa Shindou sebenarnya.
Ia menyesal. Sangat. Ini karena ulahnya sendiri.
Kepala Midoriya bergerak cepat, berusaha menyingkirkan tangan itu dari mulutnya. Paru-parunya mulai merindukan oksigen sekarang. Ia harus melakukan sesuatu dan tidak akan berakhir dalam keadaan mesum seperti ini.
BRAK!
Sebatang kayu besar melayang mengenai bahu Shindou sampai tersungkur, tapi itu juga berarti Midoriya juga merasakan bagaimana batang kayu itu mendepak tubuhnya. Sekarang rasa sakitnya bertambah. Ia meringis kesakitan, tapi tak apalah, sekarang ia bisa menghirup udara memenuhi kapasitas pernapasannya.
Dari ujung gang, ia bisa melihat seorang pria. Ia duga jika orang itu yang melempar batang kayu itu. Buru-buru ia berlari dengan terseok meninggalkan mantan pria yang disukainya.
"Terima kasih sudah menolongku!" ucap Midoriya dengan napas terengah. Penampilannya kacau saat ini. "A-aku … sugguhan berterima kasih!" ulangnya, dengan wajah menahan tangis.
"Kalau begitu, segeralah pergi dari sini."
Midoriya buru-buru mengekorinya. Orang itu menyelamatkan hidupnya. Ingin rasanya ia mengucapkan terima kasih sepanjang hidupnya.
.
.
Kota Hosu memang ramai di akhir pekan. Mereka satu dari sekian gerombolan yang mempunyai destinasi yang sama di kota ini. Lalu lalang pejalan kaki serta deru mobil yang datang dari punggung jalan, membuat di sini terasa sesak.
Todoroki Shouto, pria yang jarang sekali menukarkan hari liburnya untuk bersenang-senang kini tengah sendirian di antara kerumunan. Keenam temannya menghilang—lebih tepatnya ia terlepas dari rombongannya. Sebelumnya mereka berdesak dan saat ia tinggal hanya untuk mengerjap, orang di depannya menjadi orang asing.
"K-kau seperti orang tersesat," cicit suara sopran di belakangnya.
Baiklah, sekarang ia tidak sendiri. Sekitar sepuluh menit yang lalu, ia memutuskan untuk pergi ke taman kota Hosu secara mandiri lewat fitur GPS di ponselnya. Kakinya menjadi macet di sebuah gang kecil, melihat dua siluet makhluk dengan tindak-tanduk mencurigakan. Maka, setelah adegan heroik barusan, ia mendapat pengikut. Gadis manis berambut hijau ini mengikutinya seperti anak ayam dan induk.
"Kenapa kau mengikutiku?" interupsi Todoroki, menoleh ke belakang. "Hentikan."
"A-aku tidak mengikutimu. Taman kota Hosu baru saja dibuka, dan aku ingin pergi ke sana," kata Midoriya. "Kupikir kau juga ingin pergi ke sana, karena seluruh orang ingin melihat patung kuda raksasa di taman baru itu."
Sepasang bola mata biner itu tidak bereaksi. "Berhenti mengikuti. Menjauhlah!" usir Todoroki. Ia pun kembali berjalan mengikuti peta di ponselnya. Sesekali ia bergeming, memahami patokan di sekitar jalanan Hosu.
Gadis berkuncir satu bergerak pelan dan sedikit tertatih. Peristiwa kriminal tadi membuat bagian belakang tubuhnya terasa sakit. Sebaiknya, ia pulang saat ini juga dan mecari pekerjaan ketika lebih baik. Sekonyong-konyong, pahlawan kecilnya ini muncul dan ia merasa … harus membalas kebaikannya.
"A-akan kuantar ke taman Hosu!" serunya dengan wajah tertunduk.
Sambil menoleh, tatapannya senantiasa datar pada orang ini. "Aku tidak meminta. Lebih kau pulang. Punggungmu pasti terluka dan obatilah."
"Itu soal gampang, kok." Midoriya berjalan memutus jarak. "Tuan sudah menolongku, sekarang biarkan aku yang mengantarkanmu ke taman Hosu."
Masih dalam bentukan datar, Todoroki sebenarnya tidak keberatan mengambil uluran bantuan dari gadis ini. Bisa saja gadis ini mengenal atau melihat ke arah mana teman-temannya itu bergerak di penjuru kota.
"Baiklah. Antar aku ke hotel Butsuyama. Kau pasti orang pribumi, 'kan?"
Dari pada sibuk-sibuk berjalan di bawah terik mentari yang menyengat, lebih baik ia langsung pergi ke hotel dan beristirahat. Lagi pula, taman kota Hosu pasti ramai dan hari ini pun baru tiba di kota ini. Seharusnya ia mengembalikan energinya bersama ranjang, bukan dengan melempar batang kayu ke seorang penjahat kelamin.
"H-hotel Butsuyama?"
"Hn. Ada apa?" Todoroki membuka ponselnya, memberikan pesan singkat pada yang lain jika tidak perlu repot mencarinya. Ia akan istirahat di sana.
"B-bukan masalah. Mari kuantar," ucap Midoriya sopan.
Tanpa pikir panjang, perempuan itu segera mengajak laki-laki itu ke tempat yang dituju. Hotel Butsuyama bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Rongga kepala Midoriya mulai dipenuhi dengan prasangka tidak enak. Ia nyaris saja dicabuli dengan Shindou di sebuah gang sempit tak terjamah manusia dan akhrinya ia diselamatkan pria ini. Lalu, pria ini memintanya mengajak ke sebuah hotel. Apa ini yang dinamakan keluar dari kandang harimau dan masuk ke kandang buaya?
Tangannya langsung meremas ikal hijaunya. Tidak! Tidak boleh berpikir seperti itu.
"Wah, toko es krim!"
Kepala lumut itu menoleh ke arah sumber suara yang terperangah pada sebuah gerai es krim di sisi kanannya.
"T-Tuan mau es krim?" tawar Midoriya menunjuk toko dengan cat merah muda itu. "Aku belikan, ya?"
Belum sempat pemuda dengan luka di kiri wajahnya itu menolak, Midoriya langsung menyusup masuk ke sana. Todoroki hanya bisa menunggu pasrah. Kepalanya mengangkat kesal ketika gadis itu membawa dua buah es krim di tangannya.
"G-gomen, aku langsung pergi tanpa perizinan." Midoriya menyodorkan salah satu es krimnya. "Kau harus coba es krim di Hosu. Benar-benar lezat. Aku membelikanmu rasa cokelat, karena tidak tahu kau suka rasa apa."
Todoroki menatap es krim itu tanpa minat.
"E-eh? Tidak suka es krim, ya?"
Tangannya pun langsung meraihnya. "Aku tidak suka es krim. Tapi tidak apalah," ujarnya.
"Lalu, Tuan tidak memakannya? Nanti bisa cair."
"Itu tidak penting," balas Todoroki. "Jadi, hotel itu sudah dekat, ya?"
Midoriya yang sedang asyik menjilati makanan manis itu menepuk jidatnya. "Ah, hampir saja lupa. Ayo, tempatnya dekat sekali, kok."
Keningnya mengernyit bingung dan mata itu menerawang. Ia menatap perempuan yang tidak ia ketahui namanya ini dengan pandangan tajam. Ada kecurigaan di batinnya saat orang itu terdiam dan sekalinya bergerak, gerakannya terlihat gugup.
Todoroki melepas napas, memaklumi apa yang dilakukan manusia ini. Sekarang ia malah tiba di taman kota Hosu. Duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap air mancur raksasa. Kadang-kadang sekali, cipratan air itu mengenainya walaupun kursi berada jauh.
"Jadi, kenapa kau membawaku kemari?"
Midoriya menoleh, memandang Todoroki yang justru melempar pandang ke langit biru. Matahari berada tepat di atas kepala, namun awan putih laksana kapas itu memberi tempat teduh di bawahnya.
"Ah, itu … aku juga tidak tahu," bisiknya. "Tiba-tiba saja aku ingin mengajak Tuan ke sini. Tamannya indah, 'kan?" katanya terdengar kaku.
Minat untuk menatap taman ini tidak ada dalam jadwalnya. Semestinya ia sudah tertidur di atas ranjang, meminum jus jeruk, dan menikmati AC yang sejuk. Semestinya ia tidak bertemu gadis aneh yang menculiknya ini. Oke, ia akui ia memang tampan dan setiap anak dari kaum hawa pasti akan meliriknya dua kali. Namun, seharusnya gadis ini bisa lebih pintar dengan tidak memberinya tur yang tidak diinginkannya jika gadis itu benar-benar ingin berlama-lama dengannya. Todoroki menenggak kaleng sodanya hingga tandas.
"Cukup bermain-mainnya!" desaknya serius. "Apa yang kau mau dari mengajakku ke sini, hah?"
"T-tunggu dulu, Tuan. Aku tidak bermaksud begitu."
Todoroki kembali membuang napas kesal yang tertahan. Ia harus bersabar menghadapi tipe orang berjenis ini. Baru kali ini ada orang yang nyaris saja membuatnya, ugh, sebal.
"Akan kuikuti semua kemauanmu, tapi setelah itu antar aku ke hotel," titah Todoroki.
Midoriya mengangguk pelan sambil menatapnya takut. Ia hanya sedang kesepian saat ini. Ramai di luar belum tentu ramai di dalam bukan? Mungkin cowok ini bisa membuat rasa kesepiannya menghilang. Setelah melewati beberapi hari terakhir yang terasa melelahkan, hari ini, tepat setelah bertemu dengan laki-laki dengan rambut aneh itu, ia merasa … lebih baik.
Mata hijaunya yang bulat melirik melewati ekor matanya. Ia bisa melihat wajah datar itu selalu ia pakai di mukanya. Dan luka di sisi kirinya itu membuat atensinya teralih. Orang ini sepertinya tidak biasa.
"Apa yang kaulihat?"
Jadi malu ketahuan mengintip orang secara diam-diam. Jantungnya berdegup cepat dan pipinya memanas. Ada apa ini?
"K-kukira tamannya ramai," komentarnya mengalihkan isu.
"Memang ramai."
Wajah dengan noda bekas jerawat itu menongok ke sumber suara berat itu dan kembali melihat air mancur. "Menurutku tidak."
"Sebenarnya apa yang membuatmu berhubungan dengan pria itu?" celetuk Todoroki tiba-tiba, mengungkit kejadian beberapa jam silam.
Ditanya seperti itu membuat Midoriya Izuku kebingungan. Sebenarnya siapa pun juga tidak ingin diperlakukan hal mesum seperti itu. "A-aku juga tidak tahu," jawabnya asal.
"Kukira kau mengenal pria itu. Soalnya aku melihatmu berbicara dengannya."
"Hee? Kau sudah mengikutiku sejak lama dong?" Midoriya membuat wajah tidak percaya.
"Aku berada di belakangmu saat itu."
"Aku tidak menyadarinya," gumamnya.
"Lalu kau diseret menuju gang kecil itu," imbuh Todoroki.
"Ah, anu … s-sebenarnya aku mengenal orang itu." Midoriya bergerak gelisah di kursinya. Tatapan lekat Todoroki teramat mengusiknya. "Dia kakak kelasku."
Karena melihat Todoroki yang membisu, Midoiya pun melanjutkan omongannya. "Aku menyukainya. Dia bilang ingin pergi ke taman kota Hosu dan dia mengajakku. K-kupikir ini kesempatan bagus berdua dengannya. T-tapi ternyata dia malah …."
"Begitu, ya."
Midoriya menjadi dongkol dan malu atas kecerobohannya sendiri. Mana pula ia mengatakan sejujurnya pada orang asing di sebelahnya ini. Kepalanya tertunduk lesu, menekuri jarinya yang bertaut di atas paha.
"Pada akhirnya kau justru mengajakku ke taman kota Hosu," simpul Todoroki.
"T-tidak seperti itu." Midoriya melambaikan kedua tangannya cepat. "Taman ini benar-benar indah karena baru saja diresmikan. Tidak ada salahnya berbagi keindahan tempat ini," pungkasnya. Semoga saja suaranya tidak terdengar aneh.
"Kau gadis yang aneh."
Di detik itu juga, Midoriya terasa tersambar petir dan membuatnya menjadi batu. Haduh, bahkan orang asing pun mencapnya aneh. Rasanya ia ingin bumi menelannya saja saat itu juga.
"Kau benar-benar menyukai kakak kelasmu itu sampai rela melakukan apa pun, ya?" tebak Todoroki sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mendesah lelah.
"B-bukan. Kau salah paham. Aku hanya suka kepadanya, bukan berarti aku merelakan asetku hilang di tangannya." Rasanya terdengar saat ia ucapkan.
Tiba-tiba saja Todoroki berpaling ke arahnya, menatap zamrud yang berhabitat di mata perempuan ini.
Midoriya terkesiap dan hampir saja terjengkang melihat reaksi cepat Todoroki. "Terlalu dekat!" jeritnya pelan dengan wajah memerah. Ia menggeser duduknya teratur, membuka distansi di antaranya.
"T-Tuan, es krimmu mencair."
Lamunan Todoroki buyar dan ia segera tersadar. Ia menegakkan posisi duduknya dan meraih sesuatu yang membasahi celananya. Sebuah bungkus es krim, dan di dalamnya sudah mencair karena sinar matahari yang seakan bisa menembus tulang.
"Kenapa es krimnya tidak kau buang saja?"
"Tidak."
"Lho, kenapa? Bukankah kaubilang tidak suka es krim?" selidik Midoriya penasaran. Gadis itu memiringkan kepalanya imut, memaksa Todoroki untuk membuang wajahnya sembarangan.
"Aku tidak enak kepadamu."
"Kepadaku? K-kenapa?"
"Karena ini es krim darimu."
Hari ini, degup jantung Midoriya berada pada kulminasi dengan debaran yang cepat. Dadanya bisa meledak dengan wajah polos dan ucapan orang ini tidak selaras. Makhluk macam apa sebenarnya orang ini?!
Pukul tiga sore, di depan hotel mewah nan modern, Midoriya berdiri bersama seorang yang baru saja akrab dengannya. Ia bahkan sampai melupakan dalam kesedihan yang melucutinya.
Setelah beberapa jam terakhir, ia menghabiskan waktu bersama dengan laki-laki ini. Ini terasa menyenangkan. Ia ingin melakukannya lagi, yah biarpun laki-laki itu kelewat pendiam dan agak kaku. Namun, sosok itu benar-benar menarik. Heh, apa yang dipikirkannya!
"Sudah sampai. Senang rasanya bisa berjalan-jalan denganmu, Tuan!" seru Midoriya bersemangat.
"Aku sebaya denganmu."
"Eh? Honto? Wah, maaf aku tidak tahu," ujarnya dengan irama yang cepat. "Tapi terima kasih sudah bersedia menemaniku jalan-jalan hari ini. Aku benar-benar senang."
Todoroki setia dengan wajah tanpa ekspresinya.
"Aku punya sesuatu untukmu. Aku tidak sengaja tadi membelinya saat kita melewati toko suvenir!" serunya. Ia mengeluarkan dua buah gantungan kunci berbentuk gembok dan kunci. "Kami, penduduk kota Hosu, menganggap simbol gembok dan kunci sebagai lambang sebuah ikatan. Meskipun kita baru kenal, aku menganggapmu sebagai sahabatku."
"Dua-duanya untukku?" tanya Todoroki polos sambil melihat-lihat gantungan berbentuk gembok.
"Hee, aku juga mau satu," rengek Midoriya. "Kapan-kapan jika kau berkunjung kemari, aku akan mengajakmu ke taman gembok dan kunci."
"Nama yang aneh," komentar Todoroki.
"Ah, tapi pasti kau akan terkejut melihatnya. Ah, hampir saja aku lupa!" pekiknya. "Aku Midoriya Izuku. Salam kenal!"
Laki-laki itu hanya memandang uluran tangan Izuku tanpa bermaksud menjabatnya. "Todoroki. Panggil saja begitu," ucapnya sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
Midoriya pun menarik tangannya kaku. Sepertinya Todoroki tidak menyukai kontak fisik dengan perempuan, ya?
"Kalau begitu, sampai jumpa!" Midoriya pun tersenyum, melambaikan tangan, dan berbalik.
Ia berjalan dengan dadanya terasa hidup. Rusuknya bergetar setiap mendegar gebuan jantungnya. Seluruh tubuhnya terasa ringan. Perasaan baru kemarin hidupnya porak poranda. Dan sekarang, dinamika baru membuatnya bangkit.
Ah, langit begitu cerah hari ini. Begitu banyak yang terjadi sampai ia ingin lupa, melupakan apa pun yang membuatnya gundah.
Todoroki. Nama lelaki itu. Akan ia ingat nama itu.
.
.
.
"Halo?"
"Ini aku, Midoriya Izuku."
"Ah, Midoriya-shoujo. Ada hal apa sampai kau tiba-tiba menghubungiku."
"Soal itu … aku berubah pikiran."
"Maksudmu?"
"Aku menerima tawaranmu. Pindah ke Yuuei."
.
.
TBC
A/N:
Hula-hula semuanya. Fic baru untuk pasangan yang baru saja author restui! Hueee. *Nangis Bombay*
Sejujurnya, ide ini muncul belum lama setelah nonton BnHA season 3. Terus karena author emang tipikal orang yang gak sabaran dan menumpuk fandom di atas segalanya. Dengan gontai, author membuka situs buat baca manga online. Hehehe. Pas dibaca, kayaknya adegan TodoDeku mulai jarang keluar(?). Duh, padahal author berharap banget si Deku yang imoet-polos itu jadi Canon sama babang Shouto yang ikemen cool-hot kayak dispenser. Tapi ya sudahlah, fans mah bisa apa atuh :')
Author mikir kayaknya ini fic bakal sampai lima chapter lebih. Masih perkiraan lho ya. Semoga tidak ada halangan dan feel TodoDeku masih kerasa, jadi bisa meramaikan fandom ini. Holee!
Btw, ada yang ikut event yang digarap Shirocchin? #TodoDekuChronicleFiesta. Author pengin banget ikut sebenarnya, tapi lagi gak ada ide nih. :( Yang punya ide, boleh dong di PM *ngarep, ditimpuk pakai batu*
