Disclaimer

Naruto milik Masashi Kishimoto

DLDR

Aku Pulang

Prolog

.

.

.

.

.

Kepalaku sakit dan terasa sangat berat. Dan wangi ini, rumah sakit?! Sejenak aku mencoba membuka mata tetapi kepalaku serasa mau pecah tidak mau berkompromi. Baiklah, tarik nafas dan buang perlahan.

Sinar terang matahari yang melewati jendela menyambutku. Jam berapa ini? Sepertinya siang hari.

"Sasuke… Sasuke, kau bangun sayang?! Syukurlah…"

Wajah ibuku terlihat sangat cemas. Wanita yang menyandang marga Uchiha itu memelukku erat.

"Ibu. Berat…" erangku.

"Ku pikir aku akan kehilangan anak bungsuku, kau tau?!" ibu melepaskanku dan menyeka wajahnya yang berlinang air mata.

"Apa yang kau pikirkan saat menyalakan arang di kamar tertutup hah Sasuke? Kau ingin bunuh diri?" kali ini ia marah, tipikal ibu-ibu, mengkhawatirkan anaknya lalu memarahi mereka.

Aku mencoba mengingat apa yang kulakukan hingga aku bisa terbaring di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit. Rumah sakit daerah kalau aku tidak salah menebak.

"Memanggang mochi," jawabku pelan.

"Hah? Mochi? Untuk apa kau memanggang mochi! Dengan arang pula! Kalau saja tetangga sebelah tidak menyadari alarm kebakaran dan sumber apinya ada di kamarmu mungkin kau sudah bersama Kakek Madara di alam sana dasar anak aneh!" ucap ibu sambil mengupas apel.

"Sudah ibu peringatkan sebelumnya Sasuke! Meski kau sedang ditugaskan diluar kota, sebaiknya kau pulang pergi saja naik mobil. Daripada harus menyewa apartment kecil seperti itu!"

Benar juga. Aku yang mendapatkan kiriman mochi kankoro dari klien tanpa pikir panjang langsung memanggangnya dengan tungku arang sederhana milik tetangga sebelah kamar. Saat itu, rasanya ada sesuatu yang kupikirkan dengan sangat serius sehingga aku melupakan mochi itu dan menyebabkan kebakaran. Tapi apa?!

"Syukurlah kau hanya pingsan sebentar karena kebanyakan menghirup karbon monoksida!" ibu menyerahkan potongan apel yang sudah dikupasnya menyerupai kelinci, beliau masih saja memperlakukanku seperti anak kecil padahal aku sendiri sudah punya anak.

Ngomong-ngomong soal anak, dimana Sarada, putri pertamaku itu? Bukankah harusnya dia berada disini, menjenguk papanya yang sedang dirawat? Ah, pasti dia sedang ada di sekolah. Dan istriku, mana dia?!

"Ibu, kau sendirian menjagaku? Mana Sakura?"

Ibu menghentikan jemarinya yang sedang menyentuh layar ponselnya. Kemungkinan besar mengabari kakakku, Itachi, dan ayah bahwa aku telah siuman. Ibu menatapku dengan pandangan terkejut yang tidak ditutup-tutupi.

"Mana Sakura?" ucapnya malah membeo kata-kataku.

"Iya. Mana istriku bu? Mana Uchiha Sakura, menantu ibu?"

.

.

.

.

.

Akhirnya aku dipindahkan kembali bertugas di kantor pusat di Konoha. Karena kecelakaan itu proyek yang tadinya kutangani dengan berat hati harus aku serahkan pada kakakku Itachi. Padahal ini kesempatan emas untuk diriku membuktikan pada ayah bahwa aku bisa menjalankan proyek di cabang kota sebelah.

Setelah apa yang terjadi padaku. Aku mendapatkan pekerjaan lebih sedikit dari biasanya. Karena itu aku bisa pulang lebih cepat. Keluarga serta para kolega di kantor tidak ingin membebani kesehatanku yang belum sepenuhnya pulih.

"Aku pulang…"

Tidak ada orang di rumah. Sepertinya Sarada masih ada les tambahan. Sedangkan Sakura, dia dokter anak di Rumah Sakit Ibu dan Anak Konoha, tidak akan pulang jam lima sore seperti pegawai kantoran. Sebaiknya aku menyiapkan makan malam sekarang. Jadi saat mereka pulang kami akan langsung makan malam.

Shaaa…

Sial! Hujan! Ah, ada jemuran di halaman samping. Ck, sudah ku katakan berkali-kali pada jangan meninggalkan jemuran pakaiannya diluar. Syukurlah aku pulang lebih cepat jadi pakaian-pakaian ini terselamatkan. Kare sudah matang. Lebih baik aku segera melipat pakaian ini. Jika didiamkan lama akan sulit untuk menyetrikanya karena kumal.

Eh? Bra berenda baru? Aku tidak pernah melihat Sakura memakai ini. Kapan dia membelinya?

"Waaaa… Apa yang kau lakukan dengan pakaian dalam kami dasar pencuri mesum!"

"Sarada kau sudah pulang?" apa-apan dia mengira papanya sendiri sebagai pencuri pakaian dalam.

"Papa?" Sarada meletakkan tas sekolahnya diatas sofa, "kenapa seenaknya masuk ke rumah orang?"

"Ini rumahku Sarada. Aku berhak masuk kapanpun aku mau," lelucon macam apa yang dilontarkan anakku ini, apa dia sedang latihan drama di sekolah?!

"Ini bukan rumahmu lagi…" Sarada melipat tangannya didepan dada, "ini rumah Mama!" ujarnya dengan nada yang mengintimidasi. Pandangan matanya jelas menyiratkan rasa tidak suka kepadaku.

"Lelucon apa yang sedang kau siapkan hingga menyelinap kemari?" tanya Sarada. Bukankah harusnya aku yang bertanya guyonan apa ini sebenarnya kepada remaja didepanku ini?!

"Rumah Mamamu ya rumah Papamu Sarada!" aku meninggikan suaraku tanpa sadar, "Dasar anak aneh…" aku menggelengkan kepala tidak percaya atas ketidaksopanan yang Sarada ucapkan sedari tadi.

"Papa ini tidak lucu! Kau memberikan rumah ini kepada Mama sebagai kompensasi perceraian kalian! Dan kau sudah meninggalkan rumah ini lima tahun yang lalu!" Sarada berteriak dan sekarang gadis dengan rambut hitam khas Uchiha berkacak pinggang dengan marah.

Tiba-tiba aku teringat perkataan dokter itu. Bahwa aku menderita amnesia ringan. Ingatanku hilang. Tidak semua. Hanya beberapa tahun belakangan. Dan hanya pada hal-hal tertentu yang bersifat pribadi. Yang sepertinya tanpaku sadari didalam alam bawah sadarku, aku sangat ingin melupakan dan menghapusnya. Seperti pasal berpisahnya diriku dengan cinta pertamaku.

Ibu sudah memberitahu tentang ini dan memaksaku tinggal di rumah besar Uchiha. Benar juga, tadi pagi aku bahkan berangkat ke kantor dari sana. Tapi saat pulang, sepertinya tubuhku bergerak sendiri ke rumah ini. Pikiranku juga, tanpa sadar membawaku kemari. Dan rupanya aku masih menyimpan kunci rumah ini dengan baik. Aku tidak mengembalikan kunci bagianku kepada Sakura.

"Maafkan aku. Aku… lupa…" gumamku pelan tetapi masih bisa didengar Sarada dengan jelas.

"Lupa? Bagaimana bisa? Kau tidak pernah menginjakkan kaki ke sini dalam lima tahun terakhir! Bahkan kita selalu bertemu ditempat yang netral saat ulangtahunku!" Sarada tetap pada tinggi suara yang sama. Tentu saja dia kesal dengan keberadaanku sekarang.

"Sarada… Beberapa hari yang lalu Papa mengalami kecelakaan. Sebagian memori dalam otak Papa terhapus begitu saja…" aku mencabut kabel setrika, semua pakaian mereka sudah terlipat dengan rapi. Pantas saja tidak ada satupun bajuku.

"Hah? Bagaimana bisa?" kali ini anakku duduk dan merendahkan nada bicaranya. Aku menjelaskan tentang mochi dan kebakaran. Aku kelepasan bicara bahwa aku memikirkan sesuatu yang sangat penting, sangat amat penting sampai aku dengan cerobohnya membuat kamarku sendiri terbakar. Aku tau itu sangat penting tapi aku tidak dapat mengingatnya.

"Tidak mungkin terhapus. Kenangan itu ada di otak Papa, hanya saja Papa tidak bisa memunculkannya sekarang. Mungkin jika trigger-nya tepat akan ingat lagi secara bertahap…" Sarada memandangku dengan cemas.

"Ya. Dokter juga berkata demikian. Ah, aku harus mencatat apa yang aku ingat, dokter menyuruhku…" ku keluarkan notes kecil dan mulai mencatat kejadian hari ini.

"Papa, aku tau kau sudah memasak makan malam. Tapi…" Sarada menggulirkan manik hitamnya kearah jam dinding. Sudah hampir jam tujuh malam. Aku mengerti. Sakura akan pulang dan tidak masuk akal baginya melihat aku berada disini.

Tunggu. Mengapa aku dan Sakura bisa sampai berpisah?

"Sarada… Apa kau tau kenapa… Ehem… Kenapa… Papa dan Mama bisa…"

"Berpisah?" potong Sarada. Rupanya anak ini cepat mengerti, dia cerdas seperti Mamanya. "Kau pergi dari rumah saat aku berumur tujuh tahun. Tentu saja aku tidak mengetahui alasannya. Mama tidak pernah membahas hal itu. Yeah, tentu saja aku berusaha menanyakan pada Mama. Tapi Mama selalu menjawab aku terlalu kecil untuk mengerti. Padahal aku juga butuh penjelasan…"

Sarada memainkan jari-jarinya dengan gugup. Aku tau anakku. Aku yakin sebenarnya dia punya teori sendiri meski Sakura tidak memberinya jawaban yang jelas.

"Menurut pengamatanmu?" tanyaku hati-hati.

Sarada memandangku beberapa detik kemudian membuang mukanya kearah lain.

"Sudah malam Papa. Pulanglah. Lagi pula sebentar lagi Paman Gaara akan datang. Dia berjanji akan makan malam bersama kami malam ini…" tutur Sarada dingin.

"Gaara? Si Panda Merah itu?" ucapku terkejut.

"Aku mengerti. Sejak dulu dia memang sudah mengincar Sakura! Jadi dia yang menghancurkan rumahtangga kami?" tanganku mengepal, dadaku terasa sesak karena emosi yang tiba-tiba datang.

"Apa? Tidak! Mengapa kau bisa berpikir seperti itu? Mama baru mulai berkencan lagi dengan pria setahun yang lalu! Tidak seperti Papa yang baru seminggu berpisah dengan Mama sudah tinggal bersama wanita lain!" dada Sarada naik turun menahan amarahnya.

"Aku? Tinggal dengan wanita lain?" yang dikatakan Sarada itu mustahil, aku sangat mencintai Sakura dan Sarada, tidak mungkin aku…

"Jangan katakan bahwa kau lupa tempat tinggalmu Papa?" Sarada mengambil ponselnya dari dalam tas.

"Kau pernah memberiku alamatmu yang sekarang. Akan ku forward ke e-mail-mu,"

"Bisa tuliskan dikertas? Ponselku ikut terbakar dan belum sempat membeli yang baru," tuturku. Tapi mengapa ibu, ayah, bahkan Itachi tidak mengatakan apapun soal ini?! Seolah bisa membaca yang ada dibenakku Sarada membuka bibir mungilnya.

"Keluarga Uchiha tidak pernah menyetujui perpisahan ini Papa. Juga keputusanmu untuk bersama wanita itu. Karenanya Kakek Fugaku bersikeras memaksaku tetap menggunakan nama belakang Uchiha," ujarnya sambil menyerahkan sobekan kertas berisikan sebuah alamat yang sangat asing bagiku.

"Apa aku bisa bicara dengan Mama-mu Sarada? Setidaknya, mungkin dia bisa…"

"Akan kuusahakan. Tapi aku tidak bisa berjanji," gadis remaja itu tampak melirik kearah jam dinding berkali-kali.

"Apa kau akrab dengan Gaara? Kau menyukainya?" pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa dapat kutahan. Kudapati diriku sendiri gugup menunggu jawabannya.

"Ya. Aku jadi punya sosok seorang ayah," jawabnya tegas.

"Kau punya Papa Sarada. Aku masih hidup," sosok seperti apa aku ini sebelumnya sampai tidak diakui oleh anakku sendiri?!

"Hahahaha… Papa…" Sarada tertawa, benar-benar tertawa, "Kau lucu. Akan kuingatkan Papa sesuatu. Dalam lima tahun, kita hanya bertemu beberapa jam saat ulangtahunku. Yang itu artinya hanya lima kali dalam lima tahun!" Sarada mengambil tisu dan menyeka air mata yang keluar akibat tawanya.

Benarkah aku seburuk itu?!

.

.

.

.

.

Ting Tong

Aku menekan bel didepan sebuah apartment mewah ditengah kota. Gedung ini menjulang begitu besar dan megah. Petugas keamanan langsung mengenaliku dan memberikan akses ke lantai tujuh. Sarada menuliskan aku tinggal di kamar nomor 701. Hanya ada dua kamar disetiap lantai. Kamar 701 berada disebelah kiri.

Ting Tong

Aku menekan kembali karena tidak ada yang membukakan pintu. Apa aku tinggal sendiri? Aku tidak ingat memiliki kunci, ah sepertinya kartu, kamar ini. Pun kombinasi kode keamanan yang berada disamping pintu tidak bisa aku tekan karena aku sama sekali tidak ingat angkanya.

"Sasuke?" sebuah suara keluar dari atas kotak kode pengaman. Ada kamera pengawas disetiap sudut.

Cekrek.

Pintu depan terbuka dan disana berdiri seorang wanita dengan kimono rumahan berwarna putih. Dia memiliki mata lavender pucat dan rambut yang berwarna pirang terurai melewati pinggang yang terikat pada ujung rambutnya. Dia terlihat anggun dan sangat cantik.

"Kau tidak pernah menghubungiku! Aku menelpon ratusan kali tetapi nomormu tidak pernah aktif! Mana kartu kunci apartment milikmu? Jangan bilang kau lupa membawanya!"

Wanita itu berjalan masuk sambil terus berbicara. Siapa dia? Aku tidak dapat mengingat namanya. Bahkan aku tidak ingat apa status hubungan kami. Aku tidak melihatnya memakai cincin pernikahan. Berarti dia bukan istriku bukan?

"Katanya kau ada proyek selama sebulan dan tidak akan pulang hingga bulan depan. Kau sudah makan Sasuke? Mau mandi dulu atau makan malam dulu?"

Aku terus mengikutinya hingga kami berada di dapur. Aku tidak ingat pernah tinggal disini. Aku merasa asing dengan semuanya. Tapi itu yang tergantung diatas sandaran kursi meja makan, itu adalah jaketku. Jaket yang dibelikan Sakura saat kami pergi berlibur tahun baru.

"Kenapa kau melamun Sasuke?" wanita itu mengibaskan tangannya.

"Maaf. Apa aku mengenalmu?"

Wanita itu tersentak. Lalu aku melihat ia tersenyum menggoda sambil berjalan kearahku dengan langkah bak model sedang berjalan di catwalk. Dia mengerling nakal.

"Oh… Mau bermain "with a stranger" huh?" dia melepaskan ikatan rambutnya dan mengibaskannya tepat diwajahku, "Kau pulang lebih cepat dari jadwal karena merindukan diriku Sasuke? Oh, manis sekali…"

Wanita ini mengalungkan tangannya dileherku. Wangi parfumnya menusuk indera penciumanku. Aku mengernyit. "Baiklah, kau ingin aku memainkan peran sebagai apa sekarang? Akuntan yang kau temui di bank? Atau guru di sekolah dasar?" ia membisiki telingaku dengan nada sensual.

Wanita menjijikkan. Bisa-bisanya bertingkah seperti wanita murahan kepadaku. Aku menarik tangannya dan menjauhkannya dari tubuhku. Badannya yang ringan membuatnya terlempar beberapa langkah. Dia menatapku tajam.

"Nona. Aku minta maaf sebelumnya. Aku benar-benar tidak mengingatmu. Siapa kau? Apa hubungan kita? Aku mengalami kecelakaan dan tidak mengingat apapun tentangmu…" desahku frustasi.

"Apa? Kecelakaan? Kapan? Bagaimana mungkin kau tidak memberitahuku apapun Sasuke? Dan orang-orang rumahsakit? Bukankah mereka harusnya menghubungi nomor favorit yang ada di ponselmu?"

"Ponselku terbakar. Mereka menghubungi orangtuaku karena melihat kartu pengenalku yang bermarga Uchiha," aku mengeluarkan notes, siap untuk mencatat.

"Kau bilang kau lupa. Tapi kau ingat apartment kita…" ujarnya dengan nada curiga.

"Sarada yang memberitahuku alamat ini saat aku ke rumahnya. Aku mengira aku masih tinggal…"

"Kau ingat rumah itu dan nama anakmu tapi kau melupakan aku? Oh biar kutebak. Kau juga masih bisa ingat nama mantan istrimu itu bukan?" wanita itu berteriak, wajahnya memerah.

"Nona, maafkan aku. Ini diluar kendaliku…" aku menatapnya. Matanya menunjukkan kekecewaan yang begitu dalam. Tapi aku tidak merasakan apapun. Ini persis seperti saat kau bertemu seseorang yang tidak pernah kau kenal sebelumnya. Perasaan harus berinteraksi dengan orang asing. Dan aku bukan orang yang suka bertemu dan berbicara dengan orang asing.

"Aku Shion, Sasuke. Aku kekasihmu. Kita sudah tinggal bersama selama lima tahun. Apa kau lupa?" liquid bening sudah menggenang di pelupuk matanya.

Tapi yang terlintas dibenakku hanya satu. Lima tahun. Apa itu berarti… Aku telah mengkhianati Sakura?

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Author's Note

Hallo… Aku kepikiran menulis ini terinspirasi dari komik berjudul I'm Home. Tidak sama banget sih. Cuma mengambil ide dasar amnesia tentang perceraian. Jadi ini nanti cerita tentang Sasuke yang mencoba mengingat kembali apa yang terjadi selama lima tahun terakhir dan alasan apa sampai dia bisa berpisah dengan Sakura sementara seingat Sasuke dia masih mencintai Sakura. Sepertinya tidak akan bisa update cepat seperti fic ku yang pertama hehehe.

Oke aku harap kalian suka. Mohon dukungannya…