Assalammu'alaikum minna. Saya telah kembali dari hiatus panjang saya.
Yah, walaupun sebenarnya masalah saya belom terselesaikan semua, tapi sahabat saya di grup udah nunggu fic baru saya. Jadi, saya ndak punya pilihan.
Fic kali ini adalah fic yang lagi-lagi di angkat dari kisah nyata saya. Kejadian ini terjadi belum lama ini.
Kejadian ini terjadi bersama dengan sahabat baik saya, yaitu Cyber Lvm. Kami berdua membicarakan sesuatu dengan serius dan akhirnya beginilah jadinya.
Ya sudah, ndak usah banyak bicara lagi. Daripada penasaran lebih baik baca saja.
Selamat membaca.
.
.
.
.
.
Vocaloid ©Crypton Future Media, Yamaha Corp, Etc.
Saturday Night ©Cyber Keju-ma.
Rate K.
GaJe, OOC, Typo(s) berserakan, Sulit dimengerti, De eL eL.
Don't Like?, Don't Read!
.
.
.
.
.
Malam ini adalah malam yang yang indah. Yah, indah. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Sangat tenang dengan angin yang berhembus sangat sejuk.
Saat ini aku sedang duduk atas kursi di sebuah beranda rumah dan aku tidak sendirian, di sebelahku ada seorang pemuda yang tengah asik bermain dengan sebuah benda yang biasa disebut dengan laptop.
Sebelumnya perkenalkan, namaku adalah Len. Aku berasal dari sebuah keluarga yang biasa-biasa saja menurutku. Nama keluargaku adalah Kagamine. Jadi intinya, namaku adalah Kagamine Len. Usiaku sekarang adalah 16 tahun. Rumah ini sebenarnya bukanlah rumahku. Dan orang yang ada di sebelahku ini adalah Kaito, sahabat baikku. Dia berasal dari keluarga Shion. Dan dialah pemilik rumah ini.
Saat ini kami hanya terdiam seperti orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa. Yah, beginilah kami, lebih suka berdiam diri daripada harus melakukan sesuatu hal yang tidak tahu untuk apa gunanya.
"Kaito," panggilku kepada orang yang ada di sebelahku.
"Apa?" sahut Kaito namun pendangannya sama sekali tidak bergeser dari laptopnya.
"Ini malam minggu yah?" tanyaku yang sebanarnya memang tidak tahu ini malam apa. Yah, aku memang seperti ini. Tidak pernah mengingat hari jika tidak ada yang penting pada hari itu.
"Yah. Dan lalu?" jawabnya sekaligus juga bertanya kembali kepadaku.
"Tidak. Pantas saja," jawabku singkat dan aku yakin dia sudah mengerti maksudku.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanyanya yang kali ini mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Aku tidak tahu. Harusnya malam ini aku ingin pergi membeli manga. Tapi keuanganku sangat tidak mendukung," jawabku dengan santainya walaupun aku sebenarnya bingung ingin melakukan apa. Yah, biasanya disaat seperti ini, aku selalu pergi dengannya untuk membeli manga baru. Tapi hari ini tidak karena keuangan sedang dalam masalah.
"Iyah, aku mengerti. Jadi apa yang akan kita lakukan?" tanyanya sekali lagi dengan pertanyaan yang sama.
"Mungkin aku akan mengahabiskan waktu di rumahmu saja seperti biasa," jawabku yang tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Terserah kau sajalah," ucap Kaito yang kembali berkutik dengan laptopnya.
Sedangkan aku hanya terdiam sambil menatap langit malam. Sungguh membosankan. Kemudian aku mengambil sebuah ponsel dari saku celanaku. Yah, mungkin aku bisa menghilangkan sedikit kebosanan dengan mengobrol dengan beberapa sahabatku di dunia maya.
"Ayo masuk," ucap Kaito seraya bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya dia sudah selesai dengan aktifitasnya.
Aku kemudian juga ikut bangkit dari dudukku dan berjalan mengikuti Kaito masuk ke dalam rumahnya. Mungkin akan lebih baik jika kami di dalam saja.
Setelah berada di dalam, aku dan Kaito kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamar miliknya sendiri. Aku langsung naik ke atas kasur miliknya dan tiduran di atas sana sedangkan dia duduk di kursi yang di depannya terdapat sebuah meja belajar dan kemudian kembali bermain dengan laptopnya. Yah, dia selalu saja seperti itu.
"Ehh, Len," panggil Kaito.
"Ada apa?" sahutku seraya mengalihkan pandanganku dari ponsel yang sedari tadi aku pegang.
"Tidak. Aku hanya bingung dengan software yang satu ini. Sudah beberapa kali aku atur tetap saja tidak bisa digunakan," ucapnya yang sepertinya memang benar-benar kebingungan.
"Hah, mungkin kau yang salah," ucapku singkat.
"Sepertinya memang ini nasib burukku," ucapnya seraya membalikan badannya dan kini melihat ke araku.
"Mungkin. Jangan lupa yang sering kita bicarakan. 3 kunci kesuksesan. Yang pertama, kerja keras. Yang kedua, kreativitas. Dan yang ketiga..." ucapku yang memang sengaja aku menggantungkan kata-kataku.
"Dan yang ketiga, nasib baik. Aku tahu itu makanya aku bilang ini nasib burukku. Kemungkinannya sangat kecil untuk berhasil menggunakannya," ucapnya melanjutkan kata-kata yang kugantungkan tadi. Dan kelihatannya dia sudah benar-benar menyerah dengan apa yang dia kerjakan tadi.
"Yah, dan itu bukan jadi alasan untukmu berhenti berusaha. Sekalipun kemungkinannya sangat kecil, bukan berarti hal itu mustahil untuk dilakukan. Tidak akan ada yang mustahil jika kau mau," ucapku mencoba menyemangatinya kembali.
"Yah kau benar. Dan aku teringat akan kata-kata Yoichi Hiruma 'Jangan pernah berhenti berusaha sebelum kemungkinannya menjadi nol persen'. Seperti itulah," ucapnya sambil meniru kata-kata orang yang disebutkannya tadi.
"Tapi aku masih bingung akan satu hal. Tahukah kau itu?" tanyaku padanya seraya meletakkan ponsel milikku tadi di sebelahku.
"Aku tidak akan tahu jika kau tidak memberitahukannya," jawabnya yang sepertinya penasaran dengan apa yang ingin aku katakan.
"Setelah aku belajar pengalaman dari beberapa anime, menurutku ada benarnya juga. Tidakkah kau berpikir bahwa manusia ini mudah menyerah?" tanyaku yang mulai serius dengan pembicaraan. Aku mengubah posisiku dari tidur menjadi duduk di atas kasur.
"Yah, itulah yang selama ini aku pikirkan. Bukan hanya mudah menyerah, mereka juga mudah iri ketika seseorang apa yang dia inginkan," jawabnya panjang lebar.
"Dan ketika hal itu terjadi, yang aku pikirkan adalah kenapa orang harus iri dengan orang lain. Bukankah jika dia juga berusaha, apa yang diinginkannya juga tercapai?" tanyaku lagi kepadanya.
"Yah, mereka tidak pernah mengerti makna kehidupan. Terlalu mudah menyerah saat kau tertinggal jauh di belakang. Padahal selalu ada cara lain untuk mencapai kesuksesan. Kau yang bilang padaku 'kan bahwa cara menyelsaikannya masalah itu lebih dari satu?" tanyanya yang sepertinya ngingat kata-kataku.
"Tapi sayangnya manusia hanya menggunakan satu cara dari sekian banyak cara untuk menyelsaikan masalah," jawabku.
"Dan yang lebih mirisnya lagi, ketika seseorang sudah mendapatkan apa yang dia ingin, seseorang lainnya tidak mencoba untuk menjadi lebih baik daripada orang itu. Melainkan mencoba menyingkirkan orang itu," ucapnya seraya bersandar pada sandaran kursi yang dia duduki.
"Bukankah itu kata-kata anime yang kita tonton tadi siang?" tanyaku seraya mencoba mengingat kata-kata yang dia ucapkan tadi.
"Aku mengingatnya untuk menjadi pelajaran hidup. Itu lebih baik dari pada kau harus menonton sinetron romantis yang sama sekali tidak masuk akal dan memalukan," jawabnya santai seakan tidak ada beban sama sekali.
"Yah. Itu adalah anime yang paling berkesan dalam hidupku," ucapku.
"Kau tahu, terkadang berusaha itu bisa merugikan," ucap Kaito sambil menatap ke atap kamarnya.
"Tergantung dari mereka berusaha untuk apa. Saat mereka sudah mendapatkan apa yang sudah mereka inginkan dan mereka tahu bahwa itu sudah cukup, namun mereka puas. Saat itulah mereka akan berusaha untuk mencara yang lebih baik. Padahal, jika mereka semakin mencari dan semakin mencari yang terbaik itu sama saja dengan tidak menghargai apa yang mereka dapatkan dan saat itu jugalah mereka akan jatuh dan pada akhirnya mereka menyesal. Terkadang, beberapa manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan, selalu ingin lebih. Hanya ada beberapa persen dari sekian banyak manusia yang hidup di bumi ini yang bisa meresa puas dengan apa yang mereka dapatkan. Mungkin sekitar 25 persen hingga 30 persen," jelasku panjang lebar dan hanya di jawab dengan anggukan olehnya. Yah, kurasa sudah cukup jelas apa yang aku katakan.
Dan setelah aku mengatakan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku tidak beberapa lama lalu, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya Kaito. Kami berdua –aku dan Kaito– melihat siapa yang masuk itu. Dan kami melihat ternyata yang masuk itu adalah saudaranya Kaito. Yah, namanya adalah Shion Akaito.
"Yo kalian berdua," ucap Akaito menyapa kami berdua.
"Ada perlu apa?" tanya Kaito malas meladeni saudaranya yang satu itu.
"Bagaimana penampilanku?" tanya Akaito seraya menunjukan penampilannya kepada kami berdua.
"Yah, kaulah yang terbaik," jawab Kaito malas.
"Kau mau pergi kemana?" tanyaku heran kepada Akaito.
"Biasalah, ini 'kan malam minggu," jawab Akaito dengan gayanya yang sok keren.
"Ini malam minggu yah?" tanyaku yang sudah lupa lagi ini malam apa.
"Sudah kita bicarakan tadi di luar," jawab Kaito seraya mencoba mengingatkanku akan kejadian beberapa saat lalu saat kami berada di luar.
"Maaf aku lupa. Aku memang sengaja melupakannya karena malam minggu atau malam apapun itu tidak ada pentingnya untukku," ucapku malas mengingat-ingat lagi.
"Aku tahu. Kalian berkata seperti itu pasti tidak tahu apa yang akan kalian lakukan pada malam ini 'kan?" tanya Akaito.
"Iyah," jawabku dan Kaito dengan singkat dan kompak.
"Ayolah kalian jangan seperti ini. Harusnya kalian ini sudah mempunyai seorang pacar," ucap Akaito mencoba menyemangati.
"Tidak dan tidak akan pernah," ucap Kaito.
"Hanya membuang-buang waktu," ucapku malas.
"Jika kalian punya pacar maka kalian akan bisa mengahbiskan malam minggu kalian," ucap Akaito tidak mau menyerah.
"Punya pacar itu tidak ada pentingnya. Seberapa banyak pengorbananmu untuknya, saat sudah putus hubungan kau juga akan dilupakan. Bukankah menyedihkan? Bahkan seseorang yang menikah jika sudah bercerai masih bisa melupakan pasangannya," ucap Kaito dengan santainya.
"Dan lagi pula untuk apa membuang waktu bersama orang yang akan melupakanmu suatu hari nanti? Membuang waktu malam minggu dengan seseorang yang akan melupakanmu suatu hari nanti itu sama saja dengan membuang waktu ke tempat sampah yang ada disana," ucapku dengan santainya seraya menunjuk tempat sampah yang terdapat di ujung ruangan kamar Kaito.
"Tapi–"
"Dan jika aku bertanya berapa banyak waktu dan uang yang kau habiskan untuk orang itu? Jika setiap hari kau menghabiskan 3 jam bersama orang itu, maka itu sudah bisa kau gunakan untuk menonton anime 6 hingga 7 episode dan itu bisa juga kau gunakan untuk membaca 7 sampai 10 manga," ucapku menambahkan.
"Kau itu, menonton anime atau membaca manga itu tidak ada gunanya. Jika pacaran, kau itu bisa membuat sebuah pengalaman untuk dikenang saat jika kau sudah putus hubungan," ucap Akaito mencoba melawan.
"Itulah bodohnya dirimu. Kami menonton anime atau membaca manga bukan sekedar untuk hiburan. Kami juga mengambil hikmah dari sana untuk dijadikan pelajaran hidup," ucap Kaito.
"Lagi pula apa bagusnya membuat kenangan? Kau tahu, pengalaman yang sudah berlalu itu akan lebih baik jika kau jadikan pelajaran hidup. Jika kau membuat kenangan dengan orang yang kau sebut pacar itu, saat kau mengingatnya hanya akan terasa sakit. Aku sangat kasihan dengan orang yang seperti itu. Aku rasa orang seperti itu lebih baik mati dari pada harus merasa sakit karena mengingat kenagan, sudah seperti itu menangis lagi, dan mirisnya malah nyusahin orang," ucapku dengan sangat lancar dan jelas.
"Dan lagi pula kami tidak mau membuang waktu untuk mengenang masa-masa yang sudah tahu itu sakit untuk diingat dan malah bergalau ria," ucap Kaito.
"Akhh! Tapi kau tahu, aku tidak pernah mengahbiskan uangku untuk pacarku. Pacarku yang selalu membelikanku sesuatu," ucap Akaito yang sepertinya sudah mulai frustasi berbicara dengan kami berdua.
"Kau lebih terlihat seperti orang susah jika seperti itu. Membanggakan diri karena bisa memeras orang lain. Miris," ucap Kaito masih dengan santainya.
"Jika sudah susah tidak perlu kau tunjukkan lagi kepada orang lain. Memalukan," ucapku sambil sedikit menyindir Akaito.
"Akhh! Serba salah berbicara dengan kalian berdua. Aku baru ingat kalian itu jomblo," ucap Akaito yang sepertinya menyindir kami berdua.
"Mungkin jika kau berbicara seperti itu kepadaku boleh. Tapi kau tidak bisa berbicara dengannya yang sebelumnya lebih berpengalaman dalam hal seperti itu. Kau lupa, Len itu sebelumnya mempunyai seorang tunangan. Namun miris mereka harus putus hubungan karena mementingkan ego masing-masing," ucap Kaito seraya menunjuk ke arahku.
"Suatu hari kau akan merasakan apa yang akan aku rasakan. Lagi pula kami senang seperti ini. Kami tidak perlu membuang waktu dan uang untuk seseorang yang akan melupakanmu. Kami mempunyai banyak waktu untuk menonton anime atau beraktivitas normal dan kami juga mempunyai cukup uang untuk membeli manga baru atau membeli apa yang kami butuhkan," ucapku seraya tersenyum aneh kepada Akaito.
"Lihat saja nanti. Pacar saja tidak punya, bagaimana kalian bisa memiliki istri nantinya?" tanya Akaito yang lebih menyindir.
"Kau itu bodoh? Jika kau ingin mempunyai istri maka yang kau butuhkan itu yah calon istri, bukan pacar," jawab Kaito dengan malas.
"Dan ketika kau sudah memiliki calon istri, kau bisa membuang apa yang kau sebut dengan pacar itu ke tempat sampah terdekat seperti yang ada di sana itu," ucapku dengan santai seraya kembali menunjuk tempat sampah yang ada ujung ruangan kamar Kaito.
"Akhh! Sudahlah, terserah kalian saja. Lelah aku berbicara dengan kalian. Aku sudah banyak membuang waktu," ucap Akaito menyerah dengan kami.
"Begitu juga dengan kami. Harusnya kami bisa menonton anime satu episode," ucapku yang masih melanjutkan pertarungan.
"Sebaiknya kau pergi saja sana. Tidak ada yang menginginkan mu disini," ucap Kaito seraya mengusir Akaito.
"Kalian ini, pandangan kalian terlalu negatif terhadap sesuatu hal," ucap Akaito yang sepertinya mulai menceramahi kami.
"Kami tidak pernah memandang negatif terhadap apapun. Kami hanya berbicara sesuai dengan kenyataan," ucapku yang mulai malas.
"Dari pada kami berbicara halus namun bohong, lebih baik kami berbicara kasar namun itu kenyataan. Karena berbicara bohong itu lebih kejam dari pada berbicara kasar," ucap Kaito yang semakin malas.
"Harusnya kalian menikmati masa muda kalian," ucap Akaito yang tidak mau berhenti menceramahi kami.
"Kami menghabiskan masa muda kami dengan belajar," ucap Kaito.
"Jika kalian belajar harusnya kalian membaca buku sekarang," ucap Akaito tidak mau kalah.
"Belajar tidak harus dari buku, kau bisa belajar dari pengalaman untuk pelajaran hidup," ucapku.
"Terserah kalian sajalah," ucap Akaito pasrah seraya keluar dari kamar Kaito.
Dan tidak lama setelah Akaito pergi keluar, aku pun segera pamit pulang dengan Kaito. Ini sudah saatnya aku pulang. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa lagi. Yah, dari pada aku seperti orang bodoh, lebih baik pulang ke rumah dan menonton beberapa anime.
.
.
.
.
.
~Owari~
Yohohohoho...
Bagaimana ficnya? Baguskah? Hancurkah?
Yah, tergantung dari mana kalian menilainy.
Saya mau berbicara sedikit. Sebelumnya saya ingin minta maaf karena apa yang saya dan Lvm katakan itu terkesanlah sangat kejam. Tapi percayalah, bahwa apa yang kami katakan itu adalah kenyataan.
Memang kami selalu seperti itu, tapi itu bukanlah padangan negatif. Melainkan itu kenyataan yang sudah kami rasakan.
Yah, saya cuma berharap semoga ada yang bisa kalian ambil dari fic ini untuk pelajaran hidup. Selebihnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan sekaligus saya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah mau membaca fic saya yang satu ini.
Bagi yang berbeda pendapat dengan saya, tida masalah sih selama tidak mem-flame. Tapi jika berani flame, sudah kami sediakan tempat kalian di pemakaman.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan sampai bertemu di lain waktu.
Dahh...
#menghilang.
