Apa yang kau dapat dengan memberi? / kisah Takahashi Yohio, sebelum semua dimulai. ( Masih nyambung todokanai sekai )


"BUGH!"

"KRAAK!"

"DUAGH!"

Perkelahian tak terhindarkan terjadi di ujung gang sempit. Jalan kecil di antara dinding-dinding kokoh itu bukanlah tempat yang bagus untuk sembunyi. Darah menodai ajang adu kekuatan-sekaligus kekuasaan- itu.

"A-ampun, Takahashi..."

"BUAKK!"

Satu tendangan mendarat mulus di kepala target. Ikut terlempar ke sudut gang. Semua yang kalah bertumpuk bagaikan mayat. Tenang saja, mereka tidak mati. Hanya dibuat tak bisa bergerak saja, kok.

"Cih. Lemah."

Pemuda yang menjadi tersangka utama atas tiap kasus perkelahian di Akita itu, berjalan menjauhi mereka.

Namanya, Takahashi Yohio.


Silent Wish

Semua chara disini bukan punya saya, kebetulan aja saya kontrak/?
Friendship/Drama
Rated T


Yohio bukanlah anak rajin, apalagi pintar. Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, berkelahi adalah santapan hariannya. Ia pun menjadi ditakuti karena kekuatannya. Pihak sekolah menegurnya berkali-kali, tapi dihiraukannya. Menurut Yohio, sehari tanpa berkelahi itu tidak menyenangkan.

Saking keras kepalanya Yohio, para guru sudah angkat tangan. Hanya saja, dia masih mendapat hukuman jika terlambat datang. Yohio tidak pernah protes. Ia selalu mendapatkan hukumannya dan ia jalankan. Kompensasi setimpal.

Lagipula, kalau dihukum, ia mendapat diskon waktu jam pelajaran, kan?

Hari ini Yohio terlambat lagi. Baru saja ia membuka pintu kelas setelah berkelahi saat berjalan menuju sekolah: Xin Hua-sensei, guru sastra mandarin menyuruhnya lari keliling lapangan sebanyak tiga puluh kali. Yohio langsung melaksanakannya tanpa ba-bi-bu. Setelah selesai, ia pun kembali ke kelas. Dan saat itu jam pelajaran Xin Hua-sensei sudah berakhir. Yohio hanya tersenyum puas dan kembali ke bangkunya di deret belakang. Sembari turut meletakkan tas selempangnya di atas meja dan mencari buku kosong untuk kamuflase mata pelajaran selanjutnya. Namun, ia merasakan colekan kecil di pundaknya. Yohio pun menoleh.

'Ta-Takahashi...pi-pipimu...lecet...'

Begitu tulisan yang ia baca. Hanya Gumi, teman sebangkunya yang menulis di whiteboard kecil yang selalu ia bawa. Benar, gadis itu bisu. Jadi, ia 'berbicara' melalui whiteboard yang dibawanya setiap hari.

"Hah? Lalu kenapa?" Yohio memalingkan wajahnya dari gadis itu. Entah mengapa dia terlihat kesal.

'Tapi aku tidak mau Yohio sakit. Aku bawa plester hari ini. Aku pakaikan, ya.'

Yohio melirik lagi dan mendapati tulisan dari gadis itu. Kenapa ia peduli padanya?

Ia membiarkan saja Gumi mengobati luka di pipinya. Ternyata gadis itu juga membawa betadine. Kalau dipikir lagi, kenapa Gumi tidak takut kepadanya, ya? Tapi, itu bukan hal penting. Lagipula cuma Gumi yang mau duduk di sebelahnya, tidak menjauhinya dan membantu mengerjakan tugasnya. Yohio pikir, harusnya ia membalas kebaikan Gumi. Tapi, ia tidak tahu bagaimana caranya.

Mungkin..mereka bisa disebut teman?

Selesai mengobati, Gumi menulis sesuatu lagi di whiteboard-nya.

'Semoga cepat sembuh, Takahashi.'

Yohio hanya membuang muka.

"Terima kasih..."


.

.

.

.

.


Yohio berjalan pulang. Mengabaikan tatapan-tatapan aneh dari murid-murid sekolahnya.

Yohio pulang tanpa kendala hari ini. Biasanya ia dicegat oleh anak sekolah lain. Tapi, syukurlah.

"Tadaima..."

Yohio melepas sepatunya sebelum masuk ke dalam rumahnya. Ibunya menyambutnya lembut. Yohio sudah lapar sedari tadi.

Jika ada yang bertanya mengapa pihak sekolah tak menelpon rumah kediaman Takahashi, sebenarnya sudah sering. Tapi, sepertinya kedua orang tuanya tidak mengambil tindakan apa-apa. Selama Yohio bisa naik kelas dan rapor memenuhi standar minimal (yang tentu saja hasil contekan dari Gumi) kedua orang tuanya merasa tidak apa. Mungkin mereka yakin, Yohio akan berhenti berkelahi suatu hari nanti. Haha, entahlah.

Yohio menuju ruang makan bersama sang ibu. Disana sudah tersaji okonomiyaki. Yohio sudah tidak sabar memakannya. Meski ia tahu, uang untuk memenuhi semua kebutuhannya adalah uang haram hasil judi sang ayah.

―ya, begitulah ayahnya.

Harus ia akui, tanpa uang haram itu, tidak mungkin dia bisa hidup sampai sekarang. Kadang Yohio ingin menertawai dirinya sendiri. Tapi, tak ada pilihan lain, 'kan?

Makan malam itu terasa begitu nikmat, tanpa kehadiran sang ayah.


.

.

.

.

.

Leon tidak langsung pulang ke rumah seusai memenangkan judi malam ini di sebuah kasino. Ia ingin mencari makan. Sudah larut malam dan mungkin, anak dan istrinya sudah tidur. Ia tidak mau mengganggu.

Ia belajar berjudi dari temannya waktu SMA dulu, Kagamine Len. Entah darimana anak itu mendapatkan ilmu semacam ini.

Tapi, Len tidak menggunakannya. Ia membuat perusahaannya sendiri di Oita sekarang. Leon tak pernah bertemu kembali dengan teman lamanya itu sejak upacara kelulusan. Ia tersenyum mengingat Len berteriak dengan lantang sewaktu kelulusan, ia akan segera menikahi Rin, gadis idola di SMA mereka kala itu.

Dan memang benar mereka menikah sewaktu Len sudah sukses menjalankan bisnisnya di usia 26 tahun. Undangan memang sudah dikirimkan ke rumahnya. Sayang, Leon tak bisa datang saat itu karena ia sendiri sibuk mencari uang untuk anak istrinya ―meski dengan jalur haram.

Ia berhenti di sebuah kedai di gang sempit. Ia memesan sake dan ramen saja. Ia sendiri tidak ingat, kapan ia melakukan hal ini. Tapi, ia merasa dirinya semakin tua saja. Tahun ini usianya memasuki kepala empat, dan anaknya masih sekolah.

Sudah berapa lama dia berjudi?

"Ini pesanan anda tuan." Pesanan Leon disuguhkan di depannya.

"Terima kasih." Leon pun menyantap pesanannya. Dingin terusir perlahan dari tubuhnya, berganti dengan rasa hangat memenuhi lambungnya.


Tsuzuku


Yeaaaaahhh! Ceritanya akang Yohioooo! /slapped/

cerita si akang Yohio sebelum pindah ke Oita dan ketemu Olivia...ehehe*ditusuk* saran kritik saya terima, aku ikhlas, aku pasrah (?)

See you in next chap! ヘ( ̄- ̄ヘ)