Kuroshitsuji © Toboso Yana

The Next Demon © Kamikura39


WARNING : Overall, saya masih pemula. AU fic. Nasib seseorang yang mengikat kontrak dengan iblis sebelum maupun setelah jiwanya dimakan di sini jelas berbeda dengan yang aslinya, karena sudah saya bilang ini AU #diinjek *tepar berlumuran darah dan gepeng* Saya harap tidak GAJE, TYPOS, apalagi ABAL. Oh ya, kemukinan ada OOC. Tapi saya berusaha sebisa mungkin agar tidak ada OOC. Dan di fic ini ada beberapa OC saya, untuk jelasnya saya sarankan untuk melihatnya di biodata saya.


Chapter 1 ~ The Frozen Heart ~

.

.

.

"Nona Muda, sudah saatnya Anda bangun," panggil seorang pemuda bertubuh tinggi tegap berseragam butler. Rambutnya berwarna hitam legam dengan poni panjang yang dibelah tengah. Kulitnya putih pucat, sedangkan matanya berwarna merah crimson. Dia terdengar sedang menyiapkan sesuatu di atas sebuah troli. Suara gemericik air dan beling-beling yang saling bertumburan pelan membuatku membuka mataku sedikit. Pemuda itu sedang menyiapkan sarapan untukku, ketahuan jelas dari aroma teh yang mulai tercium.

"Sebastian?" panggilku yang langsung menyingkap selimutku dan berusaha untuk duduk. Kelopak mataku masih terasa sangat berat.

"Sarapan hari ini scone, earl grey tea, roti bakar, susu cokelat dan cheese cake," kata Sebastian menjelaskan sarapanku hari ini. Wajahnya yang tampan sama sekali tidak berhasil untuk membuatku baik menarik bibir — walau hanya nol koma nol satu pikometer — maupun menurunkan dan menaikkan kepalaku — walau hanya nol koma nol satu derajat.

"Hm," hanya kata itu yang keluar dari mulutku.

Sebastian lalu memberikan secangkir teh sarapan padaku dan menaruh nampan duduk — dengan hidangan sarapan yang lumayan menggugah selera di hadapanku. Dia kemudian merogoh sesuatu di saku bajunya dan dia melirik jam miliknya.

Aku menunduk sedikit. Mata saphire-ku menatap ke genangan teh yang berwarna cokleat jernih di dalam cangkirku. Samar, tapi bisa kulihat bayangan seorang gadis muda dengan mata kiri tertutup eyepacth. Menyedihkan, itu yang ada di pikiranku saat ini.

Terlebih, kalau mengingat diriku adalah seorang Clare Fuston; putri dari pasangan Earl dan Countess of Chester yang merupakan tuan tanah sekaligus pemilik tambang berlian. Usiaku tiga belas tahun — paling tidak masih tiga belas tahun sampai Desember tahun ini. Dan pemuda yang berada di kamarku dan menyiapkan sarapan adalah Sebastian Michaelis — butler di mansion ini. Kurasa semua pasti juga tahu, jadi tak usah kusembunyikan lagi.

Sebastian adalah seekor iblis — paling hebat di neraka — dan aku tidak peduli dia mau paling hebat atau paling payah di manapun ia berada. Yang jelas, aku mengikat kontrak dengannya. Seperti yang dilakukan oleh Ciel Phantomhive — majikan Sebastian sebelum aku. Lambang kontrak-pun kutaruh di salah satu mata saphire-ku yang paling kukagumi.

Aku dan Ciel memiliki lumayan banyak persamaan; mata yang sama-sama berwarna saphire, kulit putih yang mulus bagaikan porselen paling sempurna di dunia, pinggang yang ramping, dan sebab mengapa sampai mengikat kontrak dengan iblis (meski yang terakhir ini berbeda).

Yang menjadi perbedaan (lainnya) hanyalah warna rambutku yang hitam legam dan aku adalah seorang perempuan. Ciel adalah seorang laki-laki. Dan tinggiku sekarang seratus enam puluh empat centimeter — lebih tinggi dari Ciel ketika ia berusia tigabelas tahun. Oh ya, dan satu lagi.

Ciel belum mati, usianya sekarang dua puluh empat tahun. Dia sudah menikah dengan sepupu sekaligus tunangannya, Elizabeth Ethel Cordelia Midford. Mereka sekarang memiliki dua anak, yaitu Caroline Phantomhive dan Kay Phantomhive — mereka anak kembar dan sekarang berusia empat tahun. Caroline perempuan dan Kay laki-laki. Kalian pasti ingin tahu kenapa Ciel belum mati tapi sudah menyudahi kontraknya dengan Sebastian 'kan? Padahal seharusnya kontrak itu berlaku hingga akhir hayat si majikan. Yah, Ciel memang hidup. Paling tidak begitulah kenyataannya kalau dilihat dari fisiknya. Tetapi sesungguhnya jiwa Ciel sudah mati. Ciel sudah mati saat ia berusia empat belas tahun.

Jiwanya dimakan Sebastian sesuai perjanjian. Dan semua orang yang mengikat kontrak dengan iblis, jiwanya akan dimakan oleh si iblis bila si pengikat kontrak mati atau mengakhiri kontraknya. Kemudian, semua orang yang mengikat kontrak dengan iblis dan jiwanya dimakan oleh si iblis, pada akhirnya akan bangkit kembali setelah melalui ritual yang akan dilakukan si iblis—bila iblis itu ingin melakukannya. Namun, orang itu akan bangkit bukan sebagai manusia atau roh, tetapi sebagai iblis.

Aku menyeruput teh buatan Sebastian. Ketika aku sudah mengakhiri kontrak ini, aku juga akan bangkit kembali sebagai iblis, kalau Sebastian ingin melakukan ritual yang biasa dilakukan iblis bila sudah mengakhiri kontrak dan memakan jiwa sang majikan. Padahal aku tahu itu salah. Seharusnya aku tidak boleh mengikat kontrak ini, namun... Sudahlah, kini semua sudah terlambat. Papa dan mama pasti sedih kalau mengetahui keadaanku yang sekarang.

Bukan soal kekayaan. Kalau soal harta, aku tetap menjadi Lady Clare Fuston, Countess of Chester yang terhormat. Bahkan perusahaanku semakin maju. Tapi tentang kehidupanku. Papa dan mama adalah anggota Gereja. Mereka mengajariku banyak hal tentang cinta kasih, kepercayaan, dan Tuhan. Mereka membimbingku dengan baik, penuh kesabaran dan suka cita. Duniaku sangat terang, suci, dan bersih. Benar-benar dipenuhi oleh Roh Kudus.

Tapi semua itu telah berakhir begitu saja di usiaku yang ke enam. Semuanya berlalu begitu cepat. Aku bahkan hampir tidak ingat siapa diriku akibat rasa kaget yang muncul karena kecelakaan—yang bisa dibilang cukup parah. Dan mungkin semua akan lebih baik kalau saja aku ikut mati seperti Papa, Mama, bibi, paman, dan sepupu-sepupuku. Juga adikku, Ruby. Ketika hari pemakaman aku menangis tiada henti. Hidupku serasa hancur begitu saja, aku benar-benar ketakutan.

Semua terlihat begitu gelap bagiku. Bagaimana tidak? Semua keluargaku mati meninggalkanku. Mati, mati, mati. Sendirian, sendirian, sendirian. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku saat itu. Teman-temanku berusaha menghiburku, namun semua itu tidak meringankan kesedihanku walau hanya nol koma nol nol nol nol nol satu persen. Aku kehilangan hidupku—walaupun itu hanya bagian dalamnya saja, dan bila dilihat dari fisik aku masih sehat bugar. Aku berusaha untuk tidak tetap terpuruk. Tapi tetap saja. Jauh di lubuk hatiku, aku berharap aku ikut mati saat itu. Seandainya saja saat itu aku juga mati, mungkin semuanya tidak akan terjadi seperti sekarang ini.

"Nona," panggil Sebastian yang langsung membuyarkan lamunanku.

"Apa?" tanyaku sambil kembali menyeruput tehku.

"Sepertinya Anda tidak mendengarkan saya tadi. Baiklah, akan saya ulangi jadwal Anda hari ini. Pagi pukul delapan Earl Trancy akan berkunjung, kemudian setelah makan siang akan ada Nona Simons—guru bahasa Perancis Anda, dan setelahnya saya sendiri yang akan mengajar," katanya sambil memegangi buku jadwal keseharianku dan tersenyum dengan mata terpejam ke arahku. Kulirik jam yang ada di kamarku, pukul tujuh lewat lima belas menit.

"Hm," lagi-lagi hanya kata itu yang keluar dari mulutku ketika Sebastian menjelaskan sesuatu.

Selalu begitu setiap harinya, sejak pertama kali dia menjadi butlerku. Aku bukan Ciel yang merasa aman (kurang lebih seperti itu) di dekat Sebastian—si iblis. Aku Clare Fuston. Aku merasa terganggu dengan kehadiran Sebastian, terlebih karena dia iblis. Setiap harinya aku selalu merasa bersalah pada Bapa, karena telah mengikat kontrak dengan iblis. Berkali-kali aku memikirkan bagaimana caranya untuk membunuh Sebastian. Dia iblis, tidak akan langsung mati—bahkan tidak bisa mati bila hanya diserang dengan senjata buatan manusia. Tapi itu karena kebodohanku juga karena mau mengikat kontrak dengannya. Kalau saja waktu itu hatiku lebih tegar dan kuat, mungkin sekarang aku tidak perlu bersama iblis yang najis ini.

Aku tahu ada Angela Blanc, malaikat yang membenci Sebastian dan semua iblis lainnya—dan itu sudah tentu. Juga ada beberapa Dewa Kematian yang kukenal—Eric Slingby, Alan Humphries, Ronald Knox, Grell Sutcliff, dan William T. Spears. Aku tahu mereka mengumpulkan senyawa sekaligus memburu iblis. Sementara Undertaker—rekan kerjaku selama ini—juga merupakan salah satu dari Dewa Kematian itu. Walau dia tidak pernah memberi tahuku, aku bisa tahu. Selain 'Angjing Penjaga Ratu' yang ikut membantu Ciel, aku juga bisa meramal—dan Sebastian, juga orang lain, tidak ada yang mengetahuinya. Aku selalu meramal setiap pagi untuk melihat apa yang terjadi, namun penglihatanku selalu menjadi kabur.

Kartu tarot yang kupegang-pun terkadang langsung jatuh berserakan, hingga membuatku harus menahan pintu dengan pedang yang kusimpan di bawah ranjang agar Sebastian (paling tidak) tidak langsung masuk begitu dia mengetuk pintu—walau dia pasti selalu menunggu jawabanku dulu. Pikiranku sekarang ini sedang terfokuskan pada 'bagaimana cara membunuh Sebastian'. Itu saja. Kalau membunuh iblis yang lain, itu cukup mudah karena Sebastian bisa melakukannya. Tapi aku tahu Sebastian kuat, lebih dari yang lainnya.

Memang, seperti yang sudah kubilang, masih ada Angela dan Undertaker. Hanya saja, tidak memungkinkan jika aku pergi menemui Angela atau Undertaker sendirian, karena Sebastian pasti akan menanyaiku dan sangat mungkin untuk membuntutiku secara diam-diam. Tapi hal itu tidak berarti aku tidak akan mencoba melakukannya. Kita tidak akan tahu kalau belum mencoba.

Walau aku bisa meramal tentang apa yang akan terjadi, tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Yah, tapi sekarangpun aku sudah berhenti meramal. Meramal itu juga sebenarnya adalah sesuatu hal yang dilarang karena berhubungan dengan sihir. Sekiranya begitulah yang Mama dan Papa ajarkan padaku. Jadi, aku sekarang benar-benar bergantung pada Bapa. Kubiarkan takdirku mengalir begitu saja, walaupun terkadang aku ingin merubah takdirku. Aku takut jika takdirku adalah 'kalah'. Tapi aku tetap berusaha tegar kali ini, aku yakin Bapa tidak akan membiarkanku 'kalah' begitu saja.

Kuletakkan cangkirku di atas nampan beserta hidangan lain yang hanya kumakan setengah dari masing-masing jenis hidangan. Kusodorkan nampan itu pada Sebastian. "Keluarlah, aku mau bersiap-siap," kataku dengan nada datar.

"Yes, My Lady," jawab Sebastian seraya mengambil nampan dari tanganku.

Ketika dia hendak membuka pintu dan melangkah keluar, tiba-tiba aku teringat oleh suatu hal yang sudah biasa kulakukan. "Sebastian, seperti biasa. Bersihkan hidangan itu, lalu hangatkan kembali. Berikan bagi penduduk East End yang terpuruk hidupnya. Selain penduduk East End juga boleh, asalkan mereka memang tidak mampu," kataku seraya melepas eyepatch-ku dan bangkit dari tempat tidur.

"As Your Wish, My Lady," jawab Sebastian, dia kemudian mendorong troli makan keluar kamar.

Setelah dia pergi, aku langsung menuju kamar mandi dan melepas bajuku. Kunyalakan shower dan kuatur agar suhunya hangat. Setelah itu kucari sabun, shampo, dan juga pasta gigi yang beraroma apel—aroma favoritku. Kalau tubuhku dipenuhi aroma apel, aku merasa sangat nyaman dan tenang. Juga terasa manis. Terkadang aku malah ingin memakan diriku sendiri, membayangkan kalau tubuhku rasanya juga semanis bau apel yang menyelubungi tubuhku. Aku tahu itu gila. Aku hanya bercanda, kok. Aku kemudian memutuskan untuk berendam air hangat setelah mandi. Sekarang ini sudah bulan Desember—walau masih awal, jadi udara sudah mulai terasa dingin. Berendam air hangat juga salah menjadi satu caraku untuk menghilangkan tekanan batin.

Setelah merasa cukup puas berendam, aku segera keluar dan mengeringkan tubuhku. Lalu, kucari gaun apa yang sekiranya nyaman untuk dipakai di cuaca seperti hari ini—baik cuaca lingkungan maupun cuaca hatiku. Akhirnya kupilih gaun berwarna hitam dengan renda-renda berwarna merah darah di bagian bawah gaunku maupun di kerah lengan yang hanya sampai siku. Dibagian atasnya ada mawar berwarna merah, dan renda putih tipis di sekeliling pinggir kerah leher. Aku lalu memasang pita berwarna merah di sisi kiri kepalaku, dan mengikatnya menjadi seperti bando. Selesai.

Sepertinya Nona Simons belum datang, ah— maksudku si Mathilda Simons itu. Usianya baru sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Memang lebih tua dariku sekitar lima sampai empat tahun. Tapi aku tidak peduli. Usia tidak selalu menjadi indikator kualitas.

Mathilda memiliki manik emerald dengan rambutnya yang berwarna cokelat pohon. Kulitnya bisa dibilang putih mulus, tapi gayanya—aduh, amit-amit deh! Dia tebar pesona sekali kalau di depan Sebastian. Yeah, it's not her fault, I know that. Ketampanan Sebastian bisa membuat orang tergila-gila walaupun sudah mengetahui dia iblis—dan ini hanya berlaku pada perempuan-perempuan bodoh yang konyol. Karena bukti terkuat sudah ada di depan mata; aku malah membenci Sebastian habis-habisan tuh.

Kalaupun terpaku saat di dekat Sebastian, itu bukan karena aku terpesona. Aku hanya sedang memikirkan masalahku yang pertama—bagaimana caranya supaya bisa mengakhiri kontrak ini dengannya tanpa perlu mengorbankan jiwaku dan yang kedua—bagaimana caranya supaya aku bisa memusnahkan Sebastian beserta para iblis itu. Kurasa Angela dapat membantuku, kalau aku berhasil melakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun, khususnya Sebastian sendiri, Ciel, dan Claude Faustus.

Aku yakin Claude memang akan membiarkan Sebastian dibunuh, tetapi dia akan 'mengincarku'. Dia bukan iblis yang setia dengan kontraknya. Dan kalau Ciel, dia pasti tidak akan membiarkan —mantan— butler kesayangannya dimusnahkan begitu saja. Selain Angela, aku bisa minta tolong pada Grell Sutcliff—Dewa kematian yang sepertiga lekong, Ronald Knox—yang rada playboy serta genit, dan William—Dewa Kematian yang paling membenci iblis, terutama Sebastian. Mereka bisa membantu dan melindungiku. Yah, sebenarnya masih ada dua Dewa Kematian lagi—seperti yang kalian ketahui, masih ada Alan Humphries dan Eric Slingby juga. Kalau Grell sih tugasnya memang sangat gampang, recokin saja si Sebastian dengan usaha daya tariknya yang kuakui konyol tapi bermanfaat untuk orang-orang tertentu—dan salah satunya orang tertentu itu adalah aku. Sayang, sepertinya Grell lemah iman.

Lagipula, aku tidak takut untuk membunuh Sebastian. Setelah membunuh 'dia', rasanya aku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi 'seperti ini'. Walau takut, tapi semua itu sudah terjadi. Percuma saja. Tapi aku tetap akan mengusir iblis itu dari rumahku, sesak rasanya kalau dia masih menginjakan kakinya di daerahku. Bikin penat kepala, naik darah, pokoknya tidak sehat untuk jantung dan hatiku yang terus menerus menahan rasa kesal dan benci terhadapnya. Aku tidak tahu kenapa masa-masa sebelum aku dilahirkan tampaknya orang-orang begitu kagum pada si bedebah Sebastian itu.

Kelincahan, kesempurnaan fisiknya, keahliannya, sama sekali tidak menggerakan hatiku. Jangankan menggerakan, menggetarkan saja tidak. Dia itu hanyalah serigala dengan bulu dombanya yang sempurna menutupi bulu serigalanya. Tapi dia tidak lebih dari sampah dunia. Dia iblis. Dia sumber semua kekacauan dunia.

Yah, tapi sejak awal dosa-ku memang sudah sangat berat. Karena itu setelah semua ini selesai, rencananya aku ingin menjadi biarawati untuk menembus dosa-ku walau aku tahu itu sama sekali tidak cukup. Tapi, aku merasa kalau dengan melayani Tuhan dan sesama, dan mengabdikan hidupku untuk hal seperti itu, aku akan merasa lebih damai dan tenteram.

TOK! TOK! "Nona, Anda sudah selesai?" tanya Sebastian setelah mengetuk pintu kamarku.

"Sudah," jawabku dan membuka pintu.

Kulihat Earl Trancy berdiri tepat di belakang Sebastian bersama butler-nya, Claude Faustus. Earl Trancy—alias Alois memiliki rambut pirang yang bergelombang, kulitnya sangat putih. Wajah Alois juga bisa dibilang tampan—juga cantik. Sedangkan Claude, wajahnya non ekspresi sepertiku, jidatnya lebar, poninya dibelah ke samping—dengan model bagian kanan lebih lebar. Dia memakai kacamata, dan irisnya berwarna emas.

Oh, pantas saja si Mathilda belum datang. Aku lupa, jadwal pertama 'kan Earl Trancy—yang tampaknya memang tidak ada bedanya dengan sewaktu ia masih berusia empat belas tahun. Tidak ada sopan santun. Seharusnya 'kan dia menungguku turun di aula. Ck, bocah tengil yang fisiknya saja pemuda dewasa berusia dua puluh empat tahun. Iris turqoise miliknya –berusaha– menatap lembut ke arahku dengan tujuan membuatku tersenyum. Heh, kuberikan kau seikat pelangi kalau kau berhasil membuatku tersenyum dari lubuk hatiku, Alois Trancy.

"Good Day, Lady Clare," sapa Alois riang.

"Good Day, Earl Trancy. Can we speak in my work room?" tanyaku sopan namun tetap dengan nada datar seraya berjalan melewati Alois beserta butler-nya.

"Oh, of course. Anything you want, My Lady," jawab Alois sambil tertawa kecil dan langsung berjalan di dekatku.

Aku tetap memandang ke depan dan mengangkat daguku. Apapun yang kumau, heh? Kalau begitu, musnahkan butler-mu, kemudian pergi dari sini selamanya. Itu yang kumau saat ini, Trancy. Aku tetap berjalan tegak menuju ruang kerjaku. Manor-ku sedikit lebih besar dari manor Ciel tentunya. Di sekeliling bagian depan manor-ku terdapat danau yang luas dan indah, sedangkan bagian belakang terdapat padang rumput yang langsung menyambung dengan hutan pinus. Di bagian depan lagi setelah danau, terdapat hutan yang lebat dan gelap, hutan yang kubenci karena seolah mengingatkanku akan kegelapan hatiku.

Sesampainya di ruang kerjaku, aku langsung duduk di kursi favoritku—walau itu bukan kursi untuk menjamu tamu seperti ini. Biarlah, Earl Trancy sendiri tidak menunjukan sopan santun layaknya seorang bangsawan yang telah dewasa. "Jadi, apa tujuanmu ke sini?" tanyaku langsung ke inti permasalahan.

Alois ikut duduk di kursi yang ada di hadapanku, menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya, lalu tersenyum—memuakkan layaknya Viscount Druitt, walau Viscount Druitt jauh lebih memuakkan. "Aku membawa pesan Ratu untukmu," katanya seraya menyerahkan secarik amplop dengan cap bunga mawar berwarna merah sebagai perekatnya.

Kuraih amplop itu dari tangan Alois dan membaca isinya. Mataku memperhatikan setiap barisnya hingga ke bagian penutup surat. Aku lalu menghela nafas singkat. Ratu memintaku untuk mengurus masalah baru di dunia belakang lagi. Kali ini kasusnya kematian banyak orang secara misterius. Dan yang menjadi korban hanyalah gadis-gadis remaja saja. Gadis-gadis itu menghilang secara misterius, baik di siang hari, sore, maupun malam hari. Beberapa gadis sudah ditemukan, namun dalam keadaan tidak bernyawa. Wajahnya pucat pasi, dan hasil pemeriksaan medis menyatakan mereka telah mati; bukan mati suri. Tubuhnya kebanyakan ditemukan sudah dingin, namun ada yang ganjil dari kematian mereka. Sama sekali tidak ditemukan luka sedikitpun di tubuh mereka, tergores sedikitpun tidak. Organ dalam masih lengkap dan utuh, jadi bukan karena perdagangan ilegal. Sampai sekarang pelaku belum bisa dilacak karena tidak ada sidik jari ataupun hal yang menyerupai hal semacam itu di tubuh korban.

Kutatap Alois yang masih menatapku seraya tersenyum. "Kenapa tidak Earl Phantomhive yang menyelesaikan masalah ini? Biasanya dia 'kan lebih agresif dari padaku," kataku sambil memasukan kembali surat ke dalam amplopnya dan kutaruh amplop itu di meja kerjaku yang jaraknya hanya tiga sentimeter dari tempatku duduk.

"Well, secara resmi surat itu ditujukan untuk aku—sang labah-labah, Ciel—sang Anjing Penjaga Ratu, dan Anda sendiri—penerus Anjing Penjaga Ratu. Tapi aku rasa aku tidak mampu, sedangkan Ciel sedang sibuk dengan Elizabeh. Katanya Elizabeth akan melahirkan anak ketiganya dalam waktu dekat ini, karena itu dia menyerahkan hal ini padamu. Ratu juga lebih setuju kalau kau yang mengurus," jawab Alois sambil merebahkan dirinya di lekukan sofa yang empuk.

"Karena aku 'bocah'?" tanyaku lagi sambil menatap tajam dan dingin ke arah iris torquise milik Alois.

Alois hanya tertawa ringan. "Entahlah, aku tidak pernah tahu apa yang nenek itu pikirkan," jawab Alois ringan dan terdengar asal-asalan. "Lagipula, Anda juga seorang 'Anjing Penjaga Ratu' 'kan?"

"Apa aku tidak boleh bertanya?" balasku dengan nada dingin dan memang tidak ingin menjawab pertanyaan Alois.

Alois kembali tertawa ringan. "Oh, Anda sangat dingin, persis seperti Ciel," ujar Alois dengan mata turqoise-nya yang jernih. "Oh ya, orang-orang menyebutmu 'Anjing Penjaga Ratu yang Baik'. Kurasa karena kau selalu menyelesaikan masalah 'dunia belakang' dengan cara yang baik, dan bisa dibilang tanpa membunuh seorang-pun. Kau juga disebut sebagai 'Bangsawan Hitam yang Baik' juga, lho. Sayang, Ciel tetap tak terpengaruh. Dia tetap menyelesaikan masalah 'dunia belakang' dengan caranya sendiri. Ciel benar-benar keras kepala, kau mirip dengannya juga sih."

Aku tetap terdiam walau sebenarnya jari-jariku terasa sangat gatal. Bisa kubayangkan nikmatnya kalau menyentuh kulit leher Alois dan meremasnya hingga dia menjerit kesakitan. Rasanya—atau bahkan memang, dia terus menerus mengungkit dan menyamakanku dengan Ciel, Ciel, Ciel, dan Ciel. Memangnya Ciel itu seperti apa sih? Dia dulu memang memakai eyepatchjuga sepertiku, tapi sekarang kedua matanya sudah sembuh. Oh, asal dia tahu saja. Aku paling benci kalau disamakan dengan iblis. Yah, Ciel sudah menjadi iblis 'kan?

"Em, Lady Clare?" panggil Alois seraya menggerak-gerakkan tangannya di hadapan mukaku.

"Apa?" tanyaku singkat dan tegas.

"Kau mendengarkanku?" tanya Alois lagi.

"Kau inginnya aku mendengarkanmu 'kan Earl Trancy," jawabku yang semakin lama terdengar semakin sinis dan tajam. Walaupun aku selalu menganggapnya Alois, aku tidak pernah memanggilnya Alois. Aku selalu memanggilnya 'Earl Trancy'. Begitu juga dengan Ciel, aku selalu memanggil dan menyebutnya 'Earl Phantomhive' di hadapan orang lain—tidak terkecuali. Walau aku inginnya lebih sinis dan kurang ajar, aku tidak bisa begitu. Itu bisa merusak citra-ku di dalam masyarakat dan keluarga kerajaan. Sebentar lagi, kepercayaan Ratu akan kurebut dari Ciel, bila masalah ini juga bisa kuselesaikan dengan baik.

"Oh ya, Lady Clare, besok aku mengadakan pesta untuk pertemuan para bangsawan di mansion-ku. Kuharap kau datang," katanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Saya permisi dulu."

"Senang kau berkunjung kemari, Earl Trancy," kataku—sesuai dialog yang selalu kuhafalkan setiap malam bila tamu yang berkunjung akan pulang. Lagi-lagi, selama dia berkunjung tidak nol koma nol nol nol nol nol satu pikometer-pun kutarik bibirku, baik sengaja maupun memang keinginanku.

Alois hanya melambaikan tangannya dan berlalu. Aku kemudian ikut berdiri dan menatap surat dari Ratu. Kasus seperti ini, rasanya aku mengenalnya. Mati tanpa sebab, tanpa ada bekas luka, organ dalam yang masih lengkap dan utuh. Itu bisa disebabkan oleh kloroform, tapi… tidak ada sidik jari? Dan bagaimana juga di mana si pelaku menyekap korban kalau ia memang menggunakan kloroform? Dan untuk apa dia melakukan itu? Mustahil melakukan pembunuhan tanpa alasan, kecuali kalau dia seperti 'Zodiak Killer' —pembunuh yang melakukan pembunuhan hanya untuk bersenang-senang.

Tapi kurasa kali ini bukanlah tipe pembunuhan seperti itu. Ada hal lain yang lebih penting, tapi hanya untuk kepentingan si pelaku. Tapi siapa dan untuk apa? Aku masih terdiam dan berusaha menemukan jawabannya. Tiba-tiba otakku menemukan sesuatu, kemungkinan yang paling memungkinkan. Hm, iya juga. Melihat kondisi mayat korban yang seperti itu, kurasa hanya ada satu kemungkinan yang paling memungkinkan. Bila tak ada bekas luka mungkin bisa dilakukan manusia, tapi tidak ada bekas sidik jari ataupun hal yang menyerupai, kurasa itu adalah kerjaan iblis. Mahluk paling keji dan licik yang memakan jiwa manusia. Sepertinya dia iblis yang kelaparan hingga tidak sanggup bila harus membuat kontrak lama terlebih dahulu.

"Nona Muda, Nona Simons sudah datang," kata Sebastian yang sudah kembali dari mengantar Alois ke pinntu depan.

"Gadis bodoh. Katanya setelah makan siang," kataku kesal namun tetap berdiri dan turun ke bawah. Kulihat Sebastian menarik bibirnya hingga terbingkai seulas senyum licik di wajahnya. Huh, dasar iblis. Tunggu saja sampai aku bertemu dengan Angela atau William.

Ketika aku menoleh ke bawah, tampak si Mathilda—yang konyol—sedang berdiri di aula dengan membawa tas kulitnya itu yang berisi buku-buku bahasa Perancis—yang tata bahasanya selalu membuatku merasa sakit demam dan diare. Yah, untungnya aku lumayan suka dengan bahasa Perancis, kalau tidak si Mathilda pasti tidak akan menginjakkan kakinya lagi di sini. Apa boleh buat, toh bahasa Perancis-nya sangat bagus dan sistem pengajarannya bagus. Dan aku sebenarnya juga sama sekali tidak membenci Mathilda.

"Good Day, Lady Clare," sapa Mathilda dengan iris zamrud-nya yang bersih.

"Tidak usah terlalu formal kalau sedang privat nanti, telingaku kurang enak mendengarnya," kataku berusaha selembut dan semanis mungkin. Iba rasanya kalau melihat Mathilda. Habis, dia 'kan menyukai Sebastian si iblis. Yah, malang sekali 'kan nasib guru bahasa Perancis-ku ini?

"Baiklah, Clare. Berarti tetap seperti biasa, ya?" kata Mathilda seraya tersenyum manis ke arahku.

Aku berusaha tersenyum dengan setulus-tulusnya. Kalau dengan Mathilda, walau dia tebar pesona, tapi rasanya aku merasa tenang kalau di dekatnya. Entahlah, semacam perasaan anak terhadap ibunya. Atau adik terhadap kakak kesayangannya. Aku tidak begitu tahu, aku sudah melupakan semua jenis kasih sayang semenjak 'saat itu'. Aku dan Mathilda kemudian memasuki ruangan belajar. Aku segera mengambil posisi ternyaman untuk aku belajar, dan segera memulai pelajaranku.

"Maaf ya kalau aku tidak sesuai dengan jadwal biasanya," kata Mathilda dengan nada menyesal.

"Tidak apa-apa, toh aku memang sedang senggang. Aku malah bersyukur ada teman ngobrol," jawabku berbohong. Ya, tidak sepenuhnya berbohong sih. Memang sebenarnya aku senang Mathilda datang, dia sudah seperti kakak perempuanku sendiri. Karena itu aku memintanya untuk jangan formal-formal kalau sedang privat, agar benar-benar terasa seperti seorang kakak yang sedang mengajari adiknya. Tidak seperti 'dia'. Bahkan ketika pada hari kecelakaanpun aku sama sekali tidak berniat untuk menolongnya, hingga pada akhirnya malah aku yang menghilangkan nyawanya.

"Eh... Clare, maaf ya. Setelah makan siang nanti, aku harus segera pulang hingga tidak bisa menemanimu. Adikku sedang sakit," kata Mathilda seraya mengeluarkan buku-buku pelajaran. Wajahnya tampak cemas, sepertinya karena mengkhawatirkan adiknya. Benar-benar kakak yang baik.

SYUUUT! Dadaku mendadak terasa nyeri. Kenapa? "Oh, tidak apa-apa. Kebetulan, setelah ini aku juga masih ada pekerjaan lain," kataku lagi setelah sadar dari lamunan singkatku—walau begitu aku masih sempat berbohong.

Tapi, kali ini juga aku tidak berbohong sepenuhnya. Setelah ini aku memang berencana meliburkan semua jadwal pelajaranku yang lain dan bertekad untuk menemui Undertaker. Aku ingin secepatnya berunding dengan Undertaker tentang rencanaku untuk memusnahkan Sebastian. Semakin cepat semakin bagus. Dan semakin memikirkan kalau rencanaku berhasil, aku semakin senang.

Pelajaran bahsa Perancis yang biasanya membuat kepalaku penat dan hampir membuat leherku berputar tiga ratus enam puluh derajat, hari ini—tepatnya sekarang ini terasa sangat gampang buatku. Hampir sama seperti orang dewasa mengerjakan soal anak kelas satu SD. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi hingga aku bisa seperti ini, tapi ini pertanda bagus. Semakin cepat aku mengerjakan tugas bahasa Perancis ini, semakin cepat aku bisa memulai rencanaku.

Ketika pelajaran bahasa Perancis selesai dan Mathilda sudah pulang, aku segera menuju kandang kuda di halaman belakang dan menyiapkan kuda kesayanganku, Grape. Hari ini aku akan menemui Undertaker, sendirian. Kusiapkan semua yang kuperlukan—walau dengan enggan terpaksa kuterima bantuan Sebastian kali ini.

"Nah, kau jaga rumah saja," kataku seraya menaiki Grape—dengan gaun yang sudah kulipat menjadi sedikit lebih pendek.

"Anda mau ke mana? Apa tidak lebih baik bila saya temani? Lagipula ada Pluto yang menjaga rumah," kata Sebastian seraya memberikan pisau kecilku.

"Kubilang jaga rumah. Jangan keluar dari rumah. Bosan rasanya dikawal ataupun dibuntuti terus," kataku tajam dan menyuruh Grape jalan.

"Tapi, Nona Muda—"

"Ingat Sebastian, ini lambang kontrak kita," kataku sambil menunjuk eyepatch berwarna putih yang menutupi mata kiriku.

"As Your Wish, My Lady," kata Sebastian akhirnya—dari nada bicaranya, aku tahu ia terpaksa.

Aku segera memacu Grape, menembus gelapnya hutan, menuju ke tempat sang Dewa Kematian legendaris—Undertaker. Dadaku terasa seperti ditembaki oleh ratusan meriam berkal-kali. Aku terlalu senang untuk membayangkan apa yang akan terjadi. Baru kali ini aku melaksanakan rencanaku ini. Dan satu lagi, kalau ada William, semua akan menjadi jauh lebih baik lagi, sebab William adalah Dewa Kematian yang paling membenci Sebastian dan akan memusnahkannya dengan semangat empat-lima.

Ketika aku tenggelam dalam pikiran-pikiranku, tanpa kusadari aku sudah sampai di tempat Undertaker. Nuansanya yang benar-benar mengundang maut sama sekali tidak membuatku getir dan berniat kembali. Tekadku sudah bulat, bahkan sejak aku masih berusia tujuh tahun aku sudah mulai memikirkan rencana ini. Tapi saat itu aku masih terlalu kecil, dan sekarang adalah usia yang tepat. Aku bukanlah anak-anak lagi—menurutku.

"Undertaker, kau ada di dalam?" tanyaku seraya memasuki tempat Undertaker. Benar-benar terasa seperti di kuburan, bedanya di tempat itu tidak ada rumput ataupun angin yang berhembus pelan untuk menghibur hati yang kehilangan. Hanya ada suasana kematian dan kegelapan di tempat Undertaker.

"Hihihi… Countess of Chester, Lady Clare Fuston rupanya," kata Undertaker sambil tertawa ganjil di atas peti matinya seperti biasa.

"Aku mau minta tolong," kataku seraya ikut duduk di atas salah satu peti mati. Mata saphire-ku menatap iris Undertaker yang tersembunyi dengan serius.

"Khi khi khi.. Anda tahu bahwa Anda adalah pelanggan terhormat saya yang nomor satu setelah Earl," katanya sambil tetap tertawa ganjil dan meraih setoples makanan yang berisi semacam biskuit tidak jelas.

Ck, aku tahu 'Earl' yang dimaksud Undertaker adalah Ciel. Menyebalkan, lagi-lagi Ciel! Seolah aku ini adalah bayangan Ciel saja. Sabar, Clare, sabar… Kutenangkan diriku agar dapat berpikir dengan lebih jelas dan tidak lupa dengan tujuaku kemari. "Aku ingin meminjam beberapa anak buahmu untuk beberapa saat," kataku setelah setenang mungkin.

Tiba-tiba Undertaker langsung melompat ke arahku dan kini dia berada tepat di depanku. Dia lalu membungkuk sedikit dan menyetarakan tingginya dengan tinggiku yang sedang duduk. Tawanya yang ganijl membuatku sedikit bergidik ngeri. Helaian rambut Undertaker yang berwarna abu-abu keperakkan jatuh mengenai pundakku. Samar, tapi bisa kulihat irisnya yang berwarna yellow-green menatap tajam ke arahku. Tatapannya seolah ingin menguji tekadku.

"Belum ada yang pernah berniat meminjam kelima Dewa Kematian selain Anda, Lady Clare," ujar Undertaker yang masih menyetarakan tingginya dengan tinggiku. Dia lalu memperdekat jaraknya denganku seolah ingin memperlihatkan luka di wajahnya yang menyamping dari mata kanan atas hingga ke pipi kirinya. Luka itu terlihat seperti luka bekas sayatan pisau atau semacamnya.

Pakaian Undertaker yang serba hitam membuatnya benar-benar terlihat seperti malaikat maut yang ada di film-film maupun di buku cerita. Hanya bedanya dia tidak memakai kerudung, melainkan topi—bila sedang menjadi Undertaker pemberi informasi. Lain halnya kalau ia sedang menjadi 'Undertaker sang Dewa Kematian Legendaris. Saat itu ia tidak memakai topinya, dan poni yang menutupi matanya-pun dirapihkan hingga dia terlihat tampan. Dan memang, wajah tampan itu adalah wajah asli Undertaker. Katanya, dulu Undertaker tidak memiliki luka seperti sekarang ini di tubuhnya, entah apa yang terjadi aku tidak tahu.

"Ya, aku ingin mereka memusnahkan Sebastian," kataku akhirnya setelah terdiam cukup lama.

Undertaker lalu memiringkan kepalanya. "Memusnahkan butler kesayanganmu?" tanyanya lagi.

"Ya, benar sekali. Aku selalu menyesal telah mengikat kontrak dengannya, sejak sehari setelah dia menjadi butler-ku," jawabku.

"Boleh saja, akan kulakukan apapun yang Anda mau, Lady Clare. Asal dengan satu syarat, seperti biasa. Berikan hamba tawa terbaik," kata Undertaker yang langsung kembali ke tempat dia duduk semula.

Aku tersenyum puas. "Apapun yang kau butuhkan kecuali jiwaku, akan kuberikan, Undertaker," kataku seraya melepas eyepatch putih yang tadinya menutupi mata kiriku. Terdapat lambang kontrak di sana.

Sampai sekarang aku sendiri belum pernah melihat lambang kontrak itu seperti apa, karena aku terlalu takut untuk melihatnya. Yang jelas, aturan kontrak itu adalah bila si pengikat kontrak menaruh lambang kontrak semakin dekat dengan mata maka efeknya akan lebih kuat. Tapi semakin jauh lambang itu dari mata, efeknya semakin melemah, yang artinya kesetiaan sang iblis pada si majikan semakin tidak terkekang oleh kontrak. Si iblis bisa saja berkhianat karena tidak ada semacam mantera yang menghalanginya. Karena itu kutaruh lambang kontrak ini di mata, sebagai jaminan kalau Sebastian tidak akan mengambil jiwaku tanpa sepengetahuanku.

Aku kemudian merenggangkan tubuhku untuk bersiap-siap membuat Undertaker tertawa terbahak-bahak. Aku paling jago soal ini, lihat saja. Setengah menit kemudian Undertaker pasti akan langsung tertawa terbahak-bahak dan akan bersedia melakukan apa saja untukku. Dia tidak mau kalau dibayar dengan koin Ratu—dia pembenci Ratu.

Setengah menit kemudian…. "BWAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!" gelak tawa Undertaker langsung meledak layaknya granat yang jatuh dan menyentuh tanah."GYAHAHAHAHAHA!" Tawa Undertaker masih berlangsung. Aku sampai harus menutup telingaku agar gendang telingaku tidak rusak. Dua menit kemudian, baru Undertaker berhenti tertawa, dan itupun dia masih cekikikan sedikit.

"Ah, ya… akan kupanggil William, Grell, Ronald, Allan, dan Eric sekarang," kata Undertaker sambil meraih teleponnya yang bentuknya tidak jelas—warnanya hitam pekat dengan garis-garis putih abstrak seperti bekas cakaran di sana-sini. Bentuknya mirip tulang anjing yang diberi dua kepala tengkorak—di bagian atas dan bawah. Dia tampak memutar-mutar nomor telepon dan menahan cekikikannya.

"Halo, William?... Oh, bagus. Mereka semua ada di markas? … Uhuhu… bagus sekali. Lady Clare Fuston meminta kalian semua datang. … Oh, jangan salah paham, dia tidak bersama butler-nya. Dia malah meminta kalian untuk memusnahkan butler-nya itu. …. Baiklah, jangan terlambat. … baiklah," kata Undertaker setelah berbicara cukup lama di telepon, dia lalu menutup teleponnya.

"Bagaimana?" tanyaku takut-takut namun mencondongkan tubuhku ke depan..

Undertaker lalu menatapku dan tersenyum ganjil—seperti biasanya. "Maaf, Lady Clare, tampaknya kelima anak buahku hanya bisa melayanimu mulai besok malam. Tidak apa?" kata Undertaker sambil memakan biskuit anehnya.

Aku menghela nafas panjang dan berpikir sebentar. "Sepertinya pas juga. Kebetulan besok aku ada pesta pertemuan bangsawan di rumah Alois Trancy. Pestanya pasti selesai hingga larut malam. Akan lebih seru kalau aku membunuh Sebastian tepat setelah dia membunuh iblis-iblis lainnya. Baiklah, kunantikan besok malam, Undertaker. Pastikan anak-anak buahmu tepat waktu, pukul sepuluh malam di kediaman Alois Trancy," kataku akhirnya.

Undertaker hanya tertawa kecil mendengarnya. "Anda boleh memotong leher saya kalau saya tidak tepat waktu," kata Undertaker sambil mengunyah makanannya.

Aku segera berdiri dan membersihkan bajuku. "Sekalian hubungi Angela Blanc untuk berjaga-jaga. Kurasa Ciel juga akan ada di pesta itu. Bahkan iblis baru yang akhir-akhir ini muncul, yang meresahkan Ratu," ujarku sebelum melangkah keluar.

"Ah, dia, saya tahu tentangnya," kata Undertaker yang kini memainkan kuku panjangnya yang berwarna hitam pekat. Ketika aku menghentikan langkahku, kurasa dia langsung tersenyum dengan mengerikan dan menatapku dengan tajam. Soalnya bulu kudukku berdiri.

"Akan kuberikan kau satu tawa lagi," kataku yang langsung memutar balik langkahku. Undertaker hanya memiringkan kepalanya dan terkikik kecil.

Seperti sebelumnya, setengah menit kemudian Undertaker meledakkan ruangan itu dengan tawanya yang berdurasi dua menit tanpa henti. Rasanya seluruh ruangan itu sampai bergetar karenanya. Kututup telingaku serapat-rapatnya, walau tubuhku tetap serasa akan meledak karena tawa Undertaker yang seperti ledakan bom. Setelah dia berhenti tertawa, baru aku mulai kembali menanyakan informasi yang kubutuhkan.

"Jadi? Siapa iblis itu?" tanyaku setelah Undertaker tertunduk lemas di atas peti matinya karena kelelahan.

"Hem, dia Daniel Roux. Dia iblis yang sudah menetap cukup lama di Inggris. Dalam sosok manusia-nya, dia akan terlihat seperti berdarah campurang Inggris-Perancis-Spanyol. Di masyarakat Inggris dia memiliki gelar Baron of Lowestoft. Tapi akhir-akhir ini dia kekurangan energi dan tampaknya sedang 'sakit'. Jadi dia hanya melakukan kontrak singkat yang licik dan membuat si korban menaruh lambang kontrak di telapak kaki, agar dia dapat dengan mudahnya melanggar kontrak. Ketika korban tidur atau lengah, dia langsung mengambil jiwa si korban. Biasanya dia melakukan kontrak dengan umpan 'menjadi kaya, terkenal, dan naik kasta'," kata Undertaker panjang lebar. Aku hanya mengangguk sebagai tanda 'lanjutkan'.

"Dia tinggal tidak jauh dari mansion Earl. Yah, maksud dari 'tidak jauh' itu hanya berjarak beberapa hutan atau mungkin tiga sampai empat ratus kilometer dari daerah Earl. Dan memang sepertinya dia akan menghadiri pesta Earl Trancy. Ciri-cirinya seperti ini," lanjut Undertaker seraya mengeluarkan sebuah poster yang sudah lumayan lusuh dari dalam peti mati yang ia duduki itu.

Kuperhatikan poster yang bergambarkan seorang pemuda tampan berkulit putih pucat dengan iris hijau tosca dan rambut berwarna coklat muda yang panjang dan diikat satu kebelakang—hingga bentunya mirip ekor kuda. Poninya jatuh ke depan dengan rapi dan lurus, tampaknya dia memiliki lebih banyak darah keturunan Perancis. Mudah menghafal wajah si Daniel ini, dia menaruh kesan bunga mawar yang memiliki dua permata berwarna hijau tosca di inti sarinya—paling tidak itu pandanganku.

"Terimakasih banyak Undertaker. Dan jangan lupa dengan 'pesananku' tadi," kataku seraya benar-benar bangkit dan melangkah pergi kali ini.

"Anda terlalu cemas, Lady Clare," jawab Undertaker diiringi tawa ganjilnya. Dia lalu melemparkan sesuatu padaku. "Untuk menghubungi hamba," jelasnya seraya tetap cekikikan.

Kutatap benda kecil yang seperti kapsul berwarna hitam dengan tombol kuning kecil di bagian atasnya. Sepertinya akan berguna—sangat berguna malahan. Aku hanya terdiam melihatnya. Yah, aku bisa mengandalkannya sih, memang. Ketika aku keluar dari tempat Undetaker, Grape sudah berjalan-jalan kesana kemari dengan gelisahnya. Hem, sepertinya dia mengkhawatirkan majikannya yang berada di tempat yang jauh lebih seram dari kastil Dracula di Transilvania. Aku segera melepaskan ikatan Grape dari pohon terdekat di tempat Undertaker. Kuelus pelan kepala Grape yang kini tampaknya sudah lumayan tenang dan lega.

"Good boy," ujarku kemudian memberi minuman kepada Grape.

Grape langsung meneguknya dengan cepat, rasanya dia benar-benar kehausan. Kuda yang malang, sudah ketakutan di tempat yang 'sangat tidak jelas', ditambah rasa haus yang luar biasa. Setelah Grape berhenti minum dan meringkik, aku segera menaruh kembali beberapa botol air besar yang kini telah kosong di kantung barang yang kutaruh di bagian samping jok. Setelah semua beres, aku langsung menaiki Grape dan memacunya pergi dari sana.

Ketika aku mengarahkan Grape ke arah jalan pulang, tanganku terhenti sebentar. Otakku seolah hendak menyampaikan sesuatu—ide yang bagus. Hm, sepertinya ada baiknya juga kalau aku tidak segera pulang ke rumah besar yang ada iblis itu. Dan aku butuh refreshing hari ini.

"Kita ke kota sebentar, Grape," ujarku seraya mengelus kepala Grape.

Grape mendongak ke atas dan menatapku sebentar. Kemudian dia meringkik setuju. Aku tersenyum senang mendengarnya. Biarlah kulewatkan waktu makan siangku, toh aku bisa membeli makanan di kota. Aku juga lelah dijaga seekor iblis terus. Aku 'kan bukannya tidak bisa apa-apa, aku juga bisa melindungi diriku sendiri—kalau yang menyerang masih manusia biasa dan dalam jumlah terbatas, ya. Aku lalu menatap lurus ke depan, memacu Grape menuju kota. Angin berhembus pelan, mendorong tubuhku ke depan dengan lembut namun tegas.

Satu rencana besar tersusun.


TO BE CONTINUED


A/N : Inilah Fic hilang yang telah kembali #nak

Tanggal pembuatan : Kamis, December 20, 2012, 3:07:19 PM

Dan baru bisa dipublished sekarang *Sweatdrop* Itulah faktor sulitnya untuk bisa main internet dan faktor lupa #FileIniSempatNyelip Sudah saya cek sekilas dan beberapa typo sudah saya perbaiki, maaf kalau masih ada yang kecolongan. *bowed* Flame? Saya terima, karena itu juga akan memperbaiki kekurangan saya. Arigatou gozaimashita bagi yang sudah membaca!

DAAANNNN akhirnya saya berhasil meng-edit seluruh chapter di fic ini T^T /terharu sendiri/ #plak. Isinya sih nggak berubah, cuma jadi lebih rapih (semoga) #nak Yak, silahkan komentar, review, dan apapun itu! xD