Kala Hujan Menghampiriku
Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto
Tapi fic ini asli punya saya
Rate: T
Genre: Drama, friendship, hurt/comfort, angst, slight romance
Warning: First ff, abal, typo, mainstream, absurd, sinetron, alay, dll
Don't like, Don't read!
.
.
.
Chapter 1
Pagi itu langit terlihat cerah. Sinar mentari yang hangat menembus jendela dan mengenai wajahku. Angin semilir pun menari-nari membelai kulitku dengan lembut serta membuat rambut indigo panjangku berkibar. Dari balik jendela aku duduk termangu, takjub dengan keindahan yang tersaji di balik jendela bak sebuah lukisan. Sepintas aku melihat dua burung yang terbang beriringan. Ingin rasanya aku menyusul mereka, terbang dan menghilang dari tempat ini.
Memang pagi ini langit terlihat cerah. Sayang, suasana hatiku tak dapat secerah langit tersebut. Seperti biasa, pagi ini pun rutinitasku tak berubah. Sesampainya di sekolah, aku langsung duduk di bangku yang ada di sudut kelas. Sendirian dan kesepian memandang ke luar dari balik jendela. Hanya suara kicauan burung yang menemaniku dan hanya pemandangan dari balik jendelalah yang dapat sedikit menghibur hatiku.
Ironis memang. Aku merasa kesepian di antara banyaknya murid yang sedang saling bersenda gurau sembari menunggu bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Sejujurnya, aku ingin seperti mereka. Bercerita, bersenda gurau, dan tertawa besama dengan teman-teman yang lain. Tetapi aku tak bisa melakukannya.
Bukan sebuah rahasia lagi bahwa di setiap sekolah pasti ada perbedaan status dan golongan di antara para siswa. Memang tidak ada peraturan resmi yang mengatur hal tersebut. Namun hal tersebut selalu terjadi secara alamiah dan kita dapat melihat buktinya secara nyata dan jelas. Selalu ada golongan anak populer, golongan anak biasa, dan golongan anak yang tidak populer.
Ya, memang. Aku termasuk dalam golongan anak yang tidak populer. Mungkin justru lebih parah dari itu. Aku termasuk dalam golongan anak yang sangat tidak populer. Mengenaskan bukan? Padahal sudah lebih dari setahun aku menjadi murid di SMA ini. Tetapi satu orang teman pun aku belum bisa mendapatkannya.
Entah anugerah atau justru sebuah tragedi. Aku berada di kelas yang hampir seluruh muridnya adalah anak yang masuk dalam golongan anak populer di sekolah. Yah, paling tidak sisanya adalah murid yang masuk dalam golongan anak biasa. Sayangnya aku bukan termasuk dalam kedua golongan tersebut.
Sudah berkali-kali kucoba untuk mengakrabkan diri dengan teman-teman sekelasku. Tetapi entah mengapa setiap kali aku mengajak mereka mengobrol, mereka justru merasa tidak nyaman dan ingin segera menyudahi percakapan tersebut.
Tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku dengan nada yang tajam. Suara tersebut membuatku tersentak kaget, aku pun langsung menoleh ke arah datangnya suara tersebut.
"Hyuuga Hinata, jangan melamun terus! Bel sudah berbunyi dan senseimu sudah masuk ke dalam kelas. Seharusnya kau sudah siap untuk menerima pelajaran, tapi kau justru melamun terus," tegur Kurenai sensei kepadaku.
"Ha'i. Maafkan saya. Saya tidak sadar jika Kurenai Sensei sudah masuk ke dalam kelas," jawabku sambil menunduk.
"Hah, baiklah kali ini aku maafkan. Tapi lain kali jangan melamun lagi saat pelajaran," Kurenai sensei pun menegurku lagi.
Aku hanya menganggukkan kepala mendengar teguran terakhir yang ditujukan padaku. Semua teman sekelas memandang ke arahku. Ada yang terlihat sedang menahan tawa, ada yang wajahnya terlihat seperti mengolok, dan ada yang kelihatannya terkesan cuek dan tidak peduli dengan kejadian tersebut. Aku tak tahu mengapa aku sampai tidak mendengar bel berbunyi dan tidak sadar jika Kurenai sensei sudah masuk ke dalam kelas. Aku pun tidak habis pikir, mengapa tidak ada di antara teman sekelas yang mau memperingatkanku. Sungguh aku sangat malu. Dan aku hanya bisa menundukkan kepalaku lebih dalam untuk menutupi perasaanku ini.
.
.
.
Saat bel istirahat berbunyi aku langsung melangkahkan kakiku menuju ke kantin sekolah. Sesampainya di sana, kulihat kantin telah penuh sesak oleh murid-murid yang ingin membeli makanan. Sudah tidak ada lagi kursi kosong yang tersisa untuk kududuki. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli sebungkus roti dan pergi dari kantin untuk mencari tempat makan yang nyaman. Kuputuskan untuk makan di taman belakang sekolah, di kursi yang terletak paling pojok dari taman tersebut.
Aku menikmati suasana sepi di taman tersebut. Sejuknya angin semilir yang berhembus menambah kenikmatan dalam menyantap makananku siang itu. Aku pun mengedarkan pandanganku untuk melihat suasana di sekeliling taman. Aku lantas tersenyum ketika melihat Teuchi ji-san, petugas kebersihan di sekolahku, sedang menyapu daun-daun kering di taman ini.
"Konnichiwa, Teuchi Ji-san. Ji-san sedang sibuk menyapu, ya?" sapaku sekaligus berbasa-basi.
"Ah, iya seperti biasa. Ini kan memang sudah menjadi tugasku," jawab Teuchi Ji-san sambil tersenyum. "Kenapa Hyuuga-san makan sendirian? Bukankah lebih menyenangkan bila makan dengan ditemani oleh sesorang?"
"Ji-san seperti tidak tahu keseharianku saja. Maka dari itu paman temani Hinata saja di sini, sekalian istirahat sebentar. Taman ini kan lumayan besar, Teuchi Ji-san pasti lelah menyapu taman ini," pintaku sedikit memaksa.
Akhirnya Teuchi ji-san menyandarkan sapunya di pohon yang ada di dekat kursiku. Ia pun duduk di sebelahku. Kami akhirnya asyik mengobrol. Entah apa saja hal yang sudah kami bicarakan. Hampir semua topik kami jadikan bahan pembicaraan. Senang rasanya bisa bercerita dan tertawa bersama seseorang seperti ini. Ya, memang selama ini hanya Teuchi ji-sanlah yang mau mengobrol denganku.
Saat kami sedang asyik mengobrol, segerombol anak lewat di depanku. Seketika jantungku berdetak lebih kencang ketika kulihat Namikaze Naruto ada di antara gerombolan anak tersebut. Jantungku berdetak semakin kencang ketika Naruto memandangku sekilas sambil berlalu di hadapanku. Namun, nyaliku menjadi ciut ketika Uzumaki Karin, yang seluruh sekolah tahu bahwa dia tergila- gila dengan Naruto, melotot ke arahku. Aku pun langsung berpaling ke arah Teuchi ji-san untuk menghindari tatapan melotot dari Karin. Paman Teuchi hanya tersenyum geli melihat kejadian tersebut. Mungkin, Teuchi ji-san menganggap tingkah lakuku saat melihat Naruto itu menggelikan.
Namikaze Naruto. Entah mengapa beberapa bulan ini nama itu selalu terbayang di benakku. Rambut kuning dan mata blue sapphire miliknya seolah tak dapat hilang dari ingatanku. Dia adalah anak kelas sebelah yang sangat populer dan diidolakan oleh banyak siswi di sekolah ini. Dan tentu saja aku sadar diri bahwa aku tak mungkin bersamanya. Aku lebih memilih untuk tidak mengungkapkannya dan memendam perasaanku padanya.
Ya, aku berusaha menganggap hal ini hanyalah sebagai romantisme sesaat belaka. Hal yang lumrah terjadi pada anak seusia kita. Dan seiring dengan berjalannya waktu perasaan ini akan hilang dengan sendirinya. Mungkin. Setidaknya itulah yang aku harapkan.
Akhirnya aku kembali melanjutkan obrolanku dengan Teuchi ji-san. Namun tak lama kemudian bel tanda berakhirnya istirahat pun berbunyi. Aku berpamitan pada Teuchi ji-san untuk kembali ke kelas dan berterima kasih karena beliau sudah mau menemaniku untuk duduk dan mengobrol bersama. Setelah aku pergi, Teuchi ji-san pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
.
.
.
Hari ini adalah hari Minggu. Senang rasanya bisa seharian berada di rumah tanpa harus pergi ke sekolah. Hari ini aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan berdiam diri di kamar.
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper!
Like a skyscraper!
Lantunan lagu milik Demi Lovato terdengar bergema di kamarku. Kubuka mataku sehingga nampaklah iris amethyst yang sedari tadi tertutup. Aku menghayati lirik lagu tersebut sembari duduk di tepi jendela.
Aku terus memandang ke luar jendela. Sayang, siang ini langit terlihat mendung. Pemandangan dari balik jendela menjadi tak seindah biasanya. Karena bosan akhirnya aku mengambil salah satu novel yang ada di rak mejaku. Kukeraskan volume lagu tersebut. Aku pun asyik membaca novel sambil mendengarkan lagu yang kuputar.
"Hinata, Hinata! Ayo turun, Kaa-san ingin minta tolong sebentar," suara kaa-san memanggilku. Dengan enggan aku letakkan novel yang sedang kubaca dan kumatikan lagu yang sedang kuputar. Aku pun turun ke bawah untuk menemui kaa-san.
"Ada apa, Kaa-san?" tanyaku dengan malas kepada kaa-san.
Kaa-san menggelengkan kepala ketika mendengarku bertanya dengan enggan, "Tolong belikan tepung terigu dan gula di mini market yang ada di ujung jalan besar ya, Hinata-chan."
"Lho, kenapa harus di mini market? Mengapa Kaa-san tak membelinya di toko milik Chiyo baa-san saja?" tanyaku sedikit protes.
"Tadi Kaa-san sudah pergi ke sana. Tapi hari ini toko milik Chiyo baa-san tutup. Maka dari itu Kaa-san menyuruhmu untuk membeli tepung dan gula di mini market," jawab Kaa-san sambil menyerahkan uang kepadaku.
Aku terdiam sejenak. Tapi akhirnya aku pun menyanggupi permintaan dari kaa-san, "Ya sudah, aku akan membelikannya di mini market yang ada di ujung jalan besar."
Sesampainya di mini market aku langsung mengambil tepung terigu dan gula. Aku tidak berminat untuk melihat-lihat barang yang lainnya. Setelah mendapatkan barang yang kucari, aku berjalan menuju kasir untuk membayar barang tersebut.
Aku langsung keluar dari mini market setelah membayar barang yang aku beli. Kulihat jalanan cukup sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Mungkin karena hari ini libur dan langit terlihat sangat mendung sehingga orang-orang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah daripada di jalan.
Tiba-tiba hujan turun membasahi bumi. Awalnya hanya rintik-rintik, tapi semakin lama hujan tersebut menjadi semakin deras.
Aku sedikit panik. Aku langsung menyeberang jalan karena kupikir keadaan jalan sedari tadi memang sepi. Namun, saat aku sedang menyeberang, kudengar bunyi klakson yang sangat gaduh. Kutengokkan kepalaku ke arah bunyi klakson tersebut dan kulihat ada mobil yang semakin mendekat ke arahku. Seketika kakiku terasa lemas dan tidak dapat digerakkan lagi. Oh, Tuhan...
Ciiiiiiittttttttttt...
Terdengar bunyi mobil yang direm mendadak begitu memekakkan telinga. Aku langsung terduduk lemas di jalan. Mobil tersebut berhenti tepat di hadapanku. Syukurlah orang yang mengemudikan mobil tersebut dapat mengerem mobilnya tepat pada waktunya. Jika telat sedetik saja, mobil tersebut pasti sudah menabrakku. Dan sedetik yang lalu pun aku berpikir bahwa aku pasti akan mati.
Tak lama kemudian, orang yang mengemudikan mobil tersebut turun dari mobilnya. Ia berjalan menuju ke arahku. Ketika aku melihat wajah orang tersebut, aku menjadi panik kembali. Tubuhku terasa lemas, dan jantungku berdetak dengan sangat cepat. Semakin dekat jaraknya dariku, semakin banyak peluh yang menetes dari dahiku.
"Kau baik-baik saja 'kan?" tanya orang tersebut kepadaku.
Oh, aku langsung lemas ketika mendengar suara orang tersebut. Ya, orang tersebut adalah Namikaze Naruto. Ingin rasanya aku menangis. Entah aku harus merasa bahagia karena bisa bertemu dan menatap wajah Naruto dari jarak yang dekat atau aku harus merasa malu.
Dan tentu saja aku merasa malu. Aku merasa malu karena aku hampir saja mati tertabrak mobil karena tidak hati-hati saat menyeberang jalan. Sungguh hal yang begitu memalukan dan terlihat tolol. Bayangkan saja. Apa lagi orang yang hampir menabrakku adalah lelaki yang kusukai.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Naruto untuk yang kedua kali karena aku tidak merespon jawabannya. Wajahnya terlihat sedikit khawatir.
Akhirnya aku pun tersadar dari lamunanku dan menjawab pertanyaannya dengan sedikit tergagap, "Eee... eee... i-iya, aku baik-baik saja. Maaf aku yang salah karena tidak hati-hati saat menyeberang."
"Syukurlah kalau begitu," Naruto tersenyum mendengar jawabanku, "Maaf, apa kita saling kenal? Sepertinya aku pernah melihat wajahmu, tapi aku lupa tepatnya kapan dan di mana."
Sudah kuduga. Naruto memang tidak mengenalku. Aku sedikit kecewa, tapi hal tersebut memang wajar mengingat aku bukanlah anak yang populer di sekolah, "Ya, tentu saja. Kita ini satu sekolah. Bahkan kelasku berada di sebelah kelasmu."
Naruto terlihat kaget saat mendengar perkataanku. Dia tersenyum kikuk tampak merasa bersalah karena tidak mengenalku, "Ah, maafkan aku karena tidak mengenalimu."
"Sudahlah, jangan merasa bersalah, Namikaze-san. Aku tak merasa keberatan jika Namikaze-san tidak mengenaliku," jawabku sembari tersenyum walaupun dalam hati aku merasa begitu sakit dan ingin menagis.
"Hei, jangan memanggilku Namikaze. Aku jadi merasa kau sedang berbicara dengan ayahku jika kau memanggilku seperti itu. Naruto, panggil saja aku Naruto. Lalu siapa namamu?" tanya Naruto.
"Ah, Hyu-hyuuga. Namaku Hyuuga Hinata," lagi-lagi aku menjawab dengan tergagap.
"Hm, baiklah Hinata-chan. Hujan sudah semakin deras. Ayo, naik ke mobilku. Aku akan mengantarkanmu pulang," ajak Naruto kepadaku.
Seketika warna merah pun merambat ke pipiku. Naruto memanggilku dengan nama kecilku dan dia menambahkan suffiks –chan di belakangnya!
Dan, oh... dia menawarkan dirinya untuk mengantarkan aku pulang? Ya ampun, mimpi apa aku semalam?
Aku merasa dilema. Sejujurnya aku merasa sangat bahagia mendengar ajakan dari Naruto. Bahkan ingin rasanya aku menjerit bahagia. Sungguh aku ingin langsung menerima ajakan tersebut. Tapi aku merasa ragu untuk menerima ajakan Naruto. Aku merasa tak pantas menerima ajakannya. Apa lagi dia adalah anak yang populer. Aku takut reputasinya bisa jatuh bila ada orang yang melihatnya bersamaku.
Melihat aku hanya diam dan tak menjawab pertanyaannya, Naruto mengulurkan tangannya dan mengajakku sekali lagi, "Ayolah, apa yang membuatmu ragu? Hujan sudah semakin deras. Kita sudah hampir basah kuyup."
Aku tetap diam terpaku. Naruto merasa sedikit kesal karena aku mengabaikan uluran tangannya. Akhirnya ia pun meraih tanganku. Aku terkesiap pelan ketika Naruto melakukan hal tersebut. Ingin aku melawannya. Tapi apa daya, aku tak punya kuasa saat Naruto menarik tanganku dan menuntunku masuk ke mobilnya. Dan akhirnya Naruto pun mengantarkanku pulang ke rumah. Sungguh, hari itu menjadi hari yang begitu istimewa bagiku. Dan aku tak akan pernah melupakan peristiwa tersebut.
.
.
.
Dari balik jendela mini market, tanpa disadari oleh kedua orang tersebut, ada sepasang mata merah yang terus mengamati kejadian yang berlangsung itu dari balik jendela. Sepasang mata itu terus mengamati kedua orang tersebut hingga mobil yang ditumpangi oleh mereka berdua menghilang dari pandangannya.
Sepasang mata merah tersebut memandang tajam ke arah Hinata. Dia merasa cemburu dan iri pada Hinata. Dan pemilik sepasang mata itu pun berjanji untuk membuat pembalasan atas semua yang terjadi di hadapannya pada hari itu.
.
.
-Tbc-
.
.
.
Author Note:
Halo minna! Amu is here ^^
Ini ff pertama saya, yang saya ambil dari original cerpen buatan saya dengan judul yang sama dengan sedikit perubahan di sana-sini. Saya harap minna bisa suka dengan ff abal ini ^^
Saya tahu ff ini masih belum sempurna dan masih banyak sekali kekurangannya. Rencananya ff ini twoshot. Jadi saya mohon bantuan dari para senpai dan reader sekalian untuk mereview ff ini agar saya dapat membuat yang lebih baik lagi kedepannya.
Arigatou gozaimasu :D
.
.
.
.
.
Do you mind to review?
