Disclaimer: I don't own Naruto.
Warning: AU. OOC di beberapa(atau mungkin banyak) bagian.
-x-
-x-
-x-x-x-
-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-
Bulan Di Negeri Pasir
-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-
-x-x-x-
-x-
-x-
Pernahkah anda membayangkan suasana pada awal abad ke-20 yang melatarbelakangi sebuah negara di tengah gurun bernama Suna? Terlepas dari letak geografisnya yang kurang mendukung, kekayaan gas bumi di bawah daratan pasir Suna rupanya mendatangkan mala petaka. Segera setelah Kekaisaran Konoha muncul sebagai kekuatan dunia yang baru, serangan militer besar-besaran dilancarkan ke Negeri Pasir. Nasib Suna berubah menjadi sebuah daerah jajahan begitu perdana menteri mereka yang bergelar Kazekage dibantai secara brutal beserta seluruh anggota keluarganya dan hampir separuh penghuni parlemen ikut kehilangan nyawa dalam serangkaian pertikaian bersenjata yang membabi buta.
Namun ada satu hal yang terlewat dari mata Konoha. Tak satupun petinggi militer negeri api menyadari bahwa pada malam dimana perdana menteri dihabisi dan seluruh pemerintahan Suna diluluhlantakkan, seorang perempuan bernyali baja berhasil menyelamatkan gadis kecil berusia enam tahun dari rentetan mortir dan serbuan tank pasukan Konoha.
Perempuan bernyali baja itu bernama Senju Tsunade dan gadis kecil itu bernama Sabaku Temari. Demi menyelamatkan nyawa putri sulung Kazekage tersebut, Tsunade mengganti nama si kecil berambut pirang menjadi Kanaya Temari. Ditinggalkannya Temari di depan pintu rumah milik janda tua bernama Chiyo, yang sampai kini tak pernah tahu bahwa anak yang kemudian diasuhnya tersebut merupakan anak kandung perdana menteri terakhir Suna.
-x-x-x-x-
-x-
-x-x-x-x-
Hari ini, genap satu dekade pendudukan Konoha atas Suna.
Temari mempercepat langkah kakinya sambil sesekali merutuki padatnya jalanan ibukota dalam hati. Lalu lalang kendaraan yang saling serobot seakan tak mau mengalah antara satu sama lain menjadi satu hal yang paling tidak disukainya dari keramaian ibukota.
Padahal jika diingat-ingat, belum begitu lama rasanya sejak mesin mobil pertama kali ditemukan. Baru pada akhir abad lalu kendaraan beroda empat itu mulai diproduksi secara masal. Tapi sebuah penemuan tetap saja penemuan. Hanya dalam waktu beberapa puluh tahun jalanan Suna telah dipenuhi hasil penemuan fenomenal itu. Jalan-jalan raya yang lebar dan beraspal mulai dibangun demi menuruti perkembangan jaman. Industri otomotif dan senjata api mendadak popular dan para industrialis makin makmur seiring berkembangnya perang yang belum juga berhenti.
'Penemu mesin mobil itu pasti sekarang kaya raya,' batin Temari dalam hati, 'Barangkali lebih kaya daripada penemu benda berdering yang disebut orang dengan nama telepon itu.'
Temari menaikkan helaian selendang yang membalut pundaknya sambil meneruskan perjalanan. Gaun panjangnya yang menjuntai hingga tungkai bergoyang perlahan ketika kakinya berbelok ke sebuah jalan yang menuntunnya pada gang sempit di satu sudut ibukota.
Sebuah rumah mungil berlantai dua menjadi pemberhentian si gadis pirang.
"Nenek Chiyo!" panggil Temari sekerasnya pada sosok perempuan tua yang tengah sibuk merajut diatas kursi goyang kesayangannya.
"Temari?" raut sumringah segera ditampilkan Chiyo sewaktu mendapati gadis cantik yang berhambur memeluknya, "Kenapa kau ada disini?" tanya sang nenek, "Sekolahmu tidak sedang libur, kan?"
"Aku kangen," jawab Temari, "Kebetulan sekali Nyonya Tsunade memintaku untuk mengantarkan sebuah surat pribadi pada kawan lamanya di kota. Makanya aku mampir kesini."
"Nyonya Tsunade kepala sekolahmu itu?"
Temari mengangguk.
"Bagaimana kalau beliau marah?"
"Tidak akan," lanjut Temari, "Masih ada waktu dua jam sebelum keretaku berangkat."
Chiyo tersenyum sambil mengusap-usap rambut Temari yang berkuncir empat. "Kalau di sekolah kau pasti tidak berani mengikat rambutmu seperti ini," ujarnya.
"Tentu saja, Nenek. Mana boleh rambut diikat empat begini."
Kemudian Chiyo teringat sesuatu, "Oh ya, tunggu sebentar. Nenek punya sesuatu untukmu," katanya sambil berdiri.
"Sesuatu apa?" Temari penasaran.
"Pokoknya sesuatu," jawab Chiyo sebelum beranjak ke dalam kamarnya. Perempuan tua itu keluar sambil membawa sebuah gaun berwarna merah di tangannya yang mulai gemetar karena usia.
Temari bertanya ketika ia menerima uluran gaun itu, "Gaun pesta? Untuk apa, Nek?"
"Ya jelas untukmu, Temari," lanjut Chiyo, "Bukankah minggu depan ada pesta dansa disekolahmu? Ayo, coba dulu gaunnya. Kalau ukurannya kurang pas biar Nenek perbaiki."
"Pesta dansa? Bahkan aku tak memperhatikannya. Memang apa bagusnya pesta dansa?"
Sedikitpun Temari tak menyangka bahwa pernyataannya barusan akan membuat Chiyo tersinggung. "Kau ini bicara apa?" tegur si nenek, "Pesta dansa itu kesempatan bagus untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda dari kalangan terhormat. Bukankah semua putra petinggi dan pembesar serta usahawan terkemuka akan diundang?"
"Lalu?" Temari merespon balik tanpa dosa.
Chiyo terdengar menarik nafas dalam pada detik berikutnya. Sedikit kecewa, barangkali. Kecewa karena jalan pikirannya ternyata tak sejalan dengan sang cucu. Sepasang telapak tangan tua yang keriput menangkup wajah Temari dan mengusapnya perlahan. Sang nenek menatap dalam kedua mata gadis pirang dengan penuh harap dan pengertian yang entah dimana ujung pangkalnya.
"Temari Sayang…" ujar Chiyo pelan, "Kau tahu benar seperti apa keadaan kita. Nenek sudah terlalu tua, sudah tak sanggup lagi menopang hidup kita berdua. Nenek bukannya ingin memaksamu, Manis. Tapi sekarang sudah saatnya kau menikah."
"Menikah?" Temari tak sependapat, "Menikah itu bukan penyelesaian, Nek. Kalau aku buru-buru menikah dan dibawa ke rumah suamiku, aku justru tidak bisa lagi mengurus Nenek."
"Tidak apa, Temari. Tidak apa. Nenek hanya ingin melihatmu hidup layak. Selebihnya bukan masalah."
"Nenek, aku bisa bekerja—"
"Kau tidak boleh bekerja!" potong Chiyo dengan cepat, "Nenek tidak mau kau membanting tulang. Kau harus jadi perempuan terhormat, Sayang. Kau harus memperbaiki hidupmu."
Saat itulah Temari ingin sekali mengutuk kekolotan masyarakat yang selalu menomorduakan kaum perempuan. Masyarakat yang selalu menilai bahwa perempuan tidak akan pernah bisa berdiri diatas kakinya sendiri dan selamanya mesti dilindungi.
Namun sampai kapanpun juga seorang Temari tidak akan pernah tega membantah ucapan apapun yang dilontarkan oleh orang yang selama bertahun-tahun membesarkannya dengan susah payah. Orang buta pun bisa merasakan betapa sayangnya Chiyo pada Temari.
"Berjanjilah, Temari," pinta Chiyo, "Kau harus berdandan secantik mungkin dan bersikap semanis yang kau bisa. Nenek akan sangat bersyukur kalau ada pria dari keluarga baik-baik yang mau menerimamu."
Temari diam tanpa berkata apa-apa. Dua anggukan diberikannya sebagai ganti persetujuan verbal yang serasa tersangkut entah dimana. Dan sebuah pelukan hangat diterimanya sebagai balasan.
"Aku harus kembali, Nek," ujar Temari.
"Bagaimana dengan gaunnya?"
"Biar nanti kucoba di asrama. Kalau kurang pas aku bisa memperbaikinya sendiri."
Chiyo mengiyakan saja. Dicarikannya sebuah tas untuk membawa gaun itu sebelum berpesan, "Hati-hati di jalan. Belakangan ini gerakan pemberontak Pasir Bulan makin mengkhawatirkan."
Mengkhawatirkan?
Sekali lagi Temari tak sependapat, "Mereka berusaha memerdekakan kembali Negara kita, Nek."
"Tapi mereka pemberontak. Dan pemberontak itu sangat berbahaya."
"Tidak akan ada pemberontakan kalau Konoha tidak menjajah kita," Temari berkeras, "Mereka itu betul-betul parasit. Datang kemari dan membunuh ribuan orang demi mengeruk kekuasaan dan kekayaan rakyat. Kita ditindas dan diperlakukan seperti sampah."
"Jaga ucapanmu, Temari," sang nenek memperingatkan, "Kalau ada yang mendengar perkataanmu barusan, kau bisa diseret ke tiang gantung."
Temari mengguratkan senyuman getir di wajahnya. Andai saja Chiyo tahu apa yang dilakukan Temari di luar sana. Andai saja Chiyo tahu bahwa sebenarnya Temari adalah salah satu dari sedikit orang yang berada di barisan depan pemberontakan Pasir Bulan.
Andai saja.
Chiyo pasti sesak nafas mendengarnya.
-x-x-
-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-
-x-x-
Ruangan itu tak berjendela, tak bercelah, dan bahkan sekilas seakan tak berpintu. Sekujur dinding dan lantai hingga langit-langitnya berperedam ganda untuk memastikan tak sepatah katapun bisa didengarkan orang dari balik dinding tebalnya. Mungkin sampai kapanpun tidak akan ada orang yang percaya bahwa ruangan itu tersembunyi di balik tembok kokoh sekolah khusus putri paling terkemuka di dunia seperti Senju.
Lima orang manusia duduk mengitari sebuah meja oval yang terdapat di tengah ruangan. Tsunade, sang Kepala Sekolah Senju sekaligus pimpinan Pasir Bulan yang dikenal dengan julukan Iblis Pasir tampak memposisikan dirinya dengan tenang seperti biasa. Tak jauh dari perempuan paruh baya itu tampaklah Hatake Kakashi yang selama bertahun-tahun telah menjadi kaki tangan kepercayaannya.
Putri tunggal Tsunade, Ino, duduk berhadapan dengan seorang gadis berambut merah jambu bernama Sakura. Di kalangan anggota Pasir Bulan, Ino dikenal handal mencari informasi apapun dengan cara yang seringkali tak terpikirkan oleh orang lain. Sedangkan Sakura adalah penyusup paling mahir sepanjang sejarah pergerakan Pasir Bulan. Diantara kedua gadis muda itu duduklah Temari. Berbeda dengan Ino dan Sakura, Temari memiliki kemampuan dan bakat yang tak terbantahkan dalam bidang pertempuran dan pertarungan fisik.
"Bagaimana hasilnya?" suara Tsunade terdengar memulai dengan satu pertanyaannya pada Temari.
"Positif," jawab Temari, "Namikaze telah menyetujui rencana kita. Semua persenjataan akan dikirim kemari dalam waktu satu minggu."
"Satu minggu?"
"Ya, satu minggu. Dua malam setelah pesta dansa."
Tsunade beralih pada putrinya, "Ino?"
Ino menyahut, "Pertemuan yang diperlukan sudah kujadwalkan tiga hari dari sekarang. Semua yang perlu hadir sudah kuhubungi."
Selanjutnya Sakura ambil bagian, "Cetak birunya sudah kudapatkan. Akan kita bahas dalam pertemuan tiga hari lagi."
"Personilnya?" tanya Tsunade.
"Semua siap," Kakashi yang menjawab, "Sudah kupastikan itu."
"Bagus," kemudian Tsunade mengembalikan lagi pandangannya pada Temari, "Misi kali ini kuserahkan sepenuhnya padamu, Temari."
Ino mengikuti arah pandang ibunya. Tersenyum manis sambil berkata, "Aku yakin suatu saat nanti kau akan menjadi panglima perang kami."
Senyum ikut terkembang di wajah Temari.
-x-x-x-x-x-x-
-x-
-x-x-x-x-x-x-
Senju didirikan oleh Tsunade dengan segala kemampuannya untuk menjadikan sekolah itu sekolah putri terbaik yang pernah ada. Dan dia berhasil. Namun Senju bukanlah sekolah dimana seorang gadis bisa mempelajari ilmu politik ataupun eksakta, sebab budaya yang berkembang di jaman ini tidak mengijinkan perempuan manapun mempelajari hal-hal seperti itu. Maka inilah yang dipelajari para gadis beruntung dari seluruh penjuru dunia di balik dinding alot Senju; tata karma, kepribadian, sastra, seni, dan berbagai keterampilan tertentu yang mungkin dibutuhkan seorang perempuan dalam perjalanannya sebagai seorang wanita dalam masyarakat.
Sejalan dengan dimulainya perang dan penjajahan, Tsunade memanfaatkan Senju sebagai kamuflase atas pemberontakan yang dipimpinnya hingga sekarang. Tentu saja tidak semua penghuni Senju mengetahui hal ini. Hanya mereka, para anggota setia Pasir Bulan yang menjadikan Senju sebagai markas rahasia.
Terlepas dari Pasir Bulan, ada satu tradisi tahunan Senju yang tak pernah dikesampingkan selama ini. Pesta dansa. Suatu kesempatan dimana Senju memamerkan para gadis hasil didikannya pada deretan pria lajang dengan latar belakang dalam daftar menjanjikan.
Dan itulah yang sedang berlangsung malam ini. Pesta dansa.
Tradisi bodoh, menurut Temari.
"Hey, menurutmu siapa yang akan mengajak kita berdansa malam ini?" Sakura tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan yang lebih mirip bisikan di telinga Temari.
"Mana aku tahu. Aku tidak peduli," lanjut Temari, "Saat ini yang kupikirkan cuma rencana kita beberapa hari lagi."
Sakura malah merinding. Ditengoknya ke kanan-kiri, dimana seluruh gadis seangkatan mereka tersebar dalam balutan gaun pesta terbaik yang mereka punya. "Kau harus hati-hati kalau mengatakan hal-hal seperti itu," tegur Sakura, "Disini banyak telinga."
Tidak jelas benar apa tanggapan Temari atas teguran itu. Sepertinya ia hanya diam.
Semua murid tahun ketiga Senju telah berjajar di sisi kanan aula sementara para undangan menempati sisi kiri yang tersedia. Hanya beberapa menit sebelum pesta resmi dimulai, Tsunade telah berdiri di podiumnya. Membacakan pidato basa-basi sesuai posisinya sebagai kepala sekolah. Alinea terakhir pidato panjang itu hampir tamat dibaca oleh Tsunade ketika tiba-tiba wakilnya, Kurenai, datang menghampiri dengan langkah darurat yang terlihat jelas. Kurenai menyela sambutan Tsunade dengan membisikkan sesuatu yang nyaris berhasil membuat kedua bola mata perempuan berambut pirang itu meloncat keluar seketika.
Susah payah Tsunade menahan raut wajah dan air mukanya yang tersentak tak percaya. Segala basa-basi dan tata karma yang pernah dipelajari dan dipraktekkannya selama ini ia kumpulkan sedemikian rupa ketika kepala sekolah Senju itu berkata, "Dengan segala hormat, adalah suatu kebanggaan tersendiri dan juga kejutan luar biasa bagi kami untuk menerima kedatangan Pangeran Ketiga Kekaisaran Konoha sekaligus Calon Gubernur Suna ditengah kita. Kami ucapkan selamat datang, Yang Mulia Pangeran Nara Shikamaru."
Semua kepala sontak menoleh ketika tangan Tsunade melambai ke arah sepasang daun pintu aula yang terbuka perlahan sesaat kemudian. Seisi aula tercengang bukan main. Para anggota Pasir Bulan bersiaga penuh tanpa aba-aba dalam tanda tanya besar yang tak pernah mereka nyana.
Nara Shikamaru? Datang tanpa pemberitahuan? Apa yang dilakukan seorang pangeran sekaligus calon gubernur Suna di tengah pesta dansa Senju? Telah terciumkah posisi Senju sebagai markas rahasia para pion utama Pasir Bulan?
Tidak, itu tidak mungkin. Itu memang kemungkinan terburuknya, tapi sepertinya tidak mungkin. Sekalipun posisi Senju diketahui, seorang pangeran tidak mungkin datang begitu saja atas keinginannya sendiri ke tempat ini.
Pintu aula utama Senju yang tingginya hampir mencapai atap terbuka semakin lebar. Sesosok pria berambut gelap memasuki aula itu bersama empat orang pengawal pribadi yang mengiring di belakangnya. Setelan militer yang dikenakannya seolah memamerkan betul pangkat jenderal yang ia sandang. Langkahnya berat dengan tempo yang terbilang pelan. Tanpa senjata.
Berarti ini tidak terkait dengan Pasir Bulan.
Tsunade turun dari podiumnya dengan sigap, berjalan seanggun dan seterhormat mungkin menghampiri tamu agungnya yang datang tanpa diundang. Persis di tengah bentangan karpet merah yang membelah aula tersebut Tsunade menghentikan langkah, kemudian memberikan penghormatan terbaiknya dengan membungkuk dan menekuk satu kakinya ke belakang.
Sang pangeran hanya membalas penghormatan itu dengan anggukan sekedarnya.
"Selamat datang, Yang Mulia," basa-basi Tsunade dimulai, "Ini merupakan kehormatan besar bagi kami," lalu dipersilakannya Shikamaru melangkah menuju kursi kepala sekolahnya, "Mari, silakan."
"Terima kasih," ujar Shikamaru dengan segala keningratannya, "Saya minta maaf karena tidak mengirimkan pemberitahuan lebih dulu. Baru tadi pagi saya tiba di Suna. Semoga anda tidak keberatan atas kedatangan saya sebagai tamu tak diundang, Nyonya Senju."
"Sama sekali tidak, Yang Mulia," lanjut Tsunade, "Secara pribadi saya sudah mendengar rencana kedatangan anda ke Suna untuk menggantikan Gubernur Aburame Shino. Saya hanya tidak mengira Pangeran akan tiba secepat ini."
"Saya memang harus cepat, Nyonya Senju," tambah Shikamaru, "Kematian Gubernur Aburame Shino berada jauh di luar perkiraan kami."
Dari perkataan Shikamaru tadi jelas terlihat bahwa Kaisar Konoha memang mengirimkannya untuk meredam pemberontakan Pasir Bulan. Tapi apa yang dilakukannya di tempat ini?
Hingga saat dimana pesta dansa resmi dimulai dan Shikamaru mencapai tempat duduknya, Tsunade masih terus berbasa-basi tidak jelas. Mengatakan segala hal yang selayaknya dikatakan seorang tuan rumah pada tamu agung di kediamannya.
"Perkenalkan, Yang Mulia," Tsunade mengarahkan tangannya pada Ino, "Putri tunggal saya, Ino."
Ino membungkuk sejurus kemudian, "Selamat datang, Yang Mulia."
Shikamaru mengangguk sekali lagi tanpa mengucapkan apa-apa. Entah Tsunade sadar atau tidak, semua basa-basinya sejak beberapa menit kebelakang tidak dicerna sama sekali oleh sang pangeran. Pandangan lelaki muda yang umurnya belum genap dua puluh lima tahun itu tertuju pada orang lain. Shikamaru merasa tak perlu menyembunyikan kenyataan bahwa sejak memasuki aula itu sepasang mata tajamnya telah menjelajah seisi ruangan. Ada sesuatu yang dia cari, ada sesuatu yang terpikir di otaknya. Sebuah tujuan. Tujuan atas kehadirannya pada malam pesta dansa Senju. Dan dibalik senyum palsunya, Tsunade masih berusaha mencari tahu apa tujuan itu.
Seseorang disana telah menyita perhatian Shikamaru selama lebih dari dua menit. Seorang gadis dalam balutan gaun berwarna merah yang merengkuh sempurna tubuh jenjangnya. Bersahaja dan penuh tanya. Seorang gadis yang tampak tak sadar bahwa pesonanya telah berpendar dibawah cahaya malam.
"Boleh saya tahu siapa gadis itu, Nyonya Senju?" tanya Shikamaru menyela sambil mengarahkan dagunya sepintas.
Tsunade ikut menggerakkan lehernya dan sesaat kemudian penglihatan perempuan paruh baya itu menumbuk sosok gadis yang sudah jelas ia kenal. "Penglihatan anda memang jeli, Yang Mulia," kata Tsunade, "Gadis itu salah satu murid terbaik kami. Namanya Kanaya Temari."
"Murid terbaik?" nada ketertarikan Shikamaru tertangkap oleh sang kepala sekolah.
"Benar, Yang Mulia." Ini waktunya promosi, Tsunade, promosi. Promosi adalah bagian dari basa-basi yang baik. Lanjutnya, "Sepanjang pendidikannya, Temari sudah empat kali kami kirimkan keluar Suna sebagai wakil Senju dalam pertukaran pelajar dengan beberapa sekolah putri terkemuka di negara lain. Prestasinya selalu sempurna di semua kelas yang dia ambil. Tari, bahasa, kaligrafi, hingga merangkai bunga. Salah satu lukisan yang dibuatnya tahun lalu mendapatkan penghargaan khusus dari Yang Mulia Kaisar Konoha dan sampai saat ini masih dipajang di koridor utama istana gubernur Suna. Temari juga mahir memainkan lima alat musik berbeda dan beberapa lagu ciptaannya sempat diperdengarkan di tiga negara dalam sebuah acara gelar budaya beberapa waktu lalu."
Cukup itu saja. Rasanya Shikamaru tak perlu tahu tentang kelebihan Temari dalam bidang memanah dan menembak, bahkan ketika tengah melaju kencang diatas punggung kuda sekalipun. Shikamaru juga tentunya tak perlu tahu mengenai kemampuan Temari memainkan pedang dengan dua tangan yang telah berhasil memenggal leher Aburame Shino serta mengantarkannya menuju ajal di pagi buta beberapa waktu lalu. Akan buruk pula jadinya jika Shikamaru mengetahui bahwa Temari menguasai teknik bela diri tingkat tinggi yang memungkinkan gadis itu mematahkan leher tiga orang prajurit hingga tewas dalam waktu kurang dari dua detik. Dan terkutuklah Tsunade jika sampai ia membiarkan Shikamaru mendengar betapa brutal dan mengerikannya Temari ketika murid terbaiknya itu memegang senapan mesin di tangannya.
Satu lagi ditambahkan Tsunade, "Temari juga merupakan siswi pribumi Suna pertama yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah."
"Dia pribumi?" tanya Shikamaru.
"Benar, Yang Mulia. Temari adalah warga asli Suna."
"Bagaimana dengan latar belakang keluarganya?"
Yang ini sedikit sulit untuk dijawab. "Sayangnya Temari adalah gadis yatim piatu, Yang Mulia," jawab Tsunade akhirnya, "Orang tua dan kedua adiknya meninggal dunia sepuluh tahun lalu. Dia dibesarkan oleh seorang perempuan tua pensiunan pengajar di sebuah sekolah umum. Kami menerimanya sebagai siswi di Senju karena kepribadiannya yang luar biasa, bukan karena latar belakang keluarganya."
Sepuluh tahun lalu. Cara yang cukup halus untuk mengatakan bahwa seluruh keluarga Temari tewas dalam penyerangan Konoha ke Suna.
"Apa maksud anda dengan 'kepribadian yang luar biasa', Nyonya?"
"Sampai sekarang Temari aktif sebagai relawan, Yang Mulia," Tsunade menjelaskan, "Dia menghabiskan waktu luangnya di beberapa rumah sakit, penampungan warga, pengungsian, dan juga panti asuhan yang merawat anak-anak cacat."
Cukup jelikah Tsunade untuk melihat sebentuk lengkungan senyum di sudut bibir Shikamaru saat itu? Mungkin tidak. Karena sang kepala sekolah Senju setengah ternganga ketika melihat Shikamaru beranjak dari tempat duduknya, berjalan pelan melewati beberapa orang yang masih menatapnya dengan pandangan kagum dan tak percaya.
"Selamat malam, Nona."
Bukan salah jantung Temari jika saat telinganya mendengar sapaan itu detakan didadanya mendadak absen satu ketukan. Waktu serasa terhenti ketika gadis itu membalik punggungnya dan mendapati sosok salah satu dari sekian orang yang ingin sekali dilenyapkannya dari dunia ini.
Shikamaru berdiri disana, dihadapannya. Bukan cuma itu, sang pangeran juga merendahkan diri dengan memberikan sebuah penghormatan. Pangeran yang semestinya angkuh itu tiba-tiba membungkuk dihadapan Temari, kemudian diulurkannya tangan kanan kepada si gadis bergaun merah. "Boleh saya tahu siapa nama anda, Nona?" tanyanya.
Untunglah Temari masih memiliki akal sehat dan nalarnya secara sempurna. Ia tak terjebak dalam amarah dan keterkejutan yang berlebihan meski saat ini, persis di depan matanya, berdiri seorang manusia yang tentunya ingin sekali Temari mintai pertanggungjawaban atas pembantaian yang terjadi pada keluarganya sepuluh tahun lalu. Dan juga seorang manusia yang kini memang bertanggung jawab atas penjajahan di daratan Suna, tentunya.
Temari menarik balik semua tata kramanya ketika gadis itu memberikan penghormatan dengan cepat sebelum menyerahkan tangannya pada sang pangeran yang berakhir dengan sebuah kecupan singkat di punggung tangan Temari. "Nama saya Kanaya Temari, Yang Mulia," jawabnya.
"Baiklah, Nona Temari," ujar Shikamaru kemudian, "Bersediakah anda menjadi pasangan dansa saya malam ini?"
Seketika itu Temari ingin berteriak, ingin menjerit, ingin memaki, ingin mematahkan seluruh tulang di tubuh Shikamaru. Tanpa terlewat, masih pula berputar-putar dalam benak gadis itu alasan apa yang melatarbelakangi kedatangan seorang Nara Shikamaru ke sekolah putri seperti Senju. Namun sekali lagi, situasi seperti apapun tidak akan menggoyahkan akal sehat Temari. Senyum yang demikian dipaksa melengkung di wajah si gadis berambut pirang ketika ia menjawab dengan suara anggun, "Tentu, Yang Mulia. Ini kehormatan bagi saya."
Ini mimpi buruk. Pasti mimpi buruk.
Mungkin.
Sementara itu Ino memandangi kedua insan tersebut dari kejauhan. Bibirnya tergigit tanpa sadar ketika ia bertanya pada Tsunade yang berada di sebelahnya, "Ibu, bagaimana ini?"
"Diamlah, Ino," jawab Tsunade datar, "Ibu sedang memikirkan isi kepala pangeran itu."
Andaikan saja Shikamaru tahu, bahwa pada detik dimana kedua tangannya mendarat di pinggang Temari, dalam hati gadis itu telah sukses merapal segala macam sumpah serapah yang pernah diucapkan seantero makhluk bumi.
-x-
-x-
-x-x-x-x-x-x-
TBC
-x-x-x-x-x-x-
-x-
-x-
-x-
a/n: apapun pendapat anda tentang fic ini, silakan sampaikan lewat review.
Terima kasih banyak.
