Innocent
Disclaimer :
Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki
Penulis tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini
Enjoy!
"Bundaaa,"
Seorang balita berambut merah memanggil sesosok bersurai baby blue yang ada di hadapannya. Mata biru bulatnya menatap sosok yang ia panggil bunda tersebut—Kuroko Tetsuya namanya.
Ah, bukan. Lebih tepatnya Akashi Tetsuya. Beberapa tahun yang lalu ia telah menikah dengan Akashi Seijuuro, seseorang yang berasal dari keluarga kaya yang hartanya tak akan pernah habis tujuh belas turunan dan delapan belas kali tanjakan.
Mereka sudah saling mengenal sejak jaman SMP, dan baru mulai berpacaran saat hari kelulusan SMP mereka (Tetsuya sangat senang sekaligus malu luar biasa ketika ditembak Seijuuro di atas podium setelah si merah selesai memberikan pidato kelulusan). Seijuuro tidak mau ada yang menyalip di saat mereka tidak bersama—karena berbeda sekolah. Terkutuklah sang ayah yang dengan seenaknya telah mendaftarkan Seijuuro di Rakuzan, yang berada jauh dari Tokyo.
Menjalani hubungan Long Distance Relationship ketika baru saja jadian bukanlah hal yang mudah. Perjalanan cinta mereka melewati berbagai kelokan tajam, tanjakan maut, dan turunan ekstrem. Jangan lupakan setiap kerikil-kerikil tajam yang tersebar di seluruh jalan—intinya, sangat sulit.
Namun karena rasa cinta mereka yang tiada tandingannya di seluruh dunia, hubungan mereka tetap bertahan. Akhirnya, di hari wisuda kuliah Tetsuya, ia dilamar Seijuuro untuk menikah —dan lagi-lagi dia dilamar di atas podium. Tetsuya pasrah walau ia sebenarnya bahagia akhirnya dilamar.
Kini, mereka telah diberikan buah hati yang begitu lucu dan menggemaskan, yang merupakan perpaduan sempurna dari Seijuuro dan Tetsuya; Akashi Seita.
"Iya, sayang?" Tetsuya yang sedang mencuci peralatan masak menoleh ke arah putra kecilnya tersebut, menghentikan kegiatannya sejenak.
"Bundaa," panggilnya lagi. "Eita mau adik."
TRANGG
Teflon super anti lengket di tangan refleks terjatuh dengan keras ke wastafel, menambah efek dramatis dari keterkejutan Tetsuya akan perkataan Seita. Anak semata wayangnya meminta adik layaknya meminta dibelikan balon—sangat mudah tanpa mengerti betul maksud dari perkataannya.
Tetsuya mencuci tangannya dan menghampiri Seita yang sedang duduk di kursi kecil dekat meja.
"Seita-kun, kenapa mau minta adik?" tanyanya lembut.
"Coalnya teman-teman Eita di TK cemuanya punya adik. Cuma Eita yang gak punya, Bundaa." jawabnya polos dengan suara cadel khas balitanya. Tetsuya jadi bingung sendiri bagaimana menanggapi permintaan putra kecilnya yang satu ini. Ia memijit pelipisnya sambil menghela nafas.
"Seita-kun, untuk yang satu ini, rasanya agak...sulit?" jawab Tetsuya akhirnya.
"Ehh, kenapa?" Seita merengek. "Eita mau adik bayi, coalnya meleka lucu lucu. Telush bica temenin Eita main baleng," lanjutnya sambil menatap Tetsuya dengan memelas.
Ugh, Tetsuya tidak kuat.
Sosok baby blue itu memutuskan untuk mengalihkan pandangannya.
"Soalnya memberikan adik itu tidak mudah, sayang."
"Tapi Eita mau adik bundaaa, hiks..." Seita mulai berkaca-kaca. Tetsuya jadi panik.
"Baiklah, baiklah, nanti bunda akan coba bicarakan dengan ayah, ya?"
Mata bulat Seita kembali berbinar. "Holeeee," ia bersorak senang, lalu memeluk Tetsuya. "Makacih bunda."
Tetsuya tersenyum kecil, mengelus surai merah milik Seita. "Tapi gak janji ya, akan berhasil." bisik Tetsuya pelan.
Sayangnya, karena terlalu senang, Seita tidak mendengar bisikan tersebut.
"Tadaima."
Sebuah suara yang sangat mereka kenal terdengar dari arah pintu apartemen mereka. Dengan riang, Seita berlari kecil menghampiri sumber suara.
"Ayahh, okaeliii," sahutnya. Ia merentangkan tangan mungilnya, minta digendong.
Akashi Seijuuro tersenyum kecil melihat putranya. Ia terlihat sedikit acak-acakan. Dasi yang dilonggarkan, kemeja yang sebagian keluar dari celana, dan rambutnya yg sudah tak tertata rapi seperti saat ia berangkat kerja. Meski demikian, tak sedikitpun pesona seorang Akashi Seijuuro berkurang. Ia pun segera menggendong jagoan kecilnya.
"Halo, jagoan. Bagaimana harimu, hm?"
"Menyenangkaannn," Seita menyahut dengan ceria.
"Bagus kalau begitu." ia mengacak-acak surai merah anaknya. Seita hanya terkekeh girang. Ia pun memeluk Seijuuro, melampiaskan rasa kangennya pada sang ayah karena seharian tidak bertemu.
"Okaerinasai, Sei-kun." Tetsuya menyambut suaminya dengan senyuman manis di wajah. Ia mendekat pada Seijuuro dan mencium kedua pipinya.
Seijuuro balas mencium bibir ranum milik Tetsuya. "Aku pulang, sayang."
"Makan malam sudah siap. Sei-kun mau makan dulu atau mandi?"
"Mandi saja. Tubuhku terasa lengket. Aku tak tahan." Seijuuro menghela nafas.
"Baiklah, kalau begitu akan kusiapkan air nya untukmu." Tetsuya berbalik pergi ke kamar mandi, meninggalkan dua sosok bersurai merah beda generasi tersebut sendirian. Yang paling kecil mendongak menatap yang lebih tua.
"Ayah," panggilnya. "Eita mau minta cecuatu boleh?"
Seijuuro sedikit sweatdrop dengan tatapan silau penuh harap dari putranya. "Mau minta apa?" ia bertanya sambil masuk ke dalam, hendak ke kamar.
"Hehe." Seita tersenyum malu-malu. "Eita mau adik, ayah."
JDUG
Seijuuro kejedot tembok karena belok lebih cepat dari yang seharusnya, padahal tikungan masih beberapa senti lagi di depan. Sambil mengusap dahinya, ia kembali berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.
"Seita, tadi bilang mau apa? Adik?" Seijuuro berusaha memastikan telinganya sudah bersih, sehingga tidak tersumbat dan salah dengar.
Seita menganggukan kepalanya dengan antusias hingga lemak bayi yang ada di pipinya bergoyang-goyang. "Iya, ayah. Tadi Eita juga udah minta cama bunda."
"Lalu bunda bilang apa?"
"Bunda bilang nanti bicalakan lagi cama ayah." kemudian ia memberikan tatapan merajuk pada ayahnya. "Boleh ya ayah? Yaaa?"
Seijuuro tersenyum, nyaris menyeringai. "Tentu saja, nanti akan ayah dan bunda berikan untukmu. Tapi harus sabar ya, karena adik tidak datang langsung jadi."
"Ehh? Kenapa kok gitu?" Seita tampak kecewa.
"Memang harus begitu."
"Kenapa?"
"Ya begitu pokoknya."
Seita tampak tak puas. Seijuuro nyengir.
"Sudah, yang penting Seita dapat adik kan pada akhirnya? Atau tidak usah saja?" Seijuuro menatap jahil pada anaknya.
"Ehh...jangan, ayah. Eita mau, Eita mau adik!" rengeknya.
"Nah, makanya harus sabar ya? Jadilah anak baik sampai adik datang." bujuk Seijuuro.
"Unn!"
.
.
.
.
.
Seijuuro meregangkan tubuh sebelum menjatuhkan diri ke ranjang empuknya. Setelah selesai mandi dan makan malam, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Ah, memang pulang ke rumah dan bertemu istri dan anaknya adalah obat terbaik.
Ia melirik Tetsuya yang baru saja masuk ke kamar mereka. "Seita sudah tidur?" tanyanya.
Tetsuya mengangguk. "Iya, dia sudah tidur pulas di kamarnya." ia menyahut sambil naik ke atas ranjang, rebahan di samping Seijuuro. "Sei-kun."
"Hmm?"
"Tadi sebelum kau pulang Seita-kun meminta sesuatu padaku."
Seijuuro hanya menatap Tetsuya, mengisyaratkan agar melanjutkan perkataannya. Walau sebenarnya ia sudah tahu putra kecilnya itu mau minta apa, sih...
"Uhm...anu...," entah kenapa Tetsuya jadi merasa grogi. Jari-jarinya memainkan ujung bantal untuk membantunya mengatasi kegugupannya—yang malah membuat Seijuuro jadi gemas sendiri ingin menerkam—dan matanya menatap Seijuuro.
"Seita-kun minta adik, Sei-kun." akhirnya Tetsuya berhasil.
Detik berikutnya, Tetsuya menemukan dirinya sudah dikungkung oleh kedua lengan kekar milik Seijuuro, dan jangan lupakan tatapan penuh nafsu dari dua bola mata ruby suaminya—Tetsuya bersumpah barusan ia melihat mata tersebut berkilat tajam.
"Kasihan sekali anak kita. Sepertinya dia sangat kesepian sampai meminta adik untuk menemaninya. Mengapa kita tidak kabulkan saja?" sahut Seijuuro sambil tersenyum ganjil.
Uh-oh. Tetsuya punya firasat buruk melihatnya.
"Um..tapi, bukankah Sei-kun pernah bilang mau punya anak satu saja?"
"Tadinya iya, tapi aku berubah pikiran."
"Uh..tapi...mmh.." Tetsuya melenguh merasakan hangat lidah Seijuuro menyapu lehernya. Ia mendongakkan kepalanya tanpa sadar, memberikan akses lebih untuk suaminya.
"Apa Tetsuya yang tidak mau?" jari-jari tangan iseng menyusup ke dalam pakaian, memainkan dua bulatan merah muda di dada.
"Ngh...aku mau, kok..." dua lengan kurus memeluk punggung kokoh Seijuuro. Lenguhannya lama kelamaan berubah menjadi desahan pelan.
Mendengar itu, dengan kecepatan super bak sinyal internet yang baru saja diisi kuota full, Seijuuro langsung membuka piyama tidur Tetsuya. Tidak sampai satu menit, penguin biru kesayangannya itu sudah terbaring telanjang di bawahnya.
Tetsuya memalingkan wajahnya yang memerah. Kedua lengan memeluk tubuhnya sendiri dengan malu-malu. Demi apapun, ia sudah berkali-kali melakukan ini dengan Seijuuro, namun reaksinya barusan seperti perawan yang baru saja akan digagahi di malam pertama.
Seijuuro menyingkirkan kedua tangan Tetsuya yang menutupi tubuh kecilnya.
"Kenapa ditutupi?" bibir merah kembali mencumbu leher putih istrinya. "Aku jadi semakin tergoda kalau Tetsuya malu-malu begitu."
"Ah!" sebuah desahan kembali keluar saat dua benda di bawah sana secara tak sengaja saling bergesekan.
Cukup.
Seijuuro sudah tidak tahan lagi. Desahan-desahan yang dikeluarkan oleh Tetsuya sangat seksi, membuatnya semakin ereksi.
"Aku sudah tidak tahan lagi, sayang."
Sepasang bola mata biru menatap dua ruby suaminya dengan sayu. Pipinya merah bersemu. Dua lengan putih melingkari leher, mendorong kepala merah maju.
"Onegaishimasu..." ia berbisik lirih.
Seringai di wajah tampan Seijuuro kembali tercetak.
Waktunya menyantap hidangan penutup~
FIN
Author's note :
Halo! Salam kenal semuanya, ini fanfiksi pertama saya yang di publish. Awalnya fiksi ini ditulis karena iseng, dan terinspirasi dari AkaKuro RP chat saya dengan teman saya ehehe. Kritik dan saran yang membangun sangat dipersilahkan. Terima kasih :)
.
.
.
.
.
.
.
.
OMAKE
Sabtu pagi yang cerah, keluarga kecil Akashi sedang sarapan dengan khidmat. Err…tidak sepenuhnya, sebenarnya. Sejak tadi, Seita hanya memandang mereka dengan wajah datar—namun apabila ditilik lebih jauh, sepasang bola mata biru itu dipenuhi rasa penasaran. Sepiring kecil omelet yang ada di depannya masih utuh dan tak terjamah.
"Seita, hentikan tatapanmu sekarang dan cepat sarapan." Seijuuro yang sudah tak tahan akhirnya bertitah.
"Ayah."
"Hm?"
"Cemalam ayah cama bunda lagi apa cih? Kok ayah tindihin bunda, kan kacian bunda?"
UHUK—
Seijuuro tersedak dengan tidak elitnya, sementara Tetsuya langsung merah padam.
Sepertinya lain kali mereka harus mengecek apakah pintu kamar mereka sudah terkunci rapat atau belum, mengingat sang anak yang terkadang suka bangun tiba-tiba dan pergi ke kamar mereka untuk tidur bareng.
