Summary :
Selamat datang di One Wish Company. Kirimkan permohonanmu, kami akan berusaha mewujudkannya. Bayaran? Bisa di negosiasikan selama anda puas dengan pelayanan kami / NaruHina / Warning Inside / Please Read. Don't Like? Just Review
Suara celotehan terdengar dari sebuah kotak di tengah ruangan yang menampilkan orang yang sedang mengobrol. Pembicaraan mereka mulai memanas dengan bertambahnya permasalahan politik yang sedang berkecamuk.
Dari sudut ruangan, bisa terlihat seberapa kacaunya tempat itu. Kertas-kertas bertebaran di meja dan lantai. Cup-cup ramen dan cangkir-cangkir kopi teronggok di beberapa tempat. Tidak ketinggalan beberapa benda yang tak terdefinisikan turut memenuhi ruangan.
Beralih ke ruangan lain. Di tempat yang sekilas tampak seperti kamar tidur itu, sudah beralih fungsi menjadi kamar cucian. Kondisinya sudah mendekati kondisi rumah yang telah didatangi pencuri.
Di salah satu sudut apartemen itu terdapat ruangan yang dapat diidentifikasi sebagai dapur. Namun, jejak-jejak masakan tak dapat ditemui. Yang ada hanyalah sosok seorang pemuda.
Sepertinya pemuda itu adalah pemilik apartemen ini. Dan dia sama sekali tak berniat untuk membereskan kekacauan itu. Dia hanya menatap lurus layar laptop miliknya.
"One Wish Company?"
One Wish Company
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance
Pairing : NaruHina
Rated : T(eens)
Warning : Semoga tidak TYPO, AU-ish, OOC
Happy Reading
Don't like? Just Review ^⌣^
"Selamat datang di One Wish Company. Kami bersedia mengabulkan satu permohonan dari anda. Masalah bayaran bisa di negosiasikan. Apa permohonan anda?"
Seorang gadis berambut coklat tua sebahu itu menyapa dengan senyum lebar seakan sedang mempromosikan produk selayaknya SPG.
Pemuda pemilik apartemen tadi berdiri dengan sedikit bingung. Penampilannya sudah lebih 'normal' dibanding di apartemen tadi. Mengingat saat ini ia sedang berada di kawasan publik.
Pemuda itu mengenakan topi rajut hitam yang nyaris menutupi surai pirang keemasannya yang mencuat-cuat. Manik sapphire birunya ditutupi kacamata hitam besar yang bertengger di wajahnya.
"Maaf. Shi...zune-san," ia membaca name tag yang dikenakan gadis itu. "Ini perusahan apa, ya?"
Shizune-gadis resepsionis itu- mengerjap heran sebelum tersenyum bisnis pada pemuda itu.
"Anda pasti Namikaze Naruto, kan? Star Atlet di dunia basket dan sepak bola. Permohonan atas nama anda sudah diterima dan sekarang sedang dalam proses."
Naruto tampak sedikit terperanjat. Bukan hanya karena ada yang memakai namanya tanpa izin. Tetapi juga karena mendengar Shizune mengenali dirinya. Walau ia sebenarnya tidak berniat menyamar hari itu. Ditambah, ia sudah vakum dari kegiatannya 3 tahun yang lalu.
Ia memang sangat terkenal sebagai atlet basket dan sepak bola. Walau dalam praktiknya, ia lebih dipuja di dunia entertain dibanding di dunia olahraga. Tak sedikit iklan, acara tv, dan bahkan film yang menampilkan sosoknya.
Tapi, itu hanya sampai ia berusia 23 tahun. Setelah ia terlibat skandal dengan salah satu aktris pendatang baru saat itu, ia memilih untuk mundur dari semua kegiatannya.
Ia baru saja menghadapi orang tuanya yang sudah mendesaknya untuk segera menikah saat membaca e-mail dari One Wish Company yang menyatakan sanggup memenuhi permohonannya.
"Begini, Shizune-san. Aku tidak pernah mengajukan permintaan apapun pada perusahaan ini. Pasti ada kesalahan mengenai ini."
Shizune kembali menyediakan senyum bisnis kepada Naruto.
"Anda tidak perlu khawatir, Namikaze-san. Permohonan,-bukan permintaan- telah kami terima beserta bayarannya. Jadi, anda hanya perlu menikmatinya,"
Naruto menggeram. Ia sedikit terganggu dengan perlakuan semacam ini. Dia sangat tidak suka hal-hal yang terlalu mudah seperti ini. Baunya seperti sebuah penipuan.
"Ini mulai terdengar gila, Shizune-san. Ada yang membayar kalian untuk melakukan sebuah permin- yah, permohonan apapun itu, untukku." Naruto menghentikan Shizune yang mencoba meluruskan kata-kata Naruto.
"Bahkan, aku tidak tahu apa yang diinginkan orang itu! Tidakkah ini sedikit mencurigakan?"
Shizune terse-
"Dan jangan berikan senyum bisnis itu lagi," ujar Naruto dengan penuh penekanan.
Shizune berdeham malu.
"Namikaze-san. Perusahaan kami tidak akan berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Anda boleh menuntut kami jika anda merasa dirugikan. Tapi, siapapun yang mengirimkan permohonan itu, pasti sangat memikirkan anda."
"Tapi-"
"Anggap saja, ini sebuah hadiah dari fans anda. Anda akan menghargai usaha mereka, kan?"
Naruto mendesah tidak nyaman dan menggaruk pipinya yang tidak gatal.
Akhirnya, Naruto kembali ke apartemennya dan menemukan seluruh isi tempat tinggalnya menjadi sangat teratur dan bersih. Ia sedikit shock. Namun, ia mendapati bahwa tidak ada satu pun yang dibuang. Sampah juga hanya dipisah menurut jenisnya.
"Hhhh.. Apa benar tidak apa-apa?"
Naruto menjadi sedikit ragu akan keputusannya menerima semua perlakuan ini.
~SIMPLY ABSURDITY~
Naruto membuka matanya dengan malas. Ia mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar terbangun. Ia meregangkan tubuhnya untuk memperoleh kesadaran penuh.
Setelah membuka tirai dan beranda kamarnya agar cahaya dan udara pagi yang sehat dapat memenuhi kamar, ia mencuci muka dan menggosok giginya.
Ia kemudian melangkah menuju dapur dan menghirup kopi yang tersedia di meja makan. Ia meresapi pengaruh kafein yang menenangkan pikirannya. Sebuah rutinitas wajib di pagi hari.
"Bagaimana kopinya, Tuan?"
"Enak," jawab Naruto lirih.
"Syukurlah. Anda ingin sarapan apa? Roti atau nasi?"
"Kopi saja cu-" Naruto terbelalak. "KAU SIAPA?!"
Jantung Naruto seakan melompat keluar. Begitu pula dengan sosok wanita bersurai indigo yang terkejut mendengar bentakan Naruto. Nyaris saja gadis itu menjatuhkan teko kopi yang dipegangnya.
Gadis itu mengenakan hoodie ungu yang tampak kebesaran hingga menutupi setengah pahanya. Dibawahnya melekat leging hitam yang mencapai mata kakinya. Terakhir, kaus kaki ungu yang tampak hangat menutupi kakinya.
"Sa-Saya agen One Wish Company. Na-Nama saya, Hyuuga Hinata. Salam kenal," ujarnya terbata-bata. Tak lupa ia membungkuk hormat pada Naruto.
"Ke-Kenapa- ah, tidak. Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanya Naruto. Gadis itu melihat Naruto takut-takut. Ia terlihat sangat gugup, bertolak belakang dengan tindakannya yang 'cukup' berani : MASUK APARTEMEN PRIA LAJANG. Menakjubkan.
"Ngg.. Saya agen One Wish Company?" jawab Hinata tidak yakin dengan jawabannya.
"Hei, yang kutanya- ah, sudahlah." Naruto merasakan amarahnya lenyap saat melihat ekspresi cemas yang ditunjukkan Hinata.
Hinata tampak lega melihat sikap Naruto yang melunak. "Tuan mau sarapan apa?"
"Sebenarnya, kopi saja sudah cukup-"
"Ja-Jangan, tuan! Sarapan itu sangat penting. Kalau tidak sarapan, anda tidak bisa beraktivitas dengan optimal," ujar Hinata tegas. Naruto menatap Hinata bingung.
Sontak wajah Hinata memerah dan gadis itu langsung menunduk menyembunyikan rona manis yang mulai menjalar.
"A-Akan saya buatkan American Breakfast," tukas Hinata lirih. Gadis itu berbalik dan kemudian berkutat dengan pekerjaannya. Meninggalkan Naruto yang tak bisa melepaskan perhatiannya pada gadis bermata amethyst itu.
Sarapan itu sangat penting, Naruto!
"Kenapa aku bisa teringat hal itu, sih? Kalimat itu bisa diucapkan siapa saja, kan?" batin Naruto. "...cih! Aku merindukanmu, bodoh."
~SIMPLY ABSURDITY~
"Jadi, apa lagi yang mereka tugaskan padamu?" tanya Naruto setelah menghabiskan sarapan bersama Hinata-dipaksa ikut makan- pagi itu.
"Apa kamu juga yang membereskan apartemenku kemarin?"
Hinata menggeleng kuat. "Sa-Saya hanya diperintahkan untuk mengurus dan memastikan Tuan berkegiatan di luar ruangan. Bu-Bukan untuk membersihkan apartemen Tuan."
Hinata menghirup teh yang ia buat sendiri.
"Memastikan aku berada di luar apartemenku?" Naruti menaikkan sebelah alisnya. "Dan membiarkan kalian masuk seenaknya?" Suara Naruto terdengar sinis.
Mata Hinata terbelalak kaget.
"O-One Wish Company ti-tidak a-"
"Tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar hukum?" potong Naruto menyuarakan kata-kata yang ingin diucapkan Hinata. "Resepsionis kalian juga mengatakan hal itu. Tapi, aku berhak untuk waspada, kan?"
Hinata tak mampu membalas. Ia mengalihkan pandangannya mengitari isi apartemen Naruto. Susunan barang-barangnya belum banyak berubah setelah dirapihkan oleh agen yang dikirim khusus kemarin.
"Jadi, kemana?" tanya Naruto. Hinata menatap Naruto bingung. "Katamu tadi, aku harus beraktivitas di luar. Apa rencanamu untuk itu?"
~SIMPLY ABSURDITY~
"Nak, kau tampan sekali~"
"Niichan! Ayo, bermain bola!"
"Kamu mirip almarhum suamiku,"
"Aku masih disini, Nek.."
"Niichan! Bacakan cerita saja!"
"Nak, sepertinya aku pernah melihatmu~"
"Niichan! Kita main kejar - kejaran saja!"
"Nak~"
"Niichan!"
"Naaaak~"
" Niichan!"
Perempatan muncul di kening Naruto.
"Kumohon bicara satu persatu... Aku akan berusaha mengikuti. Jadi, kita bermain bola dulu, ya."
Naruto mengusap kepala salah satu anak yang mengerumuni tubuhnya. Ada sekitar lima sampai enam bocah yang menarik-narik jersey dan celana training yang ia kenakan.
"Obaasan dan ojiisan, nanti setelah bermain, kita mengobrol lagi, ya. Tidak apa, kan?"
Setelah mendapat persetujuan dari para manula itu, Naruto berlari menuju lapangan diiringi anak-anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah dasar itu. Dari kejauhan, Hinata tersenyum melihat interaksi antara mereka.
"Benar yang dikatakan Boss. Dia sangat sopan terhadap orang tua dan wanita. Dia juga dekat dengan anak-anak," batin Hinata senang. Tadinya, ia sedikit khawatir dengan misi yang diserahkan padanya ini.
"Onee-chan," seorang gadis kecil menarik ujung hoodie Hinata. Gadis kecil berambut merah panjang dan memeluk boneka teddy yang cukup besar menatap Hinata dengan bola matanya yang besar.
"Ada apa Sõra-chan?" tanya Hinata lembut. Ia berlutut meyetarakan tinggi mereka. "Mau dibacakan cerita, atau bermain bersama Teddy-kun?"
Sõra menggeleng pelan. Kening Hinata mengerut karena bingung. Perlahan Sõra menoleh ke arah lapangan. Hinata mengikuti arah pandang Sõra.
"Paman itu siapa?" Sõra menunjuk ke arah Naruto yang sedang dikerumuni anak-anak. "Apa dia malaikat yang nee-chan ceritakan?"
Hinata tertegun mendengar pertanyaan polos yang dilontarkan Sõra.
Sõra adalah penghuni baru di panti tersebut. Ia kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan besar. Tidak ada sanak keluarga yang diketahui keberadaannya, sehingga ia dititipkan di tempat itu. Sekarang sudah 6 bulan ia berada di sana.
Hinata adalah salah satu sukarelawan yang membantu di panti tersebut. Ia merasa khawatir pada kondisi Sõra di awal kedatangan anak itu. Sõra tak mau berbicara ataupun merespon perlakuan semua penghuni panti.
Saat Hinata sedang membacakan cerita tentang malaikat, entah mengapa Sõra merespon ceritanya. Anak itu mulai berani berbicara dan terus bertanya mengenai malaikat pada Hinata.
Malaikat yang akan membawa Sõra dan membahagiakannya. Sõra percaya itu. Ia terus menunggu keajaiban itu datang.
Hinata mengulum senyum.
"Aku tidak tahu apakah paman itu adalah malaikat Sõra-chan. Kami-sama selalu merahasiakan identitas para malaikat. Tapi, Sõra-chan mau berdo'a, kan?"
Satu anggukan semangat dari Sõra sudah cukup membuat Hinata menghela napas lega. Gadis bersurai indigo itu menarik Sõra dalam sebuah dekapan hangat.
"Bila saatnya tiba, aku yang akan menjadi malaikatmu, Sõra-chan. Aku janji," batin Hinata.
~SIMPLY ABSURDITY~
"Adududuh..." ringis Naruto.
"Ah, ma-maaf," ujar Hinata gugup. Hinata memperlembut sentuhan tangannya pada pergelangan kaki Naruto yang sedikit bengkak. Dengan hati-hati, ia membasuh perlahan dan meletakkan es di atasnya.
"Tidak apa-apa, kok. Ini cuma reaksi biasa karena sudah lama tidak olahraga selama itu, dan aku melakukannya tanpa pemanasan terlebih dahulu."
"... maaf," ucap Hinata lirih.
Naruto mendesah.
"Sudah kubilang, ini bukan salahmu." Naruto berbicara sembari menangkupkan tangannya di wajah Hinata dan memaksa iris mereka bertukar sapa. Rona merah muncul tanpa seizin Hinata selaku pemilik tubuh.
"I-Iya..." Hinata memalingkan wajahnya dari tatapan Naruto yang memabukkan.
Karena sedikit terkejut dengan reaksi manis Hinata, Naruto tak mampu berkata-kata lagi. Ia membiarkan Hinata menyelesaikan pekerjaannya.
Tidak ada komunikasi verbal yang terjalin. Suasananya menjadi sedikit canggung. Tapi, kedua insan itu tak tampak keberatan. Detak jam bahkan terdengar jelas. Bersahut-sahutan dengan debaran di jantung masing-masing individu.
Romansa? Belum. Hanya sedikit rasa nyaman. Namun tak menutup kemungkinan. Apapun dapat terjadi, bukan?
Que sera sera. What ever will be, will be.
~SIMPLY ABSURDITY~
Tak butuh waktu lama, pekerjaan Hinata hari itu selesai.
"Ja-Jadi, sa-saya akan datang besok," ujar Hinata lembut berpamitan dengan Naruto.
"Besok kita ke Panti Himawari lagi?"
Hinata terkesiap. "Ka-kalau Tuan tidak keberatan- ah, tuan ada tempat yang i-ingin didatangi?" Hinata menatap penuh harap. Walau itu bertentangan dengan keinginannya, ia harus membuat Naruto membuka hatinya. Agar tugasnya menjadi lebih mudah.
"Yah, aku senang kau tidak berusaha membuatku berada di tengah keramaian. Di tempat itu aku juga bisa berolahraga," sahut Naruto memberikan cengiran lebar.
Hinata tersenyum lega. Di dalam benaknya, gadis itu bahkan mengucapkan rasa syukur. "Kalau begitu, saya permisi, Tuan."
"Oh iya, Hinata," panggil Naruto.
Hinata tersentak. Ia tak mempersiapkan diri untuk mendengar Naruto memanggilnya dengan nama kecilnya. Dengan suara bariton Naruto yang 'khas' cukup membuat hatinya kewalahan.
"Jangan panggil aku dengan Tuan. Panggil saja Naruto."
Detak jantung Hinata tak bisa dikendalikan lagi.
"I-itu..."
"Ayolah, aku tidak suka dipanggil seformal itu. Berapa umurmu?" tanya Naruto tanpa menghiraukan semburat yang muncul pada daun telinga Hinata.
"Du-dua puluh dua,"
"Nah, panggil saja Naruto. Kita cuma beda 3 tahun," ujar Naruto santai.
"Ba-baik, Naruto-kun." Suara Hinata terdengar sangat lirih. Bahkan Naruto akan sulit mendengarnya jika saja apartemen ini tidak sunyi.
"Sebenarnya tidak perlu suffix, sih. Tapi, untuk saat ini, tidak apalah."
Hinata memainkan jemarinya gugup.
"Satu lagi, Hinata." Hinata tersentak sekali lagi. "Besok jangan datang sepagi tadi. Kau tidak ingin melihat yang aneh di apartemen seorang pria, kan?"
Dan, wajah Hinata merah padam dibuatnya.
~SIMPLY ABSURDITY~
"SERAAAAANGG!" seru bocah-bocah itu sambil berlarian menerjang Naruto.
"Coba saja kalau bisa!" balas Naruto tanpa lupa menambahkan tawa ala pemeran antagonis. Anak-anak itu semakin semangat mengejar Naruto yang terus menerus mengelak.
Ini sudah hari kelima Naruto bermain dengan mereka. Seperti biasa, selagi Naruto menemani anak-anak yang aktif, Hinata membuat kudapan dengan para sukarelawan lain, atau bermain dengan anak-anak yang pendiam.
Jumlah anak di panti tersebut ada 28 anak. Dengan kisaran umur 3-15 tahun. Ditambah 5 anak yang masih bayi. Sedangkan manula ada 3 pasang dan 5 yang sendiri.
Ada beberapa yang hanya dititipkan saat pagi hingga sore. Namun, penghuni tetap tempat itu ada 45 orang termasuk 10 orang diantaranya pekerja yang memutuskan tinggal menetap di sana.
Biasanya, setelah berumur 18 tahun, mereka akan mulai bekerja dan hidup di luar panti. Namun, tak sedikit yang kembali saat sudah sukses, atau malah menetap menjadi sukarelawan.
Hinata menjadi sukarelawan di sana berawal dengan pertemanannya dengan salah satu penghuni panti yang menetap di sana. Dia mungkin bukan penghuni tetap seperti temannya, tapi dia sudah menganggap tempat itu menjadi rumah keduanya.
Saat ini, Hinata sedang membuat minum untuk para penghuni panti. Beberapa pengurus lain bergantian membawa minuman yang sudah siap keluar dapur.
"Aku boleh minta kopi saja, Hinata?" tanya Naruto.
"KYAAAAA!" Hinata tersentak kaget. Teko berisi sirup di genggamannya nyaris terlepas. Naruto secara refleks meraih teko dan pinggang Hinata yang ikut kehilangan keseimbangan.
Hinata yang semakin terkejut malah memekik dan melepaskan diri dari sentuhan Naruto.
BRUUUK!
"... aduuuh," Hinata terjatuh. Naruto meletakkan teko yang berhasil ia selamatkan. Ia kemudian berjongkok di hadapan Hinata yang terpaku.
"Hei~ kau baik-baik saja, Hinata? Kenapa bisa sekaget itu, sih?" Naruto mengulurkan tangannya, berniat membantu Hinata berdiri. Hinata meraih tangan Naruto sembari mengucapkan maaf lirih.
Setelah Hinata berdiri, seorang pengurus panti datang, ia sedikit terpaku sejenak sebelum masuk dan mengambil teko berisi sirup.
"Ini yang terakhir, kan. Aku bawa ya, Hinata-chan," ujar wanita yang diperkirakan berumur di akhir 30-an itu. Wanita itu pun melangkah keluar dapur. Ia melirik sejenak ke posisi Hinata yang masih menggenggam tangan Naruto. Ia lantas terkikik geli dan buru-buru meninggalkan tempat itu.
Hinata menarik tangannya dan merasakan pipi hingga kupingnya mulai memerah. Ia juga memainkan jemarinya-yang diketahui Naruto sebagai reaksi normal Hinata saat gugup- dengan perasaan berkecamuk.
Naruto kembali menggaruk pipinya dan menatap Hinata yang bungkam.
"Hinata," panggilnya.
"Hn," gumam Hinata lirih.
"Aku heran. Ini sudah mengangguku dari kemarin." Hinata menatap Naruto dan menunggu pria itu melanjutkan.
"Kamu tidak nyaman denganku, atau memang gugup terhadap semua pria? Kalau memang begitu, kenapa kamu menerima pekerjaan ini?"
Hinata kembali menyembunyikan raut wajahnya dari Naruto.
"Aku juga ingin tahu, kenapa aku bisa bertahan," gumam Hinata lirih.
"Ngg... kamu mengatakan apa?" Naruto menunduk dan mengurangi jarak antara wajah mereka untuk mendengar suara Hinata lebih jelas.
"Ti-tidak ada," tukas Hinata cepat.
Naruto mengernyit heran. Ia sudah hampir seminggu bersama Hinata. Namun, ia belum benar-benar bisa membaca pikiran atau sifat Hinata yang sebenarnya. Ia belum mengenal Hinata secara penuh. Secara keseluruhan.
Naruto lantas mencium aroma kopi. Ia melihat secangkir kopi telah disiapkan Hinata untuknya. Pemuda itu tersenyum pada Hinata sebelum menghirup kopinya.
"Naruto-kun sangat menyukai kopi, ya," ujar Hinata. Naruto melirik ke arah Hinata dan mengangguk.
"Kopi adalah bagian dari hidupku."
"Itu namanya kecanduan. Kopi itu tidak terlalu baik untuk tubuh, Naruto-kun."
DEG!
Naruto terbelalak dan dalam sekejap menatap Hinata. Sedang Hinata membelakanginya dan membereskan peralatan dapur yang ia gunakan.
"Kandungan kafeinnya memang tidak sebanyak di minuman soda, tapi efeknya untuk tubuh tetap tidak baik. Kalau sudah kecanduan, bisa berbahaya."
Naruto mengikuti seluruh gerak-gerik Hinata dengan detak jantung yang berlomba. Seakan sedang megadu kecepatan di lintasan waktu.
"Lebih baik diganti dengan teh atau coklat. Teh herbal memiliki efek penenang dengan kafein rendah. Coklat malah memilik khasiat yang menyehatkan."
Daya penglihatan Naruto melemah. Pandangannya mulai kabur seiring dengan datangnya rasa sakit kepala yang mengganggu.
Kopi itu tidak bagus. Kafeinnya bisa membuat kecanduan. Kalau sudah seperti itu, apa bedanya dengan perokok.
"Ti-Tidak lagi," batin Naruto. Menolak sekelebat ingatan yang menyeruak di benaknya.
Naruto mempertajam tatapannya ke sosok Hinata yang tampak sedikit berubah di matanya. Secara mendadak, sosok Hinata yang hanya mencapai dadanya, seakan meninggi hingga 10-15 cm.
Bagaimana kalau teh herbal? Aku punya banyak pilihan yang enak dan berkhasiat tinggi.
Paru-paru Naruto terasa sesak. Pemuda itu mulai mencengkram dadanya yang terasa seperti dihimpit. Dengan segenap kekuatan ia berusaha menyadarkan otaknya yang mulai menampilkan ingatannya seperti film.
Sosok Hinata di matanya sudah berubah seutuhnya menjadi lebih tinggi dan berambut pirang pucat yang diikat tinggi.
"I-Ino..." gumam Naruto lirih.
Hinata menoleh dan melihat Naruto yang memegangi dadanya dan seperti sedang sakit parah. Namun, di mata Naruto berbayang dua wajah yang masing-masing ia kenal. Yang pertama Hinata. Sedang yang lain bermata biru kehijauan bak batu permata. Naruto sontak memejamkan matanya.
"Na-Naruto-kun. Kamu baik-baik saja?" tanya Hinata khawatir.
Naruto menutup telinganya. Karena saat ini suara Hinata yang lembut dan halus, terdengar lantang dan tegas di telinganya.
Hinata menyentuh lengan Naruto dengan takut. Saat itu, mata Naruto terbelalak. Ia kehilangan kendali atas tubuhnya. Ia sepenuhnya melihat Hinata dalam sosok lain- ah tidak. Sosok Yamanaka Ino, gadis tercintanya.
"KYA!"
Naruto mendekap Hinata erat. Sangat erat sampai Hinata merasa sedikit sesak.
"Ino. Ino. Ino!" batin Naruto. Setiap satu panggilan, perasaan Naruto semakin kuat. Dan hal itu tak bisa berhenti. Sama halnya dengan serpihan kenangan yang mulai terkumpul.
"Na-Naruto-kun."
Naruto...
"Ti-Tidak!" batin Naruto sembari mempererat dekapannya. Hinata merasakan tubuh Naruto gemetar seakan ketakutan.
"Na- Kau baik-baik saja, Naruto-kun?"
Naruto ba-ka~
"I-Ino..." gumam Naruto lirih.
~to be continued~
