Namanya Eren.
Usia dua puluh dengan tampang bocah lima belas tahun. Wajahnya bulat dengan alis tebal yang selalu terlihat mengerut. Matanya hijau, berpendar sangat indah seperti batu zamrud. Namun, terkadang, mata indah itu dapat begitu eksotis dan menawan selayaknya Opal. Hidungnya mancung dengan bibir kenyal dan sedikit merah muda. Garis rahangnya cukup tegas, menandakan bahwa ia adalah lelaki yang baru menginjak dewasa.
Namanya Eren.
Eren Jeager.
Tingginya seratus tujuh puluh dan percayalah, entah sudah berapa kali aku mengutuk tinggi badannya itu. Tubuhnya semampai dengan otot halus di perut—hmp! Dan bocah ingusan itu masih saja berusaha membentuk ototnya lebih dari punyaku. Kakinya jenjang, tentu saja, berkat tinggi badannya yang brengsek. Ingin rasanya kupotong kaki itu agar dia tidak menjulang melebihiku, tapi tidak, Eren terlalu berharga untuk dipotong bak ayam.
Ya. Eren sangat berharga. Untukku. Untuk orangtuanya. Untuk bocah Ackerman yang selalu menatapku. Untuk bocah jamur kesayangan Erwin. Untukku. Untukku. Dan untukku. Sengaja kuulang karena memang Eren segalanya untukku. Levi. Levi Ackerman.
.
.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Eren to Levi © Begundal Busuk
AU|Mature Content|Bad Language|TwoShoot|maybe OOC|maybe typo(s)| LevixEren|slight JeanxEren|for #FID_8
.
.
Semua yang terjadi di dunia ini pasti ada sebab-akibat. Dua hal yang tidak akan pernah bisa dilepas meski kau sudah mencoba berulang kali. Ambil contoh, kau mengantuk saat berkendara dan menabrak anjing kawin di pinggir jalan. Mengapa kau bisa menabrak anjing kawin tak bersalah? Sebab kau berkendara dengan mata merem melek. Apa akibatnya kau berkendara saat mengantuk? Kau menabrak anjing kawin. Selesai. Sebab-akibat. Sangat simpel. Namun, dalam beberapa kasus, sebab-akibat terkadang bisa menjadi sangat rumit.
Lima tahun yang lalu, Levi Ackerman, dua puluh sembilan tahun, mengalami sebab-akibat yang terasa sangat simpel. Levi adalah pria bujang. Belum pernah memiliki kekasih. Namun, pengalamannya di ranjang sudah tak terhitung lagi. Levi berperawakan pendek. Tingginya hanya seratus enam puluh. Rambutnya gelap dengan potongan undercut. Raut wajahnya selalu terlihat malas dengan mata menggantung seperti orang mengantuk. Tubuhnya memang lebih pendek dari bocah menengah atas, tapi tidak ada orang yang berani macam-macam dengannya. Apalagi saat mata hitam setajam elang itu memandang.
Sebab-akibat yang dialami Levi, berawal dari munculnya tetangga baru di sebelah kanan rumahnya. Sepasang suami isteri dengan satu anak. Keluarga kecil itu datang pada Sabtu pagi. Levi berpapasan dengan sang suami yang tengah menurunkan barang-barang dari mobil jasa pemindahan barang. Mereka saling mengangguk ramah. Sekali lihat, Levi mengira usia pria itu tidak jauh dengannya. Hari-hari bersama dengan tetangga baru berjalan dengan baik. Dua hari setelah kepindahan keluarga kecil itu, Levi diundang makan malam. Pria yang dilihat Levi saat hari mereka pindah adalah Grisha Jeager, seorang dokter umum. Wanita yang memasak kari untuk makan malam saat itu adalah Carla Jeager, ibu rumah tangga biasa. Hari pertama Levi diundang berkunjung, putra mereka, Eren Jeager, tidak hadir karena masih berada di asrama dan akan pulang saat libur musim panas beberapa minggu lagi.
Semenjak keluarga Jeager pindah ke sebelah rumah Levi, mereka sering mengajak Levi untuk makan malam bersama. Levi enggan menolak tapi malas untuk mengiyakan. Maka dari itu, dari sekian banyak ajakan makan malam, hanya beberapa yang Levi setujui. Ia lebih sering menolak dengan alasan sudah makan malam di luar atau bahkan ia tidak pulang seharian ke rumah.
Hari berlalu dengan cepat. Musim panas tiba-tiba saja sudah datang. Minggu malam yang cerah dengan hawa yang masih sedikit panas, Levi duduk di teras belakang rumahnya. Menikmati secangkir teh hitam dengan setumpuk map hasil ujian mahasiswa-nya. Levi adalah dosen. Libur musim panas berarti ia harus segera selesai merekap nilai-nilai mahasiswa-nya dan menyetornya ke pihak yang berwenang. Angin malam berhembus pelan, menyebarkan hawa dingin yang membuat segar untuk sesaat. Jam dinding besar di rumah Levi berdenting delapan kali. Pukul delapan malam. Kira-kira sudah satu jam berlalu sejak ia menolak ajakan makan malam keluarga Jeager. Putra pasangan itu sudah pulang ke rumah. Mereka akan pesta keci-kecilan. Sebenarnya Levi sudah diberitahu oleh Carla dua minggu yang lalu. Ia meminta Levi untuk menyempatkan waktu berkunjung barang sejenak. Sialnya, saat hari H tiba, Levi tiba-tiba merasa enggan untuk datang. Biarkan keluarga itu menikmati waktu bersama dengan anak mereka, tanpa ada kehadiran Levi di sana.
Setengah sembilan malam, Levi meletakkan map-nya kembali di atas meja. Kacamata kerja ia lepas dan ia letakkan di atas tumpukan map. Hari semakin larut. Levi mengangkat kepalanya, menengadah menatap langit yang sangat cerah dengan kerlip bintang seadanya. Dari teras, Levi bisa mendengar suara tawa dari arah rumah keluarga Jeager. Mereka sudah mulai pestanya, di teras belakang. Bau daging panggang tercium sampai rumah Levi. Sayup-sayup, Levi dapat mendengar tawa berat Grisha dan tawa lembut Carla. Masih menengadah, Levi memejamkan mata. Telinganya menjadi lebih peka. Selain suara tawa Grisha dan Carla, Levi dapat mendengar suara yang lain. Suara tawa khas anak remaja. Ada tiga sampai empat anak. Satu suara terdengar tidak asing bagi Levi. Semuanya berbincang dengan suara kelewat keras.
"Makan bombai-nya Eren".
"Aku tidak suka!"
"Eren, bombai bagus untuk kesehatan. Kudengar dari Mr. Smith, bombai bisa mencegah jerawat dengan mengoleskan bombai yang sudah dihaluskan ke wajah".
Levi mengerutkan keningnya saat suara itu menyebut nama yang tidak asing.
"Iyuuuh! Lebih baik wajahku berjerawat daripada harus mengoleskan bombai ke wajahku," komentar suara yang Levi yakini bernama Eren, anak Grisha dan Carla.
"Cih. Bombai saja kau tidak doyan".
"Apa kau bilang?!"
"Eren. Jangan berteriak saat sedang makan".
"Dia yang mulai duluan!"
Levi mendecih. Hanya dengan mendengar percakapan mereka saja, Levi sudah tahu bagaimana sifat anak dari Grisha dan Carla itu.
"Jangan teriaki, Mikasa! Kau sangat beruntung tahu bisa mendapat perhatiannya!"
"Aku apa?" Nada suara Eren terdengar sedikit berbeda di telinga Levi. "Ikut aku sebentar".
Levi membuka mata. Sayup-sayup dia mendengar dua orang berteriak memanggil nama Eren dan Jean beberapa kali. Levi mendesah. Keputusannya untuk menolak ajakan Carla ada benarnya. Ia jadi tidak perlu mendengarkan ocehan remaja yang tidak penting dari jarak dekat. Mendengar percakapan mereka dari jarak segini saja sudah membuatnya lelah. Kalem, Levi meraih cangkir yang masih terisi setengah cairah teh hitam. Ia sesap perlahan sampai habis. Entah dorongan dari mana, Levi tertarik untuk melihat rumah keluarga Jeager. Posisi duduknya yang menghadap tepat ke arah rumah pasangan itu, membuatnya dapat melihat dengan leluasa.
Asap masih membumbung di pekarangan keluarga Jeager. Aroma daging asap tercium membuat Levi sedikit lapar. Pandangannya beralih pada jendela di lantai dua yang tiba-tiba lampunya menyala. Korden cokelat belum dibentangkan untuk menutupi jendela, membuat Levi bisa melihat cukup jelas. Dua laki-laki. Mereka terlihat berteriak satu sama lain. Ingatan Levi kembali pada Eren dan Jean yang kelihatannya pergi masuk ke dalam rumah. Ah, ternyata mereka ke dalam kamar, pikir Levi. Levi belum pernah melihat Eren, jadi dia tidak tahu mana yang Eren dan mana yang Jean. Dua remaja laki-laki itu semakin dekat dengan jendela, mungkin berusaha menjauh dari pintu agar orang-orang yang masih berada di teras tidak mendengar teriakan mereka. Levi asik mengamati, menerka apa yang sedang mereka debatkan.
Tiba-tiba mata gelap Levi melebar. Saat Eren dan Jean sedang asik berteriak, salah satu dari mereka, entah itu Eren atau Jean, menarik kerah lawannya. Levi pikir mereka akan adu pukul, tapi ternyata malah adu bibir. Remaja yang tadi menarik kerah itu sedang melumat bibir lawannya yang terkejut. Sang lawan meronta, berusaha mendorong agar pemilik bibir itu menjauh. Namun, remaja itu tidak bergeming. Tangan yang tadinya meremas kerah kemeja, kini beralih ke tengkuk sang lawan. Menahan kepala lawannya agar tidak bergerak. Levi terperangah di tempat. Matanya tidak lepas menatap sang lawan yang mulai terbuai. Bibir yang terkatup mulai balas melumat. Keduanya dipenuhi gairah. Saling melumat dan menghisap bibir. Tangan yang tadinya berada di leher, kini merambat turun ke bawah, menelusuri punggung dan berhenti tepat di bokong sang lawan. Remaja berkemeja abu-abu yang tadinya menolak, kini justru mengusap tengkuk remaja berkaus merah.
Ciuman terlepas. Keduanya terengah-engah. Remaja berkemeja abu-abu berbalik menyerang lawannya, mengecup leher remaja berkaus merah dengan ganas. Sang remaja menengadah, mengigit bibir bawahnya menahan desahan. Dari pekarangan rumah, Levi bisa melihat ekspresi kenikmatan dari remaja itu. Gairah semakin memuncak. Kaus merah dilepas terburu-buru. Dada terpampang dan langsung dikecup oleh remaja berkemeja abu-abu. Puting dihisap. Remaja tanpa kaus mengusap rambut sang lawan. Kecupan dihentikan. Remaja tanpa kaus mengecup bibir sang lawan dengan gairah yang memuncak. Kedua tangan menjelajah dan berhenti tepat di kancing celana. Remaja berkemeja abu-abu mendesah, memejamkan mata saat celananya turun. Kejantanan tegang diusap perlahan. Remaja berkemeja abu-abu menutup mata, menarik kepala remaja tanpa kaus ke depan selangkangan. Penis panjang dihisap rakus. Pinggul ikut bergerak maju-mundur. Remaja tanpa kaus duduk bersimpuh lutut, menghisap penis sang lawan, menengadah dan menampilkan wajah erotis. Pinggul bergerak semakin cepat. Remaja berkemeja abu-abu menahan kepala remaja tanpa kaus agar tetap ditempat. Pinggul bergerak tidak terkendali. Klimaks akan segera datang. Lalu gelombang itu pun menerjang. Tubuh remaja berkemaja abu-abu bergetar. Pinggulnya menghentak-hentak, menenggelamkan penisnya semakin dalam ke mulut remaja tanpa kaus.
Beberapa detik kemudian, penis dikeluarkan. Remaja tanpa kaus menelan sperma tanpa sisa. Tangannya turun membuka kancing celananya sendiri. Gairah masih membumbung tinggi. Celana turun, penisnya yang tegang menggantung indah. Ia berdiri membelakangi remaja berkemeja abu-abu, meletakkan tangannya pada lemari yang ada di belakangnya, lalu sedikit menungging. Remaja berkemeja abu-abu datang mendekat. Penis kembali menegang. Ia gesek penis itu ke lipatan bokong yang ada di hadapannya. Saat lubang yang dicari sudah ditemukan, remaja itu mendorong masuk. Perlahan. Remaja tanpa kaus membuka mulutnya, terbelalak merasakan sesuatu menjebol anusnya. Penis menancap sempurna. Keduanya menutup mata, merasakan sensasi masing-masing. Pinggul bergerak. Menghentak-hentak. Lalu tiba-tiba...
"EREN! JEAN! DAGING SUDAH MATANG! KEMARILAH!" Carla berteriak dari pekarangan.
Kedua remaja terlonjak. Penis dicabut paksa dengan kasar. Kesadaran menghapus gairah. Remaja berkemeja abu-abu merapikan celana. Ia meneriaki remaja telanjang yang masih menungging. Tanpa berniat menunggu lawannya berpakaian, remaja itu pergi dari kamar. Remaja telanjang masih diam, berdiri dengan penis masih mengacung. Levi terdiam di tempat. Tanpa sadar, ia belum berkedip, terus mengamati. Remaja telanjang bergerak ke lemari, mengeluarkan sesuatu yang panjang. Dildo. Pelumas dilumuri. Masih dengan berdiri menungging, ia masukkan dildo ke dalam anusnya. Mata terpejam nikmat. Dildo bergerak menusuk-nusuk. Remaja itu mengigit bibir. Tangan kiri yang sedari tadi diam menyangga tubuhnya, kini turun ke bawah, mengocok penisnya sendiri. Tangan kanan menggerakkan dildo makin cepat. Kepala miring ke kiri, ke arah jendela. Pipi menempel lemari. Kocokan dan tusukan semakin cepat. Klimaks datang dengan cepat. Menyembur ke arah lemari.
Levi terpana. Sayup-sayup dia mendengar percakapan dari pekarangan rumah keluarga Jeager, membuat pandangannya beralih menatap pagar pembatas antara kedua rumah itu.
"Jean? Kenapa lama sekali?"
"Ah ... itu ... Eren mengajakku berkelahi".
"Lalu mana Eren?"
"Sedang di kamar mandi. Entahlah".
"Anak itu. Maafkan aku, Jean. Eren memang masih suka bertingkah seperti anak-anak".
"Tidak apa-apa, Bibi Carla".
Mata Levi melebar. Jean baru saja bergabung di pekarangan rumah keluarga Jeager. Itu berarti, remaja berkemeja abu-abu itu adalah Jean. Sedangkan remaja telanjang tadi adalah ... Eren. Putra Grisha dan Carla. Pandangan Levi kembali ke jendela di lantai dua rumah keluarga Jeager. Ia terkesiap. Remaja telanjang tadi yang ternyata adalah Eren, sedang menatap ke arahnya. Mata hijau zamrud-nya terbelalak memandang Levi. Detik berikutnya, Eren segera menarik korden cokelatnya, menutupi jendela dari pandangan Levi.
Satu menit, Levi akhirnya mendesah. Ia lirik celananya yang menggembung. Bayangan mengenai Eren yang menghisap penis Jean dan bagaimana penis itu menusuk anus Eren, membuat Levi mengusap wajahnya frustasi.
Eren Jeager. Putra Grisha dan Carla. Remaja gay yang bergairah ingin disodok. Merayu teman laki-laki nya untuk bersetubuh. Seringai hadir di wajah Levi. Libur musim panas ini akan terasa lebih panas.
.
-Eren to Levi-
.
Senin pagi. Levi sudah siap dengan peralatan perangnya untuk membersihkan rumah. Sarung tangan lateks sudah melekat di kedua tangannya. Masker menutupi hidung sampai mulutnya. Pagi hari pada musim liburan, Levi lebih banyak di rumah. Membersihkan rumah, memotong ilalang di pekarangan rumah, atau olahraga. Jogging atau sekadar melakukan push up dan sit up untuk memerindah otot-ototnya. Levi berjongkok di depan sofa ruang tamu, sibuk membersihkan area di sela-sela antara sofa dan jam dinding besar. Decihan terdengar. Melihat sela sempit, Levi teringat pada bocah binal anak Grisha dan Carla. Demi apapun, Levi tidak bisa tidur semalaman. Terimakasih banyak atas tontonan yang tidak sengaja Levi lihat dan amati.
TING TONG
Bel rumah berbunyi. Mata gelap melirik jam dinding. Pukul tujuh pagi. Tamu sialan mana yang bertamu sepagi dan pada musim liburan seperti ini? Levi menggedikkan bahu. Acuh pada seseorang yang berdiri di balik pintu rumahnya.
TING TONG
Bel lagi. Levi masih diam. Cuek, seakan tidak mendengar. Tangan masih sibuk membersihkan area sempit.
TING TONG TING TONG TING TONG
Bukan hanya datang kepagian, tamu yang berada di balik pintu rumahnya itu sangat tidak sopan. Lelah mendengar suara bel yang tidak berhenti. Levi membanting kemoceng ke lantai, melepas sarung tangan lateksnya dengan kasar. Langkah panjang menuju pintu rumah. Masker diturunkan saat pintu rumahnya dibuka dengan kasar.
"Apa?"
Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan, sedang berdiri di depannya. Remaja laki-laki berambut pirang seperti jamur itu meringis, merasa tidak enak sekaligus takut melihat ekspresi Levi. Sebaliknya, remaja perempuan berambut hitam itu memandang Levi tak kalah tajamnya.
"Tolong jangan biarkan tamu menunggu lama," ucap remaja perempuan itu pelan. Remaja laki-laki menyikut lengannya.
"M-mikasa, jangan seperti itu. Kita y-yang mengganggu," bisik remaja itu takut lalu meringis kepada Levi lagi. Remaja perempuan bernama Mikasa itu membuang muka. "M-maafkan teman saya, Sir. Anu ... saya Armin. Armin Arlert. Dan ini teman saya, Mikasa. Mikasa Ackerman".
Levi menatap Armin dengan pandangan meneliti dari atas sampai bawah. Lalu beralih pada Mikasa yang masih membuang wajah. Hanya lima detik Levi mengamati Mikasa dan mendengus meremehkan.
"Ya. Ada apa bocah-bocah seperti kalian datang sepagi ini?" Levi bertanya sambil bersandar pada kusen pintu rumahnya, memandang Armin malas.
"Setidaknya persilakan kami masuk. Dasar tuan rumah tidak tahu diri".
"M-mikasa! J-jangan seperti itu," ucap Armin sambil menyikut lengan Mikasa lagi.
"Oh, ayolah. Aku bukan pengangguran yang harus meladeni bocah bau ompol dan ingus seperti kalian," ucap Levi dengan pandangan yang masih tajam. "dan kau, Ackerman. Mulutmu perlu dituang minyak panas agar kau bisa diam".
Mikasa menggertakkan giginya. Menatap Levi dengan tajam. Levi balas menatap dengan kalem. Aura peperangan tercium jelas antara Levi dan Mikasa. Armin bingung harus berbuat apa.
"S-s-sir," cicit Armin, berusaha menarik perhatian Levi padanya. Levi menoleh.
"Ya, jamur pirang?" Armin mengerutkan kening, merasa asing dan tidak suka dengan panggilan pria di hadapannya ini.
"I-ini ada titipan dari Bibi Carla. Katanya, ini daging bagian Sir Levi dari pesta semalam". Mendengar kata 'pesta semalam' membuat Levi teringat pada Eren dan Jean. Levi mengangguk. Menerima kotak tupperware yang dipegang Armin dari tadi.
"Kalian menginap di rumah Grisha?"
Armin mengangguk pelan. "Nanti siang kami akan pulang".
"Oh. Lalu kenapa kalian yang mengantar titipan ini? Anak Grisha sudah datang kan?"
"Eren sedang tidak enak badan," kali ini Mikasa yang menjawab. "dan katanya tidak mau bertemu denganmu".
Armin tersentak, menyikut Mikasa untuk ketiga kalinya. "T-tidak, Sir. Eren memang tidak enak badan. T-tapi dia tidak bilang kalau dia tidak ingin bertemu dengan Anda".
Levi mengangguk.
"B-baiklah kalau begitu. K-kami pulang dulu, Sir. Permisi," pamit Armin sambil membungkuk sopan lalu menarik Mikasa yang masih menatap Levi tajam. Kedua bocah itu berjalan cukup cepat, melewati taman depan rumah Levi yang rindang. Mata gelap mengikuti punggung dua bocah sampai menghilang di pagar rumahnya yang cukup tinggi. Kening Levi mengerut. Dari sini, dia melihat puncak kepala Armin dan Mikasa. Namun, di samping Mikasa, terlihat puncak kepala lain. Bersurai cokelat, berjalan cepat menjauhi rumah Levi dan menghilang entah kemana. Yang jelas, dua bocah yang telah mengganggu Levi, tidak kembali ke rumah keluarga Jeager.
.
.
Rabu sore. Levi duduk di sebuah cafe di pusat kota. Duduk sendiri menempati sebuah meja dengan kursi sofa dekat jendela. Wajahnya tertekuk. Pukul lima sore. Kesabarannya menipis. Siang tadi ia diundang untuk makan di sebuah cafe oleh temannya. Janjian pukul empat sore, tapi orang tersebut tidak muncul-muncul. Ia lirik handphone-nya. Pesan yang sedari tadi ia kirim, belum mendapat jawaban. Levi mendecih. Kesal, ia raih cangkir di depannya yang berisi teh hitam kesukaan. Menyesap buru-buru sampai tandas.
KLINING
Dua orang masuk ke dalam cafe. Levi tidak terlalu peduli. Ia sibuk mengetik sebuah pesan untuk temannya. Rahangnya mengeras. Emosi karena menunggu satu jam dari waktu janjian.
"Akan kubunuh kau, kacamata bajingan," umpat Levi pelan lalu memanggil pelayan, memesan teh hitam lagi untuk meredam amarah.
Pelayan datang dengan cangkir baru berisi teh hitam, bersamaan dengan dua orang yang duduk di meja belakang Levi. Pria itu tidak sempat melihat karena terhalang oleh kepala sang pelayan. Levi mengangguk, mengucapkan terimakasih pada pelayan. Cangkir diraih. Isinya disesap perlahan.
Drrrrrt.
Handphone layar sentuh milik Levi bergetar, bersamaan dengan layarnya yang menyala. 1 message. Ia sentuh layar handphone dengan telunjuk dan menekan tombol 'Read'.
From : Hanji
Kami datang sepuluh menit lagi. Maaf, Levi. Kuharap pantat padatmu menempel dengan erat di kursi. Smooch!
Levi menggeram. Menekan tombol kunci lalu kembali menyesap teh hitamnya. Levi sangat bosan. Menunggu satu jam, perutnya sudah kenyang teh hitam. Melirik jam tangan yang melingkar gagah di pergelangan kanannya, Levi memilih sabar.
"Aku mendengar semuanya dari Jean".
Rasa penasaran Levi tergelitik saat mendengar nama 'Jean' disebut. Asalnya dari belakang meja Levi. Jika Levi tidak salah dengar, suara yang barusan itu sepertinya pernah ia dengar sebelumnya.
"Kemarin selasa dia mengajakku untuk bertemu".
Levi mendengarkan. Pikirannya terbang memikirkan siapa pemiliki suara itu. Gambaran seorang bocah dengan rambut pirang berpotongan jamur tiba-tiba muncul di kepala Levi. Ya, Levi tahu pemilik suara itu. Armin Arlert sedang duduk dengan seseorang dan kemungkinan adalah sosok yang selalu menghantui mimpi Levi di tengah malam.
"Eren, bisa kau cerita padaku?"
Sudut bibir Levi terangkat. Puas dengan tebakannya. Ia sesap teh hitamnya lagi, bersiap untuk mendengar pembicaraan mereka.
Hening beberapa menit. Eren masih tidak mau bicara. Berdasarkan percakapan sepihak, Levi dapat menebak bahwa Jean—si brengsek beruntung—sudah menceritakan semuanya kepada Armin.
"Aku dapat percaya padamu 'kan, Armin?" Tiba-tiba suara serak yang pernah Levi dengar saat Minggu malam itu terdengar pelan. Levi dapat membayangkan tangan Eren yang digenggam erat oleh Armin saat bocah pirang itu berkata, "Tentu saja. Aku sahabatmu, Eren. Tidak akan kuberitahu siapapun, termasuk Mikasa".
"Aku ... suka dengan laki-laki". Eren mengaku. Levi terdiam, mengapresiasi keberanian Eren dalam hati. "Aku dan Jean ... memiliki skandal kecil. Semua berawal saat pertukaran kamar dan aku menjadi sekamar dengannya. Aku ... menyerangnya saat malam hari. Memaksanya untuk diam dan memuaskanku. Aku berjanji padanya akan membuatnya dekat dengan Mikasa, kalau dia bersedia melakukan skandal kecil itu".
Hening lagi. Baik Levi dan Armin, sama-sama diam, menunggu Eren melanjutnya cerita.
"Sebelum libur musim panas, setelah melakukan skandal kecil kita, Jean berkata bahwa ia tidak bisa melanjutkan skandal yang sudah berlangsung lima bulan. Dia bilang akan mendekati Mikasa dengan caranya sendiri. Aku ... aku tidak mau berhenti. Aku ... ketagihan. Jika bukan dengannya, aku tidak tahu harus bersama siapa. Lalu minggu kemarin, saat aku membawa dia masuk ke dalam rumah, kami melakukan skandal itu lagi. Aku memaksanya. Kami sempat berdebat, berteriak satu sama lain. Tapi sebelum kami berbuat lebih jauh, Ibu memanggil kami untuk turun. Saat itu, dia—
Ucapan Eren terhenti. Suaranya semakin serak, seperti menahan tangis.
"Tidak apa-apa, Eren. Tidak usah diteruskan bila kau tidak kuat," ucap Armin, menenangkan.
"Tidak, Armin. Aku harus memberitahumu," ucap Eren, setelah berhasil mengendalikan dirinya. "Setelah ibu memanggil kami, dia menjauh. Dia berteriak. Mengumpat dan mengancam akan memberitahu teman-teman satu asrama jika aku suka dengan laki-laki".
Ah, jadi itu yang diteriaki si Jean, pikir Levi. Ia kembali menyesap tehnya. Masih mendengarkan cerita Eren yang entah kenapa membuat perasaannya aneh.
"Yang paling membuatku kaget adalah tetangga sebelah rumahku". DEG. Levi berhenti menyesap tehnya.
"Tetangga? Maksudmu, Sir Levi?"
Levi meletakkan cangkirnya sangat pelan. Armin mengetahui namanya. Entah Carla atau Grisha yang menyebut-nyebut.
"Ya. Dia ... mungkin melihat skandalku dengan Jean, semalam. Korden kamarku tidak ditutup dan aku yakin saat itu dia sedang memandang ke arah kamarku," jelas Eren. Levi bisa mendengar suara tarikan napas Armin yang tercekat. Bocah jamur pirang itu pasti mengingat saat dimana Levi bertanya mengapa bukan Eren yang mengantarkan makanan ke rumahnya.
"I-itu gawat, Eren. Maksudku, bagaimana kalau dia memberitahu orangtuamu?"
"Itu dia! Aku ... tidak terlalu memersalahkan Jean. Dia mau pergi jauh pun aku tidak peduli. Aku hanya takut Sir Levi akan mengadukan semua yang dia lihat pada orangtuaku".
Levi terdiam. Jika boleh jujur, Levi sama sekali tidak kepikiran untuk mengadu pada Grisha dan Carla. Entahlah, ia hanya merasa kalau itu tidak perlu.
Drrrt. Handphone Levi kembali bergetar dan menyala. 1 message. Bila pesan itu dari Hanji dan memintanya untuk pulang karena tidak jadi bertemu, maka Levi akan membunuh si brengsek itu. Pesan dibuka. Ternyata bukan dari Hanji, tetapi dari Carla.
From : Carla Jeager
Datanglah nanti untuk makan malam. Aku memasak makanan yang lezat. Oh, dan tolong jangan berikan alasan lagi, Levi. Kami tidak akan melepaskanmu kali ini. Sampai jumpa nanti pukul tujuh.
Undangan makam malam di saat yang tidak tepat. Belum sempat Levi menjawab pesan dari Carla, tiba-tiba suara nada dering terdengar dari belakang, mungkin dari meja nya Eren dan Armin.
"Kenapa, Eren? Kenapa wajahmu pucat?"
"I-ibuku mengundang Sir Levi untuk makan malam," cicit Eren dengan pelan.
"Ibumu apa?!"
Levi terdiam. Tangan kanannya masih memegang handphone. Belum selesai ia terkejut karena Carla mengirim pesan kepada Eren juga, dua orang yang sedari tadi ditunggu akhirnya datang. Menjeblak pintu cafe dengan keras, membuat semua perhatian tertuju pada dua orang yang baru saja masuk. Seorang wanita berkacamata terlihat celingukan mencari seseorang, di belakangnya berdiri laki-laki berambut pirang yang kalem. Predator menemukan predator lain. Wanita itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menatap Levi. Perasaan Levi tiba-tiba tidak enak saat melihat wanita itu menarik napas dalam.
"HOIII! LEVI! TAMBAH BONCEL SAJA KAU! HAHAHAHAHA!"
Gelegar suara sang wanita membisukan cafe. Semua pelanggan menatap ke arah wanita itu, termasuk dua remaja yang duduk membeku di tempat. Pertunjukan belum selesai. Wanita itu berjalan dengan langkah panjang menuju meja tempat Levi duduk dengan wajah sedatar teflon. Laki-laki kalem itu mengikuti, tersenyum kepada pelanggan lain sebagai tanda maaf. Wanita itu datang memeluk Levi kuat sambil menepuk-nepuk punggung, menghiraukan aura kelam dari Levi yang menyengat.
"Astaga! Seingatku kau tidak sependek ini, Levi! Aku pangling. Kukira kau bocah menengah pertama yang sedang menunggu teman kencan. Hahahahaha!"
"Berisik, bajingan," sahut Levi dingin. Wanita bernama Hanji itu melepas pelukan lalu tertawa girang. Pandangan Levi beralih pada pria pirang yang masih berdiri di belakang Hanji.
"Levi," sapanya kalem dengan senyum kebapakan.
Levi mengangguk. "Erwin".
PRANG
Cangkir jatuh. Asalnya dari meja belakang Levi. Dua remaja yang tadinya duduk membeku, kini berdiri tergesa-gesa, menyenggol cangkir berisi vanilla milkshake. Keduanya berdiri. Terpaku memandang tiga orang dewasa yang baru saja berakting melepas rindu.
"M-mr. Smith?"
"Armin? Oh, kebetulan sekali," jawab Erwin kalem.
Levi menoleh, penasaran ekspresi wajah apa yang sedang Eren tampilkan. Mata gelap keabu-abuannya berkilat. Eren sedang menatapnya. Terkejut, sangat terkejut. Wajahnya pucat, tapi Levi bisa melihat semburat merah di dekat telinganya. Mata hijau zamrud nya berpendar, terlihat gelap efek lampu cafe yang remang-remang. Beberapa detik mereka saling berpandangan, sampai akhirnya Eren berlari keluar cafe.
.
.
Armin duduk gelisah di antara tiga orang dewasa. Eren kabur. Meninggalkan Armin sendirian yang tadinya akan ikut kabur jika saja Erwin tidak menahan pergelangan tangannya. Pria pirang yang tampan itu menawarkan Armin untuk duduk bersama. Dan di sinilah Armin, duduk bersebelahan dengan Erwin dan berhadapan langsung dengan Levi.
"Kalian saling mengenal? Bagaimana caranya? Kau mahasiswa-nya Erwin ya, Armin?" Hanji bertanya berturut-turut, penasaran dengan hubungan kawan baiknya itu bocah semanis Armin.
"B-bukan, M-miss Hanji. S-s-saya masih siswa menengah atas," jawab Armin luar biasa gugup.
"Oh?" Terdengar sedikit kecewaan dari suara Hanji yang membayangkan hubungan panas antara mahasiswa dan dosen.
"Dia cucu dari Sir Arlert, Hanji. Kami tidak sengaja bertemu saat aku mampir ke bengkel keluarga mereka untuk memerbaiki mobilku," kali ini Erwin yang bersuara, menjelaskan pertemuan pertama antara dia dan Armin. Hanji mengangguk paham.
"Lalu siapa temanmu tadi itu? Kenapa dia tiba-tiba berlari setelah melihat Levi?" Hanji kembali bertanya. "Salah satu teman satu malammu ya, Levi?"
Levi melirik dingin. "Bukan".
"A-anu ... dia teman saya. Eren Jeager. M-mungkin dia sedang buru-buru karena ada acara makan malam dengan teman ayahnya," jawab Armin sambil melirik Levi sekilas.
Kening Erwin mengerut penasaran. Ia melirik Levi yang sedari tadi duduk dengan tenang sambil sesekali menyesap cangkir kesekian teh hitam. "Jeager? Tetanggamu itu?"
"Hm".
"Oh?" Hanji nampak tertarik. "Na, Levi. Apakah teman ayahnya Eren ini adalah kau?"
Levi diam. Matanya memandang Armin yang duduk gelisah.
"Apakah kau kenal dengan si Eren ini? Kau tertarik dengannya? Oh! Oh! Apa kau akan makan malam bersama dengan mereka?" Rentetan pertanyaan dari Hanji membuat Levi mendecak sebal. Ia habiskan teh hitamnya dalam tegukan keras lalu meletakkan cangkir ke atas piring kecil dengan kasar.
"Jawabannya adalah : Tidak. Ya. Ya," ucap Levi dingin. Menatap Armin sekilas lalu memandang Erwin. "kau punya selera yang mengerikan, alis tebal".
Erwin tersenyum kebapakan. "Terimakasih, Levi. Semoga berhasil".
Levi mendengus. "Aku duluan".
Levi beranjak dari duduk. Memandang Armin untuk terakhir kali lalu melenggang keluar dari cafe. Ia hampiri sepeda-nya yang terparkir di samping cafe. Levi jarang menggunakan mobil bila tidak pergi jauh, sepeda adalah cara yang tepat untuk membakar kalori selama liburan. Setelah melepaskan kunci, Levi naiki sepeda gunung berwarna hitam itu. Mengayuhnya kalem lalu melirik jam tangannya. Pukul enam sore. Levi hanya memiliki waktu satu jam untuk siap makan malam dengan keluarga Jeager. Ia tarik kedua rem sepedanya saat lampu merah. Ia ambil handphone dari saku celananya lalu mengetik pesan singkat kepada Carla bahwa ia akan sedikit terlambat. Handphone kembali ke saku, tepat saat lampu lalu lintas berubah hijau. Levi mengayuh lagi sepedanya, kali ini cukup cepat. Selama perjalanan, Levi merasa tidak sabar untuk segera bertemu dengan Eren.
Pukul tujuh kurang lima belas, Levi baru sampai rumah. Rumahnya masih gelap. Sepeda terparkir apik di tempat biasa. Levi melenggang masuk rumah sambil menyalakan lampu. Ia rebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Kakinya sedikit pegal karena mengayuh sepeda sangat cepat demi ketepatan waktu. Ia ambil handphone-nya dan melihat ada satu pesan dari Carla.
From : Carla Jeager
Tidak masalah, Levi. Kami tunggu sampai kau datang. Hati-hati di jalan.
Levi menghela napas panjang. Merenung. Ia kembali teringat pada ekspresi wajah Eren yang aneh. Pucat merona. Sungguh kombinasi yang menggelikan. Ujung bibirnya terangkat membentuk senyum tipis saat mengingat dengan jelas bagaimana telinga Eren memerah karena malu. Merasa tubuhnya sudah dingin, Levi segera berjalan menuju kamarnya. Mandi dan siap-siap untuk makan malam.
.
-Eren to Levi-
.
Levi duduk kalem di meja makan. Tangannya sibuk mengiris daging steak bikinan Carla. Sesekali ia menanggapi pembicaraan dari Grisha mengenai pendidikan jaman sekarang. Levi datang ke kediaman Jeager pada pukul setengah delapan. Meminta maaf kepada Grisha karena terlambat setengah jam. Pria kacamata berumur tiga puluh lima tahun itu segera menggiring Levi menuju meja makan. Carla menyambut senang, sedangkan Eren duduk di kursi tanpa berani memandang Levi. Makan malam pun di mulai.
"Jadi ... tadi kau ada urusan di kampus?"
Levi menggeleng. "Bukan. Tadi aku bertemu sebentar dengan temanku di cafe. Kami berbincang sejenak". Grisha mengangguk. Beberapa menit yang lalu, Grisha sudah memberitahu Eren tentang pekerjaan Levi.
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Baik. Nilai sudah direkap dan mungkin besok atau lusa aku akan berkunjung ke kampus".
"Menyetor? Bukankah bisa lewat email?"
"Aku butuh hiburan, Grisha. Diam di rumah sangat tidak menyenangkan". Grisha tertawa renyah lalu menenggak anggur merahnya.
"Kau benar, Levi. Aku dan Carla pun akan mencari hiburan besok," ucap Grisha sambil melirik Carla. Yang dilirik hanya terkikik malu lalu menepuk lengan Grisha pelan. Ah, pasangan burung ini.
"Hoo. Jadi kalian akan liburan?"
Eren yang sedari tadi diam saja, makan sambil menunduk, kini mengangkat wajahnya. Menatap ke arah Grisha dan Carla. Levi meliriknya sekilas sebelum menyesap anggurnya. Sementara, Grisha terkekeh.
"Ya. Negara seberang. Carla sedang demam Korea dan aku tidak bisa menolak permintaannya," kekeh Grisha yang disambut tepukan manja dari Carla di bagian lengannya. Carla berpaling memandang Levi sambil tersenyum.
"Karena itulah kami mengundangmu kemari, Levi. Kami hanya membeli dua tiket, jadi kami meminta tolong padamu untuk—
"Aku ikut!" seru Eren, memotong ucapan Carla. Tiga pasang mata menatapnya heran. Raut wajah panik hadir di wajah Eren. Ia melirik Levi sekali lalu kembali menatap kedua orangtuanya.
"Kami hanya membeli dua tiket, Eren. Jadi—
"Aku akan menemani ibu. Ayah harus kerja 'kan? Maka dari itu, aku ikut".
Carla dan Grisha saling berpandangan. Jelas sekali bahwa mereka telah memersiapkan liburan ini khusus untuk berdua. Mereka ingin berduaan, tidak ada Eren. Levi melirik Eren, memandang wajah kalut yang tertera jelas di wajahnya.
"Biarkan kedua orangtuamu, bocah. Mereka perlu hiburan. Berdua," celetuk Levi setelah meletakkan gelas anggur di atas meja.
"Tapi—
"Levi benar, Eren. Maafkan kami. Tapi kau bisa liburan dengan Levi. Dia bisa menemanimu," ucap Carla, berdiri dari duduknya lalu menghampiri Eren. Ia elus rambut cokelat Eren dengan penuh kelembutan.
"Aku pulang kemari untuk bertemu dengan kalian, tapi kalian meninggalkanku bersama tetangga ini?!" seru Eren. Matanya tajam menatap Levi. Nyalang. Tidak ada pucat merona yang membuat perut Levi geli. Yang ada hanya mata zamrud yang memancar kekesalan.
"Kami hanya seminggu, Eren. Sisa liburan masih bisa kita lewati bersama," ucap Grisha, berusaha membuat Eren tenang.
"Terserah". Eren berdiri dari duduk dengan kasar, membuat Carla tersentak. Tanpa berkata-kata lagi, bocah itu menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan tiga orang dewasa yang hanya bisa diam.
"Apapun yang terjadi, Levi. Kami titip Eren padamu," ucap Grisha memecah kesunyian.
.
.
Hari pertama Grisha dan Carla pergi berlibur, Eren hanya bisa di rumah. Armin dan Mikasa tidak bisa datang karena sedang berlibur juga. Sebelum pergi, Grisha sempat memberikan uang untuk Eren, berjaga-jaga siapa tahu Eren membutuhkan sesuatu. Carla berpesan untuk datang ke tempat Levi apabila Eren lapar. Bagaimanapun, Levi adalah orang dewasa yang sangat Grisha dan Carla percaya. Kenyataannya, sedari pagi, Eren tidak berkunjung ke rumah Levi. Bocah itu enggan untuk meminta. Bahkan sampai hari keempat, Eren menolak untuk datang ke hadapan Levi. Akibatnya, uang titipan Grisha habis untuk memesan makanan.
Hari kelima, malam hari. Eren duduk di ruang tamu sambil menonton acara tv. Pikirannya tidak fokus. Seharian perutnya tidak diisi apapun kecuali air putih. Meringis. Ia elus perutnya yang berbunyi. Sangat lapar. Kepalanya sudah pusing sejak sejam yang lalu. Satu-satunya cara agar ia merasa baikan adalah dengan datang ke tetangga sebelah. Datang ke rumah Levi. Pria yang telah mengetahui kelainannya, bahkan melihat kelakuannya secara langsung. Malu menggerogoti Eren. Wajahnya terasa panas. Membayangkan harus meminta tolong pada pria yang sudah melihat skandal kecilnya dengan Jean. Perut bergejolak untuk ketiga kalinya. Eren tidak tahan. Menelan semua rasa malunya, ia bangkit ke luar rumah. Tidak lupa mengunci semua pintu, Eren melangkah menuju rumah sebelah.
Di sisi lain. Levi sedang duduk mencuci piring. Makan malam selesai. Ia bisa memasak, tapi jarang dilakukan. Pikirannya melayang pada Eren yang sudah empat hari tidak ke rumah. Levi bahkan tidak peduli, toh bocah itu pasti sudah diberi uang sangu oleh Grisha. Kedua tangan cekatan mengeringkan piring. Tidak sampai sepuluh menit, piring-piring mengkilat bersih. Levi mengeringkan tangannya dengan kain. Baru saja ia hendak naik ke lantai dua, sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu depan.
Eren Jeager, berdiri kikuk di depan pintu Levi. Menatap pria itu takut-takut.
"Ya?"
"Anu ... Sir levi. Aku ... umm".
Levi menghela napas lalu berdiri menyamping, memberi akses Eren untuk masuk. "Masuklah. Kubuatkan makan malam".
Tidak disangka, Eren mengangguk dengan wajah merah karena malu. Ia menyeruduk masuk ke dalam rumah Levi dengan tergesa-gesa. Levi menyuruh Eren untuk menunggu di meja makan. Tangan besar dan kasar cekatan memecahkan telur, mengiris daun bawang dan bombai, serta menggoreng. Tidak sampai sepuluh menit, omelet sudah jadi di hadapan Eren. Aroma sangat sedap, membuat napsu makan bocah itu naik. Melupakan rasa malu dan kebenciannya terhadap bombai, Eren segera melahap omeletnya. Levi duduk di hadapannya, mengamati bagaimana rakusnya Eren saat memakan masakannya.
"Kau belum makan seharian atau bagaimana? Jorok," ucap Levi, mengernyit melihat ada beberapa nasi menempel di sekitar bibir Eren.
"Hhemah hhiyah". Memang iya, Eren menjawab dengan mulut penuh nasi. Levi mendecih. Jijik.
Eren mengelus perutnya. Kenyang. Dia bersendawa pelan lalu tersenyum lebar, membuat mata gelap keabuan Levi berkilat.
"Terimakasih banyak, Sir. Seharusnya dari kemarin aku mampir ke sini," ucap Eren sambil nyengir. Tidak ada wajah merahnya lagi. Levi tersenyum kecil.
"Hmm. Lalu kenapa tidak dari kemarin saja?"
Eren tiba-tiba diam. Matanya menatap Levi lekat. Seolah sedang mengingat alasan apa yang membuatnya tidak mengunjungi rumah Levi sejak kemarin. Lalu tiba-tiba, wajah Eren berubah merah. Sangat merah. Ia baru ingat alasannya. Cepat-cepat, Eren menunduk, menghindari tatapan.
"Kenapa, hm?" Eren mengigit bibir bawahnya pelan. Merinding mendengar suara Levi yang terdengar berat dan ... seksi di telinganya. Telinganya merah.
"S-sepertinya aku harus pulang, Sir. Mmm. Sekali lagi terimakasih untuk hidangannya," ucap Eren dengan cepat lalu berdiri. Membungkuk pada Levi sejenak tanpa berani untuk memandang. Baru beberapa langkah, Levi sudah bersuara.
"Datang minta makan, sudah kenyang pulang. Anjing saja lebih sopan darimu, bocah". Eren berhenti. Sadar kalau dia sudah tidak sopan. Masih dengan wajah merah, Eren berbalik. Menatap Levi dengan zamrudnya yang berbinar gelisah.
"Anu ... bagaimana kalau kita nonton film?"
.
.
Eren duduk gelisah. Tepat di sampingnya, Levi duduk dengan sangat tenang. Keduanya berakhir dengan duduk di sofa ruang tamu, menonton box office yang sedang ditayangkan di salah satu program tv. Film action drama. Entah judulnya apa, Eren tidak tahu. Fokusnya tidak ada di tempat. Ia sangat gelisah. Sesekali ia akan melirik Levi yang masih dengan tenang duduk bersila kaki, tangan kanannya direntangkan di belakang punggung Eren. Mata hijau Eren membola saat melihat adegan ciuman panas antara tokoh utama dengan tokoh sampingan. Entah kenapa, film ini tidak ada sensornya. Melirik jam dinding besar, Eren paham kenapa film yang diputar tidak di sensor. Pukul sebelas malam. Waktunya tontonan orang dewasa.
Eren menelan ludah. Ciuman panas itu berubah menjadi saling raba dan buka. Sang wanita mendesahkan nama sang pria. Begitu panas. Setidaknya bagi Eren. Melirik ke arah kiri, Levi masih tenang menonton dengan mata mengantuknya.
"Anu ... apakah bisa diganti, Sir?" Eren memberanikan diri untuk bersuara.
"Kau lebih mau tokoh pria nya meraba-raba tokoh utama pria?" Levi bersuara. Eren memerah.
"B-bukan itu, Sir".
Levi melirik. Eren duduk gelisah dengan wajah memerah.
"Kau bergairah". Eren menoleh cepat, memandang dengan matanya yang membola.
"A-aku apa?"
"Bergairah".
"Tidak". Eren mengalihkan pandangan.
"Kau bergairah, bocah".
"Aku tidak."
Alis Levi terangkat. Perlahan tubuhnya mendekat ke arah Eren. Menyentuh telinga merah bocah itu dengan bibir tipisnya.
"Hoo. Lalu apa itu yang menggembung di selangkanganmu, bocah? Bola bisbol?"
Eren menunduk dan mendapati celananya menggembung. Wajahnya semakin merah. Kedua tangan bergerak menutup tonjolannya. Levi tersenyum tipis lalu menjauhkan tubuhnya. Memandang puas ke arah Eren yang tambah gelisah.
"Lakukan saja". Eren menoleh cepat, lagi.
"A-apa?"
"Lakukan," ucap Levi sambil membuat gerakan naik turun dengan tangan kanannya yang seperti menggenggam sesuatu. "aku tidak masalah".
Mata hijau itu membola lagi. "Kau tidak masalah melihatku ... onani?"
"Kau lebih suka bila aku membantumu?"
Eren menggeleng keras. Wajahnya semakin merah dengan bibir mengerecut malu. "B-bukan itu maksudku".
"Kalau begitu lakukan," ucap Levi. "jika kau pulang sekarang pun hasilnya sama saja kan? Lebih baik sekarang. Mumpung ada aku".
Eren tidak begitu mengerti apa maksud Levi. Namun, perkataan Levi itu membuat gairahnya meningkat. Ini sudah hampir dua minggu sejak skandal kecilnya dengan Jean berakhir. Jujur ia butuh sentuhan. Ia butuh menyentuh dan disentuh. Kedua tangannya yang sedari tadi menutup tonjolan di selangkanganya, kini bergerak ke arah kancing celana. Celana terbuka. Napas Eren semakin berat.
"Ghh". Eren menggeram saat tangan kanannya mengusap tonjolan yang masih diselimuti celana dalam berwarna putih. Mata gelap keabuan Levi mengamati. Celana dalam kusam itu basah oleh cairan Eren. Usapan pelan berubah menjadi remasan. Eren melirik nakal ke arah Levi yang sibuk memerhatikan. Gairah semakin melesat. Rasa malu Eren menghilang.
Napas terengah, Eren menarik turun celana jins pendeknya. Melepas dan membiarkan celana itu di atas lantai. Eren duduk dengan kaki terbuka, celana dalam putihnya masih melekat. Levi jelalatan memandangi tungkai Eren yang menggoda. Ramping, tapi terlihat kencang karena otot. Sadar dipandangi, Eren kembali meremas penisnya. Mendesis nikmat saat ujung penisnya digoda oleh tangannya sendiri.
"Lepas".
"Hng?" Eren menoleh dan mendapati Levi sedang memandangnya dengan mata yang menggelap. Jantung Eren berdetak. Ia tidak pernah ditatap seperti itu sebelumnya oleh Jean. Mata Jean seperti sedang melihat orang lain saat sedang bercumbu dengannya. Jean tidak menganggap Eren. Jean hanya mau Mikasa. Tapi Levi berbeda. Eren tahu jenis tatapan tetangganya itu. Tatapan bernapsu. Tatapan ingin menguasai. Eren menelan ludah. Mereka saling berpandangan saat Eren melepas celana dalamnya, mengangkat kakinya untuk memermudah celananya melorot turun ke lantai.
"A-anda suka laki-laki?" Eren bersuara, memastikan apa yang ia pikirkan itu benar atau tidak. Levi menatap Eren dalam. Melihat betapa erotisnya mata hijau zamrud Eren yang sekarang menggelap layaknya Opal. Tangan kanan Levi yang sedari tadi berada di belakang punggung Eren bergerak, mengusap lengan bocah itu. Eren menggigil pelan. Usapan perlahan naik ke perpotongan leher Eren. Mengusap belakang telinga Eren perlahan, membuat Eren memejamkan matanya. Geli.
"Menurutmu?" Suara rendah Levi terdengar serak di telinga Eren. Perlahan, mata Eren terbuka. Menatap Levi sayu.
"Sir," desah Eren saat jemari Levi yang kasar dan besar mengusap bibirnya yang kenyal. Levi tersenyum tipis. Tubuhnya mendekat, merasakan hawa panas Eren yang terbakar gairah. Wajah mereka sangat dekat. Hidung bersentuhan. Levi menatap mata hijau erotis milik Eren, tenggelam di sana.
"Katakan apa yang kau mau, nak".
Eren menelan ludahnya dengan susah payah. Aroma napas Levi membuatnya mabuk. Campuran dari teh dan nikotin, membuat gairahnya semakin membumbung tinggi. Tangan kiri Eren mengusap tangan Levi yang masih betah mengusap wajahnya. Sedangkan tangan kanan Eren bergerak, bergetar menyentuh garis rahang Levi yang tegas.
"Levi," desah Eren mengucap nama Levi. "cumbui aku".
.
-Eren to Levi-
.
Author Note :
Halo. Akhirnya karya ini bisa selesai tepat waktu. Happy Fujoshi/Fudanshi Independence Day #8! Beberapa tahun menjadi Fujoshi, saya baru bisa ikut berpartisipasi. Entahlah, rasanya seneng banget bisa ikut event kayak gini lagi. Sedikit bercerita, fiction ini adalah fiction kesekian saya di fandom SnK. Iya, kesekian. Yang satu sudah saya publish, tapi sisanya belum. Masih mendekam di laptop dan entah kapan bisa nimbrung di sini.
Kalau ada yang pernah membaca karya sebelumnya, mungkin akan bertanya-tanya, kapan saya akan segera mempublish prekuel dari fict tersebut. Jawabannya adalah : saya tidak tahu. Mungkin reader bisa baca profil saya dulu, agar bisa jelas. Atau kalau mengirim PM pun tidak masalah, sebisa mungkin akan saya respon.
Lanjut ke masalah fiction. Eren to Levi adalah fiksi oneshoot. Karena terlalu panjang, akhirnya dipisah menjadi dua chapter. Chapter terakhir akan diupdate tanggal delapan atau sembilan. Seselo nya saya. Fiksi ini sebenarnya ide lama yang dirombak habis-habisan. Dipersingkat sedemikan rupa. Maka dari itu, jangan aneh kalau alurnya terasa cepat atau mungkin dipaksa cepat. Semoga para pembaca menikmati fiksi ini, walaupun saya memang merasa penggambaran tokoh Levi dan Eren masih sangat kurang. Akhir kata, sekali lagi, Happy Fujoshi/Fudanshi Independence Day #8!
