Gadis itu menahan nafasnya berat. Kedua iris matanya menatap ke depan, melihat sesosok pemuda yang sedang menyanyikan sebuah lagu cinta diiringi dengan permainan piano di bawah sinar cahaya gemerlap dari lampu yang berada di atasnya.

Suaranya yang merdu, wajahnya yang tampan serta permainan pianonya yang lihai membuat semua gadis yang sedang berkumpul di sana untuk menyaksikan pertunjukannya berteriak histeris. Mereka amat begitu tergila - gila dengan pemuda itu, kecuali satu orang.

Ya, seorang gadis yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan sedih. Seluruh gadis yang berada di sana pasti mengidam - idamkan jika sosok pemuda yang sempurna itu menjadi kekasih mereka, maka kehidupan mereka akan menjadi sempurna.

Tidak, semua itu salah. Kiranya hal itu yang dirasakan oleh Hinata, gadis yang telah resmi menjadi kekasih Uzumaki Naruto; seorang musisi muda berbakat yang terkenal di Tokyo.

Jika saja semua gadis berpikir bahwa Naruto adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan seorang kekasih itu benar. Setidaknya sampai sebelum Ia menjadi terkenal seperti sekarang ini.

Hinata menatap wajah Naruto dari kejauhan, air matanya menetes membasahi kedua pipinya. Berada di tengah kerumunan para gadis yang meneriaki nama sang kekasih dengan girangnya membuat telinga gadis itu bising. Ia memutuskan untuk keluar dari kerumunan itu dan pergi ke belakang panggung.

Memutuskan untuk menunggu di ruang ganti sampai konser itu selesai merupakan keputusan yang baik bagi Hinata. Karena setidaknya gadis itu bisa sedikit bersantai dan tidak harus menahan rasa sakit ketika melihat kekasihnya digilai oleh ribuan gadis di luar sana.

"Naruto kun." gumamnya lirih seraya melihat sebuah bingkai yang terpampang di sana. Potret dirinya dengan sang kekasih saat debut kali pertama sang kekasih yang akhirnya berhasil mewujudkan cita - citanya sedari Ia kecil.

Konser yang berjalan cukup lama serta kondisi tubuhnya yang kurang baik membuat gadis itu perlahan memejamkan kedua matanya, berusaha untuk terlelap dan memutar kembali memorinya di mana Ia dan sang kekasih masih mempunyai cukup waktu untuk kebersamaan mereka.

...

Sementara itu, rasa lelah yang menerjang membuat pemuda berumur dua puluh delapan tahun itu ingin segera kembali ke penthouse-nya. "Kakashi san, apa saja jadwalku besok?" tanya Naruto pada sang manajer.

"Besok kau harus datang ke pemotretan untuk album terbarumu ditambah lagi meeting-mu dengan Kurenai san mengenai busana yang akan kau kenakan pada konser musim semi di Tokyo Dome." Naruto hanya mengangguk, jadwalnya belakangan ini memang terlampau sibuk.

Ia membuka pintu kamar ruang gantinya dan mendapati seorang gadis tertidur di sana dengan wajah pucatnya. Naruto menghampiri gadis yang telah menjabat sebagai sahabat sekaligus kekasihnya tersebut. Ia mengelus wajah pucat itu dengan lembut.

Untuk sesaat, Naruto benar - benar telah melupakan eksistensi dan keberadaan Hinata. Kegilaannya serta obesesi dan cita - citanya untuk menjadi musisi terkenal telah menempatkan Hinata pada prioritasnya yang terakhir hingga Ia tak menyadari keputusan yang diambilnya sekarang akan membawa penyesalan yang begitu dalam di kemudian hari.

"Hinata, bangun sayang." Naruto menepuk pipi Hinata pelan. Gadis itu melenguh panjang, kemudian Ia membuka salah satu matanya dan mendapati sang kekasih sudah berada di hadapannya.

Kerinduannya membuat gadis itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Naruto, pemuda itu tersenyum. Ia sedikit menundukan badannya dan mendaratkan ciuman lembut pada bibir sang gadis.

"Mmhn," Ciuman itu semakin lama semakin dalam, Naruto tak hanya tinggal diam dan mulai memasukkan lidahnya pada mulut sang gadis. Lidah mereka beradu satu sama lain. Entah apa yang membuat ciuman itu terasa begitu nikmat.

Apakah rasa rindu? Ataukah karena mereka sudah lama tak melakukan hal itu karena tak mempunyai banyak waktu? Entahlah, apa bedanya?

Hinata mendorong dada bidang Naruto pelan. Merasakan ada tenaga yang mendorong tubuhnya, pemuda itu melepas pangutannya, Ia lalu menatap ke arah gadis yang menghentikan ciuman secara sepihak itu dengan tatapan kecewa.

"A.. Ano, ki.. Kita lakukan di.. Di rumah saja." Gadis itu menahan rasa malunya, Ia mengutarakan isi hatinya yang paling dalam.

Meski terdengar memalukan namun kalimat itu terdengar bagaikan sebuah nyanyian merdu di telinga Naruto. Pemuda itu menyeringai dengan senyum liciknya, Ia lalu mencium kening sang gadis dan menghembuskan nafasnya dengan cepat pada telinga sang gadis seraya berbisik lirih; "Aku sangat tidak sabar menunggu Hinata, kau yang di atas."

Wajah sang gadis seketika berubah menjadi merah padam. Namun gadis itu dengan cepat mengangguk di kala pikiran tentang gadis - gadis liar di luar sana yang menginginkan kekasihnya datang menghantui dirinya.

"Itu baru gadisku." Naruto mengangkat dagu Hinata dan memberikan kecupan ringan dan lembut pada bibir peach gadis itu. Ia lalu mengangkat tubuh langsing Hinata dan mendekapnya dalam pelukannya. Namun belum sampai setengah jalan, sang manajer mendekati Naruto dan memberi isyarat kecil padanya.

"Banyak fans dan wartawan yang menunggu di pintu depan, alangkah baiknya jika nona Hinata berjalan sendirian lewat pintu belakang. Jika sampai mereka tahu, ini akan merusak reputasimu." Tak menunggu waktu lama bagi Naruto untuk segera menurunkan tubuh Hinata.

Hinata hanya tersenyum, lalu menunduk dan segera berlari menjauhi sang kekasih dan manajernya menuju pintu belakang. Ia berharap Naruto membelanya, Naruto memperkenalkan statusnya sebagai kekasihnya dan berharap Naruto akan mengejarnya.

"Hinata!" Naruto hendak mengejar sang kekasih yang semakin menjauhi dirinya namun dengan cepat kedua tangannya segera ditarik oleh sang manajer yang menggelengkan kepalanya.

"Tapi - "

"Gadis itu tak sebanding dengan karirmu, Naruto." Naruto tak menjawab apa - apa lagi. Ia hanya mampu memandangi punggung sang gadis yang semakin menjauh dengan tatapan pedih.

'Maafkan aku, Hinata.'

...

Hinata menghentikan langkahnya untuk menoleh ke belakang. Kosong. Tidak ada sosok Naruto yang mengejar dirinya. Tentu saja, berharap apa dia. Naruto tidak akan mungkin mengorbankan cita - citanya hanya demi gadis yang notabene tak sebanding dan setingkat dengan Naruto.

Hinata keluar dari pintu belakang dan berjongkok di depan pintu itu, Ia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Air matanya mengalir dengan sangat deras. Jantungnya terasa begitu sakit, bukan hanya karena efek diacuhkan oleh kekasihnya sendiri namun juga karena Hinata memiliki penyakit yang bahkan belum sempat Ia ceritakan pada kekasihnya sendiri.

"Ukh, hiks, huwaaa!" Hinata melampiaskan teriakan dan isak tangisnya, gadis itu tidak mampu menahan lebih lama lagi. Kenapa selalu dia yang menjadi korban atas ketenaran sang kekasih?

Apakah Hinata tak layak bersanding di samping Naruto? Apa Ia tak layak untuk mengklaim Naruto hanya untuk dirinya?

Tetesan air yang menyentuh surai indigonya membuat Hinata mendongak ke atas, langit mulai menitikkan air matanya. Hinata tersenyum, Ia tidak berteduh, Ia justru menempatkan dirinya di tengah air yang jatuh dari langit; yang menemani dirinya untuk menangis bersama - sama. Menuangkan segala keluh kesah yang terpendam dalam hati.

Lebih dari lima belas menit Hinata bertahan pada posisinya, berdiri menengadah ke atas langit yang mencuci segala air mata yang Ia tumpahkan hingga tak tersisa lagi. Sementara pikirannya berkecamuk akan sang kekasih yang tak kunjung menghampiri dirinya.

"Naruto kun, apa ini sudah saatnya bagiku untuk melepaskanmu?"

...

Pikiran yang tidak fokus serta rasa khawatir terhadap sang gadis membuat Naruto tak begitu mempedulikan teriakan fans dan pertanyaan para wartawan tentang dirinya. Namun sang manajer yang keras kepala bersikeras memaksa Naruto untuk menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan kepadanya.

"Kakashi san, apakah kita tidak bisa undur diri saja? Hinata sudah terlalu lama menunggu." bisik Naruto yang tentu saja langsung mendapat penolakan besar dari sang manajer.

"Tidak! Lagipula di luar hujan! Hinata bukan anak kecil, menunggu di luar seoerti ini tak akan membuatnya hilang atau mati!" jawaban yang dilontarkan sang manajer membuat Naruto naik pitam.

Ia tak peduli lagi akan karir atau ancaman apapun yang dilontarkan oleh manajernya kalau perlu Ia akan memecat Kakashi saat ini juga di hadapan para wartawan, namun hati nuraninya membuat Naruto memilih mengabaikan pria paruh baya itu dan menerobos para wartawan serta fans-nya dan memacu mobilnya untuk menjemput Hinata.

"Hei, kau mau ke mana? Naruto! Uzumaki Naruto!"

...

Iris shapire-nya terbelalak, Ia segera turun dari mobil sport-nya tanpa mempedulikan penampilan dan guyuran hujan serta angin kencang yang menerpanya. Pemuda itu berlari, menghampiri sang gadis yang masih setia berdiri di sana.

"Apa yang kau lakukan di tengah hujan begini, bodoh!" Pemuda itu membuka jasnya, memakaikannya pada tubuh sang gadis yang kedinginan. Ah, dia lupa bukankah jasnya juga sudah terkena guyuran air hujan?

"Aku menunggumu." jawab sang gadis polos. Matanya yang membengkak serta hidungnya yang memerah, suatu ciri dan tanda yang khas sehingga tak perlu waktu lama untuk membuat Naruto tahu bahwa gadisnya itu menangis.

"Hujan sederas apapun tak akan pernah bisa menghapus dan menyembunyikan perasaanmu dariku, Hinata. Kau kecewa padaku bukan? Katakan saja." Hinata menggeleng, menahan air matanya agar tak lagi keluar.

Selama ini gadis itu berusaha untuk tetap kuat dan tegar karena Ia tak ingin Naruto terbebani oleh dirinya.

'Apa Naruto kun tidak sadar? Bahwa setelah kau meraih mimpimu, kau selalu tidak mempunyai waktu untukku? Kau bahkan malu memperkenalkan statusku sebagai kekasihmu? Apa kau juga tidak sadar bahwa kau sudah menyakitiku? Katamu aku akan selalu menjadi yang utama, namun kenyataannya?'

Mereka berdua berdiri dan terdiam di tengah hujan untuk beberapa saat. Naruto bersikeras menunggu agar Hinata membuka suaranya, namun Hinata memilih untuk tetap diam dan menyimpan segala rasa sakit dan keluh kesah itu di dalam hati kecilnya.

"Jika kau tidak ingin berbicara, lebih baik kita pulang. Hujan dan angin tak baik untuk kesehatan kita." Naruto berjalan duluan ke dalam mobil, berharap gadis itu akan mengikutinya.

Namun ekspektasinya salah, Hinata tak kunjung mengikutinya dan ketika Naruto menoleh, Ia sudah mendapati sang kekasih terbaring lemah di atas aspal yang dingin dengan tubuh menggigil dan bibir yang berubah menjadi putih. Kemungkinan terbesar ialah gadis itu terserang hipotermia akibat kedinginan di saat menunggu Naruto.

"Hinata!" Naruto bergegas menghampiri sang kekasih, tangannya menggendong tubuh yang sudah tak bertenaga itu dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia lalu menyalakan mobilnya dan memacunya dengan kencang menuju rumah sakit terdekat.

"Nhhn, Na.. Ru - "

"Hime, jangan bicara dulu. Bertahanlah, sebentar lagi kita akan segera sampai." ujar Naruto panik.

Samar - samar Hinata dapat melihat ekspresi kepanikan dari Naruto yang membuat hatinya senang. Sudah lama Ia tak mendapat perhatian khusus dari sang kekasih, namun kembali lagi Hinata tak ingin menjadi gadis yang egois. Ia tahu bahwa Naruto tak akan diam saja jika pemuda itu tahu bahwa hidup Hinata tidak akan lama lagi.

Gadis itu menepis rasa sakit yang menimpa tubuhnya dan memaksakan diri untuk duduk, Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada bahu kekar sang kekasih dan mengelus wajah tan pemuda itu dengan lembut.

"Kita pulang saja, aku tak sabar ingin menghabiskan waktu bersamamu. Lagipula, aku hanya sedikit pusing. Aku lupa meminum vitaminku tadi, maafkan aku." Naruto mengerem mobilnya, Ia memasang tampang marahnya pada sang gadis lalu mencubit pipi gadis itu gemas.

"Sudah berapa kali kukatakan, jangan pernah lupa untuk meminum vitaminmu! Kita akan tetap ke rumah sakit!"

"Tapi Naruto kun -

"Tidak ada tapi - tapian! Kita tetap ke rumah sakit, suka atau tidak."

"Naruto kun dengarkan aku! Kumohon, kali ini saja dengarkan permintaanku. Aku tak pernah meminta apa - apa padamu. Kumohon Naruto kun, hiks." Teriakan serta isakan yang dihasilkan oleh sang kekasih membuat Naruto sedikit tersentak.

"Hinata?" Ada apa dengan gadisnya itu? Sebesar itukah rasa takutnya kepada rumah sakit hingga Ia menangis, memohon dan bahkan membentak Naruto agar tak membawanya ke rumah sakit?

"..."

"Maafkan aku - " Hinata menundukan kepalanya dalam, enggan memandang wajah sang kekasih yang saat ini pasti sangat amat marah kepadanya.

"Tidak Hime, maafkan aku. Kita pulang." Naruto mengelus surai indigo sang gadis dengan lembut. Rasa bersalah membuncah dalam hatinya mendengar teriakan dan isakan Hinata.

Naruto menarik kepala Hinata dalam dekapannya, Ia mengangkat poni yang menutupi mutiara lavender sang gadis ke atas kemudian menempelkan dahinya ke atas dahi Hinata.

"Tidak panas? Kalau begitu bersiaplah Hime. Aku sudah terlalu lama menunggu dan malam ini aku sudah siap menyantapmu." ujar Naruto dengan seringai liciknya.

Wajah Hinata memerah sempurna, Ia tak mampu membayangkan bahwa di malam yang dingin ini, Ia dan Naruto akan melakukan penyatuan kehangatan mereka untuk yang pertama kalinya sekaligus membuat kenangan terindah bagi mereka berdua untuk yang terakhir kalinya.

[...]

つづく

14.02.16 | ©Yuki Hime