Disclamer : Naruto, Boruto and all character belongs to Masashi Kishimoto, Ukyō Kodachi, Mikio Ikemoto. I didn't receive any profit in this fanfiction.


Trilogy Journey of Love 1 : When You Love Someone

By Raika Miyazaki

Character : Boruto Uzumaki, Sarada Uchiha

Genre : Hurt / Comfort / Romance

Rating : T

Warning : AU, OOC(berusaha tidak OOC pastinya) , typo(s) yang bertebaran, EYD masih berantakan, dll.

Summary : Aku hanya tidak ingin egois dengan memaksamu mencintaiku. Asalkan melihatmu bahagia, walaupun aku harus terluka dan menangis ... aku tidak apa-apa. Mencintai seseorang lebih dari yang kita bisa, rasanya sangat aneh saat kita mencintai seseorang bukan? / Sarada's POV


.

.

~ Happy Reading All ~

.

.


Hari yang sulit, kan?

Melihatmu seperti itu membuatku sakit

Tak banyak yang bisa aku lakukan untukmu,

Kecuali berada di sampingmu,

aku minta maaf

.

.

"Haaaaah ..." Entah berapa kali aku menghela nafas panjang diawal pagi ini.

"Kau kenapa, Sarada?" Suara yang kukenal berada tepat disampingku.

"Ah, Chocho."

"Ini sudah ke 10 kali kau menghela nafas di pagi hari. Ada apa?"

"Kenapa kau menghitungnya?"

"Justru aku yang bertanya mengapa kau begini, Sarada?"

"Aku, tidak apa-apa Chocho. Sungguh."

"Jangan bilang kalau gara-gara dia?" Sebuah kata yang sangat kuketahui maksud dari sahabatku satu ini.

"Kau tidak bisa menipuku, Sarada." Lanjutnya melihat ke arah yang sama dengan apa yang kulihat sedang tertawa riang bersama teman-temannya.

". . . . . . . . . . . "

"Kenapa tidak kau utarakan saja, Sarada?"

"Tidak bisa, Cho." Tidak akan bisa ... aku sangat tau, apa yang di inginkannya. Selalu, dan selalu ... tak banyak yang bisa kulakukan, kecuali berada disampingmu, dan ... mendukungmu.

.

.

Kau sangat indah kalau sedang tersenyum

Jadi saat kau kehilangan senyumanmu

Aku ingin mengembalikannya untukmu

Bagaimanapun caranya

.

.

"Saradaaaaaa ... !" Sesosok kuning berjalan mendekati mejaku. Sosok yang selalu ada dalam mimpi indahku. Dan saking indahnya ... aku serasa tidak ingin kembali ke dunia nyata.

"Ada apa?"

"Ketus sekali sih. Makin mirip dengan Sasuke-occhan."

"Karna aku anaknya, bodoh. Jelas mirip."

"Justru aku lebih berharap sifatmu seperti bibi Sakura." Bibirnya mengerucut membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan. Eh?

"Ya, ya ada apa tuan Uzumaki Boruto?" Ku enyahkan seluruh pikiran anehku barusan. Yuppss ... pemuda di hadapanku inilah yang selalu mendatangi mimpi-mimpiku. Tapi aku sadar ... itu tidak akan ada di realita ini.

"Bagaimana aku mengatakannya ya. Bisakah kau mengajariku pelajaran fisika?"

"Tumben sekali? Ada apa? Seingatku nilaimu diatas rata-rata? Walau tidak setinggi diriku sih."

"Mulai lagi deh sisi sombong khas Uchiha." Lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya. Rasanya ingin ku kecup saja bibir seksinya itu. Aaarrrggghhh ... Sarada! Sadarlah!

"Maaf, lalu ada apa?"

"Itu ... bagaimana aku mengatakannya ya?" Kulihat wajahnya tersipu malu dengan semburat merah tipis menghiasi wajah tan miliknya.

'Nyut' Dadaku nyeri melihat raut wajahnya seperti itu. Aku tau, sangat tau ... wajah tersipu itu untuk siapa.

"Memangnya apa?"

"Itu ... aku ... "

Haaaaah ... kuatkan aku, Tuhan.

"Kau mau satu kelompok dengan Sumire di pelajaran fisika selanjutnya ya?"

"Ke, kenapa kau bisa tau!?"

"Melihat wajahmu saja, aku sudah tau." Bahkan aku juga tau ... bagaimana kau memandangnya. Matamu berbinar saat berada di dekatnya. Bagaimana kau menjadi sosok yang sangat bodoh saat dia melihat ke arahmu. Semuanya aku mengetahuinya, Boruto.

"Huh, kau selalu saja bisa menebaknya." Kudengar helaan nafas darinya dan seketika wajah tersenyumnya menghilang.

"Kau benar, aku ingin pelajaran selanjutnya bisa sekelompok dengannya." Lanjutnya lirih, aku tak sanggup melihat wajahnya yang sendu.

"Kalau kau seingin itu, kenapa tidak kau katakan langsung padanya?"

"Iya sih, tapi rasanya terlihat aneh kalau tiba-tiba bilang ingin sekelompok dengannya. Setidaknya aku punya alasan kuat gitu."

"Jadi maksudmu, kau bergabung dengan kelompoknya karena menguasai materi untuk belajar kelompok fisika nanti?"

"Betul sekali!" Cengiran khas miliknya merekah di wajahnya.

"Huh, baiklah. Aku akan mengajarimu. Materi berikutnya sudah ku pahami." Kualihkan pandanganku kemanapun asalkan tidak ke arah wajahnya. Aku tidak ingin terlalu jatuh dalam pesonanya.

"Sugoi ... Uchiha memang beda ya."

"Berisik! Mau kuajari atau tidak?"

"Iya, iya! Dasar nona Uchiha." Aku pun menghiraukan sindirannya itu dan melihatnya mulai tersenyum kembali, mengahngatkan hatiku. Akan aku lakukan apapun asal kau tetap tersenyum ceria seperti ini.

.

.

Lebih baik aku yang menangis

Daripada kau yang menangis

Lebih baik aku yang terluka

Daripada kau yang terluka lagi, aku tak mau

.

.

Kurebahkan diriku di kasur empukku. Berharap rasa lelah dan letihku menghilang. Aku sadar apa yang kuperbuat, mengapa aku membantunya? Tapi apa yang bisa kuperbuat selain mendukungnya? Kupejamkan mataku dan entah kenapa perkataannya tadi teringang di kepalaku.

.

.

"Akhirnya! Pelajaran yang menyiksa otak selesai!"

"Baru begini saja sudah ngeluh, katanya mau sekelompok dengan dia?"

"Kau benar! Baiklah aku tidak akan menyerah."Kurasakan semangatnya yang selalu pantang menyerah itu, selalu membuatku terpukau. Eh? Apa yang kupikirkan?

"Haaaah ... hari sudah sore. Aku tidak ingin bermalam di sekolah."

"Masa sih? Aaaakkhhh iya! Sudah berapa lama kita disini!?"

"Sejak bel pelajaran berakhir. Lagipula ternyata kau cukup cepat memahaminya." Ku rapikan buku dan peralatan tulisku.

"Hehehehe ... berarti aku ini bisa dikatakan jenius ya?" Ujarnya agak menyombongkan diri.

"Huh, bodoh."

"A, apa kau bilang!?"

"Segitu saja tidak akan bisa membuatnya suka padamu loh."

"Aku tau, tapi pastinya aku tidak akan menyerah!"

'Nyut'

"Kenapa kau sekeras itu berusaha untuk ... dia?" Suaraku tercekat untuk mengatakannya. Sesak rasanya mengingatnya begitu gigih untuk berjuang, namun bukan untukku.

"Entahlah ... hanya saja bukannya jika kita menyukai sesorang, harus memperjuangkannya kan?"

"Ah, iya kau benar."

"Memangnya tidak ada yang kau sukai, Sarada?"

"Kenapa kau bertanya begitu?" Elakku padanya. Aku tidak sanggup mengatakannya.

"Kita kan teman sejak kecil. Jika ada seseorang yang kau sukai, katakan saja padaku." Kenapa ... kenapa kau mengatakannya sambil tersenyum ceria seperti itu. Tidak sadarkah dirimu, kamulah yang kusukai, bahkan lebih dari itu.

"Jadi ada apa tidak nih?"

"Apaan sih! Ganggu aja."

"Tinggal jawab apa susahnya sih?"

"Ada! Mau apa kau?"

"Weeeh? Siapa?"

"Bukan urusanmu! Sudah aku mau pulang!" Kusambar tasku dan segera pergi meninggalkannya. Kudengar Boruto terus meneriaki namaku, namun aku terus berjalan tanpa melihat ke belakang.

.

.

"Bodohnya aku mengatakan hal itu padanya." Gumamku frustasi. Bagaimana tidak? Aku secara langsung mengutarakan isi hatiku secara tidak langsung.

"Sarada! Sudah jam berapa ini? waktunya tidur."

"Iya, ma. Ini mau pergi tidur." Teriakku dari arah kamarku berharap mama mendengarnya.

Kumatikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Kucoba pejamkan mata untuk melupakan kejadian hari ini, namun kenapa terasa sulit sekali. Kenapa pipiku terasa hangat? Kenapa aku harus menangis? Mengingat perkataannya tadi sore benar-benar menyesakkan dada. Apakah ini artinya aku harus menyerah? Melihatnya begitu berjuang untuk 'dia', aku tidak bisa membiarkannya bersedih. Aku harus kuat ... dan tetap mendukungnya. Tuhan ... tolong tetaplah buat diriku selalu kuat untuk menahan semua ini demi dirinya.

Karena ... sampai kapanpun ... aku hanyalah teman masa kecilnya.

.

.

Mencintai seseorang

Lebih dari yang kita bisa

Rasanya sangat aneh

Saat kita mencintai seseorang

.

.

"Saradaaa!"

"Ada apa sih ribut-ribut?" Kulihat Boruto sudah tepat berada di depan dan hampir membuatku terjengkal ke belakang. Untung saja atap sekolah dimana tempat yang kujadikan bersantai sambil membaca novel saat istirahat sedang sepi.

'Greb'

"Eeeh?" Kurasakan kedua tanganku digenggam erat olehnya.

"Makasih loh Sarada!"

"Bo, boruto!? Wajahmu terlalu dekat!"

"O, oh iya maaf-maaf. Aku terlalu senang hehehehehehe ... " Entah kenapa aku sedikit kecewa melihatnya melepaskan kehangatan tangannya dariku. A, apa yang kupikirkan!?

"Memangnya ada apa sih?"

"Makasih loh! Dia begitu takjub melihatku menguasai materi fisika kali ini. Wajahnya yang lucu itu ... aku tidak bisa melupakannya." Dengan begitu antusias dia kemari dan memberitahukan hal ini? Tenanglah diriku, aku tidak boleh lemah.

"Baguslah kalo begitu. Aku turut senang." Ujarku bohong. Yaaaah, mana mungkin dia sadar kalau aku berbohong, kan?

"Hey!" Tiba-tiba saja raut wajahnya menjadi serius.

"Apa?"

"Aku penasaran, siapa sih yang kau sukai?"

"Memangnya kenapa?"

"Tidak apa, hanya saja aku ingin mengetahuinya. Lagipula kita kan teman sejak kecil, dan karena kau sudah membantuku boleh dong aku juga membantumu?"

"Tidak perlu kok."

"Kenapa? Tidak adil tau."

"Karena aku memilih menyerah saja."

"Hey!? Kenapa? Memangnya kenapa dia?" Raut wajahnya seketika mengeras tanda tidak terima dan membuatku harus menahan tawa.

"Apanya yang lucu?" Tanyanya agak tidak terima melihatku menertawakannya.

"Abisnya kenapa wajahmu begitu? Jadinya aku tertawa, bodoh."

"Tidak lucu tau. Lagipula kenapa kau menyerah untuk mendapatkannya?" Haaaah ... dasar si baka satu ini tidak akan pernah sadar rupanya.

"Aku ... hanya tidak ingin egois."

"Maksudnya?"

"Karena orang yang kusukai ... sudah menyukai gadis lain, Boruto." Desiran angin bertiup kencang menerbangkan helaian rambutku dan terpaksa membuatku merapikan rambutku yang tertiup angin.

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa kau tidak berjuang lebih, siapa tau dia menyukaimu, kan?"

"Haaaaah, dasar bodoh." Kuketuk keningnya dengan kedua jariku.

"Oouuch! Sakit oy!" Refleks dirinya memegang keningnya itu. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.

"Ahahahaha ... Kau ini benar-benar bodoh ya."

"Sakit tau. Bukannya menjawab malah begini!"

"Memangnya kau mau tau?"

"Apa?"

"Asal kau tau ... ketika kita mencintai seseorang. Ada dua hal yang menjadi pilihan, berjuang atau ... merelakan. Jadi karena dia sudah menyukai orang lain. Pilihanku hanya merelakannya." Aku tersenyum manis ke arahnya. Dan yang tidak bisa kukatakan pula adalah aku akan mendukungmu, Boruto. Aku hanya tidak ingin egois dengan memaksamu mencintaiku. Asalkan melihatmu bahagia, walaupun aku harus terluka dan menangis ... aku tidak apa-apa. Mencintai seseorang lebih dari yang kita bisa, rasanya sangat aneh saat kita mencintai seseorang bukan?

.

.

Aku ingin berguna untukmu, walau tak seberapa

Aku ingin menjadi tempat peristirahatanmu

Kalau kau memikirkanku saat sedang sibuk

Aku akan berusaha menghiburmu

.

.

Sejak hari itu dimana Boruto menemuiku di atap, masih seperti biasanya terkadang Boruto masih suka menemuiku. Namun intensitas pertemuan kami semakin berkurang.

Aku sadar ... aku ini siapa bagi dirinya. Hanyalah teman masa kecilnya dikarenakan kedua orangtua kami telah bersahabat sejak lama. Terkadang aku suka berpikir, karena kedekatan kedua orangtua kami, aku bisa bersama dengannya. Namun akhirnya aku menyadari jika kedekatan orangtua kami, tidak bisa mendekatkan dirinya untuk memiliki perasaan lebih dari sekedar 'Sahabat'.

Saat ini aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Melihatnya bercengkrama dan tertawa bersama dengan 'dia', ada rasa sesak di hatiku. Namun aku bisa apa? Aku hanya ingin berguna untuknya, walau tidak seberapa.

"Sarada ... "

"Ah, iya. Ada apa Chocho?"

"Kau tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Aku baik kok."

"Matamu tidak bisa berbohong, Sarada."

". . . . . . . . . "Kulihat dengan jelas wajah Chocho yang begitu khawatir padaku. Aku tau, sejujurnya aku tidak benar baik-baik saja. Hanya saja, aku ingin dia bahagia dan itu sudah lebih dari cukup.

"Kenapa kau menyerah?"

"Karena cinta tidak bisa dipaksakan, Cho. Aku tidak ingin egois."

"Tapi, Sarada! Kau itu terlalu ... "

"Apa? Baik? Bukan begitu Cho. Aku juga sadar kalau memang dia tidak punya rasa lebih. Dia hanya menganggapku sebagai teman masa kecilnya, dan tidak lebih."

"Tapi, Sarada! Kudengar Sumire ... "

"Hooy! Sarada! Chocho! Ayo makan siang bersama!" Suara Boruto menggelegar di penjuru kelas. Aku harus menutup wajahku dengan buku yang berada di tanganku. Tingkahnya kadang memalukan, haaaaah ...

"Hey, ayo makan siang bersama. Shikadai dan Inojin juga ikut kok."

"Haaaah ... Sarada. Aku duluan ya." Kurasakan Chocho menepuk pundakku dan berlalu begitu saja ke tempat Shikadai dan Inojin menunggu.

"Hooy! Bengong aja! Ayo makan siang bersama!"

"Apa sih!? Bukannya tadi kau bersama Sumire?"

"Oh itu. Dia dipanggil ke ruang guru, dan memintaku makan siang duluan saja nanti dia menyusul."

"Yasudah sana. Entah kenapa aku malas ke kantin, lebih baik di kelas saja."

"Hey, kalau kau tidak makan nanti penyakit maag-mu kambuh bagaimana!?"

"Hey! Aku bukan anak kecil lagi! Lagipula aku juga sarapan kok. Sudah sana!" Kudorong dia menjauh dari kursi yang kutempati. Lagipula aku juga tidak nafsu makan saat ini, entahlah aku tidak mengerti kenapa.

"Ga usah dorong-dorong juga dong! Yaudah kalo tidak ikut." Kulihat dia berjalan menjauhiku dan aku bisa menghela nafas lega.

Aku tidak sanggup jika sekarang harus berbicara padanya karena ... apa yang kulihat bagaikan tertusuk jarum. Walau aku tau ini tidak boleh, hanya saja aku butuh waktu untuk menguatkan hatiku.

Terkadang aku berfikir, apa tindakanku selama ini benar? Apakah aku benar-benar tidak masalah bila dia bersama yang lain? Aaaaah, aku tidak tau apa yang sebenarnya kuinginkan, apa yang kuharapkan.

'Krucuk' Ukkh kenapa malah perutku bunyi sih!? Aku malas ke kantin pula, mengingat ada mereka. Aku jadi tidak berselera. Hmm apa ke koperasi saja ya beli roti? Baiklah kesana saja deh.

"Mau kemana kau?" Sebuah suara menghentikanku yang ingin pergi dari kelas. Kulihat siapa yang berbicara padaku kali ini.

"Boruto!? Ada apa?"

"Kau mau kemana?" Tanyanya padaku. Kulihat dia memegang kantong plastik putih yang tidak kuketahui apa isinya.

"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin membeli roti di koperasi sekolah."

"Lalu kau membiarkanku sendirian dan memakan ini semua?" Tiba-tiba saja dia meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke atas mejaku, dan bisa kulihat ada burger, roti yakisoba, dan berbagai minuman.

"Kau? Kenapa?"

"Mana bisa aku membiarkanmu. Sudahlah ayo makan, kau tau kan roti yakisoba di sekolah ini enak loh." Kulihat dia langsung memutar kursi yang ada di depan meja menghadap padaku.

"Mari makan!" Boruto langsung melahap burger kesukaannya. Aku hanya terdiam melihatnya begitu lahap memakan makanan favoritnya.

"Hoooee ... Khenapa nghelihatin ajha? Makhan sahja yhang kau shuka."

"Kalo makan jangan berbicara dulu, makananmu muncrat kemana-mana ini." Kuambil roti yakisoba yang dia beli dan memakannya. Rasanya enak, pantas saja Chocho pernah membelinya dengan jumlah yang banyak.

"Glup ... Haaaaah! Aah, kau ini seperti ibuku saja. Lagipula bagaimana? Enak kan?"

"Iya, Ini enak."

"Hahahahahaha tidak sia-sia aku mengantrinya. Entah kenapa hari ini banyak sekali yang membelinya, untung masih kebagian." Tunggu? Kenapa dia mau repot-repot seperti itu?

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa kau sampai mengantri untuk membeli ini?" Aku penasaran apa jawabannya.

"Hmmm ... Bukannya kau ingin roti ini minggu lalu?"

"Kau ... masih mengingatnya?" Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar.

"Tentu saja! Kau penasaran tapi enggan mengantri di antrian yang panjang begitu dan memilih menu lain."

". . . . . . . . . . . "

"Yasudahlah, toh sekarang cuma tinggal makan kan?" Boruto membuka bungkusan burger yang keempat. Tunggu?

"Hey! Kau beli berapa banya burger ini!?"

"Hanya 6? Lagi promo kok mangkanya aku beli banyak."

"Kau ini! Nanti bibi Hinata memarahimu karena terlalu banyak memakan junk food itu."

"Iya, iya lagipula hari ini mumpung promo harga kok. Tolong rahasiakan ini dari Kaa-chan ya!" Boruto mendorong sebungkus burger miliknya padaku.

"Apa ini? Tanda tutup mulut? Kalo memang iya, aku tidak mau!"

"Oh ayolaaaah! Aku tidak ingin dimarahi Kaa-chan. Kau tau ibu kalau sudah marah terlalu seram. Tou-chan saja tidak berani berbuat apa-apa kalau Kaa-chan sudah marah."

"Ooooh ... " Wah, waah aku tidak menyangka.

"Baiklah, tapi lain kali jangan diulangi atau kuadukan kau ke bibi Hinata."

"Siaaap kapten!"

"Hmmmph ... dasar bodoh." Entah kenapa aku tidak bisa menahan tawaku melihat tingkah konyolnya.

"Jangan menertawakanku. Lagipula nih kau coba burger yang kubeli, selain ada promo harga ternyata ada rasa baru dan enak loh."

"Hn? Burger ini?" Kulihat burger yang masih terbungkus rapi dengan kertas pembungkusnya di depanku.

"Iya. Coba saja!" Boruto lagi-lagi melahap burgernya itu. Dasar maniak burger!

"Baiklah kucoba." Kuambil burger itu dan membuka bungkusnya. Entah kenapa tercium bau cabai begitu kuat ya?

"Huwaaaaa! Pedaaas!" Kuraih cepat sebotol air mineral yang ada dalam kantong plastik.

"Ahahahahaha ... masa segitu saja pedas? Kau lucu Sarada!"

"Keterlaluan! Ini pedas banget tau! Kau mau meracuniku!?" Geramku sambil menahan rasa terbakar di lidahku.

"Hey-hey! Aku tidak sejahat itu. Bukannya kau itu kuat pedas?"

"Tapi yang ini parah! Bagaimana bisa kau memakan ini!?" Kukembalikan burger yang dia berikan.

"Heeeeh! Kenapa burger level 5 ini ada di sini!? Aku kan memesan semuanya level 3!?"

"Mana aku tau!? Ini terlalu pedas!" Kuminum habis botol air mineral berharap rasa pedas ini bisa hilang.

"Maaf-maaf yaudah ini yang benar kok rasanya. Yang level 5 ini biar kumakan." Boruto memberiku bungkusan burger yang baru.

"Dasar bodoh, lain kali cek semua yang kau beli."

"Iya, iya. Penasaran pedasnya kayak apa ya?" Boruto langsung memakan burger super pedas itu. Tunggu!?

"Bo, boruto!?"

"Huwaaaaa! Ini pedas bangeeet! Aiir! Mana airnya!?" Boruto langsung menyambar botol air mineral yang kuminum dan diminum habis olehnya.

"Tu, tunggu Boruto!?"

"Puaaaaaaah! Pedas sekali tapi tetap enak pula." Boruto tetap nekat melahap burger pedas itu. Tidak sadar apa dia kalau dia makan burger dan minum botol yang sama denganku!?

". . . . . . . . . . . "

"Kenapa?"

"Tidak ada. Sudahlah cepat habiskan sebentar lagi bel masuk." Kualihkan perhatiannya dibandingkan membuatnya curiga yang tidak-tidak.

"Iya juga. Tapi lain waktu aku beli yang level 5 saja deh. Ini enak juga walau pedas banget." Wajah Boruto memerah menahan rasa pedas yang menurutku berlebihan itu. Kuambil saputangan di saku rok milikku dan mengelap keringat yang meluncur dari keningnya.

". . . . . . . . . . "

". . . . . . . . . . "

"Kenapa?" Tanyaku bingung melihatnya terdiam.

"Ti, tidak ada. Tapi makasih ya, hehehehehehe ... "

"Makasih untuk ap–" Aku baru tersadar apa yang kulakukan. Aaarrrggghhhh ini memalukan!

"Kenapa? Kau memerah?" Wajah Boruto begitu dekat denganku.

"Tidak apa-apa!"

"Jangan-jangan kau sakit ya!? Maaf gara-gara burger itu pasti ya!?"

"Tidak bukan itu. Tenang saja."

"Kalau ada apa-apa bilang saja. Aku akan bertanggung jawab!" Boruto mengatakannya begitu tegas dan membuat degup jantunngku berdetak lebih cepat.

"Iya, iya sudah cepat habiskan ini semua. Aku sudah kenyang." Kubersihkan sisa-sisa makanan diatas meja selagi dia melahap semua makanan yang dibelinya.

"Iya! Serahkan saja padaku –ttebasa!"

Aku tidak habis pikir? Bukannya dia ke kantin bersama yang lainnya? Apalagi disana pasti ada Sumire. Kenapa malah dia kembali kemari? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia selalu saja membuat hatiku tersentuh dengan tindakannya? Harusnya kau tidak seperti ini, Boruto. Kalau seperti ini terus ... semakin sulit untukku.

.

.

Kau adalah laki-laki berhati lembut

Jadi saat aku melihatmu tersakiti

Aku ingin membuatmu tersenyum lagi

Bagaimanapun caranya

.

.

"Haaaaah, sudah kuduga memang tadi kau menahan diri, Sarada." Suara keluhan terdengar di telingaku. Aku hanya bisa mengerang pelan diatas ranjang UKS.

Kalau ada yang bertanya apa yang terjadi? Kurasa karena insiden burger super pedas itu, terpaksa pada jam terakhir aku harus dibawa ke UKS karena tidak sanggup dengan rasa panas di perut akibat memakan burger itu.

"Aku tidak menahan diri. Sudahlah, tidak usah diperpanjang. Lagipula ini sudah sore, aku ingin pulang." Kucoba bangun dari kasur namun tertahan tangan Boruto.

"Sudah, istirahat saja sebentar. Sudah kukatakan aku akan bertanggung jawab bukan?"

"Justru lebih baik aku beristirahat dirumah. Lagipula ku sudah lebih baik berkat obat dari Sizune-sensei."

"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang."

"Hah? Bukannya kau harus kembali ke kelas?"

"Kelas juga sudah sepi, lagipula ini kan sudah waktunya pulang sekolah. Sudahlah hari ini aku membawa sepeda. Kau akan kuantar pulang."

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Kucoba bangun namun rasa perih di perut menyerang kembali. Uukkh ... menyebalkan sekali sih.

"Sudahlah, kau tunggu disini. Aku ke kelas dulu ambil tas kita." Boruto langsung membuka pintu UKS dan menghilang setelah pintu tertutup.

Haaaaah ... kenapa selalu begini? Terkadang aku tidak habis pikir kenapa dia begini padaku. Bisakah dia tidak membuatku terlalu berharap? Aku sadar kebaikannya pada semua orang, dan kepeduliannya terhadap teman-temannya pun aku tidak perlu meragukan lagi. Walau kutau itu semua, kenapa rasa ini bisa hadir dalam hatiku?

'Braak'

"Hey! Masih kuat jalan ke parkiran sepeda?" Aku terkejut melihat Boruto berdiri dengan mengendong kedua tas yang salah satunya milikku.

"Kau pikir kau sedang berbicara dengan siapa, hah!?" Mendadak mendengar hal itu membuatku kesal saja. Aku langsung berjalan menghampirinya yang masih berada di dekat pintu.

"Yee, malah marah. Ahahahahaha ... Bercanda kali, yaudah ayo pulang."

"Huft, terserah deh. Sini tasnya, biar ku bawa sendiri."

"Tidak perlu, isi tasmu ringan ini. Sudah ayo jalan." Boruto menahan tanganku untuk menggapai tas milikku yang ada di bahunya dan membuka pintu UKS yang berada tepat di belakangnya.

"Haaaaah ... dasar bodoh." Aku pun melewatinya terlebih dahulu. Dasar dia itu selalu saja membuatku merasa kesal tapi tidak bisa marah juga. Boruto hanya tertawa di belakangku, apanya yang lucu sih? Menyebalkan deh dia.

Akhirnya kami sampai di parkiran sepeda. Kulihat parkiran sepeda ini terlihat sepi dan hanya ada beberapa sepeda yang masih ada di sana.

"Hey, mau sampai kapan melamun?" Suara Boruto menginterupsiku. Aku pun melihat ke arahnya dan melihat kedua tas berada di keranjang sepeda yang di tentengnya.

"Diih malah bengong lagi. Buruan naik biar cepat sampai rumah dan bisa istirahat." Boruto menepuk-tepuk tempat duduk di belakang pedal sepedanya.

"Haaaaah ... terserah kau saja deh." Aku pun menaiki tempat duduk di belakangnya. Kurasakan tangan Boruto menarik salah satu lenganku.

"A, apa-apaan kau!?"

"Pegangan lah, berat tau kalo kau pegangan di besi belakang kursi kayak gitu."

"Jadi maksudmu, aku berat!?" Ku sengaja menaikkan suaraku untuk melihat reaksinya, hihihi ...

"Bu, bukan gitu maksudnya aduuuh!"

"Iya, iya dah lepasin tanganku. Aku bisa sendiri." Kupegang erat bajunya sebagai ganti peganganku. Ada sensasi aneh menyeruak dalam diriku seperti terkena sengatan listrik.

"Weh! Bajuku bisa kusut nih."

"Pegangan belakang salah, disini salah, maumu apa sih!?"

"Seeh iya, iya bebas deh. Pegangan yang erat ya." Boruto mulai mengayuhkan sepedanya menelusuri senja. Semilir angin berhembus di pertengahan musim gugur dengan tabahan cahaya senja, mengingatkanku tentang masa lalu. Terakhir kali kapan ya dibonceng sepeda seperti ini?

"Hey, Sarada."

"Apa?"

"Jadi teringat waktu kecil ya?"

"Maksudnya?"

"Iya dulu kita kan sering pulang bareng seperti ini, tapi semenjak SMA kita jarang pulang bersama."

"Kau kan ikut ekskul sepakbola, basket, dan karate . Jadi ... "

"Dan kau makin ganas ikut ekskul taekwondo, ahahahaha." Sahut Boruto yang memotong ucapanku.

"Kau belom pernah dipatahin lehernya ya?"

"Weeeh selow dong, nona Uchiha."

"Ga usah bawa marga gue kali."

"Ahahahaha ... sensi amat bu, pms ye?"

"Sialan nih si kepala kuning!" Kupukul pundaknya saking kesalnya dan dibalas tawa olehnya menemani perjalanan kami.

"Ahahahaha ... maaf-maaf. Oh ya Sarada. Ada yang ingin kukatakan." Entah kenapa mendadak atmosfer sekitarku menjadi berat.

"Apa?"

"Karena kau sahabatku dan ... kau seorang perempuan, aku ingin minta pendapatmu."

"Tumben sadar kalo aku perempuan?"

"Jadi mau kuakui laki jadi-jadian?"

'Bletak'

"Adooooh! Kepalakuuuu!" Tiba-tiba dia melepas stang sepedanya.

"Heey! Pegang yang benar itu!" Aku mulai panik karena sepeda mulai kehilangan keseimbangannya. Boruto buru-buru memegang kendali sepedanya.

"Huup ... haaaah untung tidak jatuh." Boruto kembali mengayuhkan sepedanya.

"Kalo sampe jatuh, kupastikan kau pulang memar-memar."

"Galak bener dah. Iya, iya maaf. Kenapa jadi melenceng jauh sih?"

"Ah iya. Memang mau minta pendapat apa?" Tanyaku padanya.

"Apa Sumire akan menyukaiku ya?"

'Nyut' Kenapa ... disaat seperti ini malah membahas dia?

"Ke, kenapa bicara begitu?"

"Yaaa, gimana ya ... Sumire itu baik, lembut, manis, sifatnya juga, dan banyak yang menyukainya. Entah kenapa rasanya sedikit mustahil." Suaranya mendadak sendu. Aku tidak suka melihatnya sedih seperti ini.

'Bletak'

"Woooyy! Kenapa memukul kepalaku lagi!?"

"Kau itu yang kenapa!? Katamu jika kita menyukai sesorang, harus memperjuangkannya. Kenapa sekarang malah menyerah begini?"

"Memang sih ... hanya saja ... "

"Apa? Boruto yang kutau itu ga gampang menyerah deh."

" ... "

"Jadi, kalo memang kau menyukainya ... kau perjuangkan seperti ucapanmu dulu, bukan?" Aku sadar bila mengatakan hal ini, tapi aku harus sadar siapa diriku di matanya.

"Iya ... kau benar! Haaaaah ... rasanya lega cerita padamu ya. Makasih loh! Kau memang sahabatku yang terbaik!"

"Itulah gunanya sahabat." Tuh kan benar ... aku hanyalah sahabat baginya.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku terluka oleh ucapannya. Namun apa yang bisa kulakukan? Selain terus mendukungnya. Aku tidak ingin melihatnya sedih, karena aku tidak sanggup melihat kesedihan di wajahnya. Apapun kulakukan asal dia bisa tersenyum seperti mentari di pagi hari, aku ingin terus melihat senyuman itu. Walau aku harus terluka dan menangis ... aku tidak masalah, asal melihat senyumanmu, aku pun ikut bahagia untukmu, Boruto.

.

.

Lebih baik aku yang menangis

Daripada kau yang menangis

Lebih baik aku yang terluka

Daripada kau yang terluka lagi, aku tak mau

Mencintai seseorang

Lebih dari yang kita bisa

Rasanya sangat aneh

Saat kita mencintai seseorang

.

.

~ The End or To Be Continue?~

.

.


Note : Wahaaaay ... balik lagi dah sama author yang keche badai *dilemparin piring* #yey ufo terbang XD *plak* Maafkan saya sodara" semua saya baru saja kembali dari goa bernama tumpukan kertas tugas akhir :v akhirnya kertas"nya bisa di lempar semua huraaaay X"D Oh ya silakan review-nya ya. Menerima flame asalkan ngeflame ceritanya dengan alasan yang jelas dan bisa memberikan solusi, dan yang pasti buka ngeflame karakternya oke ;) Silakan readers yang terhormat meninggalkan review untukku :D

.

.

Sign,

Raika Miyazaki