Fate/Abnormal
Pride of Emperor

Yo tomoyo, Zhitachi hadir kembali dengan sebuah Fanfict baru dengan edisi terbatas *Lu kate barang!?* Setelah fakum cukup lama, Zhitachi membawa beberapa Fanfict baru serta mengupdate Fanfict Zhitachi yang belum tamat.

Oke, Fanfict baru ini tentang pertarungan antar servant seperti di Fate/Stay Night ataupun di Fate/Night. Namun, Zhitachi ambil bagian latar sesaat setelah Fate/Stay Night UBW selesai.

Mungkin ada banyak bagian yang sama seperti anime tersebut, namun juga akan ada penambahan character OC di sini.

Oke tanpa kelamaan, langsung aja di scroll ke bawah...

Disclaimer: Type-Moon, Ufotable.

Genre: History, Supranatural, Tragedy, Action.

Character: All Classes Servant, OC, Chara in Fate Stay Night UBW.

Rate:T+ up to M.

Sinopsis: Kekacauan Grail Wars kelima telah selesai secara tidak terduga, membuat Emiya Shiro menjadi bintang utama dalam Grail Wars ini. 5 tahun kemudian, keluarga Satou masih tidak menerima kekalahan telak pada Grail Wars sebelumnya dan bertekad mendatangkan kembali perang tersebut. Tanpa ada bimbingan pengatur perang, Grail Wars keenam menjadi tidak seimbang, sehingga tragedi 5 tahun yang lalu kembali terulang, di waktu yang sama, namun di tempat berbeda. Siapakah yang mampu menghentikan kekacauan Grail Wars kali ini?.

*A/N: Cerita ini Zhitachi ambil dari alur sesudah Emiya Shiro menyelesaikan sekolah sihirnya di inggris bersama Rin Tohsaka*.

~Not Like, Don't Read~

Chapter One: Good Day.

Pagi gelap kini berganti menjadi pagi yang tenang nan sejuk, udara dingin pagi kini menyelimuti setiap permukaan bumi secara perlahan, seakan seperti irama bunga yang tengah digerakan oleh angin.

Pemuda berambut ungu pendek itu membuka mata perlahan. Setelah 6 jam dia berada di dunia mimpi, kini ia berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya. Dari raut wajahnya seakan terlukis tidak ada masalah, walaupun waktu lalu ia sempat bergulat dengan tugas sekolah.

Dia mencoba menggerakan lehernya perlahan, pelan namun pasti, bunyi kecil telah terdengar oleh telinga ketika dia menggerakan leher.

"Setidaknya aku ingin beristirahat lagi, lagian nanti aku harus meneliti sebuah buku kuno".

Ia membaringkan tubuhnya kembali ke kasur. Perlahan dia menutup kedua mata. Namun, sekilas ia teringat sesuatu.

"Oh tidak, aku lupa bahwa hari ini ada pratikum!".

Pemuda itu lekas berdiri dan berjalan menuju ke meja yang dipenuhi 5 buku besar. Tangan kanannya mengambil sebuah buku yang berada di bagian ke tiga dalam tumpukan.

Kini buku tersebut berada di depannya. Dengan tangan kanannya, ia membuka lembar demi lembar sembari membaca.

"Hm... mungkin yang ingin aku presentasikan adalah kisah dari penguasa Roma".

Tangan kanannya sibuk menulis kalimat penting yang ada di buku, sementara tangan kiri sibuk membalik lembaran buku. Kedua matanya tengah sibuk mencari kalimat sehingga lupa bahwa matahari kini menyinari kamarnya dengan terang.

Tangan kanannya terhenti ketika kedua matanya membaca beberapa tulisan.

"Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus, kaisar romawi kelima dan terakhir dari dinasty Julio-Claudian. Berkuasa selama 13 tahun dan berakhir dengan membunuh dirinya sendiri. Pemerintahan tirani kejam yang pernah ada di Roma".

"Dia memiliki sifat yang baik, tapi juga sifat yang serakah. Memihak rakyatnya namun memusuhi sekutunya. Nero Claudius Caesar, pemimpin yang cukup unik".

Tidak terasa dia telah menyalin informasi penting di buku tersebut dalam waktu 1 jam. Sekarang saatnya untuk membenahi segala sesuatu yang ingin ia bawa. Buku catatan, perlengkapan menulis, buku kuno, ataupun barang kecil lain yang ia masukan ke tas.

Kedua matanya melirik ke arah jam beker kecil di meja.

"Sudah menunjukan pukul 07.30. masih ada satu setengah jam sebelum presentasiku dimulai".

Ia berdiri dan melangkah keluar kamar. Pemuda itu menyempatkan diri mengambil minuman dingin dari kulkas dan membawanya ke meja ruangan. Pemuda itu mengambil sebuah remote TV yang berada di atas meja dan menekan tombol 'on'.

Ia sempat melirik ke secarik kertas yang terpampang gaje di atas meja. Ia menaruh minuman yang dipegang dan mengambil kertas tersebut.

"Maaf ya Taira-chan, aku berangkat duluan. Aku lupa membuat soal untuk tes kelas satu, bye... Tertanda : Karin *Jangan lupa bawa uang tambahan ya, aku gak bawa uang lebih, te-he*".

"Dasar".

"Acara Kite Festival yang diadakan di kota Fuyuki sangat meriah. Beberapa anak tengah gembira mengikuti acara ini".

Pemuda itu menaruh minumannya sembari menonton acara tersebut.

Ia pernah mendengar bahwa waktu lalu kota Fuyuki dilanda sebuah bencana mengerikan yang tidak akan terlupakan sepanjang sejarah. Bahkan desas-desus mengatakan, masalah tersebut masih belum terselesaikan apa penyebab bencana tersebut terjadi. Di malam yang kelam nan tenang, mendadak menjadi pagi terang dengan warna cahaya merah bagaikan api membara. Kobaran api kelaparan yang memakan apapun layaknya hewan haus darah. Langit kelam seakan runtuh membentuk sebuah cairan hitam membanjiri kota tersebut, mengubah kota itu menjadi medan neraka dalam waktu beberapa menit.

Menurut isu yang terdengar, bencana tersebut bukan berasal dari manusia, melainkan perantara dari hal mistik. Pemuda itu pun menolak mentah-mentah isu tersebut, dirinya tidak percaya pada apapun bahkan hal mistik tersebut. Selama kedua matanya belum melihat hal itu, ia tidak semudah itu percaya.

Terlepas dari hal tersebut, berita isu kembali terdengar bahwa keanehan kembali terjadi di kota Fuyuki. Namun, ia menghiraukan berita tersebut.

Apapun yang ia lihat, itulah yang ia percaya, begitulah motto dari pemuda berambut ungu pendek itu.

Pemuda itu mematikan TV nya dan lekas berjalan menuju ke kamar mandi, membersihkan dirinya agar merasa nyaman saat presentasi nanti.

Pukul 08.10...

Sama seperti hari biasa, distrik Adachi selalu saja ramai. Tidak hanya warga kantoran yang memenuhi jalanan, melainkan anak sekolah yang tengah menunggu lampu jalan juga melengkapi keramaian di jalan ini.

Pemuda itu duduk santai di halte bus sambil melihat sekeliling. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat kerumunan orang di sekitar.

5 menit kemudian bis telah tiba, waktu singkatnya ia habis hanya menonton kerumunan orang dari tempat duduknya.

Sekolah Nakajima Highschool, pemberhentian terakhir bus yang ia naiki. Ia turun dari bis dan melangkah pelan menuju ke Sekolah Nakajima Highschool.

Sekolah Nakajima Highschool, akademi terbesar sekaligus terlengkap di distrik Adachi. Sama seperti akademi lain, di tempat ini sama seperti sekolah umumnya. Ada guru, ada murid... Ada club, ada pembelajaran tambahan, semuanya sama.

Namun, pemuda itu sepertinya tidak tahu bahwa ada kelas khusus yang dilakukan oleh pihak sekolah.

Yaitu kelas sihir.

Mungkin terdengar aneh jika orang biasa mendengar kelas tersebut, bahkan menganggap kelas tersebut sebagai bahan lelucuan. Namun, itu memang nyata.

Sebagai kelas khusus, kelas ini memang mempelajari sihir-sihir yang ada di dalam buku kuno ataupun seni sihir populer. Murid-murid di sini biasanya akan menghadiri kelas ini ketika kelas utama telah selesai.

Kebanyakan murid di kelas sihir ini tergolong dari bangsawan ternama, mereka bahkan berani membayar mahal hanya untuk memasuki kelas ini. Murid-murid di sini sengaja menyembunyikan marga aslinya pada publik, hanya beberapa orang saja yang mengetahui rahasia marga dari mereka.

Pemuda berambut ungu pernah mendapat surat rekomendasi untuk memasuki kelas ini. Namun, ia dengan halus menolak tawaran tersebut. Menurutnya, hal yang ia tekuni sekarang sudah cukup bagi dirinya.

Pemuda itu percaya jika kelas sihir itu ada, salah satu temannya juga mengikuti kelas tersebut. Namun, ia tidak tertarik untuk mempelajari ilmu mistik sekelas sihir. Ia hanya tertarik pada hal bersejarah yang mempunyai makna.

Diam-diam juga ia cukup lihai menguasai sihir, kedua orang tuanya dulunya merupakan seorang ahli sihir. Sudah menjadi kesehariannya ketika seseorang menyebut kata 'sihir' di depan pemuda itu.

Tak berlangsung lama ketika kedua kakinya melangkah sampai depan kelas. Ia melangkah melewati tiga siswa yang tengah berbincang, sesekali ia mengucapkan salam singkat ke arah mereka.

Ia menaruh tasnya di meja, tidak ada hal apapun yang menarik selain ingin menaruh kepalanya di atas kedua lengannya.

"Seperti biasa, setiba di kelas setelah itu bersantai malas".

Pemuda itu membalikkan posisi kepala ke arah sumber suara. Pemuda berambut kuning nyentrik dengan potongan mirip bulu landak berdiri di dekatnya.

"Oh, kau...".

"Koujiro, kah?".

"Dasar, baru saja tiba sudah lupa sama nama temanmu sendiri".

"A-ano... Se-selamat pagi, Taira-kun".

Kali ini seorang gadis menghampiri pemuda bernama Taira tersebut.

"Hm, pagi".

"Seperti biasa, kau menjawabnya dengan ringkas".

"Hari ini aku sangat lelah karena kalian se-enak udel memilihku untuk mewakili presentasi kelas".

"Hehe, maaf sahabatku. Habisnya hanya kau yang tahu tentang pelajaran sejarah di kelas ini".

Pemuda bernama Taira itu memasukan muka ke lipatan lengan.

"Masa bodo!".

"A-ano, Taira-kun... Se-sebenarnya ada hal y-yang ingin aku katakan kepadamu".

"Na-namun, ka-karena kau kelihatan l-lelah, mu-mungkin nanti saja".

Taira menaikkan kepalanya perlahan, kedua mata mereka saling bertatapan. Gadis itu menjadi grogi ketika tatapan Taira mengarah kepadanya.

"E-eto... A-ano, se-sebenarnya...".

*Teng! Teng!*.

Bel sekolah berbunyi, Taira yang belum sempat mendengar jawaban dari gadis itu hanya memasang muka datar.

"E-eto... Na-nanti saja, Ta-Taira-kun!".

"Yo sahabatku, seperti biasa, kita berkumpul di atas atap sekolah".

Kedua orang itu lekas pergi meninggalkan wajah datar pada Taira. Dia kembali memasukan kepalanya ke lengan.

'Dasar, mana mungkin aku punya waktu di istirahat pertama'.

Acara presentasi telah berjalan dengan sukses, namun tidak dengan pemuda berambut ungu pendek ini. Walaupun hasil presentasinya di nilai bagus, ia merasa masih ada kekurangan di dalam hasil pengerjaannya.

Terlepas dari itu, semua pihak yang melihat hasil presentasi Taira mengacungkan jempol manis mereka. Mereka menganggap presentasi yang di bawa Taira cukup memuaskan untuk mereka.

Walau merasa demikian, ia tetap menerimanya.

Istirahat pertama telah usai, begitu pula sebaliknya. Taira menghadiri pelajaran kedua di kelas sampai bel pulang berbunyi.

Sore hari, pukul 15.20...

Taira melangkah pelan sembari menyembunyikan kedua tangannya di saku. Kedua matanya terlihat sangat mengantuk, mungkin habis ini ia akan istirahat sebentar.

"Ta-Taira-kun, tu-tunggu!".

Seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Ia memperpelan langkahnya agar orang itu bisa menyusul.

"Ta-Taira-kun, bagaimana presentasimu?".

"Seperti biasa, tidak memuaskan untukku".

"Ja-jangan bilang begitu, Taira-kun. Da-dari semua kelas dua, hanya kau yang mempunyai bakat seperti itu".

"Ya ya".

Suasana menjadi hening ketika mereka tiba di halte bus.

"A-ano, Ta-Taira-kun".

"Hm?".

"A-apa Karin-san akan pulang larut?".

"Hm~ Sepertinya begitu".

"A-ano... Apa boleh a-aku ma-makan malam di-di rumahmu?".

Tanya Machi sembari gugup.

"Tak masalah, tapi sepertinya bahan makanan yang ada di kulkas sudah habis. Kalo begitu kita pergi belanja dulu".

"Um".

Rumah milik Taira memang terlihat seperti rumah klasik pada umumnya, layaknya seperti dojo, tempat ini terlapisi sebagian besar kayu. Tidak seperti rumah apartemennya yang modern, di tempat ini jauh lebih menenangkan ketimbang berada di sana.

Dojo ini merupakan warisan dari ayahnya semenjak ia meninggal dunia. Seharusnya yang menjadi pemilik tetap adalah kakaknya, Karin, namun karena ia sibuk pada pekerjaannya. Jadi, Taira yang terkadang menginap dan merawat tempat ini. Alasan lainnya karena tempat ini dekat dengan sekolah, tidak seperti di apartemen yang harus menaiki bus agar sampai ke sekolah.

Machi tengah sibuk mengiris bahan makanan yang akan dipakai untuk makan malam, sementara Taira tengah mengerjakan tugas. Suara mesin terdengar dari luar dojo, tak lama berselang, seseorang membuka pintu dojo dan memparkirkan motor bebeknya.

"Akhirnya sampai juga, aku sangat kelaparan".

Gadis itu melangkah pelan menuju pintu masuk setelah ia mengunci pintu gerbang dojo.

*Kriet!*.

Suara pintu kayu yang terbuka.

Gadis itu melepaskan sepatunya dan memasukkan ke dalam rak yang ada di samping, hidungnya mencium sesuatu yang sangat enak dari dalam dapur. Ia menutup kembali pintu dojo dan melangkah cepat ke arah sumber bau lezat.

*Kriet!*.

"Aku pulang, Taira-chan~. Ara, Ada Machi-chan ternyata".

Machi melangkah keluar dapur dan memberi salam.

"Ma-maaf mengganggu, Ka-Karin-san".

"Tumben sekali kau di sini Machi-chan, atau jangan-jangan...".

Kedua mata Karin melirik genit ke arah Taira, yang dilirik tidak menunjukkan gerakan satupun.

"E-eh! A-ano... E-eto...".

Taira menutup buku yang ia baca.

"Hentikan candaanmu, K-a-r-i-n-s-a-n".

Karin mengembungkan pipinya, menandakan ia ngambek.

"Mo~ gak seru!".

Suasana kembali seperti sedia kala, kini Karin sudah ada di meja makan sembari menunggu makan malam tiba.

10 menit kemudian...

"Makanan sudah matang~".

Ucap Machi sembari membawa makanan ke meja dengan disambut mulut kelaparan dari Karin.

"Akhirnya!".

Taira berdiri dari posisi duduk dan melangkah ke dapur.

"Aku bantu".

"U-um".

Makan malam kini tersedia di meja. Si pelaku utama, Karin, langsung saja menyomot beberapa makanan seakan seperti orang kelaparan.

"Dasar".

Taira hanya bisa menghela nafas pelan.

Beberapa saat kemudian...

"Ne Machi-chan, jarang sekali kamu mampir ke dojo ini maupun ke apartemen, padahal dulu kau setiap pagi datang ke sini untuk menjemput Taira".

"E-eto, kalo itu...".

Tiba-tiba feeling Karin menjadi buruk.

"Atau jangan-jangan kau sudah tidak betah lagi sama cowok maniak sejarah ini. Yah benar juga sih, kerjaannya cuman buka buku yang banyak banget tulisan itu. Mana mungkin si maniak buku ini melirik cewe semanis kamu".

"E-eh!? Bu-bukan i-itu!".

Tiba-tiba pipi Machi memerah, ia menaruh mangkok kecilnya ke meja.

"Hm? Lalu?".

Machi menurunkan wajahnya sedikit untuk menyembunyikan wajah merahnya.

Tiba-tiba wajah Karin berubah menjadi terkejut.

"A-apa jangan-jangan kau sudah...".

Ia menaruh mangkok kecil ke meja, kedua matanya kelihatan serius.

"Kau sudah menemukan cowok lain, Machi-chan ! ? ".

"E-EH ! ! ! ".

*Grab!*.

Kedua tangan Karin langsung memeluk erat tangan kiri Taira yang kebetulan ia di sebelahnya.

"Ba-bagaimana ini, Taira-chan ! ? Teman kecilmu malah jadian sama cowok lain!".

Muncul dua siku di kepala Taira.

"Bisakah kau melepaskan cengkraman macanmu itu, Karin Nee-san. Apa kau ingin merasakan panasnya sup yang kupegang ini atau rahasia memalukanmu diketahui oleh Machi ! ? ".

Seketika Karin melepaskan cengkramannya dan kembali melanjutkan makan.

Satu jam kemudian, suasana menjadi sangat tentram. Karin yang semula berisik kini tenang ketika perut telah terisi penuh. Kini ia hanya tiduran gaje tak jauh dari posisi Taira membaca buku. Entah dia kesambet apa, semenjak kebisingan tadi, ia tidak menunjukan gerakan satu pun.

"Kau seperti mayat, Karin Nee-san".

"Berisik! Hari ini aku sangat lelah".

Machi keluar dari dapur sembari kedua tangannya dielapkan ke celemek.

"Semuanya sudah bersih, Taira-kun".

Taira menutup bukunya lalu menoleh ke arah Machi.

"Terima kasih, Machi".

Machi membalasnya dengan anggukan pelan.

Kedua mata Taira menoleh ke arah jam dinding di atas pintu. Jarum panjang sudah menunjukan pukul 10 malam, tidak baik seorang gadis pulang terlalu malam seperti ini.

"A-ano, Taira-kun. A-aku mau p-pamit untuk pulang".

Taira menutup bukunya lalu berdiri.

"Aku antar sampai rumah".

"T-tidak usah, Ta-Taira-kun, lagian rumahmu sama ru-rumahku tidak terlalu jauh".

"ini sudah lewat dari jam malam, anggap saja seperti balasanku untuk makan malam ini".

"A-apa boleh buat... Baiklah".

Mereka berdua berjalan menuju ke arah pintu ruang makan. Machi menoleh ke arah Karin yang tengah tiduran.

"Ka-Karin-san, a-aku pulang dulu".

"Ya, hati-hati".

"Setidaknya tunjukan sedikit rasa hormat kepada penyelamat hidupmu, Karin Nee-san".

"Terima kasih atas makanannya, Machi-san".

Machi hanya tersenyum ketika mendengarnya.

"Dasar".

Di depan gerbang dojo...

"Beneran hanya sampai di sini?".

"I-iya Taira-kun, kan jaraknya cu-cuman 200 M saja".

"Baiklah-baiklah".

Machi melangkah pelan menjauhi Taira dan dojo.

"Machi".

Panggil Taira, Machi menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahnya.

"Terima kasih atas makanannya".

Ia tersenyum lembut ke arah Taira, bibir tipisnya terangkat sedikit sembari mengucapkan satu kata.

"Um".

Taira masih berdiri di depan gerbang dojo sebelum Machi sampai di rumahnya. Memang sih jarak dari dojo dengan rumah Machi sangat dekat, namun, sebagai laki-laki, ia masih tidak enak jika meninggalkan Machi sebelum sampai ke tujuan.

Kini Machi sudah masuk ke rumahnya, ia memejamkan mata sembari memegang rambutnya dengan tangan kanan. Hari ini ia terlalu letih untuk melakukan apapun.

Mendadak, Taira merasakan kepalanya terasa sakit untuk sesaat.

"Ukh!".

Ia mencengkram pelan kepalanya dengan tangan kanan.

"Kepalaku tiba-tiba saja sakit, mungkin saja ini efek dari kelelahanku seharian ini".

"Apa boleh buat, aku tunda latihanku pada malam ini".

Ia masuk ke dalam dojo, tidak lupa menutup rapat pintu gerbang.

Di suatu tempat...

"Apa kau yakin ingin melakukan hal ini, Oji-sama?".

"Untuk memenuhi tujuan dari keluarga Matou, serta karena kegagalanmu waktu itu, aku tidak ingin memperburuk nama keluarga Matou".

"Ma-maafkan aku, Oji-sama".

Sebuah segel rumit berbentuk lingkaran muncul di depan mereka. Seorang pemuda dan seorang kakek tua tengah berdiri tak jauh dari segel lingkaran tersebut.

"Aku mengetahui sedikit pola dari cawan suci. Dengan ini, kita bisa memanggil cawan suci sesuai keinginan kita".

"Namun ada syarat untuk memunculkan cawan tersebut, salah satunya yaitu membutuhkan seribu tumbal manusia sebagai jalur perantara penghubung kita ke cawan suci".

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Oji-sama?".

Kakek itu mengubah posisinya menatap pemuda itu.

"Ulurkan tangan kananmu, Shinji".

Pemuda bernama Shinji mengulurkan tangan kanannya ke arah kakek tersebut. Kakek itu menyentuh bagian atas tangannya menggunakan jari telunjuk. Tak lama, muncul sebuah segel yang terlihat samar-samar.

"I-ini...".

"Itu adalah perintah servant, Shinji. Panggillah seorang servant sesuai petunjukku lalu lakukan syarat itu untuk memanggil cawan suci".

"Kau bisa memanggil servant tersebut dalam waktu 2 hari mendatang, setelah itu lakukan tugasmu".

Kakek itu membalikkan badan setelah itu melangkah menjauhi Shinji.

"Baik, Oji-sama".

"Jangan mengecewakanku lagi, Shinji".

"Ha'i!".

"Kali ini kau akan kalah...".

"Emiya Shiro!".

~TBC~

Oke, chapter satu telah selesai... Pemanggilan servant akan dilakukan beberapa chapter mendatang. Untuk Chapter kedua nanti akan di beritahu nama servant yang berpartisipasi dalam Grail War ini, namun di bagian terakhir yah.

Silakan masukan kritik serta saran dari fict baru saya, semoga fict ini bisa menghibur kalian semua. Bye bye...