Haikyuu! © Furudate Haruichi
.
Warning : OOC, typo(s), etc.
.
Happy reading!
.
"Tsutomu, apa kau melamun lagi? Hati-hati, pelatih bisa menamparmu lho."
"Ti-tidak! Siapa yang melamun, aku hanya sedang penuh konsentrasi!" Goshiki Tsutomu mengepalkan tangannya, membuat tinju di udara dan bicara penuh semangat.
Tentu saja tidak ada yang akan percaya dari para kakak kelasnya. Pasalnya mata pemuda itu tepat mengarah pada sang ace tim yang baru saja memberikan kill terbaiknya pada bola.
"Jika kau bermimpi ingin menjadi seperti Ushijima-san, maka cepatlah bangun. Kau tidak akan bisa menyamainya."
"Kkh..." Goshiki menggeram kesal. Dahinya berkedut tidak suka. "Aku... akan kubuktikan kalau aku bisa!"
Shirabu mengangkat dagunya. Senyumnya miring dengan tatapan merendahkan. "Ya, berusahalah."
Tendo berjalan mendekat di antara mereka berdua, menjauhkan Shirabu dengan sebelah lengannya dan menepuk pelan punggung Goshiki. "Sudahlah, kau tahu seperti apa itu Shirabu. Aku yakin kau bisa setara dengan Wakatoshi-kun," hiburnya.
"Ya, lagi pula kau itu ace masa depan tim ini," dukung Kawanishi.
"Berjuanglah Goshiki," ucap Yamagata.
Ohira Leon juga ikut mengangguk. Hanya Shirabu saja yang tampak tidak suka.
"Kalian jangan terlalu memanjakan dia. Anak ini akan besar kepala lalu lupa diri."
"Maa... maa... sudahlah Kenjiro, kau jangan menyulutnya terus. Mimik wajahmu sudah mengesalkan, jangan ditambahi dengan perkataanmu juga."
"Tendo, itu sama sekali tidak membantu," kata Leon.
"Aku mau berlatih lagi." Shirabu mulai menjauh. Ia mengambil bola yang berjarak terdekat darinya.
"Shirabu-san!" Goshiki berteriak kencang. Seluruh isi gym menoleh padanya, bahkan Washijo-sensei yang sedang sibuk memberi arahan pada Ushijima. "Jika aku tidak bisa menyamai Ushijima-san, maka aku akan melebihinya!"
Shirabu tersentak. Tidak, bahkan seluruh anggota tim bola voli Akademi Shiratorizawa. Pemuda itu tersenyum bangga dengan rasa percaya diri yang penuh.
"Whoaa! Kepercayaan diri yang hebat Tsutomu, kuharap kau bisa mewujudkan itu," ujar Tendo santai setelah selesai dengan kekagetannya.
"Tentu saja aku akan mewujudkannya sebelum lulus dari sini. Karena aku adalah orang yang akan menjadi ace!"
Sebenarnya tidak ada kata motivasi atau pujian dari kalimat Tendo, hanya saja Goshiki adalah anak yang sederhana dan jujur. Dan dia juga orang yang serius, bahkan untuk omelan yang ditujukan pelatih padanya. Tentu dia sangat bersemangat karena merasa seseorang berharap pada kemampuannya.
"Um, ya," respons Leon.
"Berusahalah."
"Terima kasih senpai!"
"Ara... ara... lihatlah Tsutomu, sepertinya kau sudah memancing Wakatoshi-kun ke sini."
Seperti kata Tendo, Ushijima memang sedang menuju ke arah mereka berkumpul. Wajahnya tampak serius.
"U-ushijima-san, bukan maksudku aku menantangmu secara langsung. Aku hanya mengagumimu, makanya aku ingin hebat sepertimu," kata Goshiki dengan gugup. Ia sedikit melangkah mundur. Pasalnya Ushijima jelas-jelas menatap padanya sejak berjalan tadi.
"Kalau itu yang kau inginkan tidak mungkin bisa tercapai jika kau hanya berkumpul di sini. Kau harus berlatih dan berlatih," balas Ushijima dengan nadanya yang datar.
"Ah, ya! Aku akan melakukan spike seratus kali hari ini!" Goshiki berlari dengan semangat menuju pada Eita, berharap kakak kelasnya itu mau memberi toss padanya.
"Wakatoshi-kun, kau tahu, kau tidak harus selalu serius terhadap Tsutomu. Maksudku, dia itu junior kita, setidaknya berikan dia motivasi atau semangat."
"Tapi aku mengatakan yang sebenarnya Tendo."
"Ups, yah. Kau benar, tapi..."
Leon tersenyum maklum. "Sudahlah Tendo, ayo kita lanjutkan latihannya sebelum Washijo-sensei mengamuk."
"Kalian pikir kalian sedang berdiskusi?! Cepat lanjutkan latihannya!"
"Wiz..."
.
.
.
"Kau sendirian?"
Shirabu menoleh. Ia baru saja akan membalasnya dengan kata-kata menyindir tapi diurungkan setelah tahu yang mendatanginya adalah kakak kelasnya, Eita Semi.
"Ya," jawabnya singkat.
"Kau tidak memakan bekal makan siangmu?" tanya Eita yang mulai ikut menyenderkan punggungnya di pagar pembatas koridor yang hanya separuh badannya saja.
"Apa aku terlihat seperti orang yang membawa itu ke sekolah?"
"Wajahmu itu lumayan, mustahil kau tidak memiliki penggemar yang ingin membuatkanmu bekal makan siang. Yah, tapi bukan itu yang ingin kubicarakan."
Shirabu mencoba melirik menggunakan sudut matanya. "Lalu apa?"
"Kau itu setter yang hebat, timmu juga tim yang kuat. Sebaiknya kau lebih banyak bergaul dan membuka diri."
"Maksudmu Goshiki?" Shirabu mengernyit tidak suka. Wajahnya berubah masam. "Aku hanya tidak paham kenapa kalian para senpai sangat suka memujinya, tapi aku tidak akan melakukan itu."
Eita tersenyum kikuk. Harusnya dia sudah menyiapkan mental untuk menghadapi adik kelasnya yang satu ini. Meminta Shirabu untuk akrab dengan Goshiki sama sulitnya seperti menerima spike kuat Ushijima bagi seorang amatir. Sangat sulit sampai terdengar seperti mustahil.
"Kau berkata seperti memujinya adalah sebuah kejahatan." Eita terkekeh sejenak. Ia perlu waktu sebelum tawanya benar-benar reda. "Kau tahu, kami hanya mengandalkannya. Goshiki itu anak yang hebat dan seperti yang selalu dia katakan ia akan menjadi ace bagi tim ini setelah kelas tiga lulus. Selain itu dia adalah junior kita, yang paling kecil di antara kita, tidak ada salahnya mendukungnya."
Shirabu memalingkan wajah. Ia tidak menolak kata-kata Eita, tapi mungkin karena mereka berdua terpaku pada satu orang yang samalah yang membuat mereka berdua tidak mudah menjadi akrab.
"Oh ya, aku hanya ingin memastikan kalau ini salah. Kau tidak bisa akrab dengan Goshiki bukan karena kau cemburu dia menjadi anak andalan di tim menggantikanmu atau karena dia menjadi ancaman yang bisa merebut Ushijima kan?"
"Siapa yang cemburu?! Dan kenapa aku harus takut dia merebut perhatian Ushijima-san? Memangnya aku memiliki hubungan apa dengannya?"
Eita menahan senyumnya. Sungguh, ini adalah hal yang lucu melihat Shirabu yang biasanya tenang dan dingin menjadi kalap.
"Kalau itu salah, syukurlah. Kuharap kau juga bisa segera akrab dengan Goshiki."
.
.
.
"Wakatoshi-kun, kau makan nasi kari lagi. Apa kau tidak bosan? Bukankah memakan makanan yang sama terus menerus itu membosankan?"
Ushijima mendongak. Ia menatap Tendo datar, tapi pemuda itu tetap saja tersenyum yang lebih terlihat seperti seringai. "Tapi aku tidak bosan makan nasi meski memakannya sejak anak-anak."
Tendo tersentak, campuran kaget dan ingin ketawa. Ia masih tidak terbiasa dengan jawaban serba realistis dari Ushijima meski sudah hampir tiga tahun mengenalnya. Ia mulai menurunkan tensi bercandanya.
"Oh ya, kau benar."
"Kau sebaiknya juga makan nasi. Roti dan jus kotak tidak akan memenuhi kebutuhan nutrisimu jika kau terus bermain voli. Tubuhmu bisa mudah kelelahan."
Tendo menurunkan kepalanya ke meja. "Ya, ya, aku akan makan nasi nanti malam. Kau mulai terdengar seperti ahli gizi."
Ushijima diam sejenak. Ia melihat tangan kirinya dan menatap Tendo setelah beberapa detik. "Tapi aku adalah pemain voli."
"Ne... Wakatoshi-kun, kenapa kau selalu serius?"
"Aku selalu begini sejak kecil."
"Aku mengerti. Itu artinya kau tidak berubah sama sekali. Tapi Wakatoshi-kun, perubahan itu juga tidak selalu buruk. Kepada Tsutomu misalnya, berikanlah dia kata-kata semangat atau pujian, tidak ada ruginya kok. Toh sebentar lagi kita lulus, memberi kenangan yang baik itu perbuatan mulia."
"Tidak ada jaminan hubungan kita tetap baik setelah lulus, dia juga tidak pasti terus mengingat kita."
Tendo mengangguk. Ia sudah kelewat menjadi orang sabar saat berhadapan dengan Ushijima. "Karena itu kita buat kenangan yang baik agar dia mengingat kita selamanya."
"Aku tidak membutuhkan hal seperti itu."
Tendo menghela nafas lelah. Ia meregangkan kedua tangannya ke atas dan menegakkan kembali punggungnya. "Ini bukan tentang membutuhkan atau tidak, tapi lupakan saja. Mungkin ini bukan hal yang penting, aku saja yang terlalu berlebihan memikirkan ini."
Tendo mulai membuka bungkus rotinya sementara jus kotaknya sudah tandas selama sela percakapannya bersama Ushijima tadi. Ia mulai menggigiti rotinya dengan setengah niat.
"Tendo, aku ingin bertanya."
Secepatnya ia menelan rotinya. "Ya, apa itu?"
"Kenapa kau sangat memperhatikan Goshiki? Kau seperti ibunya."
Kali ini Tendo benar tergelak. "Aku tidak seperti ibunya. Tapi dia junior kita, aku menganggapnya seperti little brother."
.
.
.
"Yosha!"
Goshiki mengepalkan kedua tangannya di udara. Pukulan lurusnya dari sudut yang sangat sempit berhasil mencetak angka. Dan dengan ini latih tanding dimenangkan oleh mereka.
"Nice kill Goshiki," ucap Leon dari belakang. Ia tersenyum tulus untuknya.
"Nice," puji Kawanishi.
"Terima kasih. Aku akan mencetak lebih banyak angka lagi di pertandingan selanjutnya."
"Ya. Kalau itu kau pasti bisa," kata Yamagata. "Aku berharap banyak padamu."
"Kadang-kadang kita menang karena blocking dariku menghentikan serangan lawan, tapi menang dengan spike yang hebat seperti tadi juga bagus. Ace masa depan memang bisa diandalkan," ucap Tendo yang baru bergabung dari bangku cadangan.
"Jangan terlalu memujinya. Dia bisa besar kepala."
Goshiki berbalik, menghadap Shirabu yang ikut dalam kerumunan mereka di tengah lapangan. "Tapi aku bisa membuatnya masuk."
Shirabu menatapnya. "Ya, dan itu kill yang bagus padahal umpanku sangat buruk. Kau memang hebat bisa memasukkannya, tapi aku tidak akan menyebutmu genius."
Yang lain terkejut. Shirabu yang datang dengan kata-kata dingin sekarang malah memuji Goshiki. Ushijima juga bergabung dengan mereka.
"Nice kill yang bagus. Selanjutnya lakukan lagi, kau bisa membuat tim kita menang dengan itu. Aku mengandalkanmu, Goshiki," ucap Ushijima. "Kita harus segera berbaris."
"Y-ya!" balas Goshiki dengan berteriak. Matanya berkilat bangga. Akhirnya dia mendapat pengakuan dari ace serta dari setter yang biasanya hanya selalu memperhatikan ace.
Anak-anak lain di tim tersenyum haru memandangi tiga orang yang sudah lebih dulu mulai berbaris, terutama anak kelas tiga macam Tendo, Leon dan Eita. Perubahan besar terjadi pada Shirabu dan Ushijima hari ini.
"Rasanya aku tidak menyesal sudah bicara pada Shirabu," ungkap Eita.
Tendo tersenyum lebar. "Lagi pula Goshiki itu little brother di tim ini. Dia adik kecil yang bisa diandalkan, mana mungkin kakak-kakaknya tidak menyayanginya kan?"
Kawanishi, Yamagata dan Leon menatap pemuda eksentrik itu heran. Mereka termenung beberapa detik, membuat Tendo juga merasa heran.
"Apa ada yang salah denganku? Kalian tidak tiba-tiba jatuh cinta padaku karena baru saja menyadari kalau aku itu sempurna kan?"
Leon menggeleng. "Sama sekali tidak. Tapi Tendo, kau mulai terlihat seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anak bungsunya."
Kawanishi dan Yamagata mengangguk setuju.
"Aku tidak seperti itu."
"Kau seperti itu."
"Tidak. Kubilang tida—"
"Senpai! Kita harus segera baris."
"Baik. Kita segera ke sana!"
Tendo berjalan paling akhir dan dengan semangat yang lesu. Bibirnya menyeringai. "Aku ini disebut monster, bukan ibu."
.
.
.
Owari.
