Daily Life
Love Live bukan milik saya
Didedikasikan untuk abang saya, Dlenn
Silahkan menikmati!

.

Kalau bisa dibilang Honoka adalah tipe orang yang optimis. Seorang Honoka selalu menatap ke depan seraya tetap melangkah, kecil kemungkinanya jika ia terpengaruh tentang hal yang terjadi di masa lalu. Banyak yang bilang, kalau itu merupakan hal yang positif. Tetapi, hal yang umum terjadi kepada mahluk jenis ini adalah mereka tidak melihat sekeliling dan kadang lupa titik dimana mereka berawal.

Masa μ's sudah berakhir, sebagaimana trio anak kelas tiga lulus dan menyandang gelar alumni. Bersamaan dengan itu, trio anak kelas dua kini bukan lagi anak kelas dua. Dan sebagai anak kelas tiga, sudah tidak asing dengan namanya benda—

"Hih! Apaan sih! Kenapa ada kertas laknat begini pula!?"—kertas laknat atau yang bisa disebut Penentuan Karir di Masa Depan itu tergeletak tidak berdosa tetapi dikutuk oleh banyak anak kelas tiga—Kousaka Honoka bukan pengecualian.

"Ahahah!" Si brunette tertawa, "Ini mimpi lalalala! Lagian, hanya kertas gak mungkin menentukan masa depan kan ahahah!"

"Honoka"

Dengan satu pemanggilan nama, si empunya menutup mulutnya rapat-rapat. Raut wajah ketakutan sebagaimana si pemilik surai biru tua itu memberika sebuah tatapan yang mirip dengan titisan iblis. Kedua iris amber tajam macam bongkah batu yang sebenarnya berasal dari neraka—AAAAAA!

"Sudah, sudah, Umi-chan"

"Uwahhhhh! Kotori-chan!"—Ah, titisan dewi datang dan dengan segenap tenaga si leader itu menarik tangan si malaikat, seolah menjadikannya tameng dalam peperangan melawan iblis besar Sonoda Umi yay yang pasti dia menang!

"Tapi, Kotori, ini soal masa depannya! Kita tidak bisa memanjakannya terus!"

"Tapi, jangan begitu, Umi-chan. Kasihan Honoka-chan"

Satu helaan nafas dari Umi adalah terompet kemenangan dari sisi Honoka, "Yeyyyyyyyyyy! Aku sayang Kotori-chann!"

"Tapi, Honoka-chan" sebut Kotori sebelum memandang Honoka dengan tatapan yang agak sedih sekaligus mungkin, Kotori menggunakan kemampuan membujuknya, "Aku harap kau memikirkan dengan baik-baik, oke?"

Kotori juga memiliki warna mata yang nyaris selaras dengan teman masa kecilnya yang satu lagi, tapi beda dengan Umi yang tenang tapi menyimpan bara api, punya Kotori memang secara harfiah tenang. Dan kali ini, meskipun sudah sering sekali ia melihat kekhawatiran tercetak di mata Kotori, kali ini Honoka diam.

Sebenarnya, juga dengan sepenuhnya sadar bahwa sang iblis panahan itu juga mempunyai kekhawatiran yang sama.

"Baiklahh"

.

Honoka memandang langit kamarnya sembari menyamankan dirinya di atas tempat tidur. Rentet kejadian siang tadi masih membekas—ia sadar. Walau dengan cara yang berbeda kedua teman masa kecilnya itu khawatir dengan dirinya, Honoka sadar.

Umi jikalau tidak terlalu khawatir maka dia takkan berkomentar seperti itu selagi mengirim gelombang iblis beberapa kali lebih ganas daripada biasanya. Kotori bahkan keluar dari sisinya dan turut mendukung Umi. Tersirat, tapi Honoka bisa mengerti dan menerima rasa sayang dari mereka.

Kalau dipikir wajar saja. Kotori kali ini menerima undangan untuk mempelajari tentang busana ke luar dan Umi sudah memantapkan pilihannya untuk masuk ke Universitas Tokyo. Sementara Honoka? Entah.

"Bagaimana jika kami berdua meninggalkanmu?"

Honoka masih teringat kalimat itu dari awal. Sebenarnya kalimat itu sudah biasa dilontarkan semenjak dahulu yang awal mulanya Honoka sudah lupa. Biasanya Kotori akan menenangkan Umi dan Honoka memenangkan perang. Biasanya Kotori akan mengekor dengan pembelaan.

Tapi, hari ini tidak ada. Satu hal yang berbeda dari keseharian mereka adalah Kotori berkhianat dan membela Umi seraya mengirim pesan yang sama lewat satu kalimat permohonan dan tatapan sendu.

"Bagaimana jika kami berdua meninggalkanmu?"

Kalimat itu tidak terlontar hari ini dari mulut Umi. Tapi, lewat tindakan mereka berdua itu menyisakan sesuatu yang membekas. Tidak lagi ada acara komedi dimana dengan lebay Honoka akan mengadu seraya berseru "eh gak mau!" dan Umi akan menghela nafas, "Kan aku bilang jika"

"Bagaimana jika kami berdua meninggalkanmu?"

Lewat senyap, Kousaka Honoka menangis.

Lewat lemparan tatapan, ia tahu kalau kalimat itu terlontar.

Dan dari semua itu, ia sadar kalau jika itu mengandung beberapa kenyataan di dalamnya.

.

Umi akan pergi ke Universitas Tokyo.

Bukan hal yang mengejutkan. Honoka juga tidak ragu dengan kemampuan Umi untuk menjadi mahasiswa universitas ternama itu. Ia masih ingat tulisan tegak lurus rapih khas Umi di tabel kertas laknat itu. Sebagaimana Umi mengulum senyumnya gugup—yap.

Kotori akan pergi ke Italia.

Anak kepala sekolah itu pergi ke suatu tempat yang Honoka tidak pernah lihat sebelumnya. Demi menuntut ilmu, tidak mungkin Honoka egois lagi dan meminta Kotori untuk tetap tinggal di Jepang. Ia masih ingat sinar yang muncul di mata Kotori saat bergulat dengan fashion. Sebagaimana Kotori tersenyum pahit—yap.

.

Kita bertiga pergi ke jalan masing-masing. Satu kesimpulan itu membuat relung dadanya sesak—ia sudah terbiasa dengan keseharian ini. Keseharian dimana ia membuat kesalahan, Umi akan mengamuk, Honoka akan berlari ke arah Kotori, Kotori akan membujuk, dan kemudia Umi akan menghela nafas. Dan setelah mengingat kembali hal simpel dan kecil itu, membuat dia sadar, dia mengambil semua anugrah Tuhan itu seperti sesuatu yang permanen.

Nyatanya, hal itu bukanlah permanen. Nyatanya, mereka akan berpisah. Nyatanya, hal kecil dan tidak signifikan itu adalah hal yang luar biasa besar.

.

Nozomi memandangnya dengan keibuan. Si ibu dari grup idol itu masih mempunyai aura keibuan dan menarik Honoka untuk mengutarakan isi hatinya. Nozomi kini menjadi mahasiswa dengan jurusan per film-an, tidak terlalu mengejutkan ketika mengingat kembali Nozomi kerap kali berutak atik dengan bidang itu.

Tidak perlu kartu tarot di keluarkan di meja. Nozomi paham kalau hal ini membebani adik kelasnya begitu banyak, tidak ada

"Memang ya, masa depan itu tidak jelas", Nico juga pergi dengan Universitas berbeda juga jurusan yang berbeda yaitu tata boga sekaligus menjadi seorang model amatir. Bersama itu, Eli juga pergi ke tempat sang nenek menuntut ilmu hukum. Trio kelas tiga itu terpecah sudah.

Nozomi melahap parfait miliknya, tapi mata emerald itu masih terkunci ke lawan pembicaranya, "Honoka-chan tidak mau bersama Umi?"

"Eh?"

"Universitas Tokyo. Tidak mau?", Nozomi mendengus halus kemudian memutar otaknya, "Yang terdekat itu Umi-chan, bukan? Honoka-chan?"

"Tapi, itu kan Universitas Tokyo, Nozomi-chan!"

Nozomi mengulum senyum—lebih tepatnya menyeringai iseng, "Ada seseorang yang ingin menjadi school idol padahal dia tidak tahu apapun. Dan kudengar hal itu di mulai karena dia mengejar flyer"

"Nozomi-chan!", Honoka diwarnai dengan warna merah. Ia kenal dengan seseorang salah, dia tahu dengan jelas siapa itu seseorang yang dimaksud dengan sejelas-jelasnya.

"Tapi, orang itu tetap berusaha. Walaupun dia tidak tahu apa-apa, dia belajar. Dan pada akhirnya, dia berhasil menjadi school idol yang diimpikannya juga mencapai tujuannya. Karena orang itu berusaha dengan keras walau pada awalnya dengan bodoh dan naif dia tidak tahu apa-apa. Dia berusaha. Dan aku yakin dia adalah tipe orang yang jikalau menaruh seluruh pikirannya dia akan tetap melangkah, walau dengan bodoh, dengan naif, dengan berantakan, orang itu pasti akan tetap maju untuk melangkah ke garis akhir"

Nozomi tersenyum, "Aku pikir, Honoka-chan bisa mencoba untuk menjadi orang itu"—dan akhirnya Nozomi bisa melihat sebuah senyuman lebar tercetak jelas di air wajah sang leader μ's. Benar, senyuman yang sama yang membuat Nozomi yakin bahwa bersama dengan orang ini, μ's akan melangkah maju.

.

Mengejutkan bagi dia untuk melakukan ini—itulah kalimat yang cocok untuk mendeskripsikan tanggapan orang-orang di sekitarnya. Lihat saja, buku-buku tebal itu saling menindih diri mereka hingga membentuk menara mini.

"Honoka…"

"Honoka-chan…"

Kedua sahabat kecilnya itu bukan pengecualian—raut wajah mereka macam seperti salju turun di musim panas. Kotori memandangnya kosong dan Umi mengigit kukunya, samar terdengar percakapan mereka, aku tidak terlalu jahat memarahinya kan Kotori/tidak kok, Umi-chan.

Honoka dengan segala semua itu tetap melihat lembaran kertas yang berisi materi tanpa tangannya berhenti. Jika hitung-hitungan dia akan mengerjakan soal. Jika bukan ia akan membuat catatan sendiri dengan lebih gampang sekaligus menstimulasi otaknya agar lebih ingat.

"Rahasia", jawab Honoka misterius setiap kali mereka bertanya tentang dirinya sekarang.

.

Satu malam, Kotori dan Umi mengajaknya berpergian—Honoka mengangguk setelah beberapa percakapan dilalui oleh mereka bertiga. Mereka berpergian ke gunung, Honoka tersenyum tipis saat tahun lalu mungkin di waktu sekarang juga, μ's pergi ke gunung. Dan kali ini, hanya ada mereka bertiga.

Mereka bertiga duduk di rerumputan setelah makan malam dengan nasi kari tadi. Eh coret, lebih tepatnya Honoka memilih tiduran dengan bebas, hanya nyengir seadanya kepada Umi dan tegurannya. Dan ada pembelaan dari Kotori.

Ahh… helaian daun yang di tiup angin membuat dia lebih tenang. Honoka tersenyum memandang bintang yang bertaburan di atas, keseharian yang ia rindukan datang. Kebahagiaan lahir kembali, sejujurnya detik ini ia ingin menangis, tapi ia menahannya. Aneh kan kalau tiba-tiba begitu?

"Honoka", panggil si Sonoda. Honoka bergumam, dia memilih untuk memejamkan matanya.

"Aku masih tidak mengerti kenapa denganmu akhir-akhir ini. Tapi, tolong jangan membuat… Kotori dan aku khawatir", ucap Umi. Secara refleks, Honoka membuka matanya dan menemukan kedua wajah sahabatnya dilanda rasa sedih.

"Eh?"

"Honoka-chan, tidak masalah kalau kau belajar. Tapi, jangan terlalu banyak dan memaksakannya, Honoka-chan", tambah Kotori dengan setengah senyum. Benar, dia di bawa ke UKS minggu kemarin—eh itu kan sudah lama.

"Honoka-chan apapun tujuanmu kami akan mendukungmu. Tapi, kami tidak mau seperti dulu. Dulu, ingat tidak saat kau sakit saat babak penyisihan untuk Love Live yang pertama? Honoka-chan suka melupakan sekitarnya demi tujuan, Honoka-chan. Aku dan Umi-chan tidak mau Honoka-chan menyakiti diri Honoka-chan sendiri"

"Ah…"—Sudah lama sekali Honoka tidak melihat orang-orang di sekitarnya apalagi yang berharga baginya seperti ini. Ah… Seharusnya dia bisa melihat seberapa Umi, Kotori, Yukiha, Ibunya, Maki, Rin, Hanayo, dan yang lainnya khawatir. Dan hanya dengan seperti itu, penglihatannya memburam.

"Maaf"

"Sebenarnya, aku ingin masuk Universitas Tokyo", ungkapnya sembari menatap ke arah lain, "Bersama dengan Umi-chan"

"Sebenarnya, aku memikirkan tentang kita sejak form itu dibagikan. Aku berpikir tentang kita—kita yang… enggak bakal bisa kayak gini selamanya. Aku berpikir begitu. Terus, kalau ke Kotori-chan kejauhan. Jadi, em… seengaknya aku akan ke Universitas Tokyo bareng Umi-chan terus entah gimana kalau bisa aku juga akan nyamperin Kotori-chan… Jadijadi ya… ya begitu!"—bernafas sudah cukup membuat Honoka sesak. Tenggorokannya bahkan terasa panas.

"Aku ingin kita selalu bersama! Kita bertiga!"—ia paham bukan hanya dia yang menangis sekarang. Bukan hanya dia yang memikirkan tentang kebersamaan mereka bertiga. Bukan.

.

Sesi tangisan mereka berakhir. Disini, malam ini mereka bertiga berjanji. Untuk Kotori, dia akan memastikan untuk meluangkan waktu begitu ia sampai ke negeri matahari untuk bersama mereka dan jika ia di Itali dia akan memberikan kabar sebisa mungkin. Untuk Umi dan Honoka, mereka berjanji akan belajar dengan giat dengan studinya sehingga bisa ke luar negeri dan tidak lupa juga mengabari Kotori selagi tetap bersama. Dan satu janji yang mereka ikarkan

Bahwa suatu hari di masa depan, mereka akan mengulang masa lalu keseharian mereka—bertiga.

.

Si Sonoda Umi menjadi mahasiswa literatur Universitas Tokyo. Musim semi telah datang, ia berdiri sembari memandang gurat oranye alam di depannya. Hari pertama selesai sudah, setelah ia menerima banyak flyer tentang eskul, yah pada awalnya ia hanya berniat mengambil eskul yang membuatnya tertarik—tetapi, lama kelamaan menjadi tidak enak menolak.

"Umi-chan!"

Umi memberi senyum singkat, "Honoka, kamu lama"

"Ehehe! Maaf!"

Tidak ada Kotori. Tidak ada rutinitas normal si trio. Untuk sekarang. Tapi, suatu hari di masa depan pasti, janji dimana para bintang menjadi saksi di musim gugur itu akan terpenuhi.

Sebuah rutinitas masa lalu akan tercipta kembali di masa depan.

.

.

.

Chapter 1 End

Author's Note:

Yup, untuk pertama kalinya saya menyentuh fandom Love Live ehehe. Maafkan atas segala typo dan kesalahan lainnya. Terlalu OOC tidak? Kalau iya, sekali lagi saya minta maaf. Terimakasih yang sudah membaca.