Sakura Drops

Moshi-moshi, minna... saya orang baru di sini, mohon bantuannya ya... Ini fic pertama saya... hope you like it!^^

Disclaimer: Bleach Kubo Tite, cerita ini asli saya ngarang, ngawur.

Pairing : Byakuya/Hisana, tapi mungkin bakal lebih fokus ke Hisana. Don't like don't read!

Setting: 50 tahun 6 bulan sebelum cerita dalam manga Bleach berawal

Rated: T

Chapter 1: Matahari Senja

Hari itu, seperti biasa, senja turun dengan damai di taman kediaman keluarga Kuchiki. Matahari memancarkan sisa-sisa cahayanya dengan lembut sebelum terbenam, menyelimuti pepohonan dan daun-daun yang berguguran dengan bayang-bayang jingga yang teduh. Angin senja pun berhembus perlahan menerbangkan daun-daun gugur. Beberapa masuk melalui pintu shoji yang dibiarkan terbuka, mendarat di dalam sebuah kamar mewah yang tertata rapi. Di sudut kamar itu, duduk seorang perempuan muda dengan kimono ungu membalut rapi tubuhnya yang mungil. Kepalanya tertunduk, sebagian rambut pendeknya jatuh menutupi wajahnya. Sinar yang biasanya memancar dari kristal violet di matanya kini meredup.

Perempuan itu, Kuchiki Hisana, duduk di depan sebuah cermin. Ia menyapukan sedikit bedak di sekitar matanya, mencoba menutupi bengkak dan kemerahan di sana. Menyembunyikan bekas-bekas tangisnya yang tak hilang hanya dengan mencuci muka. Setidaknya, ia ingin mempersembahkan wajah yang menyenangkan ketika suaminya pulang nanti. Bukankah itu tugas seorang istri?

Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kembali, beberapa kali, memenuhi paru-parunya dengan aroma angin musim gugur. Ia berharap wanginya dapat mengurangi sesak yang dari tadi ia rasakan. Dipejamkannya matanya, dicobanya untuk menghanyutkan pikiran dalam damainya harmoni desiran angin yang berpadu dengan suara gemerisik dedaunan kering, agar rasa sakit di dadanya tak lagi terasa.

Namun ternyata sulit. Semakin ia ingin melupakannya, semakin menjadi adegan siang tadi berputar dalam kepalanya. Ia pun mengalihkan pandangannya pada pintu shoji menuju taman yang terbuka, memberinya akses penuh untuk mengamati daun-daun gugur yang menari-nari dalam belaian angin. Sekali lagi ia menghela nafas panjang. Pikirannya kembali pada kejadian siang tadi. Saat para tetua keluarga Kuchiki memanggilnya untuk menghadap sendirian, tanpa ditemani suaminya yang sedang menjalankan tugas di divisi enam.

Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para tetua itu pun kembali terngiang di telinganya.

"Kapan kau akan memberikan keturunan untuk Byakuya-sama?!"

"Bukankah sudah lima tahun ia menikahimu?"

"Kau tidak mandul, kan??"

Hisana merasakan matanya mulai memanas lagi. Para tetua memang sudah biasa memberinya tekanan, namun kali ini berbeda. Ini bukan hanya masalah para tetua, ia juga merasa telah mengecewakan suaminya. Bahkan hal ini menyangkut masa depan klannya.... ya, ia merasa telah gagal sebagai seorang istri. Dua tetes air pun jatuh dari kelopak mata wanita itu, meluncur bebas di atas kulit pipinya yang pucat. Perlahan, ia menggerakkan telapak tangan mungilnya menyusuri bagian depan obinya. Tangan itu terus bergerak ke bawah, mengusap-usap bagian bawah perutnya, seolah ingin menyentuh rahimnya. Entah mengapa sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda hadirnya janin bayi di sana. Ya, seorang bayi...

Rasa perih kembali menikam dadanya ketika pikiran tentang bayi melintas dalam benaknya. Mengingatkannya pada bayi kecil tak berdosa yang dulu ia telantarkan di jalanan. Rukia, apa kabar dia sekarang? Masih hidup kah? Ah, betapa kejam perbuatan yang dilakukannya pada adiknya sendiri. Mungkin, apa yang menimpanya saat ini merupakan karma, hukuman dari Kami-sama atas perbuatannya dahulu. Mungkin ia memang tak pantas menjadi seorang ibu...

Suara pintu shoji yang tiba-tiba terbuka membuyarkan lamunannya. Suaminya telah kembali. Pria yang dinantikannya sejak tadi itu berjalan masuk melalui pintu yang menghubungkan kamarnya dengan ruangan utama rumah itu. Hisana pun cepat-cepat menghapus air mata yang masih membayang di matanya dan berdiri menyambut suaminya.

"Okaerinasai, Byakuya-sama," sapanya. Ia menghias wajahnya dengan senyum semanis mungkin untuk menutupi kesedihannya.

"Tadaima, Hisana," balas pria itu dengan sorot mata yang tetap tenang seperti biasanya.

Hisana pun berjalan ke belakang suaminya dengan langkah sedikit dipercepat, berharap suaminya itu tidak menangkap sisa-sisa tangis di wajahnya. Kemudian jemari mungilnya mulai bergerak untuk melepaskan syal kebangsawanan dari leher laki-laki itu, dilanjutkan dengan haorinya. "Bagaimana pekerjaanmu, Byakuya-sama?" tanyanya lagi. Dalam hati ia merasa lega karena telah berhasil membuat suaranya senormal mungkin.

"Kertas-kertas kerja itu tetap membosankan seperti biasa," jawab suaminya menghela nafas. "Bagaimana dengan harimu?" Byakuya balas bertanya setelah istrinya selesai membereskan syal dan haorinya.

"Satu hari yang indah di musim gugur," jawab Hisana singkat sebelum kembali berjalan dengan langkah cepat menuju tempat menggantung atribut-atribut yang biasa dikenakan oleh suaminya itu.

Setelah semua tertata rapi, ia pun kembali menghampiri suaminya yang kini duduk di samping futon mereka. Ia berdiri bertumpu pada lututnya agar posisinya sedikit lebih tinggi dari suaminya. Selain untuk memudahkannya melepaskan kenseikan dari kepala laki-laki itu, juga agar wajahnya yang masih menyembunyikan kesedihan tidak mudah terlihat.

Hisana tidak menyadari bahwa suaminya sebenarnya sudah merasa ada yang aneh dengan dirinya sore itu. Gerakannya seperti tergesa-gesa. Hingga ketika kepala keluarga Kuchiki itu merasakan simbol kebangsawanan yang selalu melekat di rambutnya itu sudah terangkat, pandangannya pun beralih mengamati wajah istrinya. Dan benar saja, senyum di wajah istrinya itu tidak seperti biasanya. Juga terdapat sedikit riasan wajah yang biasanya tak pernah dipakai. Pria itu menghela nafas. Entah apa lagi yang terjadi hari ini... ia pun menarik tangan istrinya agar duduk di hadapannya.

"Eh? Ada apa, Byakuya-sama?" tanya wanita itu seraya melebarkan senyumnya.

Byakuya tak menyahut, matanya terus mengamati wanita di depannya itu. Tidak ada wajah penuh kedamaian yang biasanya selalu menjadi penawar rasa lelah dan kepenatannya. Dalam sorot mata wanita itu hanya ada kesedihan, yang tak mampu disembunyikan dengan senyum terpaksa yang tersungging di bibirnya. Dan di balik riasannya, pria itu bisa melihat bekas-bekas air mata. "Kau menangis?" ia bertanya.

Hisana menggeleng. Ia menundukkan kepalanya, berharap bisa menyembunyikan kesedihan yang sempat tertangkap oleh mata suaminya tadi.

"Kau menangis," kali ini sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Hisana tak menyahut. Pandangannya masih tertunduk, tak berani beradu dengan bola mata baja milik suaminya. Tapi bisa dirasakannya pria itu menatapnya lekat-lekat, seolah berusaha untuk membaca pikirannya. Perlahan, jemari pria itu menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya, hingga mata mereka saling bertatapan.

"Ceritakan padaku, Hisana...," ia berkata lagi.

Hisana menggigit bibirnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah lagi. Laki-laki ini, orang yang selalu menjadi sandaran hidupnya, yang telah memberikan banyak hal padanya. Suaminya selama hampir lima tahun, yang entah apakah suatu saat nanti ia bisa membalas cinta dan semua yang telah laki-laki itu berikan padanya. Bertatapan mata dengannya seperti ini membuat Hisana ingin membenamkan wajah di dadanya dan menangis sampai puas. Tapi haruskah ia menceritakannya? Mengadukan kegagalannya sebagai seorang istri? Ah, itu hanya akan membuat suaminya kecewa dan merasa terbebani...

"Tidak... aku tidak apa-apa....," Hisana mencoba menjawab, namun ternyata suaranya kini sedikit serak.

"Hisana...," terdengar nada khawatir dalam kata-kata suaminya.

Hisana mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan suaminya. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri yang tidak bisa menyembunyikan perasaan hingga membuat orang yang dicintainya itu khawatir. Dan ia benci, sangat benci jika Byakuya-sama-nya itu sedih dan khawatir, apalagi ia yang menjadi penyebabnya. Wanita itu kembali menghela nafas. Suaminya memang sangat dalam mengenal dirinya, terlalu dalam... Ia pun menepis tangan Byakuya perlahan, lalu mundur beberapa langkah untuk mengambil posisi dogeza, duduk membungkuk hingga kepala hampir menyentuh lantai.

"Maafkan aku, Byakuya-sama...," ia kembali berkata dengan suara serak. "Aku... aku belum bisa memberikan keturunan untuk Byakuya-sama."

Tampak sekilas ekspresi terkejut di wajah Byakuya mendengar pernyataan istrinya, namun ekspresi itu segera hilang secepat munculnya. Ia pun bangkit dan memegang kedua bahu istrinya, mengangkatnya. "Apakah para tetua yang membuatmu seperti ini?" tanyanya.

Wanita itu kembali tertunduk, tak menyahut. Air mata kembali membayang di matanya.

Byakuya kembali menghela nafas, sebelum merengkuh tubuh mungil wanita itu dalam pelukannya. "Tak perlu mendengarkan mereka, Hisana."

Hisana tak tahan lagi. Tangisnya langsung pecah. Byakuya memeluknya lebih erat, membiarkan istrinya sesenggukan di bahunya hingga seragam shinigaminya basah oleh air mata wanita itu.

"Tapi... tapi apa yang mereka katakan itu benar," Hisana mencoba bicara di antara isak tangisnya. "Bagaimanapun, keluarga Kuchiki perlu penerus..."

"Kita akan mendapatkannya suatu saat nanti," Byakuya menjawab singkat.

"Tapi sudah hampir lima tahun," Hisana berkata lagi. "Mungkin... mungkin aku mandul...," lanjutnya. Ia merasa sudah tak sanggup lagi untuk tidak menumpahkan seluruh emosi dan isi pikirannya. "Ini hukuman dari Kami-sama yang pantas kudapatkan... aku perempuan kejam yang bahkan tak mampu menjadi seorang kakak... Apakah aku pantas menjadi seorang ibu??"

Byakuya tak berkata lagi. Ia memeluk istrinya lebih erat. Menunggu sampai Hisana benar-benar tenang. Ia tahu, percuma bicara panjang lebar pada orang yang sedang emosi seperti itu.

Detik berganti detik, menit berganti menit, hingga tak terasa satu jam pun berlalu. Sedikit semburat jingga masih tersisa di ufuk barat, seolah mengucap salam perpisahan pada langit yang telah gelap di atas sana. Senja telah sampai di penghujungnya, bersiap untuk meninggalkan mereka berdua dalam naungan malam. Byakuya masih memeluk Hisana. Hisana kini sudah lebih tenang. Hanya sesekali masih terdengar ia tersedu.

"Besok kita temui Kapten Unohana," Byakuya memulai pembicaraan kembali. "Kita buktikan kalau kau sebenarnya bisa melahirkan anak, Hisana."

"Tapi... bagaimana kalau aku memang...memang man-" kata-katanya terhenti ketika ia merasakan jari suaminya menyentuh bibirnya.

"Jangan katakan itu, Hisana... jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita pasti bisa, percayalah padaku," potong suaminya. Kristal baja di mata pria itu lurus menatap kristal violetnya, seolah berusaha menembus jiwanya, menyihir pikirannya untuk mempercayai kata-kata tadi. Mata yang dingin itu memancarkan kehangatan yang merasuki setiap sudut relung hatinya, hingga perlahan mulai melelehkan kegalauan yang dari tadi ia rasakan. Suaminya memang lebih menenangkan dari angin musim gugur, lebih teduh dari matahari senja...

"Besok kita temui kapten Unohana," kata pria itu lagi, "kalaupun memang ada masalah dengan tubuhmu, kita akan mencari jalan keluarnya," lanjutnya.

Hisana mengangguk pelan. Wanita itu merasakan jantungnya berdesir ketika kemudian jemari suaminya menyentuh kedua pipinya. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, sentuhan pria itu masih selalu memberikan efek yang sama seperti pada awal pernikahan mereka. Jemari kokoh itu kemudian bergerak perlahan ke belakang, membelai lembut kedua telinganya, sebelum akhirnya menyisip di antara helai-helai rambutnya.

Hembusan nafas yang hangat pun menyapu kulit pucatnya ketika pria itu mendekatkan wajahnya, menciumi air mata yang mengering di pipinya. Bibir pria itu terus bergerak ke bawah, hingga menemukan bibirnya, menguncinya rapat dalam sebuah ciuman hangat. Hisana pun memejamkan matanya dan meletakkan kedua tangannya di dada suaminya. Dan ia pun membalas ciuman itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam sosok suaminya. Hingga segala pikiran yang masih lalu lalang dalam kepalanya pun menghilang, jauh meninggalkannya dalam sebuah dunia dimana tak ada siapapun selain mereka berdua.

Arigatou, Byakuya-sama...


Alhamdulillah, setelah berhari-hari.... akhirnya kelar juga chapter pertama fic ini!^^

Jadi gimana menurut anda? Gak ada feel? Cerita maksa? Norak? Jijay? Bikin muntah? Abal? Alay? Diksi lebay? Sok puitis? Bahasa berbelit-belit? Alur bertele-tele? Atau malah kecepetan? Plot amburadul? Karakterisasi kacau? Atau bahkan kelewat OOC?

Saya minta maaf kalo tulisan ini nambah-nambahin sampah di fandom ini.... *bungkuk-bungkuk*

Yah, ini kan fic pertama saya, jadi... saya nggak minta dimaklumi kok, saya sadar akan kebodohan sendiri *jedugin pala ke tembok*... cuman minta komentar, saran, kritik, atau flame juga boleh kalo emang anda merasa saya pantes dapet flame. Tapi tolong flamenya yang jelas ya, jangan cuman bilang 'SAMPAH!', tapi tolong jelaskan apa yang membuat anda menganggap tulisan saya ini sampah.... saya kan bukan Newtype, nggak bisa baca pikiran orang... *digetok karena nggak nyambung*

Jadiiiiii.... Review pleeeeeease!!! m(-_____-)m