IKATAN
Fanfiction by: Chikara Hoshi
.
.
.
Gintama ( Hideaki Sorachi )
.
.
.
[Slice of Life, Romance, Tragedy, sedikit komedi. Warning: AU, OOC, OOT, typo, gaje, konten dewasa]
Don't like, don't read
.
.
.
Aroma kopi itu tercium hingga ke dalam kamar. Sepasang mata yang masih tertutup rapat itu perlahan terbuka.
Terpampanglah iris sebiru laut dalam, sepekat langit angkasa. Tubuhnya masih terasa berat. Nyawanya masih setengah sadar untuk bisa bangun dari kasurnya yang cukup besar itu.
Mungkin kalau bukan aroma kopi yang harum itu dia tidak akan bangun hingga matahari sangat terik di siang hari.
Dia menengok ke samping, merasa heran. Pikirannya seolah bertanya apakah orang yang tidur di sampingnya itu sudah bangun. Sejak kapan.
Akhirnya dia beranjak dan keluar dari kamar. Dia bersandar di pagar pembatas yang terbuat dari kayu yang kuat. Dari situ dia langsung bisa melihat apa yang ada di bawah. Ruang dapur.
"Hmm… kau sedang bikin ko..pi… ya…"
"Oi, keriting. Turun. Mau sampai kapan kau mengigau. Aku takkan bertanggung jawab jika gajimu dipotong. Cepat mandi dan pakai seragammu."
Si yang diomeli malah menguap dan tertidur di pinggir pagar pembatas itu.
"SAKAMOTO!"
Diawali dengan omelan dan bentakan dari istri tersayang di pagi hari tampaknya sudah menjadi sarapan sehari-hari.
"Iya…"
IKATAN
-Chikara Hoshi-
Kelas 3-Z selalu terlihat kacau.
Walaupun ada guru yang sedang mengajar, mereka masih saja sibuk dengan dirinya sendiri atau bersama teman lainnya, melakukan keributan, makan, atau apapun. Kecuali kalau yang mengajar adalah wali kelas mereka. Mereka akan diam.
Yah, para guru sudah mengerti kalau kelas ini adalah satu-satunya kelas yang tidak bisa diatur. Sebagian kata guru-guru yang mengajar, mereka adalah anak-anak buangan.
Tapi guru-guru tidak kehilangan akal untuk menghadapi murid-murid di kelas itu tiap mendapat giliran mengajar. Setiap guru mempunyai ciri khas masing-masing, metode masing-masing, dengan kesabaran yang luar biasa, tapi ada juga yang seolah berbaur dengan murid-murid. Yaitu… dengan gila yang luar biasa.
Tapi sepertinya hanya dia yang gila.
Gila nya melebihi anak-anak di 3-Z.
Saat memulai pelajarannya pun selalu diawali dengan tawa yang… cukup unik.
Sakamoto Tatsuma.
Guru yang mengajar di bidang pelajaran wirausaha dan ekonomi ini terbilang lumayan handal dalam mengajar.
Komentar tentangnya bermacam-macam.
"Sakamoto-sensei gila."
"Dia sangat luar biasa kalau menjelaskan materi."
"Sakamoto-sensei mengasyikkan juga ternyata…"
"Tapi dia itu licik."
"Mesum!"
Oke cukup.
"Ahahaha! Ya, pelajaran kali ini soal bekerja yang menghasilkan sesuatu . Dan itu ada hubungannya dengan kewirausahaan. Sebelum aku menjelaskan tentang yang menghasilkan sesuatu itu, aku ingin bertanya kepada kalian. Adakah sebelumnya yang paham dengan 'kegiatan wirausaha'?" tanyanya.
Dia membenarkan kacamata hitamnya, tersenyum lebar sudah menjadi ciri khasnya.
Cukup lama dia menunggu murid-murid ada yang sukarela menunjuk tangannya untuk menjawab pertanyaannya.
Dan satu hal, dia sangat penyabar.
"Kagura… kau sedang makan?" Sakamoto menutup buku paketnya, dia tersenyum dan mendekat. Kagura sedikit ketakutan, dia ketahuan makan bekalnya. Ya, walaupun itu sudah sering.
"Ahahaha ahaha, sudah tidak apa-apa. Bekalmu selalu terlihat menarik dan lauknya macam-macam kalau aku perhatikan. Apa yang buat kamu sendiri? Atau orang tuamu?"
Kagura menggeleng, "Tidak. Yang bikin ini aku sendiri."
"Hoo… hebat sekali! Nah, coba kau pikirkan. Jika kamu membuat bekal ini dalam jumlah banyak, atau sekitar 3-5 obento yang menarik, lalu kau tawarkan ke teman-temanmu untuk dijual. Apa yang kau dapatkan? Dan… apa yang kau bisa simpulkan dari itu?"
Kagura mencoba berpikir, "Hmm, teman-temanku menyukainya dan akan membeli?"
"Ya, lalu?"
"Oh, apakah itu yang disebut dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu? Aku membuat sesuatu dan menjualnya, apakah itu yang dinamakan kegiatan wirausaha?"
Sakamoto menepuk tangannya, "Yup, benar! Nah, ada lagi kah yang ingin menambahkan lebih spesifik?"
Hijikata Toshiro mengangkat tangannya.
"Ya?"
"Kegiatan wirausaha yaitu menghasilkan karya yang orisinil?"
"Benar! Ada lagi?"
"Wirausaha itu… untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Seperti aku menginginkan Otae-san?"
"Ahahaha, Kondo, kau tidak salah. Tapi sepertinya itu bukan ditujuan perekonomian.."
Setelah itu Kondo berakhir dengan pipi yang bonyok. Baru saja ditonjok Otae.
"Ahahaha! Ya, cukup. Jadi, wirausaha sebenarnya memiliki banyak arti. Vernon A. Musselman dan John H. Jackson, berwirausaha adalah menginvestasikan dan mempertaruhka waktu, uang, dan usaha untuk memulai suatu perusahaan dan menjadikannya berhasil. The Theory of Economic Development milik Joseph A. Schumpeter, seseorang yang melakukan wirausaha memiliki respon kreatif terhadap lingkungan perekonomian, dan membuatnya sebagai pusat dari pengembangan bahan baku…
'bekerja yang menghasilkan sesuatu' itulah merupakan salah satu kegiatan wirausaha. Jika kalian menjadi seorang wirausahawan, kalian harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, atau asli dari tangan dan pikiran kalian. Berorientasi ke masa depan, artinya kalian harus mempersiapkan hasil kalian yang nantinya berguna untuk masa mendatang. Berani mengambil risiko, percaya diri, dan jiwa kepemimpinan merupakan hal yang penting seseorang yang melakukan kegiatan wirausaha."
Pelajaran berlangsung selama satu jam lebih, dan Sakamoto memberikan tugas.
"Tugas untuk kalian adalah membuat sebuah barang kerajinan yang sekiranya itu dapat dijual dipasaran. Kuberi waktu seminggu, dan kumpulkan saat pelajaranku minggu depan. Mengerti?"
"Ya, mengerti."
"Baiklah, sampai jumpa minggu depan. Dan, tolong jangan berisik ya."
Sakamoto menutup pintu kelas, dia menghela napas. Sepertinya kelelahan. Dia sedikit terkejut saat selembar surat ada di depan wajahnya.
"Surat peringatan untukmu. Dari kepala sekolah." Ucap Mutsu, yang berdiri di depan Sakamoto sambil melambai-lambaikan surat peringatan.
"Yaampun…" Sakamoto menggaruk kepalanya. Wajahnya terlihat depresi. Seolah tidak peduli dengan itu, dia terus berjalan untuk kembali ke ruang guru.
"Datang terlambat. Terlalu memanjakan murid-murid. Berisik. Apa kau tidak bisa mengubah kebiasaanmu itu? Kau sudah dua kali mendapat surat peringatan. Aku tidak peduli gajimu akan turun lagi, kau akan dikeluarkan dari sini. Perusahaanmu juga sedang mengalami kemunduran kan?"
Mutsu terus berceloteh di belakang Sakamoto. Sakamoto sepertinya sedikit kesal.
"Bisakah kau diam!"
Mutsu tersentak. "Ka-kau! Suaramu terlalu keras!"
"Kau yang memulainya!"
Sakamoto masuk ke ruang guru dengan kesal. Untung saja ruang guru sepi, tak ada siapa-siapa karena sedang mengajar.
"Aku bicara seperti itu karena demi kamu! Kau.."
"Ya! Aku memang berisik! Memangnya kenapa kalau aku berbaur dengan murid? Mengajar kan tidak selalu kaku!"
Pertengkaran terus berlangsung. Kalau saja ruangan guru bukanlah ruang kedap suara, mereka pasti akan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Mutsu dan Sakamoto tidak sadar kalau Ginpachi mendengar pertengkaran mereka dari dinding di samping pintu.
"Kau benar-benar…" Mutsu sangat gusar. Dia meraih tasnya dan pergi keluar.
"O-oi! Mutsu!" Sakamoto berusaha mengejar Mutsu namun sia-sia.
Untuk sekian kalinya dia mendengus. Duduk di kursi sambil melihat ke luar jendela.
"Padahal kalian sudah menikah setahun yang lalu, tapi tetap saja tidak pernah satu tujuan ya." Ujar Ginpachi.
Dia masuk dan berdiri di samping meja Sakamoto. Lolipop berasapnya masih berada di mulutnya.
"Itu tidak akan berpengaruh, Kinpachi." Balas Sakamoto.
"Siapa yang kau sebut 'Kinpachi'? Ginpachi, bodoh!"
Sakamoto melihat pesawat jet yang mengeluarkan asapnya di langit. Tatapannya sangat kosong.
"Kurasa dia terlalu lelah. Aku merasa bersalah." Lirihnya.
"Kalau begitu kejar dia."
Sakamoto menatap Gin. "Tidak. Itu percuma. Kurasa."
Ginpachi menjitak Sakamoto dengan keras.
"Kau merasa bersalah tapi tidak berani menemuinya? Kau menyebut dirimu itu seorang suami? Bahkan kau belum memberikan seorang anak."
Sakamoto mengusap kepalanya yang sakit, "Hei, jangan bawa-bawa masalah anak. Iya, baiklah. Aku akan menemuinya."
"Bagus. Kau sudah tidak ada jam mengajar lagi kan?"
"Ya. Tapi aku harus menghadap kepala sekolah dulu." Sakamoto beranjak dari kursinya dan meninggalkan Ginpachi sendirian.
…
Siang itu juga Sakamoto pulang. Tapi dia tidak langsung ke rumah. Setelahnya turun dari kereta, dia menuju toko kue dekat stasiun.
"Hmm, kubelikan brownies saja untuknya ya?" gumamnya.
Dia berjongkok di depan etalase. Memilih kue mana yang kira-kira Mutsu suka. Setelah membelinya, dia membeli sebuket bunga mawar merah di toko bunga di samping toko kue.
Sakamoto tersenyum.
Semoga saja dia menyukainya
"Oh… mendung…"
Mutsu baru saja keluar dari kafe kopi, dia menengadahkan tangannya. Setetes air hujan turun. Bulan Juli memang sering hujan. Ini awal dari musim panas.
"Kurasa masih sempat untuk sampai ke rumah. Aku harus masak. Dia pasti lapar…" gumamnya pelan.
Zebra cross terlihat sepi. Lampu untuk pejalan kaki masih menunjukkan warna merah. Lima detik kemudian berubah menjadi warna hijau. Hanya ada tiga orang yang menyebrang, termasuk Mutsu.
Sakamoto berjalan di trotoar yang tak jauh jaraknya dari jalan penyebrangan itu. Reflek dia melihat Mutsu.
Dia ingin berteriak memanggil namanya, namun entah kenapa tidak bisa.
Matanya membulat. Irisnya terlihat mengecil, tatkala sebuah truk besar melaju cepat menerobos lampu merah.
Kejadian itu begitu cepat.
Namun begitu lambat bagi Sakamoto.
Lari.
Lari.
Kumohon langkahku… cepat!
"MUTSU!"
Dia menjatuhkan bunga dan kotak kue yang dipegangnya.
Lambat
Dua orang terluka.
Mutsu terlempar hingga menabrak dinding ruko.
Orang-orang mulai berdatangan. Polisi langsung datang. Menahan supir truk yang ugal-ugalan.
Mutsu dikelilingi dan para medis mengangkutnya ke dalam mobil ambulan.
Sakamoto masih meneriaki namanya. Entah terdengar atau tidak.
Dia ingin mendekati istrinya namun tertahan polisi, sampai akhirnya dia tertunduk dan pingsan.
Kejadian itu tak terasa sudah seminggu lamanya.
Sakamoto menunggu di depan ruang ICU.
Dia duduk di bawah jendela. Dia tidak berani melihat Mutsu yang terbaring dengan banyak peralatan medis yang menancap di sekujur tubuhnya dan di kepalanya.
Kepalanya dia tenggelamkan di antara lututnya.
Di atas kursi, Ginpachi menemaninya.
"Tak perlu begitu. Dokter mengatakan kalau Mutsu terselamatkan, iya kan?"
Ginpachi menatap Sakamoto yang terlihat depresi berat. Dia menghela napas.
"Ya… aku mengerti itu semua tidak menutup kemungkinan kalau Mutsu tidak selamat kapan saja. Setidaknya berdoalah…"
"Aku berdoa sepanjang waktuku…" Sakamoto membalas. Suaranya terdengar sangat parau.
Mengetahui hal tersebut, Ginpachi sepertinya khawatir.
"Apa kau sudah makan atau minum?"
"…tak ada waktu untuk itu… aku, sungguh menyesal…"
Payah
Apa pantas aku disebut sebagai suami
Apa ini pembalasan untukku
Ginpachi mencoba membopong Sakamoto, "Kau harus makan. Bodoh! Sejak hari apa kau tidak makan dan minum? Tidak sayang tubuhmu hah!?"
Aku tidak pantas…diselamatkan…
Tuhan..
Gantikan aku…
Jangan dirinya…
"Dokter! Tolong!"
"Cepat bawakan ke ruang rawat! Terima kasih, Tuan."
"Ya. Tolong rawat teman saya, dokter."
Harusnya aku saja yang terluka
Bukan dia…
Di ruang dokter, Sakamoto duduk di sebrang dokter pria yang sudah paruh baya. Dia sudah pulih sehari yang lalu.
Dokter itu akan menjelaskan kondisi Mutsu.
"Sampai saat ini, perawatannya berjalan lancar. Luka-lukanya cepat pulih, hanya tulang tangan dan kaki saja yang belum. Istri Anda dalam keadaan baik-baik saja. Walaupun belum sadar, dia hanya tertidur. Tapi, kami akan melakukan cek lebih lanjut. Kepalanya terkena benturan cukup keras, sehingga mungkin saja akan mengalami gangguan."
Sakamoto mendengarkan semua penjelasan dokter dalam diam. Sebenarnya dia sangat khawatir. Telihat jelas kedua telapak tangannya saling menyatu dan terasa dingin.
.
.
.
Dia masuk ke dalam kamar tempat Mutsu dirawat.
Bersama dokter Sakamoto ditemani.
Mutsu sudah sadar namun belum mampu duduk. Dokter tampak memeriksa kedua matanya, mengecek detak jantung dan tekanan darah. Semua perlahan-lahan kembali normal.
"Mutsu…" panggilnya.
Mutsu yang masih tiduran itu pelan-pelan menatap pria berambut coklat tua di sampingnya.
"Aku… maaf…"
….'gangguan?'
'Ya. Benturan keras seperti itu, walaupun tidak ditemukan luka yang parah. Tidak menutup kemungkinan istri Anda mengalami…' …
Mutsu merasa tidak mengerti. Kedua alisnya mengerut. Perlahan dia membuka mulutnya, mencoba bicara.
"…Anda… siapa?"
'…Hilang ingatan.'
TO BE CONTINUED
Chapter 2
Thanks for reading my fanfic.
Mind to review?
