Last Assignment for First Love

Disclaimer : Naruto bukan punya saya, dia punya Sasu *dikemplang*

Summary : AU. Naruto tidak akan pernah mengira ia akan kehilangan inspirasi saat menjelang tugas akhir kuliah desainnya. Di saat ia memutuskan untuk menyepi sementara, tak disangka seorang penghuni kos baru datang. Warning inside.

Warning : AU. NaruSasu atau SasuNaru saya juga bingung DX. Mungkin OOC. Shounen ai. Fic Naruto pertama saya yang diketik karena iseng sambil nonton Godzilla (It's gojira, morron). Jadi maap kalo aneh. Sebenernya pengen diketik buat SasuNaru day tanggal 30 Des yang diadain di fesbuk, tapi ga yakin aja kalo 30 Des ntar udah selse. Mungkin rada membosankan karena belum masuk konflik utama. Haish, cukup ramblingnya. Enjoy!

"..." speak

'...' mind

*

Laki-laki pirang yang biasanya ceria itu kali ini menaiki tangga kampus menuju lantai dua dengan sedikit lunglai. Ditapakkannya kaki perlahan-lahan seolah menikmati setiap inci perubahan ketinggian tangga itu. Beberapa orang yang dikenalnya lewat dan menyapanya riang, namun ia hanya mengangguk perlahan dan tersenyum tipis, membuat beberapa orang bahkan mengira ia sedang menyapa hantu saking pucatnya yang disapa.

Setelah beberapa undakan lagi akhirnya ia sampai di lantai dua. Dengan malas ia menelengkan kepalanya ke arah kanan, mengintip kelas A2 yang berada di seberang koridor melalui pintu kaca. Yak, tepat seperti yang sudah ia duga, kelas kecil itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang temannya, sedangkan seorang pria berambut coklat jabrik berdiri di depan kelas itu seraya mengacung-acungkan spidol.

Naruto menghela napas panjang dan akhirnya memberanikan diri untuk masuk.

"Se, selamat siang," sapanya gugup saat tangan kanannya mengayunkan pintu itu dan membukanya sedikit. Tidak seperti kebiasaannya, menerobos masuk dengan gaya berlebihan meski sudah terlambat sekian puluh menit, kali ini ia hanya menjengukkan kepala sedikit, tidak berniat masuk sebenarnya. Semua orang yang sudah berada di dalam ruangan itu, termasuk dosen walinya, Yamato-sensei menolehkan kepala mereka pada pirang jabrik yang hari ini kelakuannya aneh itu.

"Yo Naruto! Masuk saja! Belum telat kok! Baru aja mulai!" seru seorang mahasiswa yang memakai jaket abu-abu berhood dan bertato dua segitiga merah di bawah matanya, Kiba.

"Kau sedikit terlambat Naruto. Tapi tak apa, aku belum mengabsen. Masuklah dan duduk, lalu keluarkan proposal tugas akhirmu," tutur sang dosen dengan nada datar, namun tetap, ia mencoba tersenyum. Bagaimanapun, saat bertemu muka dengan mahasiswa desain grafis semester akhir haruslah sedikit lebih ceria kalau tidak mau tertular aura kelam beraroma kurang tidur dan pelanggaran deadline.

'Sial, tahu begini aku datang lebih siangan saja,' rutuk Naruto dalam hati.

"Baik sensei," ujarnya lemah.

Naruto berjalan menyeberangi kelas dan mengambil tempat duduk di antara Shino dan Sai. Sempat diliriknya map proposal tugas akhir bening milik Sai yang diletakkan penuh percaya diri di mejanya. Animasi 3 Dimensi untuk Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini. Sial, maki Naruto lagi dalam hati.

Masalah inilah yang membuat sifat dan keceriannya menghilang dalam sebulan terakhir ini. Artist Block, alias tidak ada ide, tidak ada inspirasi, mentok, nabrak, natap, et cetera et cetera, justru malah muncul saat pendidikannya di akademi desain grafis ini hampir berakhir dan tugas akhir mendatanginya. Sebenarnya banyak sekali opsi tugas akhir yang bisa dipilih seorang mahasiswa, entah itu proyek komik, animasi, merchandise dan advertising untuk lembaga usaha komersial, dan lain lagi. Namun Naruto tidak ingin membuat yang biasa. Ng, sebenarnya pun untuk tugas yang biasa ia juga sedang tidak ada ide. Pikirannya seakan-akan buntu, malas diajak berpikir meski sudah dibantu dengan WC duduk yang nyaman dan berjam-jam penuh melamun sambil minum kopi di coretStarbuckscoret angkringan terdekat. Tidak ada satupun ide yang mampir di otaknya. Pensil mekanik, drawing pen, buku sketsa, graphic tablet, Photoshop CS 4, dan Corel Draw nya sudah lama dianggurkan.

Dan sebagai tambahan, deadline penyerahan proposal tugas akhir harus diserahkan selambat-lambatnya dua minggu lagi. Atau kalau tidak ia harus mengulang tahun depan. Padahal ayahnya sebentar lagi pensiun, dan kalau itu sudah terjadi, ialah yang harus membiayai sekolah Konohamaru yang sekarang masih duduk di sekolah dasar. Ia tidak boleh membiarkan dirinya lulus terlambat.

"Sialan...," umpatnya pelan tanpa sadar. Sai yang duduk di sebelahnya entah kenapa merinding tanpa sebab.

"Saya ulangi perkataan yang tadi, mengingat ada mahasiswa yang hobi terlambat," lanjut Yamato, semua melirik Naruto, mengikik penuh sindiran. " Kita sekarang ini berkumpul di sini untuk bimbingan pertama dosen wali untuk tugas akhir kalian. Sebenarnya tidak banyak yang akan kita lakukan hari ini. Hanya pemeriksaan proposal bagi mereka yang sudah menyelesaikannya, dan pendiskusian ide bagi mereka yang masih belum menentukan tugas akhirnya. Tugas saya hanya sampai pada pemeriksaan proposal, dan setelah itu saya akan merujuk masing-masing dari kalian pada dosen pembimbing yang lebih spesifik pada jenis tugas kalian," banyak anggukan terlihat di sekitar kelas.

"Dan khusus bagi yang belum menentukan tugas akhirnya, saya harap hari Selasa dua minggu lagi kalian sudah menentukan pilihan dan membuat proposal. Atau kalau tidak, kalian tentu sudah tahu kebijakan macam apa yang dibuat oleh kampus?" Yamato mengedikkan bahunya, meyapukan pandangan ke seputar kelas. Naruto mencengkeram ujung jumper orangenya lebih erat.

"Sekarang, silakan tumpuk proposal-proposal yang sudah jadi di sini. Dan mereka yang masih ragu-ragu menentukan pilihan silakan duduk di sisi kanan untuk berdiskusi dengan saya," lanjut Yamato seraya menepuk-nepuk mejanya dan menunjuk deretan kursi yang sudah ditentukan. Beberapa orang, Sai, Shino, Neji, Tenten, langsung menumpuk map mereka dengan senang hati, sementara Kiba dan masih banyak yang lain berebutan antri di kursi menunggu giliran diskusi. Namun dengan lemah Naruto melangkah menuju pintu dan membukanya untuk sesegera mungkin pulang ke kosnya dan berusaha melamunkan inspirasi.

"Naruto? Kok sudah mau pulang? Proposalmu?" Yamato menyambar sebelum Naruto sempat meraih gagang pintu.

"Ah, belum jadi sensei."

"Tidak mau berdiskusi?"

"Idenya saja belum dapat."

Yamato mengangguk maklum.

"Baiklah, toh masih ada dua minggu lagi. Usahakan selesai tepat waktu ya?", pintanya sungguh-sungguh. Tentu saja, ia tidak mau salah satu muridnya yang paling berbakat gagal lulus tepat waktu, lagipula sebagai saudara teman ibu Naruto, ia mengerti betul kondisi keluarga bocah pirang dengan tiga garis cokelat samar di wajahnya itu. Naruto tersenyum tipis.

"Ya, sensei. Akan saya usahakan," ujar Naruto yang langsung mengayunkan kakinya keluar dari ruang kelas itu.

Naruto sudah hendak melewati front office dan melangkah keluar dari bangunan kampusnya yang tidak begitu besar dan tidak begitu bagus arsitekturnya karena meninggalkan banyak sekali bagian gelap dimana-mana ketika sebuah suara penuh semangat memanggilnya dari belakang.

"Narutooo, Naruto! Sini sebentar! Sini sebentar!" panggil suara itu. Naruto yang sudah hapal betul siapa pemilik suara itu membalikkan badan dan menemukan teman lain kelasnya yang mengenakan kaos ketat dan celana panjang skinny berwarna hijau lumut berlari menghampirinya dengan kecepatan tinggi.

"Hei Rock Lee! Ada apa?" sahut Naruto ceria meski sebenarnya tidak ingin, namun ia memaksakan dirinya tersenyum lebar dan melambaikan tangannya setengah bersemangat agar orang-orang yang heran akan kemurungannya tidak bertambah.

"Ah kawan baikku Naruto! Semangat yang bagus untuk hari secerah ini!" seru Rock Lee sambil mengacungkan jempol dan nyengir lebar begitu ia sampai tepat di hadapan Naruto. Naruto mendengus geli, tidak bisa tidak, fans ulat bulu ini selalu saja berhasil menularkan sedikit semangat pada siapapun yang berbicara dengannya.

"Iya iya aku ngerti. Hari ini memang panas sekali. Ngomong-ngomong ada apa sih?" tanya Naruto tak sabar. Rock Lee menjentikkan jarinya dan berseru tertahan, lalu ia menurunkan tabung kertas gambarnya dan membuka tutupnya, lalu mengeluarkan sebuah kertas gambar berukuran A3 dari dalamnya dan menggelarnya di lantai.

"Hei hei! Rock Lee! Jangan di situ kalau mau menggelar gambar! Nanti kotor!" seru Naruto khawatir begitu melihat goresan-goresan pensil di atas kertas itu.

"Tak apa-apa Naruto! Aku begitu bersemangat saat melihatmu sampai tidak sabar mau memperlihatkan ini. Sini, lihatlah lebih jelas!" undang Lee sambil melambaikan tangannya, menyuruh Naruto untuk jongkok di hadapannya, memperhatikan kertas itu lebih detil.

"Woow... ini..."

"Hmp! Betul sekali! Ini adalah sketsa background yang akan kugunakan untuk animasi singkat pendukung promosiku. Bagaimana? Bagus kan?" ujar Lee bangga. Naruto mengangkat kertas itu ke depan wajahnya.

"Bagus kok bagus! Komposisinya seimbang, tapi tidak terlalu monoton juga. Eh, tapi kenapa orang-orangnya tidak berwajah?" tanya Naruto sambil menunjuk-nunjuk beberapa sosok manusia yang ada di dalam gambar itu. Lee menunduk.

"Itulah dia Narutooo... aku tahu kau sangat pintar menggambar anatomi wajah dan tubuh manusia. Jadi... jadi kau mengerti kan?" Lee bertanya penuh harap, menatap mata Naruto dengan intensitas memohon yang mengerikan sampai-sampai Naruto merasakan matanya pedih.

Sungguh, sebenarnya ia ingin sekali membantu Lee, ia juga ingin sekali melihat namanya muncul di kredit tugas akhir milik Lee, yang karyanya juga ia sukai. Tapi sekarang memunculkan inspirasi untuk dirinya sendiri saja ia tidak bisa...

Maka ia harus menolak.

"Ng, maaf Lee... sebetulnya aku ingin sekali membuatkan desain karakter-karakter yang super keren buat karyamu ini... tapi jujur saja deh, aku sedang tidak ada ide sama sekali!" pekik Naruto, nyaris histeris. Tanpa sadar ia setengah curhat pada Lee. Lee terbengong-bengong menyaksikan kawannya sejak semester satu itu kebingungan sampai menangkupkan telapak tangan ke pipi segala.

"Hmm... mungkin kau terjebak rutinitas, Naruto?"

"Eh? Apa?"

Lee menghela napas.

"Mungkin kau hanya terjebak rutinitas Naruto. Kulihat kau hanya pulang pergi kuliah, lalu pergi bekerja sambilan, lalu pulang, dan itu-itu saja. Kau sudah lebih dari setahun tidak pulang bukan?" Lee mencoba menginterogasi. Naruto mengangguk. Memang benar sekali apa yang dikatakan oleh Lee. Ia sudah lama, lama sekali tidak pulang ke rumah dan berusaha untuk mengurangi kegiatan hiburannya demi menekan biaya hidup yang semakin tinggi.

"Mungkin kau harus mencoba liburan ke suatu tempat yang tidak biasa, tinggal di sana barang seminggu, lalu kembali untuk mencari inspirasi," saran Lee. Naruto hanya terdiam, ragu-ragu menerima saran yang memang kedengarannya menyenangkan itu.

"Aah! Ayolah semangat kawan baikku! Aku yakin inspirasimu akan datang lagi seperti matahari terbit di ufuk timur!" seru Lee sambil menepuk punggung pemuda bermata biru itu dan menunjuk ke arah timur.

Naruto mencoba tersenyum lebar dan menyambut rangkulan Lee.

"Baiklah! Akan kucoba!"

*

Nada-nada ceria Dirty Little Secret dengan volume paling keras keluar dari ponselnya yang ia letakkan begitu saja di samping bantalnya. Naruto mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha memisahkan alam sadarnya dari kenikmatan sekaligus kehampaan tidurnya sore itu. Dengan malas-malasan tangan kirinya meraih ponsel sederhana yang sudah dimilikinya sejak lima tahun lalu itu dan melirik displaynya.

Otousan calling

Buru-buru ditekannya tombol hijau yang dengan segera menyambungkannya dengan suara sang ayah dan backsound suara-suara teriakan senang Konohamaru yang entah sedang apa.

"Halo, tousan!" sapa Naruto dengan nada suara ceria yang dibuat-buat. Tentu saja ia tidak ingin membuat keluarganya di seberang negeri sana khawatir hanya karena permasalahannya yang sepele ini. Akhir-akhir ini kesehatan ayahnya tidak begitu baik, dan ia tidak ingin memperparah keadaan.

"Hai Naru. Sedang apa kau? Sudah makan? Kau sehat-sehat saja kan?" berondong Minato dengan nada meninterogasi. Naruto tersenyum. Biarpun sedikit galak tapi ia tahu kalau ayahnya selalu dan selalu mengkhawatirkan kondisi putra sulungnya di tanah rantau meskipun Naruto sudah berjanji akan menjaga dirinya sendiri baik-baik.

"Cuma sedang mencoba membuat sketsa untuk tugas kok," jawabnya bohong. Sebenarnya ia benci harus berbohong, tapi kembali ke inti permasalahan, ia tidak ingin membuat orangtuanya khawatir.

"Sudah makan tadi siang, malam ini aku mau buat ramen instan saja. Aku sehat kok, udara di sini tidak sedingin di sana, jadi alergiku tidak kambuh. Ayah sendiri sehat kan?" tanya Naruto balik. Sebagai balasannya ia mendengar kekehan lembut ayahnya yang menyenangkan.

"Baik, baik. Semua baik di sini. Ibumu baik, Konohamaru juga, tapi hari ini ayah tidak masuk ke kantor, harus beristirahat di rumah sebentar karena pusing. Tapi sudahlah! Tidak apa-apa kok! Ayah sudah minum obat! Kamu kuliah saja yang benar di sana, jangan khawatirkan ayah, OK?" Minato berusaha menjawab seceria anaknya, namun Naruto tetap dapat mendengar nada tidak enak dalam kata-kata ayahnya.

"Bagus begitu ayah, kau harus banyak-banyak beristirahat, jangan terlalu capek," Naruto mengingatkan ayahnya.

"Ya, ayah akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja. Ya sudah, istirahatlah sebentar, lalu makan. Ohya, jangan terlalu banyak makan ramen instan, tidak baik untuk kesehatanmu. Ayah mau istirahat lagi sebentar,"ujar ayahnya mengakhiri sambungan telepon. Naruto mengangguk.

"Love you, tousan, kaasan, otouto..." bisiknya sebelum bunyi tut berulang kali terdengar dari ponselnya.

Lagi-lagi Naruto menghela napas.

Tetapi tak lama kemudian ia sudah memasukkan beberapa lembar kaos dan celana pandek ke tas ransel orange-hitamnya. Ya, ia akan pergi dari rutinitas ini, membolos selama seminggu, dan mungkin berputar-putar di pedesaan, live in di rumah penduduk selama beberapa hari untuk merenung.

*

Diputarnya kunci motor di lubangnya dan distarternya sepeda motor kesayangannya. Naruto sudah hendak mengeluarkan motornya dari gerbang utama kos saat ia mendapati sebuah Honda Jazz hitam mutiara parkir dengan tenang di halaman depan kos yang cukup lebar dan 100% menghalangi jalan keluar masuk satu-satunya di kompleks kos itu. Mengernyitkan dahi, ia berpikir, tidak biasanya ada mobil yang terparkir di halaman itu kecuali mobil milik anak sang ibu kos, dan ia tahu mobil milik anak ibu kos bukan Honda Jazz seperti itu.

Dilengkapi sedikit umpatan Naruto turun dari motornya dan berjalan menuju rumah utama ibu kos untuk mencari tahu siapa pemilik mobil itu dan menyuruhnya untuk memindahkan mobil itu sebelum Naruto benar-benar menabrak mobil itu dengan sepeda motornya. Dengan sebal ia melepas sneakernya dan melangkah masuk ke teras rumah utama dan berteriak memanggil ibu kos yang juga adalah saudara jauhnya.

"Tsunade-baachaaaannn!!!" seru Naruto tanpa tanggung-tanggung, dengan volume terbesar yang bisa diakomodasi oleh pita suaranya.

Tanpa perlu mengulangi teriakannya, sosok tubuh sintal ibu kos janda idaman semua pria di kompleks perumahan itu muncul dari pintu depannya, dengan dress hijau tipis dan rambut yang diikat tinggi di atas kepala.

"Tsunade-baachan, mobil siapa in-"

"Wah! Kebetulan! Naruto-kun! Sini masuk!" perintah Tsunade sambil melambaikan tangan, lalu langsung menghilang ke dalam rumah. Mau tak mau, demi misinya kabur dari rutinitas Naruto mengikuti Tsunade masuk ke dalam rumah.

Rumah itu tidak begitu luas, dengan banyak tanaman hias tertata rapi di depannya, dan di sekeliling teras yang asri. Wewangian beraroma lavender langsung menyergap penciuman Naruto begitu ia melangkah masuk ke ruang tamu bergaya klasik milik Tsunade, dilengkapi sofa-sofa nyaman dengan pinggiran berukir bunga dan meja kaca yang indah. Namun bukan patung kuda berukuran agak terlalu besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Naruto, namun sesosok pemuda seusianya yang bersinar pucat di atas salah satu sofa ruang tamu itu.

"Nah, Naruto-kun, kenalkan, ini Uchiha Sasuke, penghuni kos baru kita yang akan menempati kamar di sebelahmu," Tsunade memperkenalkan pemuda itu pada Naruto.

Naruto tertegun. Ia sudah sering melukis wajah seseorang dengan gaya realis, abstrak, distorsi, bahkan kubisme sekalian, dan semuanya bagus, semuanya mirip yang asli. Namun pemuda ini sebaliknya...

Ia lebih seperti manusia yang keluar dari dalam lukisan klasik jaman Renaissance (1) yang dipamerkan di galeri kota kemarin. Tidak. Lebih indah daripada itu.

Kulitnya yang seputih susu seakan berpendar pucat, dibingkai oleh temaram cahaya lampu dari chandelier yang kekuningan dan keruh. Sedangkan rambut hitam pekat berpotongan raven yang sepertinya lembut itu jatuh beriap dan merangkum profil wajahnya yang tegas dan tampan. Satu setel kaos lengan panjang berkerah V berwarna biru tua dan jeans hitam menyembunyikan tubuh seorang lelaki yang terbentuk apik, tanpa adanya tambahan lemak di bagian yak tak perlu. Dan mata onyx itu... mata onyx itu... Naruto merasa ia bisa mencelupkan kuas ke dalamnya dan mewarnai malam dengan itu.

"Na-Naruto Uzumaki... salam kenal," gumam Naruto gugup, seraya mengangsurkan tangan kanannya, mencoba memulai perkenalan dengan Uchiha muda yang duduk dengan pose angkuh di hadapannya itu. Sementara Tsunade masih sibuk membawa keluar toples-toples berisi kacang oven dan nastar untuk cemilan.

"Hn. Aku Sasuke,"

Titik. Tidak bersambung. Tidak ada ending yang lebih panjang. Tidak ada tangan terjulur untuk membalas tawaran jabat tangan dari Naruto. Bahkan tidak ada sambutan untuk kaastengel berbau harum yang tadi dibawa keluar oleh Tsunade.

Dan tanpa sadar, jawaban dari sang pria penghuni lukisan itu memacu urat murka Naruto muncul ke permukaan, lagi setelah sekian lamanya.

"Hei! Kau ini benar-benar tidak sopan ya! Setidaknya balas jabat tanganku! Berasal darimana sih kau ini? Ibumu tidak pernah mengajarimu sopan santun ya?!" geram pemuda pirang itu marah. Tas ranselnya ia banting ke sofa di seberang Sasuke dan ia mulai berjalan mendekati pemuda Uchiha itu, berniat untuk menegur lebih lanjut jika tidak ada itikad baik darinya untuk membalas salamnya dengan lebih sopan.

"Cih, kau saja yang terlalu bersemangat," sahut Sasuke cuek, lalu menopang dagunya dan membuang muka ke arah yang berlawanan.

"Apa kau bilang?! Kau saja yang tidak berpendidikan!" Naruto mengepalkan tangan, bersiap hendak melayangkan 'sedikit' pelajaran kalau jawaban berikutnya sama jeleknya.

"Kau tidak bisa menyebut mahasiswa fakultas hukum dari Universitas Konoha tidak berpendidikan, dobe," jawab pemuda bermata onyx itu tenang. Dan dengan jawaban ini, Naruto benar-benar murka.

"APA?! Teme! Beraninya kau menyebutku seperti itu!" refleks kepalan tangannya terangkat tinggi, siap menghantam wajah porselen pemuda raven yang bahkan tak memalingkan wajah sama sekali. Namun tepat sebelum jari-jari penuh amarahnya menyenth pipi Sasuke, sebuah tangan menahan bogem Naruto.

"Ehem, Naruto, baik-baiklah ya, dengan teman barumu..." ujar Tsunade manis, namun tetap saja membuat Naruto mengkeret gara-gara senyuman menakutkannya plus deathglare gratis sang ibu kos yang selalu berhasil membuat penghuni kosnya pulang sebelum jam malam.

"Tapi Tsunade-baachan!"

"Tidak ada tapi-tapian! Dengar! Sasuke-kun ini adalah anak salah satu anggota parlemen! Dan, ehem, karena satu dan lain hal, ia terpaksa pindah ke kos ini. Nah, sebagai teman kamar sebelahnya kau wajib membantunya dan memperkenalkannya dengan lingkungan sekitar!"

Naruto mengeluh, perintah yang sama mengerikannya dengan vonis penjara seumur hidup baru saja dijatuhkan. Mutlak tanpa bisa ditolaknya karena sebagai saudara jauh, Tsunade telah mengijinkannya untuk membayar setengah saja biaya kos. Mengerikan, kalau Naruto tahu dengan diskon 50% itu ia telah menjual jiwanya pada setan ia tak akan keberatan membayar penuh.

"Aku tidak mau disuruh bareng anak berisik ini!" Sasuke menolak dengan tegas. Naruto menyambar kesempatan itu.

"Tuh kan! Dia juga tidak mau! Suruh siapa kek! Suruh saja Kankurou, atau Idate! Dia pasti juga lebih nurut!" protes Naruto jengkel.

"Mereka sudah bekerja Naruto," elak Tsunade.

"Memangnya dia tidak bisa memperkenalkan dirinya dan mulutnya yang sok itu sendiri pada lingkungan ini?"

"Paling tidak kau bisa menunjukkannya tempat-tempat penting di sekitar sini, Naruto. Ingat, dia baru datang"

"Tapi itu kan..."

"Hmm?"

"Tapi..."

"Hmmm??"

Naruto membuka mulutnya lagi untuk memprotes, namun ditutupnya lagi. Yah, ia kehabisan alasan.

"Baiklah, baiklah Tsunade-baachan! Aku kalah!", seru Naruto sambil mengangkat tangan. Sasuke hanya diam saja tanpa mengatakan apa-apa. Baiklah, baiklah, fine. Yang penting ia sudah setuju, soal cowok-cakep-luarnya-saja-tapi-berkepribadian-minta-ampun itu setuju atau tidak bukan urusannya. Tsunade mau tak mau tersenyum puas.

"Tapi pertama-tama, pindahkan dulu mobilmu, teme!"

Suara gemerincing kunci mobil dilemparkan ke jidat Naruto. Satu kepalan tangan terangkat, satu deathglare, dan Naruto akhirnya pergi memindahkan Jazz hitam itu persis ke sebelah bak sampah, di luar halaman kos, hanya untuk pergi sebentar ke luar membeli tambahan stok ramen instan.

Terlupakan sudah niatnya untuk keluar dari rutinitas.

TO BE CONTINUED...

*

(1) Jangan diusut apakah ada lukisan jaman Renaissance yang mirep Sasuke -_-a

OK. Maaf kalo ngebosenin, emang belom masuk konflik. Huhuhu, maafkanlah diriku yang abal ini TwT Review please, if you don't mind?

/

\

/

\

V