Apocalypse (meaning un-covering), translated literally from Greek, is a disclosure of knowledge, i.e., a lifting of the veil of revelation. While in religious contexts it is usually a disclosure of something hidden. In the "Revelation of John", the last book of the "New Testament", the revelation which John receives is that of the ultimate victory of good over evil and the end of the present age. Nowadays, apocalypse is commonly used in referance to any prophetic revelation or so-called End Time scenario, or to the...—

—end of the world.

.

.

.

Fandom: Kuroko no Basuke/Kuroko no Basket

Jumlah kata: 2.013 kata

Chapter: 1/?

Summary: Bumi terkepung. Para zombie bermunculan dari dalam tanah, tak terhitung banyaknya. Nasib umat manusia ada di ujung tanduk. Namun beberapa manusia berani maju, mempertaruhkan nyawa mereka demi keselamatan umat manusia. Tetapi, tentu saja, harus ada harga besar yang dibayar: sebuah pengorbanan. Berpacu melawan waktu, takdir yang memilih bagaimana kisah ini berakhir.

Genre: Adventure/Suspense/Sci-fi/Romance/Drama

Warning: (possibly) OOC. Zombie-war!AU. Future. Yaoi/BL. Dramatic and cheesy.

Disclaimer: Kuroko no Basuke/Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi. Cover © Owner (picture shared on Twitter). Penjelasan mengenai apokalips diambil dari Wikipedia bahasa Inggris. Tidak ada keuntungan materil yang diperoleh dari membuat ataupun mempublikasikan fanfiksi ini. Fanfiksi ini dibuat hanya berdasarkan tujuan kepuasan pribadi.

.

.

.

Apocalypse


Tokyo, 24 November 2999

Seharusnya semua kejadian ini tidak terjadi. Seharusnya sore itu menjadi sore yang damai, seperti sore-sore sebelumnya. Tidak ada yang salah dengan dunia. Lagipula, kekotoran dan kebengisan umat manusia di Bumi telah dianggap sebagai sesuatu yang lazim adanya. Mungkin tanpa sadar manusia telah menerima sisi gelap itu sebagai bagian dari kehidupan. Padahal mereka selalu mengelu-elukan persamaan derajat, keadilan, dan perdamaian dunia. Ah, manusia memang hipokrit.

Saat itu, pukul lima lebih tiga menit waktu Tokyo. Semua orang sedang melakukan kegiatan mereka seperti biasa. Lalu tiba-tiba tanah bergetar. Getarannya sangat keras, sangat kuat, hingga gedung-gedung pencakar langit yang amat kokoh itu bergoyang berbahaya. Orang-orang mulai panik mencari keselamatan. Gempanya bertahan selama lima menit sebelum mulai mereda. Orang-orang pun kembali tenang. Itulah kesalahan terbesar mereka.

Saat itulah insiden mengerikan itu terjadi, awal dari segalanya...

Dari tanah yang retak, keluar tangan-tangan kurus, yang sangat putih dan berlendir, ada yang hampir berbentuk tulang-belulang semata. Perempuan menjerit sekeras-kerasnya dengan suara melengking mereka. Laki-laki menatap dengan horor, ada yang berlari menjauhinya. Semua orang dicekam ketakutan, ketakutan terbesar yang terkubur dalam diri manusia.

Fear of the unknown.

Ini bukan mimpi. Ini bukan film. Ini bukan legenda. Ini memang benar terjadi. Dari tanah, keluarlah tubuh-tubuh kurus kering berlendir dengan berbagai bentuk tak karuan, sangat mengerikan. Ada yang bola matanya tergantung, terjuntai di sisi kepalanya. Ada yang datang sambil menyeret kakinya yang patah. Ada yang melambai-lambaikan tangannya yang terputus. Ada yang tanpa kepala, sedikit darah segar masih menetes dari lehernya.

Zombie. Serangan zombie seperti yang diramalkan. Awal dari pesta sebuah genosida, akhir dari umat manusia.

Dengan segera, semua orang berlari tunggang langgang menyelamatkan diri. Jeritan menggema di seantero kota. Korban mulai berjatuhan. Zombie-zombie itu melahap segala yang ada di hadapannya tanpa pandang bulu. Darah bermuncratan di mana-mana. Pemandangan yang mengerikan. Hanya dalam beberapa jam, populasi manusia dibabat habis. Beberapa yang berhasil selamat melarikan diri ke dalam Cage.

Cage adalah kota militer di sisi kota Tokyo yang diciptakan oleh pemerintah Jepang sebagai pertahanan terhadap serangan negara lain. Saat itu Jepang merupakan negara termaju di dunia, sehingga banyak negara yang mengincar Jepang. Apalagi setelah rakyat dunia mengambil titel 'Negara Superpower' milik Amerika Serikat dan memberikannya kepada Jepang. Para militan terpilih dilatih di sini untuk persiapan menghadapi perang. Saat ini, Cage cukup kosong karena para militan telah disebar ke beberapa daerah di Jepang.

Aomine Daiki adalah salah satu dari orang yang berhasil menyelamatkan diri. Ia bersama kekasihnya, Kise Ryouta, termasuk dari beberapa orang beruntung yang berada jauh dari jangkauan zombie saat serangan terjadi. Akhirnya dengan susah payah, Aomine dan Kise sampai di Cage dengan selamat.

Aomine melirik Kise di sebelahnya. Pemuda itu tampak gemetaran. Dari tadi ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, bibirnya sedikit mengisak. Air mata mengalir pelan menuruni pipinya yang mulus. Kise memang pemuda yang melankolis, kadang cengeng sekali, karenanya ia amat mudah meneteskan air mata.

Aomine mengelus kepala Kise. Yang bersangkutan menoleh dan memandang Aomine dengan matanya yang sembab dan bengkak, menyembunyikan kilau sesungguhnya. "Tenang, Kise. Aku akan mengeluarkanmu dari semua ini. Kita akan selamat," ujarnya. Ia menarik tubuh Kise mendekat dan mendekapnya.

Kise tampak terkejut sebelum ia memeluk erat Aomine, beristirahat di dada pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya tersebut.

"Terima kasih, Aominecchi. Aku percaya padamu..."


"Jadi, Aominecchi, habis ini kita mau ke mana?" tanya Kise. Ia menatap Aomine dengan intens, senyum melebar di wajahnya yang manis.

Aomine menggaruk kepalanya dan memasang ekspresi berpikir. "Hmm, ada tempat yang ingin kau tuju?" ia bertanya balik.

"Eh? Aku?" tanya Kise sambil menunjuk dirinya. Aomine mengangguk. Kini giliran Kise yang memasang ekspresi berpikir. Lalu seketika wajahnya menjadi cerah. "Bagaimana kalau ke pantai?" serunya.

Aomine menimbang tawaran Kise sebelum ia menoleh pada kekasihnya itu dan tersenyum, berkata, "Tentu saja."

Aomine dan Kise berjalan bergandeng tangan. Terkadang mereka saling melempar kelakar dan tertawa bersama, bersikap layaknya remaja yang dimabuk cinta. Kenyataannya, mereka berdua adalah pria yang telah memasuki usia dua puluh empat tahun. Kira-kira sudah sepuluh tahun Aomine dan Kise memadu kasih. Berbagai rintangan telah mereka hadapi, terutama karena ketidakpekaan Aomine dan sifat sentimentil Kise, tapi mereka selalu berhasil melewatinya.

Kise tersenyum menatap Aomine. Ia menggenggam tangan Aomine lebih erat. Aomine menatapnya juga, dan ia merangkul bahu Kise dan menariknya mendekat, membawanya dalam sebuah dekapan hangat.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, sepasang kekasih itu akhirnya sampai di tempat yang dituju. Di pantai Enobizaka di tepian kota Tokyo.

Pantai Enobizaka adalah pantai artifisial. Di masa lalu mungkin disebut bendungan, tapi Enobizaka benar-benar sebuah pantai. Pantai yang berair asin dan memiliki ekosistem laut. Pemerintah Jepang memutuskan untuk membuat pantai ini sebagai bentuk pelestarian kekayaan alam, untuk mencegah tragedi dunia beberapa abad lalu yang diakibatkan oleh rusaknya sembilan puluh lima persen kekayaan alam dunia.

Saat itu pantai Enobizaka sedang sepi. Hanya beberapa orang berkepentingan yang ada di sana. Sepertinya tidak ada yang hanya sekedar berjalan-jalan saja seperti Aomine dan Kise.

Kise tersenyum pada Aomine dan menjejaki pasir putih di pantai itu. Perasaan halus yang ada di dasar kakinya seakan menggelitikinya. Ia mengeluarkan tawa lepas selagi angin membelai rambutnya lembut. Aomine menatap kekasihnya dari kejauhan. "Aku memang beruntung," gumamnya.

Ya, Aomine memang patut merasa beruntung. Kekasihnya adalah kekasih terbaik sedunia. Kise tampan, baik, lemah lembut, dan sangat pengertian, walaupun kadang ia bisa menjadi sangat cerewet dan cengeng. Tapi Aomine tetap mencintainya. Kise selalu merawatnya, tak peduli seberapa menyebalkan atau keras kepalanya Aomine itu. Bersama dengan Kise adalah berkah terindah dalam hidupnya, menurut Aomine sendiri.

"Aominecchi, apa yang kau lakukan? Jangan bengong saja, ayo sini!" seru Kise dari kejauhan, melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum lebar.

Aomine tersenyum dan mendekati Kise yang, setelah ia sadari, berada di laut. Aomine melepas sepatunya dengan cepat dan melipat celananya hingga sebatas lutut, lalu berlari menuju Kise. Sebuah senyum lebar dan ia memeluk Kise dari belakang, erat sekali, sehingga Kise sempat berpikir ia akan mati kehabisan nafas.

"Aominecchi sampai sebegitu rindunya ya, denganku?" goda Kise sambil tertawa.

Aomine hanya tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Kise. Ia memberikan ciuman ringan di leher, telinga dan pipi Kise, membuat sang pemilik surai pirang itu merona.

"Bagaimana mungkin aku rindu kalau kau sudah menjadi milikku, eh?" bisik Aomine lagi di telinga Kise, membuat wajah kekasihnya makin merah padam.

Aomine memeluk erat Kise dan memutarnya. Dalam hati ia berpikir apakah kekasihnya ini turun berat badan lagi, karena ia terasa begitu ringan. Kise protes minta diturunkan, tetapi tidak berusaha agar Aomine menurunkannya. Pada akhirnya, mereka berdua tertawa bersama, menikmati semilir angin sore dan menunggu matahari terbenam.

Kise menatap Aomine yang sedikit lebih tinggi darinya. Nafasnya sedikit mengepul menjadi uap hangat yang menggelitik hidung Aomine. Mata mereka terpaku pada satu sama lain. Dua pasang manik jernih yang berkebalikan, namun terlihat indah bersama.

Kise sedikit berjinjit untuk menyeimbangkan tingginya dengan tinggi badan Aomine. Mata keemasannya perlahan menutup saat ia mendekatkan bibirnya dengan bibir Aomine. Tangan Aomine memegangi leher Kise, menyangganya. Bibir mereka akan bersentuhan dalam satu sentimeter lagi, saat...

"GEMPA!"

"MENJAUH DARI LAUT!"

Aomine dan Kise membuka mata. Kise yang limbung karena getaran tanah dengan cepat ditangkap oleh Aomine. Setelah menggumamkan ucapan terima kasih, ia dan Aomine segera menjauh dari pantai. Walaupun Enobizaka adalah laut artifisial, tapi luasnya sangat besar, dan gempa besar bisa mengakibatkan tsunami walaupun tidak begitu besar.

"Aominecchi, kita ke mana?" tanya Kise.

Aomine menoleh ke arah orang-orang dengan cemas. "Kita ikuti saja orang-orang. Pokoknya kita harus ke tempat tinggi dulu," jawab Aomine.

Aomine dan Kise mengikuti arus orang-orang yang berlari. Tetapi mereka sepertinya tidak menuju ke daerah tinggi. Aomine sepertinya menyadari ini dan bertanya kepada seorang pemuda yang berlari di sampingnya, "Hei, kita mau ke mana? Bukannya kita harus ke bukit atau tempat tinggi? Memang di kota ada apa?"

"Kau tidak lihat? Di kota banyak zombie! Kita harus masuk ke Cage agar bisa selamat!" serunya dengan wajah ketakutan dan berlari lebih cepat.

Aomine beradu tatap dengan Kise yang sama bingungnya. "Zombie? Kupikir mereka hanya ada di film?" tanya Kise.

Aomine hanya dapat menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi sebaiknya kita percaya mereka—"

"ZOMBIE DI BELAKANG! CEPAT!"

Sebuah teriakan menggema. Serentak ratusan kepala menoleh ke belakang, hanya untuk melihat sebuah pemandangan mengerikan. Para zombie berjalan terhuyung-huyung, tubuh mereka berlendir, dengan anggota tubuh yang tak lengkap. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan dimana-mana, dengan anggota tubuh yang terobek, digigit dan dimakan beramai-ramai oleh puluhan zombie. Yang lainnya kembali mencari mangsa.

Pikiran Aomine berubah putih. Ia menggandeng tangan Kise dan segera membawanya berlari. Jauh, jauh terus ke depan. Mencoba menulikan telinga akan jeritan-jeritan putus asa menanti kematian di belakangnya.

Kise juga sama. Ia merasa mati rasa. Ia seperti dalam stat tidak sadar. Baru saat ia berhenti di depan gerbang Cage, ia mulai bisa merasakan bumi yang dijejaknya. Kesadaran mengambil alih, dan ia mulai merasakan gelombang ketakutan yang amat besar. Ia menggigil. Pemandangan terakhir yang ia lihat sebelum dinding besar Cage melindunginya adalah seorang pemuda yang dimakan zombie dengan ganas, dan itulah yang meruntuhkan pertahanan diri seorang Kise Ryouta.


"—se..."

"Kise..."

"Kise!"

Kise membuka matanya dengan tiba-tiba. Bola matanya bergerak liar, melirik ke kanan dan ke kiri sebelum menambatkan pandangan pada sosok kekasihnya yang khawatir tepat di hadapannya. Nafasnya yang memburu kini mulai teratur kembali.

"Ao...mine...cchi?"

"Kau kenapa, Kise? Kau sakit?"

"Eh? Memangnya aku kenapa?"

Aomine menatap kekasihnya dengan tatapan sangat cemas. Hari sudah malam, dan setidaknya para pengungsi bisa sedikit merasa aman di dalam Cage. Di sebuah barak, Aomine dan Kise tidur. Tapi sebelum tidur Kise meminta untuk tidur bersama Aomine. Melihat orang yang dicintainya yang tampak trauma, tentu saja Aomine tidak sampai hati untuk menolak.

Pukul dua dini hari, yaitu beberapa menit lalu, Aomine terbangun oleh gemetar kekasihnya yang ada dalam dekapannya. Keringat membasahi tubuh Kise, dan matanya yang mengatup bergerak-gerak liar dalam tidurnya. Lenguhan dan erangan terdengar dari bibir merah mudanya. Akan tetapi yang paling menyakitkan hati Aomine adalah ekspresi wajah Kise. Ia tampak sangat ketakutan, sangat merasa tidak aman. Karena itu ia berusaha membangunkan Kise.

"Ah, tidak. Aku hanya... mimpi buruk..." lirih Kise. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha melupakan detail-detail penyerangan zombie yang terjadi di mimpinya. Bagaimanapun juga itu lebih tepat dikatakan mengulas kembali kenangannya, karena mimpinya adalah kenyataan yang baru saja terjadi padanya.

Aomine menatap kekasihnya nanar. Ia tidak mengerti, mengapa Tuhan memutuskan bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk menghapuskan keberadaan manusia? Di saat ia dan Kise sedang dalam masa bahagia? Aomine tampaknya tak bisa menemukan jawabannya.

Pada akhirnya, yang bisa Aomine lakukan hanyalah menghela nafas dan menarik Kise ke dalam dekapannya. Ia mengelus kepala Kise dan mengecup keningnya lembut. "Shh... Tidak apa-apa, ada aku, Kise. Ayo tidur lagi. Tenang, ada aku di sini," bisiknya.

Kise mengangguk dan kembali berbaring, bergelung di dalam dekapan Aomine. Tangannya yang masih gemetaran digenggam oleh Aomine. Akhirnya, perlahan-lahan gemetarnya berhenti. Nafas Kise kembali tenang. Aomine, seperti seorang kakak, mengelus kepala Kise hingga pemuda bersurai pirang itu kembali ke alam mimpi.

Aomine merasa tidak terlalu mengantuk sekarang. Ia menatap wajah Kise lekat-lekat. Padahal baru beberapa jam lalu ia masih bisa melihat kedamaian di wajah rupawan itu. Tapi rupanya Tuhan memutuskan bahwa mungkin asyik dengan mengusili manusia dan mendorong mereka dalam ketakutan yang mencekam.

Aomine kesal. Aomine marah. Aomine benci. Aomine tidak mengerti. Mengapa harus sekarang? Mengapa harus manusia? Mengapa harus ia dan Kise?

"Aominecchi..."

Aomine sedikit tersentak dan menatap Kise lagi. Sekarang, sebuah senyum kecil terulas di bibir seperti buah plum itu. Aomine ikut tersenyum. Benar. Kise masih di sisinya. Seharusnya ia bersyukur. Karena hanya dengan presensi Kise di sisinya, Aomine dapat bertahan. Aomine dapat berjuang. Bukan hanya untuknya, tapi untuk mereka berdua.

"Selamat tidur, Kise. Teruslah bersamaku, ya...?"

Sekali lagi, masih ada beberapa manusia yang masih bisa menikmati malam mereka dengan tenang, menunggu takdir untuk hari esok yang menghadang.

.

Di sebuah ruangan gelap yang hanya berpenerangan dari komputer-komputer canggih yang menampilkan serangkaian rumus aneh, seorang lelaki duduk di singgasananya. Jaring-jaring bayangan menghalanginya sehingga sosoknya hanya siluet.

"Dunia sudah tahu apa yang dinamakan ketakutan. Sebentar lagi, rencanaku menuju penciptaan dunia baru akan tercapai lebih cepat dari sambaran kilat. Ahahahaha!"

Di luar, kilat menyambar, memberikan cahaya sekilas pada ruangan gelap itu. Di ruangan yang seperti ruang bawah tanah manor tua itu, sepasang mata merah berkilat-kilat jahat. Tawanya bergema di seluruh gedung itu, menggetarkan hingga ke sumsum tulang dengan hawanya yang menyesakkan.

Di luar sana, para zombie berkumpul seakan tunduk padanya.


—To Be Continued.


A/N:

Hai, semuanya~

Shana lagi di sini, kali ini lagi mencoba genre baru dan juga tema baru yang saya rasa jarang dipakai, ya?

Jadi, sebenarnya saya publish fic ini untuk memperingati sebulan kejadian "jadian bohongan"nya kak pilong. Happy fake mensiv, kak pilong! Semoga tetap langgeng dengan cinta terlarangnya, ya. Dan ingat, hidup harus memilih, gak boleh foursome!

Tapi alasan tadi bukan sepenuhnya motivasi saya. Kebetulan saya lagi pengen banget coba semua genre yang ada dan ini salah satu karya (nekat) saya, jadi... ampun jangan timpukin saya karena publish sembarangan! Soal kualitas, well, saya gak tau karena genre semacam ini bukan keahlian saya. Jadi, pendapat anda gimana?

Terakhir, terima kasih telah membaca. Sampai bertemu di chapter berikutnya~