A/N: Aku publish ulang fiksi ini karena banyak sekali typo. Aku lupa kalau harus mengecek fiksi ini waktu itu. Jadi, selamat membaca! ^^
Takdir
Story © Hana-d'ichi
Disclaimer © Masashi Kishimoto
.
GaaSaku Fict
Warning: AU, OOC, typo,Gaara POV *this chapter*
.
Bagaimana rasanya mencintai tapi tak dicintai? Pasti rasanya sakit, apalagi yang dicintainya adalah sahabat sendiri. Tapi, satu tragedi, bisa membuat Sakura cinta kepada Gaara.
.
Enjoy it
Don't like, don't read
.
Aku melihat dua sahabatku, atau tepatnya sepasang kekasih yang serasi di hadapanku. Dari atas balkon kamarku, kulihat mereka tengah tertawa lepas sembari berangkulan.
Kulihat, pemuda berambut merah, sama sepertiku. Bermata hazel, berwajah imut, tengah menggoda gadis yang… uh kucintai itu.
Kuakui, Sasori, pemuda yang berstatus sebagai sahabatku dan kekasih dari Sakura, gadis yang kucintai, memang cocok untuk Sakura. Dengan wajah tenangnya, dia memikat seluruh gadis, tidak sepertiku. Memasang tampang poker face memuakkan ini.
Sasori memang lelaki idaman. Uang? Jangan tanya lagi, ayahnya adalah pemilik perusahaan terbesar di Suna, Akasuna Company. Tampang? Wajah manisnya itu pasti sudah membuat para gadis menjerit. Hati? Oh, dia sungguh pemuda yang baik hati.
Hatiku terasa pilu, melihat kedua insan yang tengah memadu kasih dengan cara tertawa lepas dan bermesraan. Cara yang unik.
Kedua tanganku meremas pagar pesi yang membatasiku, tapi tak mungkin pagar itu remuk seperti hatiku yang remuk ini.
Aku memutuskan untuk pergi dari balkon itu. Membiarkan mereka bergembira, takutnya aku malah mengganggu, lagipula mungkin ini bisa menenangkan jiwaku sekarang.
Aku terus melangkahkan kaki keluar dari kamarku, kulihat jam yang bertengger di dinding. Sudah pukul empat sore. Aku tak menghiraukan waktu yang masih berjalan, aku terus melangkah tak tentu arah.
Mungkin, tujuanku kini ialah dapur. Kulihat, Temari-nee, kakak perempuanku sedang asyik bertelepon dengan Shikamaru—pacarnya sambil mengaduk-aduh jus jeruk. Dasar, kalau mau bertelponan dia selalu salah memilih tempat.
Aku melewatinya dan berjalan menuju kulkas, kubuka kulkas itu dan mengambil sebotol air putih dingin. Kuharap, dinginnya air ini bisa mendinginkan kepalaku. Kuteguk air itu langsung dari botolnya sampai habis, ya karena airnya cuman tinggal sedikit.
"Hey, Gaara!" kudengar suara lembut Temari-nee menyapaku. Aku menoleh padanya.
"Apa?" tanyaku dengan tampang yang lagi-lagi, tampang sok datar memuakkan ini. Tanganku menutup pintu kulkas, tapi mataku tak lepas menatap kakak perempuanku itu.
"Kau terlihat murung?" tanyanya, tepat sasaran.
"Hum, sejak berpacaran dengan, Shikamaru, kau lebih bisa membaca pikiran orang ya?" tanyaku mengejek.
"Hey, Gaara~, ayolah, kau tak mau cerita?" tanya Temari-nee sambil memutar bola matanya bosan.
"Aku bukan anak kecil atau seperti para gadis yang selalu bercerita tentang keluh kesahnya, huh," sekali lagi, aku tak bisa menghilangkan raut memuakkan ini dari wajahku. Kami-sama, ada apa denganku?
"Ya sudahlah," ujar Temari-nee, kulihat ponselnya sudah mati. Temari-nee langsung berdiri dan meraih ponselnya yang kehabisan baterai, kemudian pergi.
Aku seorang diri sekarang, dengan langkah lesu aku berjalan keluar rumah, menghirup udara segar yang berasal dari taman yang selalu di rawat Kaasan.
Langkahku terhenti seketika, ketika dua insan yang tadi memadu kasih dengan cara unik itu, menghampiriku.
Ugh! Pemandangan perih ini lagi.
Mereka berdua berangkulan, atau tepatnya Sasori yang merangkul Sakura.
"Oi, murung amat?" tanya Sasori padaku.
"Kau tak perlu tahu," jawabku Sakura yang ternyata sedang menatapku.
"Gaara, apa kamu mau ikut dengan kami? Kami mau jalan-jalan keliling Suna nih, sepi kalau tidak ada kamu. Awalnya hanya kami berdua yang akan ikut, tapi ketika ingat ada kamu. Jadi kami—"
"Yap, aku ikut," ujarku memotong ceracauan Sakura.
"Baguslah," ujar Sakura menanggapi.
"Pakai mobil siapa?" tanyaku.
"Mobilku, lagian apa kau tak ingat, Gaara. Mobilmu sedang ada di bengkelkan?" Sasori mengingatkanku tentang kejadian minggu lalu. Mobilku tak sengaja menabrak pagar pembatas jalan tol. Oh, bodohnya diriku.
"Ok, ayo berangkat!" seru Sakura sambil mengacungkang tinjunya ke udara. Aku tersenyum tipis melihatnya sesemangat itu.
Sakura meraih tangan Sasori dan tanganku, lalu langsung menarikku dan Sasori kearah mobil. Entah karena semangat atau apa, kulihat Sakura langsung membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Sasori dengan wajah yang sangat gembira.
Menyebalkannya diriku, harus terikat dengan wajah datar dan tak bisa memperlihatkan semangatku seperti gadis yang kucintai. Aku pun membuka pintu belakang dan duduk sendirian di belakang.
Setelah semuanya beres, mobil pun berangkat. Seperti yang kubilang tadi, aku duduk sendirian di jok belakang. Memandang dua insan yang tengah asyik berbicara di depan. Tidak, kumohon, hentikan pemandangan ini.
Aku memang egois, menginginkan sesuatu yang lebih.
Sakura. Aku hanya ingin itu. Aku tidak menginginkan kekayaan berlimpah atau ribuan penggemar. Aku hanya ingin Sakura yang setia menantiku, mencintaiku, dan memperhatikanku. Menjadi tempat berlabuhnya cintaku dan orang pertama yang kulihat setiap pagi.
Itu memang egois, karena mengingat Sakura sudah menjadi milik sahabat karibku sendiri.
Aku ingin sekali memberitahu orang-orang akan perasaanku yang berkecamuk ini, tapi entah ego atau apa, ragaku tidak menerima keinginan itu.
Andaikan aku berada di sebuah laboratorium, aku seperti tikus percobaan yang akan disuntikkan bahan-bahan kimia. Pasti, tikus-tikus itu ingin menolak, tapi apa daya tubuh mereka tak bisa.
Seperti itulah diriku. Aku memang mirip dengan tikus-tikus menggelikan itu.
Kulirik sepasang kekasih di depanku, mereka sedang asyik membicarakan satu hal.
"Sakura, misalnya nanti kamu ingin dekorasi ruangannya seperti apa?"
"Ah, lebih baik bernuansa musim lebih sederhana."
"Haha, pikiranmu memang sederhana, Sakura. Tapi manis, aku tak sabar memasangkan cincin itu ke jarimu."
"Ah, Sasori, kau berpikir terlalu jauh."
"Itu wajar, kita sudah berstatus tunangankan. Lagipula—"
"Ehem!"
Aku tak kuat lagi mendengar pembicaraan mereka. Tak sadar apa, aku ada di dekat mereka, mereka malah membicarakan hal pribadi. Aku menyesal mau ikut jalan-jalan sore ini. Aku lebih memilih mendengar celotehan Temari-nee atau mendengar Kankurou-nii berkeluh kesah walau itu membuat telingaku panas.
Tapi tak akan sepanas sekarang tentunya.
"Oh, Gaara, ada apa?" tanya Sakura sambil menjulurkan kepalanya ke belakang. Menatapku dengan pandangan heran.
Kucoba tidak menatapnya matanya itu dengan menutup kedua kelopak mataku.
"Tidak ada, kalian terlalu bersemangat saja," jawabku ngawur. Masih kukatupkan kedua mataku, entah Sakura masih memandangiku atau tidak, kucoba untuk tidak peduli.
"Ahaha, Gaara, sampai kapan kau tutup matamu. Kita sudah sampai!"
Kudengar lagi suara lembut itu yang menyapu telingaku, kubuka perlahan mataku dan… mataku bertatapan langsung dengan mata hijau milik Sakura.
"Bisakah kau menjauhkan tatapanmu dariku?"
'Yang bisa membuatku gila!' lanjutku dalam hati. Tak mungkin jika itu kusebutkan di depan Sakura. Aku tak mau menjadi tabu dalam hubungan mereka. Tidak mau.
Sakura terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada raut terkejut atau bersalah. Ucapanku tadi hanya direspon 'Ok!' oleh Sakura.
Sambil mempertahankan wajah datar tanpa ekspresiku seperti biasa, aku keluar dari mobil dan berjalan duluan meninggalkan mereka. Biarlah mereka mengecapku seperti anak kurang sopan atau apa. Aku sekarang benar-benar ingin sendiri.
Sambil berjalan tak tentu arah, aku melihat ada dua orang gadis di dekat danau. Yang satu berambut pirang ekor kuda dan satunya lagi berambut indigo. Aku merasa kenal dengan mereka.
Kutatap dua gadis itu dari jauh, sepertinya kedua gadis itu balas menatapku, terbukti dari wajah mereka yang mengarah kepadaku.
"Hei!"
Kudengar salah seorang dari gadis itu memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya. Aku masih berdiri tegak. Mungkin bukan aku yang dipanggilnya.
Kali ini, dua gadis itu berjalan ke arahku.
"Hei, kau, Gaara 'kan?" tanya gadis yang berambut pirang. Ternyata memang aku yang dipanggil mereka.
"Ya, kalian mencariku?" jawabku sekaligus bertanya. Mungkin ada hal yang penting.
"Itu, kami mencari, Sasori dan, Sakura. Sepertinya kau tahu," jawab si pirang.
"Mereka tadi pergi bersamaku, sepertinya mereka ada di sekitar sini," jawabku asal. Sekarang aku benar-benar ingin menjernihkan kepalaku yang rasanya pusing entah kenapa.
"Oh begitu, kami janjian de-dengan mereka di sini. Ada hal ya-yang penting," ujar yang berambut indigo sambil tersenyum ramah.
"Oh ya, kita belum kenalan. Aku, Ino dan ini temanku, Hinata. Kami wedding organizer dari Konoha yang akan mengurusi resepsi pernikahan, Sasori dan Sakura," ujar Ino—gadis yang berambut pirang sambil tersenyum kepadaku.
Aku memaksakan senyum palsu yang tipis, tak rela rasanya jika aku tersenyum saat mendengar akan dilangsungkannya acara bahagia milik Sasori dan Sakura.
"Mereka memesan sampai ke Konoha juga ya," gumanku.
Pikiranku melayang ke sebuah altar yang dipijaki oleh dua manusia bersama sang pastur.
Si gadis berambut merah muda dengan balutan gaun putih pengantin dan si pria berambut merah dengan balutan tuxedo putih yang membuatnya terlihat gagah. Sementara aku, hanya duduk di kursi sambil memperhatikan mereka mengikat janji sakral itu.
Kucoba singkirkan pikiran itu. Tapi, semakin kusingkirkan, pikiran itu semakin datang.
"Argh!"
Entah kenapa, sekarang giliran kepalaku yang sakit. Kedua tanganku meremas tanganku rambut merahku.
"Ga-Gaara-san, kamu kenapa?" tanya Hinata.
"Ti-dak, a-apa-apa," jawabku tersenggal-senggal. Sungguh, kepalaku sekarang benar-benar sakit.
Kakiku seakan-akan mendadak lemas, tubuhku rasanya lemah sekali.
BRAK!
Kami-sama, ada apa lagi? Apa yang terjadi? Kucoba untuk bangkit, tapi tak bisa.
Pandanganku mulai kelam, apa aku buta?
Kudengan sayup-sayup suara Ino dan Hinata menjerit minta tolong. Dan, setelah semua itu aku tak merasakan apa-apa lagi.
.
.
.
"Gaara, bangun nak!"
"Gaara, ayo. Kamu pasti bisa sehat lagi!"
"Gaara, kami mohon. Sadarlah!"
"Gaara!"
"Gaara!"
Rasanya ada yang memanggilku, kucoba membuka mataku. Kukerjabkan mataku. Aneh, tempat apa ini? Hanya cahaya putih menyilaukan yang ada di sini.
"Gaara!"
Suara itu, aku kenal. Itu suara milik Sakura. Kenapa dia memanggilku?
"Gaara!"
Suara itu lagi. Sakura, aku ada di sini. Sakura!
Aku mencoba mengedarkan pandanganku sejauh mata ini bisa memandang. Tapi, tetap saja, hanya cahaya putih menyilaukan yang ada di sini.
Kucoba untuk mengeluarkan suaraku, tapi entah kenapa rasanya tenggorokanku seperti dicekat.
"Gaara! Kau sadar!"
Tiba-tiba ada seseorang memelukku dengan erat dari kenal suara ini, ini suara Sakura.
"K-kau, Saku-ra?" tanyaku lemah, suaraku pun sangat susah di keluarkan. Kenapa denganku sekarang, Kami-sama?
Kuhirup dalam-dalam udara yang mengitariku dan Sakura. Aroma cherry yang manis kentara di sekitarku. Benar-benar aroma khas milik Sakura. Aku mengenalinya, tentu.
"Gaara, jangan pergi," desis Sakura pelan di telingaku. Suara lembut yang bisa saja membuatku luluh menyapu telingaku dengan lembut.
Kucoba melepaskan dekapannya padaku, "Sa-Saku-ra, l-lepas-kan ak-ku," pintaku memohon. Suaraku masih saja susah untuk keluar.
Sakura melepaskan pelukannya, aku berbalik menghadapnya.
Kutatap emerald penuh rasa ingin tahu dan imut itu, tanganku mulai menelusuri setiap lekuk wajahnya yang manis itu.
Sementara emerald-ku tetap terfokus dengan emerald-nya, mencari sebuah perasaannya padaku. Kulihat, tersirat rasa sedih dan cemas dalam tatapannya padaku.
"Gaara, kamu kenapa? Sadarlah," pintanya pelan. Kulihat, bulir-bulir bening bak kristal itu jatuh dari ekor mata Sakura. Kelopak matanya tak bisa lagi membendung butiran-butiran itu.
Kami-sama, kenapa kau suguhi aku dengan pemandangan ini? Kenapa aku harus melihat Sakura menangis? Aku sungguh tidak tega, Kami.
"Sa-Sakura, ja-jangan mena-ngis," jawabku putus-putus. Kugerakkan lengan kananku yang benar-benar terasa lemas untuk menyeka butiran-butiran yang terus mengalir dari kedua mata indah itu.
"A-aku, su-su-dah sadar k-kok," tambahku.
Keluarlah suara sialan! Aku tak mau bicara tersenggal-senggal seperti ini.
"Bukan itu, sadarlah. Aku tahu, kamu menginginkanku, tapi jangan siksa dirimu seperti ini. Aku tak bisa melihatmu dalam keadaan menyedihkan lagi. Depresi karenaku. Menangis dalam diam karenaku. Aku tak mau, aku benar-benar—"
"Sa-ku-ra—"
"Jangan potong perkataanku, Gaara. Jangan mengelak lagi. Aku bukan untukmu, walaupun kutahu, kita sama-sama menginginkan. Jangan bohongi dirimu lagi, Gaara. Jangan bersembunyi di dalam ekspresi datarmu itu, aku tahu kamu sedih. Aku tahu kamu ingin bersamaku. Tapi, cinta itu tak harus memiliki."
Aku hanya bisa bungkam, kugigit pelan bibir bawahku. Kukepalkan kedua tanganku. Kupejamkan dengan paksa kedua kelopak mataku. Kutulikan pendengaranku. Aku benar-benar tak ingin melihat menangis. Mendengarnya menangis. Jangan!
"Sa-ku-ra, da-dari ma-na ka-kamu tahu i-itu?" tanyaku, kurasakan dadaku mulai sesak. Tak kuat lagi menahan gejolak aneh yang sedari dulu kupendam dalam-dalam.
"Kamu tak perlu tahu, Gaara. Mungkin semuanya bisa kamu bohongi, tapi aku tidak. Matamu selalu menyiratkan kejujuran, aku tahu, tatapan kesal, sedih, kecewa dalam matamu itu!"
Aku benar-benar dibuat bungkam sekarang, bahkan kutak bisa membalas tatapannya padaku. Mataku hanya menatap lurus kebawah.
Tak bisa kubendung lagi, air mataku mulai turun membasahi kedua pipiku. Aku benar-benar payah, hanya bisa menangis. Aku bukan seorang lelaki tegar yang diinginkan bukan? Mana ada para gadis mau dengan lelaki cengeng sepertiku?
"Gaara."
Kudengar, Sakura bersuara kembali. Kuangkat kepalaku, kuperlihatkan air mataku yang tengah mengalir deras. Kudua bibirku terus kukatupkan, tak siap dan tak bisa menjawab setiap tutur kata yang akan kudengar selanjutnya.
Kami berdua terdiam, mataku mendelik ke arah lain. Menghindari tatap mata itu. Tak ada satu patah kata yang kuucapkan. Sakura pun sama, dia masih menangis diam.
"Sakura!"
Kudengar, suara yang lain mendatangi kami berdua. Sekali lagi mataku mendelik, melihat asal suara.
Kulihat, Sasori tampak mengulurkan tangannya kepada kami. Menunggu siapa yang menyambut uluran tangan itu.
Kuarahkan tatapanku kepada Sakura. Kemudian menuju telapak tangannya. Dengan pelan, kuraih tangannya itu.
"Sa-kura, ten-nang sa-ja, aku ta-tak ak-akan sedih la-lagi," ujarku. Kuletakkan kedua telapak Sakura ke uluran tangan Sasori.
"Gaara! Kau—"
Sasori menemukan siapa yang menyabut uluran tangannya. Kemudian, dia melayang tinggi sambil membawa Sakura.
"Semo-ga ka-kau bahagi-a!" seruku pelan. Kucoba tersenyum tipis. Dan dibalas senyum miris Sakura.
"GAARA!"
.
.
.
"ARGH!"
"Gaara, kau sudah sadar nak!"
Dimana ini, ini bukan tempat yang tadi. Ini, di… kamarku!
Kurasakan tangan lembut yang kuat menggenggam telapak tanganku.
Kumenoleh pelan.
"Kaasan," gumanku lirih.
Tampak, seorang wanita cantik berambut berambut pirang agak kecoklatan sebahu, menatapku cemas.
"Gaara, bagaimana keadaanmu, nak," Kaasan masih menatapku cemas. Kilatan panik itu tak bisa terhapus dari mata indahnya.
"Sudahlah, Kaasan, Gaara baru bangun. Biarkan dia istirahat dulu, Kaasan," sekarang giliran Temari-nee yang menyahut. Kulihat, dia memegang pundak Kaasan yang masih menatapku cemas.
"Temari," Kaasan hanya mendesah pelan, tangannya memegang tangan Temari-nee yang berada di pundaknya.
Aku hanya diam sambil memandangi dua perempuan di hadapanku. Seakan mulutku terkunci dan tak diizinkan untuk mengucapkan kata.
"Gaara, sekarang bagaimana keadaanmu?" tanya Temari-nee pelan.
"Cukup baik," jawabku parau.
Kulihat, sekarang senyum manis terkembang dengan manisnya di bibir Kaasan. Tapi kilatan cemas itu hanya berkurang sedikit. "Oh, ."
"Kaasan, Temari-nee, aku mau tanya sesuatu. Ke-kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di tempat wisata Suna?" tanyaku pelan.
"Sakura dan Sasori yang membawamu ke rumah, Gaara. Kau itu pingsan selama tiga hari," jelas Temari-nee.
"Tiga hari? Pingsan?"
"Iya, dokter, kamu terlalu… banyak pikiran, apa benar, Gaara?" jawab Temari-nee sekaligus bertanya padaku.
Aku terdiam, aku tidak mungkin memberitahu akan beban pikiran yang kupikul. Takutnya, nanti Kaasan dan yang lain cemas. Dan, bisa saja Sasori dan Sakura pisah karenaku. Itu tidak akan terjadi.
Lagipula, dokter mana yang bisa tahu aku banyak pikiran? Tapi, sepertinya kata dokter itu hebat dan tepat sasaran. Aku memang banyak pikiran.
"Gaara?" panggil Kaasan.
"Aku… tidak apa-apa," jawabku mengelak.
"Tapi, Gaara—"
"Tidak apa, Kaasan. Kaasan percaya saja," ujarku lagi. Kaasan tampak tersenyum—walau terpaksa.
TING! TONG!
"Ah, ada tamu, Temari, coba lihat siapa yang datang," ujar Kaasan kepada Temari-nee.
"Um," Temari-nee hanya mengangguk lalu pergi melihat siapa yang datang. Dan meninggalkanku bersama Kaasan.
"Gaara, ingin Kaasan temani?" tawar Kaasan kepadaku. Aku menggeleng lemah. Mataku tertuju ke bawah.
"Kau yakin?" tanyaKaasan lagi.
Aku mengangguk, kulirik jam yang bertengger di dinding kamarku yang bercat coklat krem. "Kaasan, sudah hampir malam. ApaKaasan sudah memasak makan malam?" tanyaku.
Sontak, kulihat Kaasan langsung membelalakkan matanya. "Astaga! Kaasan belum memasak apapun. Kankurou juga sebentar lagi pulang!" seru Kaasan sambil berdiri. Kedua tangannya meremas rambut pirang kecoklatannya itu dengan gemas.
"Gaara, Kaasan harus ke dapur untuk menyiapkan makanan dulu, tidak apa-apakan?" tanya Kaasan cepat.
Aku mengangguk lagi. Tampaknya, Kaasan meninggalkanku dengan terpaksa. Sebelum menutup pintu kamar, Kaasan berhenti dan melirikku sebentar, aku mencoba memberikan senyum kepada Kaasan.
Kaasan hanya menghela napas kemudian pergi, dan…
Blam!
Pintu tertutup dengan rapat.
Tinggallah aku di sini sendirian, sepi senyap. Hanya bunyi detik jam yang terus berjalan dan bunyi hembusan napasku.
Payah. Aku memang lelaki payah. Menangis karena cinta. Depresi karena cinta. Aku layaknya seperti seorang gadis yang patah hati. Memalukan dan menggelikannya diriku, tak bisa berbuat banyak.
Harusnya aku sadar, tak perlu menangis lagi. Sakura bukan milikku lagi. Dia milik Sasori, sahabat kecilku.
Tak pernah kusangka, perasaan pedih yang kusimpan dalam-dalam ini menguar keluar dari tubuhku. Membuatku lemah, payah.
Aku ini laki-laki. Tak boleh cengeng, aku harus sadar. Tak selamanya bukan, cinta harus memiliki? Seperti kata-kata Sakura dalam mimpiku.
"…Tapi, cinta itu tak harus memiliki."
Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku bisa saja pergi dari Suna untuk menghindari permasalahan ini. Dan wajar bila orang-orang menyebutku pengecut. Lari dari masalah yang kubuat sendiri.
Salahku menyimpan rasa dengan Sakura. Salahku memendam rasa ini hanya karena satu kata yang memuakkan. 'Jaim', kata itu yang membuatku kalah mendapatkan Sakura. Salahku selalu bersikap dingin dengan Sakura.
Itu semua salahku!
"ARGH!"
Sekali lagi, aku mengerang keras sambil meremas selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhku.
"Gaara?"
Suara itu lagi? Suara lembut itu lagi? Uh, kapan aku bisa tenang?
"Gaara, kau kenapa?" tanya si pemilik suara cemas, kulirik orang yang berada di ambang pintu. Ternyata aku benar, itu Sakura.
Aku tak menjawab, lebih memilih bungkam daripada mengeluarkan suara yang bergetar ini. Sakura adalah orang yang mempunyai perasaan yang kuat. Aku tahu itu.
"Hey, Gaara~! Kau kenapa?" Sakura mengulangi pertanyaannya.
Tap! Tap! Tap!
Derap langkah kaki mulai menggema di kamarku yang minimalis ini. Sekarang, Sakura sudah berada di sampingku. Menatapku cemas.
Aku memalingkan wajahku ke arah jendela besar yang memisahkanku akan dunia luar yang bebas. Matahari mulai terbenam di ufuk barat dan hanya memunculkan sebagian tubuhnya yang berkilau itu dengan malu-malu.
"Gaara."
Tak kuhiraukan panggilan Sakura. Masih sanggupkah aku menahan gejolak ini? Apalagi di dekat Sakura.
"Gaara, aku bawa buah-buahan kesukaanmu loh," ujar Sakura, terdengar jelas dia berusaha menghilangkan suara cemasnya dengan suara ceria yang agak dipaksakan.
Aku masih bungkam. Lidahku terasa kaku, seakan aku kehabisan kata hanya untuk membalas setiap perkataannya. Berguman saja tidak.
"A-aku ke sini mau menjengukmu. Ternyata kamu sudah sadar. Tapi, kenapa kamu bersifat… dingin padaku?" tanya Sakura lirih.
Kudengar suara keranjang yang diletakkan di atas meja.
"Aku senang kamu sudah sadar, Gaara. Semoga kamu cepat sembuh ya," ujarnya lagi, tapi dengan suara parau.
Tap! Tap! Tap!
Kudengar kembali langkah kaki itu mulai menjauhiku, dengan lemah kumenoleh ke arah Sakura. Berjalan terus hingga meninggalkanku.
Blam!
Pintu itu tertutup lagi. Masih kutatap dengan sayu dimana Sakura keluar.
Aku bagaikan patung batu yang sedang memperhatikan pintu. Bodohnya aku. Apa gunanya kutatap pintu itu? Berharap Sakura kembali? Tak mungkin, aku sudah bersikap dingin kepadanya.
Walaupun aku sering bersembunyi di dalam ekspresi datar, bukan berarti aku bersikap dingin. Apalagi terhadap Sakura. Datar dan dingin itu beda bukan?
Sekarang, aku hanya bisa meratapi nasip dan kecerobohanku. Dasar, aku memang bodoh. Aku memang ceroboh. Mengikuti egoku tanpa memikirkan resikonya. Aku pengecut 'kan, tak berani menghadapi badai yang telah kubuat.
Perlahan, tubuhku merosot ke bawah. Tadi, posisiku yang setengah duduk, kini terlentang di atas kasur.
Kutatapi langit-langit kamarku, sesekali memejamkan mataku dengan erat. Dan terpatrilah dengan jelas bayangan Sakura.
Indah memang.
Masih teringat, masa-masa indah dulu. Saat diantara kami bertiga tidak ada yang tahu apa itu cinta. Saat-saat lucu nan menggemaskan.
Jika saja aku bisa memutar waktu, aku ingin saat bahagia itu selalu bersamaku setiap waktu. Entah, itu sepertinya tak akan terwujud. Hanya anak kecil yang berangan-angan kehidupannya akan selalu ditemani keindahan.
Sementara aku? Bukan anak-anak, tapi bukan juga seorang yang dewasa.
Ragaku dewasa, tapi jiwaku? Labil. Sama seperti anak-anak yang menginjak masa remaja.
Aku tak pernah bohong pada diriku sendiri. Aku mengakui aku bodoh. Aku mengakui aku labil. Aku mengakui aku ini ceroboh.
"Tapi…"
Mataku menyipit saat mulutku melancarkan satu kata itu, aku ingat betul.
Aku pernah membohongi diriku sendiri. Mengatakan bahwa Sakura pasti bisa datang kepadaku, Sakura bisa menemani hariku, dan bahwa semua akan baik-baik saja.
Aku ini plin plan.
Tak terasa, mataku terasa lelah. Kukatupkan kedua kelopak mataku pelan. Sebelum kuberjalan ke dunia mimpiku.
.
.
TBC
.
.
Haduh, maaf kalau jelek readers. Aku hanya author amatir yang belum mahir. Aku janji, aku bakalan belajar dan belajar lagi. (^^)
Ini fiksi GaaSaku pertamaku. Tapi kayaknya belum kerasa ya? Slight-nya SasoSaku tapi kebanyakan. Maaf readers. Chap depan aku bakalan banyakin GaaSaku-nya.
Haha, aku geregetan bikin fiksi ini. Soalnya gak ada Uchiha kesayanganku. Mau nampilin siapa ya? Ita-koi *dipelototin ItaLover* ato Sasu-chan *dichidori*?
Tapi mending gak usah deh. Takutnya cuman jadi figuran. Hahahaha *tertawa nista*
By the way, ada yang mau kasih kritik atau saran?
Fiksi ini sepertinya masih punya banyak kekurangan. Apalagi genre-nya Angst begini. Sedihnya belum kerasa ya?
Sudah, mungkin cuma ini curcolan sehat (?) dariku.
-Terima kasih sudah membaca-
-Berniatkan readers meninggalkan review untukku?-
^_^ Hana-d'ichi
