"Pernahkah aku berkata jika kau adalah koral di antara samudera nada yang lenyap bersama benturan ombak, Naruto?"

"Kata-kata itu sangat menjijikkan untuk diucapkan oleh bocah sepertimu."

"Kalau begitu tertawalah."

"Ha! Hahaha. Itu lucu. Lucu sekali!"

"Hn."

"Aku sudah tertawa. Kau puas?"

"Ya. Tertawalah untukku... Meski itu bukan dirimu."


Naruto © Kishimoto Masashi

Knight of Peasant Song
by ceruleanday
October, 2011


Warning: Dark Naruto.

I never own Tchaikovsky's Swan Lake, neither its biography. This fic is presented only for two big days—denayaira's and Uzumaki Naruto's birthday, though each of them has different date of birthdays. I pick Savior for its main theme and piano as another main theme—I know you adore Nodame so much, Nad. :3

I will post this fic exactly on two different days. First chapter is on October, 10th and the last chapter on October, 13th.


.

.

.

Mereka menyebutnya dengan sebuah kosakata pasif. Bernada minor dan sanggup memberi tanda pengenal luar biasa meski hanya di balik kubikel empat kali enam meter. Ia terselubung dalam batako berwarna kehitaman dengan gradasi hitam pekat. Sinar neon tak memberi efek jera pada kedua iris cerulean itu agar berhenti sejenak. Hanya sebuah meja rapuh bersama kursi-kursi berukir tangan model zaman Rennaisance yang menemaninya. Gelap bersama kesemuan mimpinya berada di atas ambang nada mayor. Kedua tangannya menepuk-nepuk sisi lateral meja, menggoyang-goyangkan kepala ke sana ke mari, dan bernyanyi lagu bermelodi sumbang. Suaranya lumpuh di balik plica vocalis miliknya. Ia tertatih melangkahkan jemarinya di atas selembar kertas scoring sembari berdendang.

Lelah luar biasa dirasakannya. Seyogyanya, ia hanya manusia biasa. Tak lebih dari sekumpulan anak-anak miskin yang diberkahi bakat atraktif oleh Yang Maha Kuasa. Ia bernama Uzumaki Naruto. Ia tak bisa menentukan jumlah tahun yang sudah dilewatinya. Masa-masa ciliknya terlalu hambar dan menyakitkan hanya untuk mengingat usianya saat ini. Esok hari, seseorang pernah berkata jika ia akan berulang tahun. Tetapi, ia sama sekali tak'kan pernah mengenal arti kalender matahari itu. Jika saja dunia berhenti keesokan hari—tepat ketika fajar pertama menyingsing—maka, dengan senang hati, ia akan menyanyikan melodi lusuh bernada sumbang kepunyaannya di balik bilik persembunyiannya.

Ia diasingkan oleh sakit yang dideritanya. Sebuah kekompleksitasan yang tak bisa dipahaminya. Mereka menamakan penyakit yang diidapnya sebagai Multiple Personality Disorder. Gangguan mental berbahaya yang bisa membunuh jiwa orang lain tanpa diminta. Bahkan, tak butuh pisau atau pun belati hingga nyawa orang lain melayang hingga ke dasar surga dan neraka.

Sahabatnya hanya satu saat itu. Dilahirkan sempurna dari keluarga bangsawan terkenal di pulau seberang. Mereka saling berbagi dan berduel. Tak peduli tangan-tangan ini hancur lebur. Sebab, hanya dengan memainkan tune mereka, mereka mendapatkan dunia yang mereka inginkan.

Saat kebenaran terungkap, ia terasing sejenak dengan kelainan yang diidapnya. Ia tuli, bisu, dan bodoh. Ketiganya disamarkan oleh indera keenamnya berupa sensibilitas seni dalam jemari.

Ia dinamakan dengan sebuah kosakata pasif, namun terdengar begitu elok.

Piano hutan. Itulah ia.

Liar sekaligus penuh misteri.

Dan, masih berbayang sudah dalam benaknya bagaimana kemarahan dan kekesalan akan dunianya yang telah runtuh dimakan kerakusan zaman monarki. Ia tumpahkan seluruhnya dalam scoring yang belum usai. Selamanya, scoring itu tak'kan pernah selesai. Sama sekali tak'kan pernah.

Sebab... ia kehilangan bagian lain dari dunianya yang tertutup dan terasing. Ia butuh sesuatu yang berasal dari balik kubikel menyeramkan ini. Ia butuh—ia butuh—dunia baru.

Sebuah dunia baru di mana ia dahulu pernah mengenal sebuah nama. Nama yang begitu dikenalnya. Dan, ia ingin kembali berduel dengan nama itu. Dahulu. Dahulu sekali.

Uchiha Sasuke, mungkin.

.

.

.

Bersama dengan seekor kuda bersurai kecoklatan, terdengar lengkingan menggema dari sudut yang berlawanan. Kedatangan warga asing dari sebuah pulau yang dipenuhi tambang emas dan tembaga nun jauh di sana bermakna pesta besar di jalan-jalan kumuh itu. Mereka bersorak ria memanggil-manggil nama si empunya kuda. Tatkala seorang anak kecil menyentuhkan tangan kotornya di pelana kuda, seorang lelaki berkumis tebal memarahinya dan menyuruh agar si anak menyingkir. Namun, yang di atas kuda kemudian berhenti sejenak. Membiarkan si kuda berdesing sebelum menghentakkan kuat-kuat tapalnya di tanah becek. Ia turun dari kudanya, mengamati muka lusuh dan kotor si anak, kemudian menepuk-nepuk rambut kusamnya.

"Votre nom?"

Wajahnya menunduk dalam, bercak kusam di kedua pipinya menutupi rona merah manis yang ada di sana, dan dengan tanggap ia menjawab. "Louie, Sir!"

"Pergilah ke tempat ibumu dan katakan jika seorang Baron tak bernama sedang menaiki kuda bernama Phillipe menuju tanah kebebasan."

Rona merah itu sedikit demi sedikit terlihat jelas. Selembar kain tanpa kacing satu pun mengikat tubuh cekingnya, namun kecepatan larinya sama sekali tak boleh dianggap remeh. Anak berwajah kusam itu tersenyum senang dan menyanggupi perkataan pria asing itu.

"Et Sir!" kilah si pria berkumis. Ada nada penolakan besar atas perkataan tuannya saat itu. "Tanah Kebebasan seharusnya menjadi—"

"Mereka berhak memiliki apa yang seharusnya mereka miliki." potong sang Baron tak bernama. Begitu derap langkahnya kembali terdengar, tak ada satu pun dari mereka bersiul-siul penuh kekaguman. Sebaliknya, wajah-wajah kusam dan lusuh itu menatapnya dengan mata penuh tanya. Siapa orang asing itu, terdengar jelas keempat kata itu olehnya. Dan, bukan sikap arogan yang ditunjukkannya, melainkan sebuah kesaksian paten melalui namanya yang begitu asing.

Tanpa alih-alih perhatian, mereka bersorak ria kembali dan berlarian menuju tanah mereka. Tanah yang seharusnya hanya milik mereka seorang. Tanah yang dahulu dan hingga sekarang adalah milik nenek moyang mereka. Kemudian, dirampas oleh pria-pria asing bermata biru dengan beringas. Kini, sang Baron menunduk dan memberi hormat pada satu-satunya tuan tanah yang baru saja tiba di antara kerumunan warga.

Sama sekali tak ada kekesalan yang terlihat di wajah sang tuan tanah. Malah, kelegaan luar biasa terlihat jelas di rupa cerahnya. Pakaian sederhananya tertutupi oleh mantel hangat musim gugur, beserta rambut pirang cerahnya yang terbias titik-titik mentari semu. Ia balas menunduk.

"Namikaze Minato." ujarnya sembari menjabat tangan sang Baron. "Selamat datang di tanah kami, Uchiha Sasuke-sama."

"Sasuke kurasa cukup, Sir."

Anggukan pertama bermakna persetujuan. Anggukan kedua adalah tanda untuk mengikuti langkahnya. Dan, anggukan ketiga adalah perintah agar yang lain tak mengikuti mereka.

Si kuda melangkah di atas tanah becek bersama dedaunan maple yang gugur. Pohon-pohon tinggi berdiri di sisi kanan dan kiri mereka. Jalan itu terlihat semakin menyempit walau hanya dilihat dari jarak jauh. Sepi dan menyeramkan. Hari masih begitu petang, di mana titik bujur matahari belum terlalu sampai di perbatasan ufuk barat. Namun, empat kaki manusia yang ikut melangkah bersama tapal si kuda kecoklatan tak melambat sedikit pun. Lambaian angin musim gugur membuat bunyi suram yang tak menyenangkan.

Mereka tiba tepat di depan pagar besi setinggi lima belas kaki. Pria bermantel itu mendorong pagar besi itu dan memberi kode agar sang Baron bersama si kuda mengikuti perlahan-lahan. Maze seluas lima hektar berada di sisi kanan dengan taman berpatung gips dan air mancur raksasa berada di sisi berlainan. Jalan setapak mereka begitu kotor, seakan tak pernah lagi dibersihkan selama berminggu-minggu. Genangan air memantulkan wajah sang Baron—meyakinkan hatinya jika ia baik-baik saja hingga saat ini. Langkahnya terhenti tepat saat dua pelayan wanita tiba seakan menjaga di depan pintu mahoni raksasa.

"Sudah kalian siapkan kamar untuk Tuan Sasuke?" tanya Minato penuh nada perintah. Kedua pelayan mengangguk. "Bagus. Aku akan membawa Tuan Sasuke ke ruang tamu, kalian bawa kuda beliau ke kandang terbaik." lanjutnya mentitah.

Rumah itu tak ubahnya dengan istana milik Ratu Elizabeth atau pun Ratu Beatrice. Hanya, tanpa dekorasi penuh emas dan perak yang menghiasi dinding-dindingnya. Karpet bermotif kotak-kotak berwarna merah putih menutupi sebagian besar dasar dindingnya. Foto-foto tua bersama lukisan warna pastel menghanyutkan kesan menyeramkan yang ada. Setidaknya, cukup untuk mewarnai sebuah istana yang konon selalu suram di malam hari. Lampu-lampu kristal tergantung di langit-langit. Ketika mereka melangkah, terdengar gaung balik dari sisi kanan kiri dinding.

Di lorong yang sebaliknya, sang Baron muda berhenti sebentar. Merasakan hawa yang jauh berbeda dari sinar cerah yang menembus melalui jendela tinggi di ujung lorong yang ditujunya bersama sang pemilik istana. Namikaze Minato berdehem seakan tak suka jika orang asing berusaha menilik setiap sudut kediamannya.

"Bisa kita lanjutkan perjalanan singkat kita, Tuan Sasu—"

"Apa di kediaman Anda terdapat menara?" tanya Sasuke tak menoleh. Dasar perutnya bergerak tak enak, entah kenapa. Namun, firasatnya berkata jika ia melangkah lebih jauh ke lorong gelap itu, ia akan menemukan hal menarik dan tak biasa.

Alis pirang Minato meninggi. "Ah, ya. Kurasa. Untuk menyimpan barang-barang yang sudah tidak berguna, tentu."

"Hn."

"Hm. Pada dasarnya, rumah ini didesain khusus sebagai pertahanan pertama yang paling ampuh saat perang saudara berlangsung di tanah kami." Namikaze Minato mengisyaratkan melalui anggukan agar sang Baron muda kembali mengikuti langkah pelannya. Kedua tangan Minato terlipat di belakang. Wibawanya sebagai tuan tanah sekaligus pria terkaya di tanah para ekspatriat berlayar menguar bersama kosakata yang meluncur dari balik belah bibirnya. Mereka tiba di sebuah pintu berwarna putih dengan ukiran kayu emas yang indah. Setelah memutar knop, sang tuan tanah memersilakan sang Baron untuk masuk terlebih dahulu. "Kami melindungi warga sipil di dalam istana. Namun, kavaleri milik sekutu terlalu sulit untuk kami atasi seorang diri. Kakek dan ayahku berjuang demi tanah ini. Tapi, lagi-lagi, kami kalah oleh kemiskinan kami sendiri. Ah, kurasa bukan. Sampai saat kedua orang tua Anda tiba di tanah kami bertahun-tahun lalu, pada akhirnya kami merasakan kebebasan."

Ocehan Minato sama sekali tak menarik minat Sasuke. Bagai suara-suara sumbang yang dibiarkannya berlalu begitu saja.

"Bagaimana kabar Fugaku dan Mikoto?" Pertanyaan Minato yang berikutnya mengaburkan khayalan Sasuke.

Jemari pucat sang Baron muda menyentuh frame-frame tak bertuan. Foto-foto lama tersebar memenuhi deretan meja pendek yang bersambung bersama kabinet berisi buku-buku. Ia menjawab tanpa memandang sang tuan tanah. "Ayahku memilih berlayar ke Timur. Omong kosong menjadi berita burung yang tersebar sangat rapuh akhir-akhir ini. Ia mengajak para penjelajah menemukan peti kemas Davy Jones. Tidakkah itu konyol?" ungkap Sasuke expressionless. "Ibu baik-baik saja. Penyakit vertigonya makin hari makin membaik. Ia didiagnosis dengan Depresi Terselubung. Penyakit khas seorang ibu yang lelah menunggu kapan anak lelaki bungsunya akan membawa calon istri, kurasa."

Tawa tertahan dalam tenggorokan Minato. "Lalu? Apa Anda sudah memutuskan kapan akan membawa calon istri itu?"

Sofa yang terabaikan dipilih oleh sang Baron untuk diduduki. Tungkainya terasa begitu lelah dan ia ingin menikmati sejenak istirahat singkat sebelum mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya. Menjawab pertanyaan Minato hanya berupa dengusan. Mendengarnya, sang tuan tanah kembali tertawa. Kedua lengan saling tersilang di dadanya—menutupi jas dengan tanda kebesaran berlambang bintang yang melekat di sana.

"Tidak sampai ayahku berhenti dengan kegilaannya itu."

Mata segelap langit malam itu menangkap pemandangan tak biasa di sudut ruangan. Sebuah benda besar yang tertutupi oleh sehelai kain putih.

"Hm? Oh, aku tahu Fugaku. Dia—dia pria dengan seribu ambisi. Ya. Setidaknya, aku melihat betul satu dari sekian ambisinya melekat kuat di balik mata Anda."

Melangkah sekali dan sang Baron menilik benda di balik kain putih. Ia menggenggamnya dan membuka tanpa meminta persetujuan dari empunya kuasa. Namun, Minato tahu hal yang disukai dan dipahami bocah berambut sewarna dengan matanya itu. Sejak lama, Minato mengetahui benar sifat masing-masing anak sahabat lamanya—Sasuke dan Itachi. Begitu pula dengan satu anak lain yang ingin dilupakannya dan menganggapnya tak pernah lagi ada di dunia ini.

"Bolehkah?" pinta Sasuke. Minato mengangguk. "Aku tahu nada mayor terselubung di balik karya Tchaikovsky. Apa Anda tahu karya terbaiknya di masa itu? Swan Lake? Drama picisan pengantar tidur yang selalu di-lullaby-kan oleh ibuku dahulu."

"Ya. Mendiang istriku juga selalu memainkannya. Kami pertama kali bertemu di pertunjukan piano klasik di ibukota."

Mulai saat jemarinya bermain di atas tuts piano, sang Baron berupaya melupakan bagian lain dari hidupnya yang terasa gamang. Jika seandainya ia benar-benar memahami makna Swan Lake atau lainnya, tidak akan salah lagi bila hidupnya hanya berada di atas panggung-panggung pertunjukan. Namun, ia terlalu idealis dan realistis akan hidup. Baginya, para maestro menemukan jiwa lainnya dalam musik karena mereka tak bisa hidup dalam dunia yang sama dengan orang-orang di luar sana. Dan... Sasuke terkadang merasakan hal yang sama. Hanya, ia terlalu sungkan 'tuk mengakuinya.

Ia Uchiha. Begitu orang menyebutnya. Ia adalah penjelajah dan seorang Baron. Baron berada jauh di atas Knight. Knight hanya ada di sisi si miskin. Begitulah bidak catur yang dimainkan Sasuke dalam hidupnya. Jika sang Queen memberi gelar Duke pada ayahnya, ia yakin jika status kekayaannya akan setingkat dengan Prince. Tetapi, itu masih omong kosong baginya. Celoteh yang sama sekali mimpi untuk diraih si miskin. Karenanya, ia merintih di balik melodinya. Depresi terselubung ikut menghakimi mentalnya dan tak kuasa, ia menekan penuh amarah tuts-tuts piano itu.

"Ah, kurasa Anda sedang lelah. Apa sebaiknya saya membawa Anda ke kamar Anda?"

Telapak tangan pucatnya menutupi wajah yang kalut itu. "Hn. Je suis désolé. "

"Pas de soucis." balas Minato penuh pengertian. "Anda mengingatkan saya pada seorang anak kecil cengeng yang akan melakukan hal yang seperti Anda lakukan tadi saat ia marah dan kesal."

'Anak kecil cengeng?' tanya sang Baron dalam benaknya.

Keduanya berjalan menuju lorong berbeda dan menemukan seorang pelayan telah siap dengan sebuah koper bermotif kulit ular milik sang Baron. Minato segera mengucapkan selamat beristirahat pada Uchiha muda dan kembali melangkah menjauhi mereka. Samar-samar, Sasuke menemukan hal lain yang tak diketahuinya akan pria Namikaze sang tuan tanah. Meski berulang kali ayahnya berkata jika ia benar memiliki kawan lama bermarga Namikaze, ada yang salah dengan sikapnya. Ia bagai pria dengan sejuta misteri. Sang Baron tak bisa menahan beban pikiran yang kian hinggap di benaknya semalaman. Ia perlu tahu hal-hal yang disembunyikan sang tuan tanah. Dan... kata-katanya yang terdengar begitu ganjil.

'Anak kecil cengeng? Anak kecil yang sangat suka menekan tuts piano secara kasar saat marah dan kesal? Anak kecil yang mirip sepertiku?'

'Siapa? Siapa?'

"...kau lihat not di tengah itu?"

'Siapa yang berbicara?'

"...ya, ah kau pasti melihatnya. Tepat di akhir F minor. Oh, ayolah. Kita bisa mengubahnya dengan kasar—"

'Mengubah apa? Siapa—'

"ayo kita selesaikan sama-sama scoring kita, Sasuke."

'Sasuke? Aku kah?'

"bagaimana kalau kita menamakan gubahan Swan Lake itu dengan judul—hmm—ah! Naruto's Peasant Song? Haha."

'Na—ru—to?'

"Nama yang keren, bukan?"

'Dia...'

"KAU HARUS MENGIKUTI ALUR NADAKU, SASUKE!"

'Kenapa... Kenapa ia berteriak?'

"Kau berisik, Sasuke! Berisik! Berisik! Berisik!"

'Naruto?'

"Lenyaplah dari pandanganku!"

'Apakah itu masih dirimu?'

"Maafkan aku. Aku—maaf. Maafkan aku, Sasuke"

'Kenapa kau berkata seperti itu... Naruto?'

.

.

.

Ten years ago

Mereka masih bocah. Mereka duduk bersama-sama di atas kursi piano. Yang satu memainkan nada mayor dan yang satu memainkan nada minor. Keduanya serasi dalam harmonisasi nada. Musim salju menutupi layar putih yang terbentang di luar sana. Satu dari dua bocah itu melompat dan berlari ke arah luar. Ia menangkap butiran salju dan mengemutnya bagai salju adalah permen kapas yang jatuh dari langit. Bocah yang lain hanya berdehem dan mendengus. Ia tak suka udara dingin yang mencapai ubun-ubun. Ia alergi dengan udara dingin.

Kaki-kakinya yang pendek berlarian ke sana ke mari. Membuat bola-bola salju dan melemparnya ke sisi jendela di mana bocah lain masih berdiam diri di dalam sana. Ia terkikik dan kembali mengulang aksinya. Beberapa kali hingga seorang kakek tua mendekatinya.

"Siapa?"

Kakek tua itu terbatuk-batuk. Pakaiannya begitu tipis dan hanya dibekali selembar syal yang juga sama tipisnya. Kulitnya begitu pucat dan penuh keriput. Detik berikutnya, anak kecil itu menarik tangan si kakek dan meminta agar mengikutinya masuk ke dalam rumah.

Rumah itu hanya berupa rumah persinggahan sementara bagi bangsawan dari pulau lain yang datang berkunjung. Namun, jauh lebih lengkap dengan adanya sebuah piano kegemaran anak sang bangsawan. Bersama dengan itu, bocah berambut hitam dibuat terkejut dengan aksi tak masuk akal bocah pirang lainnya. Dengan nada meyakinkan, ia meminta si kakek untuk duduk di atas sebuah sofa empuk dan memersilakannya beristirahat. Ia menghilang menuju dapur.

Sekembalinya, ia membawa secangkir coklat hangat untuk si kakek. Disodorkannya cangkir itu pada si kakek. Senyum merekah muncul di wajah berkulit tan miliknya. Tanpa aba-aba, bocah itu kembali ke kursi piano dan memainkan nada Tchaikovsky kesukaannya. Nada indah Swan Lake bernyanyi dan menenangkan pendengaran si kakek peasant itu.

Ia tahu. Bocah itu mengerti jika tanah yang dipijaknya saat ini adalah tanah yang didonimasi oleh para peasant dan bukan lah Baron seperti bocah berambut hitam di sampingnya. Setidaknya, ia bisa bertindak bak Knight meski hanya melalui piano itu.

"Bagus sekali. Sangat indah, Nak. Mainkanlah pianomu. Bermainlah untuk kami."

Bangga adalah hal pertama yang dirasakannya. Untuk seterusnya dan untuk seterusnya, ia akan memainkan piano itu pada mereka yang ingin mendengar musiknya. Jika dunia luar mengharapkan kehadirannya, maka ia akan di sana. Mungkin, ia bukan pahlawan, tetapi ia jauh melebihi itu. Ia akan bertindak realistis.

"Aku akan menyusun scoring khusus gubahan Swan Lake. Apa kau mau membantuku, Sasuke?"

"Hn. Kau itu masih dua belas tahun. Jangan berlebihan. Memangnya, kau sudah sehebat apa ingin menggubah nada-nadanya?"

"Che. Katakan saja kalau kau iri. Kalau tidak mau, ya sudah."

'Bukannya tidak mau, tetapi terlalu berbahaya.'

Untuk tahun-tahun berikutnya, bocah itu melangkah seorang diri. Sasuke harus kembali ke pulau di mana ia berasal. Kian hari membuat depresi akut menggerogoti jiwa bocah itu. Ia tetap bertanya pada dirinya. Mengapa ia sama sekali tak bisa mengerjakan scoring itu dengan cepat? Mengapa segalanya terasa lebih rumit? Mengapa kematian ibunya membuat segalanya menjadi jauh lebih menyebalkan? Padahal—padahal—di luar sana—orang-orang itu membutuhkannya.

Orang-orang itu mencarinya. Para peasant haus akan melodi sang Knight. Di jalanan-jalanan kumuh, setidaknya dirinya lah yang cocok 'tuk jadi ksatria mereka. Menyanyikan lagu sumbang akan hidup dan membuat jiwa kembali tenang. Namun, ia tak lagi kembali ke sana.

Karena itu lah ia. Ia dengan derita psikis yang dialaminya selama bertahun-tahun.

"Biarkan aku keluar dari sini!"

"Kau tidak bisa keluar dari tempat ini sampai kapan pun, Naruto!"

"Di sini bukan rumahku! Di sana lah—di mana orang-orang itu berada adalah rumahku!"

"Berhenti mengoceh dan dengarkan ayahmu ini!"

Hingga melodi terakhirnya, sang Knight tak lagi kembali. Mimpi buruk itu kian menghantuinya. Menghantui Uchiha Sasuke seorang diri. Scoring miliknya terabaikan untuk tahun-tahun yang begitu lama. Ia tersingkirkan oleh dunia miliknya sendiri. Terbataskan oleh kubikel bata tak bertuan. Bagai dalam sangkar tanpa jendela. Dan, ia selalu merasa sesak. Sesak. Begitu sesak...

"Aku hanya ingin hidup—normal."

.

.

.


D'être Poursuivi


.

.

.

Dictionary :

Votre nom = Siapa namamu?

Et Sir Tapi Tuan!

Je suis désolé = Maafkan aku.

Pas de soucis = Tidak apa-apa.

A/N :

Jadi, sebagai informasi, Swan Lake adalah karya paling fenomenal dari maestro pianis kebangsaan Rusia, Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Melodinya sudah dijadikan pengantar berbagai drama tari balet maupun drama teater dan film-film. Tersebar tak hanya dalam versi piano saja, tetapi sudah dimainkan di atas panggung orkestra.

Rupanya, saya terlalu meng-adore musik-musik klasik. Tapi, sebenarnya (bagi saya pribadi), sangat sulit membuat fic bertema music kolosal dan bukan kotemporer. Auranya seakan berada di jaman-jaman dahulu abad pertengahan. Haha.

Sekedar informasi juga, di sini Naruto menderita Multiple Personalities Disorder. Suatu gangguan mental di mana pribadi seseorang terpecah menjadi dua atau lebih pribadi lain yang berbeda satu sama lain. Kadang, yang mengidap gangguan ini sama sekali tidak sadar dengan kehadiran pribadi lain dalam dirinya. Kemungkinan disebabkan, saat pribadi lainnya muncul, ia akan lupa dengan pribadi dirinya yang sebenarnya. Gangguan ini sebenarnya tidak berbahaya, hanya, jika di dalam dirinya terdapat pribadi yang psycho, tak bisa dipungkiri juga ia akan bersikap layaknya alter ego-nya itu.

Yap. Mengenai Depresi Terselubung itu... jujur, ibu saya mengidap gangguan ini dahulu. Saya tidak pernah tahu ibu saya ternyata mengalami gangguan ini hingga pada suatu hari beliau bercerita akan kunjungannya ke dokter spesialis terakhir berbulan-bulan lalu yakni bagian Psikiatri. Dari sekian gejala yang ibu saya ceritakan pada dokternya, tak ada satu pun yang bisa dibuktikan secara medis. Hasilnya negative. Setelah didiagnosis oleh dokter Psikiatri, ternyata benar ibu saya mengalami Depresi Terselubung. Alasan ibu saya mengidap gangguan ini sangat klasik sesungguhnya.

Ah, sepertinya bacotan saya sudah terlalu banyak. Sekian dulu. Akan saya lanjutkan di chap terakhirnya.

The last... Happy Birthday, Naruto. I know, deeply, you always want a normal life since you're born till your last breath.

This fic is full of mistakes. So, feel free to give any constructive comments and critics. :D

Ciao!