Hi, Arisa is here. Ini adalah fanfic tentang Riere yang kesekian kalinya kubuat namun baru yang ini yang berani saya upload m(-_-)m. Cerita ini terinspirasi setelah saya menonton Shigenki no Kyojin episode... episode dimana mayat Petra dibuang dan Rivaille melihatnya dengan tatapan yang... sedih, menurut saya seolah olah Rivaille melihat mayat anaknya (?!).
Warning : 1) typo. Berdasarkan pengalaman saya sering melakukan typo pada fanfic yang saya buat. 2) Boy x boy 3) saya merasa tokoh Rivaille di sini sedikit OOC, jadi maafkan saya...
Disclaimer : I own nothing.
US
Chapter one : wiedersehen
"Senpai ! senpai akan menungguku kan?" tanya seorang anak dengan mata yang berbinar pada kakak kelasnya yang sedang tiduran di sampingnya.
"Ah, aku akan menunggumu, jadi kau harus belajar yang serius agar bisa satu uniersitas denganku." jawab kakak kelasnya sambil mengusap rambut dan wajah anak laki-laki itu.
"Tentu saja! tunggu saja aku tahun depan!"
"Hahaha," kakak kelas anak itu tertawa kecil melihat semangat adik kelasnya lalu memeluknya. " aku mencintimu."
Anak itu membalas pelukannya, "aku juga mencintaimu, senpai."
"Hah! Hah... hah.. hah..." dengan nafas yang terengah-engah, Eren terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran membasahi badannya meski ia berada di kamar tidurnya yang dingin karena pendingin ruangan. Setelah nafasnya teratur, Eren turun dari tempat tidurnya dan keluar kamar menuju dapur. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin lalu meminumnya. "Aaaah..." Eren merasa sedikit lega setelah menghabiskan minumnya. Ia terdiam sebentar sambil menundukkan kepalanya.
Sudah lama ia tidak bermimpi tentang kehidupan semasa ia masih SMA. Mungkin dulu ia berpendapat mimpi tadi adalah mimpi indah. Namun sekarang, ia berpendapat bahwa tadi ia bermimpi buruk. Bermimpi tentang orang yang sudah mencampakkanmu bukanlah mimpi indah, bukan? . Tak lama, mata Eren terpikat dengan sebuah kartu yang ada di dekat gelas minumnya. Sebuah kartu undangan reuni. Eren mengambil kartu yang ia temukan di kotak surat apartemennya dua hari yang lalu. Eren sadar, sejak ia menerima kartu ini mimpi buruknya kembali muncul.
Eren berfikir sambil melihat-lihat kartu undangan. Haruskah ia datang? ia ingin bertemu kembali dengan teman-temannya, tapi ada kemungkinan ia akan bertemu dengan kakak kelas yang pernah mengecewakannya. Meski ia penasaran bagaimana keadaan kakak kelasnya, ia tak tahu bagaimana sikap ia jika bertemu dengan kakak kelasnya. Haruskah ia marah? atau justru mengejarnya karena ia masih tidak bisa melupakannya. "Lebih baik aku datang untuk tahu jawabannya." kata Eren sambil meremas kartu undangan.
X
"Yo Eren! akhirnya kau datang!" saat Eren memasuki ruangan di sebuah restoran yang tercantum dalam kartu undangan, Eren dapat mendengar suara Hanji memanggilnya.
"Hanji-senpai!" Eren tersenyum saat melihat kakak kelasnya yang pernah akrab dengannya semasa SMA sedang memanggilnya. "Apa kabar, senpai?!" tanya Eren sambil memeluk Hanji.
"Tentu saja baik!" Hanji membalas pelukan Eren lalu memukul pundak Eren dengan keras, membuat Eren harus menahan sakit. Tapi hal ini membuat Eren tersenyum karena ia jadi tahu kakak kelasnya ini tidak berubah. "Kau sendiri bagaimana? sudah lima tahun kita tidak bertemu! apa pekerjaanmu sekarang?"
"Guru. Meski tidak sesuai dengan impianku, tapi aku menikmatinya." Jawab Eren sambil tersenyum.
"Huwaaa! Eren sebagai guru ?!" Hanji tanpa sadar menyemburkan minumannya karena kaget. " kau tidak dikerjai oleh murid-murid mu kan?"
"Tentu saja tidak, senpai ! senpai sendiri, bagaimana?"
"Hm... sekarang pekerjaanku adalah reporter lepas. Akan ku kasih rekomen tempat wisata yang bagus jika kau mau."
"Tentu saja aku mau dan senpai juga harus mentraktirku!"
"Hee?!" Hanji dan Eren sama-sama tertawa. Sambil sesekali meminum minumannya, Eren menikmati reuni nya dengan Hanji. Terkadang Hanji menjaili Eren, terkadang mereka membicarakan kehidupan mereka selama masa SMA. "Oh iya, kau masih suka bertemu dengan Rivaille?"
Mendengar nama yang tak ingin ia dengar, Eren terdiam. "Tidak." jawabnya dingin. "Setelah senpai lulus aku tidak pernah bertemu dengan Rivaille-senpai lagi."
"Begitukah? pantas saja aku tidak melihatmu di pernikahan Rivaille... oh, orangnya sudah datang! Rivaille!" Eren merasa waktu berhenti begitu Hanji meneriakkan nama kakak kelas yang pernah ia cintai. Perlahan, ia menengok ke belakang. Dari jauh, Eren melihat seorang pria bertubuh pendek sedang berjalan menuju tempatnya dan Hanji. Mata sayu yang terlihat menyeramkan, tubuh pendek, dan rambut pendek, Eren tahu betul itu siapa. Apalagi saat orang itu kini berdiri di hadapannya.
"Hai." sapa orang itu. Suaranya tidak berubah, pikir Eren dalam hati.
"Halo, senpai! lama tidak bertemu!" balas Eren sambil terpaksa tersenyum.
"Rivaille! kau terlambat!" keluh Hanji lalu memeluk Rivaille yang sayangnya dapat dihindari oleh Rivaille.
"Maaf, aku ada banyak urusan..." Rivaille dan Hanji asyik berbicara sedangkan Eren hanya terdiam memperhatikan mereka. Terutama Rivaille. Eren merasa canggung berdiri di samping Rivaille karena Eren jadi tak bisa memperhatikan kakak kelas yang pernah menjadi kekasihnya itu. Ia melihat Rivaille tidak banyak berubah. Nada bicaranya masih tajam, dan tatapannya masih terlihat menyeramkan. Hanya ada satu yang terlihat berbeda. Eren dapat melihat warna kulit di jari manis tangan kiri Rivaille berbeda dengan jari lainnya, seperti bekas cincin.
Rasa sakit menyerang dada Eren. Sakit karena dicampakkan, sakit karena diberi harapan palsu, sakit karena dikhianati. Ingin rasanya ia menyerang Rivaille dan memakinya. Tapi karena ia tak mau merusak acara, ia menahan amarahnya. "Hei Eren!" panggilan Hanji membuat Eren sadar dari lamunannya. "Kau ingin makan apa? akan aku ambilkan."
"Apa saja, senpai."
"Ok, kalian tunggu di sini ya." kata Hanji kemudian pergi meninggalkan Eren dan Rivaille. Mereka sama-sama terdiam, tak ada yang berbicara. Membuat suasana semakin canggung. Eren masih memperhatikan Rivaille, berharap kakak kelasnya akan mengajaknya berbicara.
"Nee, senpai." tak ada reaksi dari Rivaille, akhirnya Eren membuka pembicaraan. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik, kau sendiri? apa pekerjaanmu sekarang?" Eren melihat Rivaille menghindari kontak mata dengannya saat Rivaille menjawab pertanyaannya.
"Sekarang aku menjadi guru." jawab Eren canggung. " Kalau senpai?"
"Hanya menjadi karyawan di bank." mereka berdua kembali terdiam. Eren berdoa dalam hati agar Hanji segera kembali agar keadaan tidak canggung seperti ini. "aku tak menyangka kau akan datang..."
Aku datang hanya ingin bertemu denganmu, senpai. "Tentu saja aku akan datang! aku sudah lama tidak bercanda dengan Hanji-senpai! dan.. aku ingin tahu bagaimana keadaanmu..." Eren mengecilkan suaranya lalu melirik ke arah Rivaille untuk melihat reaksinya. "Bagaimana dengan pernikahanmu, senpai?" tanya Eren dengan nada hati-hati.
"Huh? Bagaimana kau tahu?"
"Hanji-senpai yang bilang..."
"Oh... istriku meninggal setahun yang lalu. Sekarang aku duda..." mendengar jawaban Rivaille, Eren terkejut. Ada sedikit rasa senang karena ia tahu isrtri Rivaille sudah tidak ada, tapi ia juga merasa sedih saat melihat wajah sedih Rivaille. "Kau sendiri? sudah menikah?"
"Aku menunggumu, senpai." Rivaille langsung menoleh ke arah Eren dan Eren langsung menutup mulutnya karena sadar ia mengucapkan kalimat yang seharusnya tak ia ucapkan. "Maksudku... senpai tahu sendiri aku tidak bisa menikah, bukan? Hahaha..." untuk menutupi kecanggungannya, Eren tertawa kaku. Tapi itu tidak merubah ekspresi wajah Rivaille berubah. Merasa bertambah malu, Eren berdiri dari tempat duduknya. "Se... Sepertinya ini sudah malam. Aku pulang dulu!" Dengan segera Eren berjalan menghindari Rivaille.
"Eren!" Saat Eren sudah melihat pintu keluar restoran, Eren mendengar suara Rivaille memanggilnya. Eren berhenti berjalan. Tapi ia tidak berbalik karena ia tidak mau memperlihatkan wajahnya yang merah karena malu pada Rivaille. "Eren! aku... mau minta maaf." Jantung Eren sempat berhenti mendengar pernyataan Rivaille. "Aku tahu aku sudah menyakitimu dan sudah ingkar, tapi... aku ingin kau tahu bahwa sebenarnya aku masih..."
Tak ingin mendengar kalimat Rivaille selanjutnya, Eren memotong pembicaraan. "Bi... Bicara apa kau senpai? sejak awal tidak ada hubungan apa-apa di antara kita, bukan? Kau hanya seorang kakak kelas yang melindungi adik kelasnya dari hinaan orang, itu saja." Eren masih tidak berbalik, dan ia merasa nada bicaranya bergetar. "Aku pulang dulu. Tolong titip salam untuk Hanji-senpai..." setelah berbicara seperti itu, Eren berjaln keluar dari restoran.
"Eren!" ia masih mendengar suara Rivaille memanggilnya namun Eren seolah tidak mendengar. Dadanya semakin sesak dan tanpa terasa air mata keluar dari matanya. Ia merasa sakit setelah bertemu dengan orang yang pernah ia cintai. Ia tak menyangka orang itu lebih memilih orang lain daripada dengannya. Apalagi saat ia mengetahui bahwa orang itu sudah menikah. Eren berfikir tidak ada kesempatan sekali lagi untuk dia bersama Rivaille.
"Ha... Haha... bicara apa kau Eren? sejak awal Rivaille adalah orang normal. Ia hanya ingin membuatmu nyaman berada di sekolah.." kata Eren berusaha mengjibur dirinya. "Lebih baik aku cari pria lain dan melupakannya!" Eren kemudian menghapus air matanya. Meski dadanya masih sakit, tapi Eren bertekad untuk menyembuhkannya. Aku harus bisa melupakannya!
"Bruk!" baru beberapa langkah berjalan setelah ia berdiri lama di tengah-tengah keramaian, Eren merasa kakinya menabrak sesuatu. Eren mundur beberapa langkah karena benturan. "Au..." kakinya terasa sedikit sakit. Setelah rasa sakitnya menghilang, Eren melihat apa yang ia tabrak. Ia melihat seorang anak kecil sedang mengusap kepalanya. Eren menurunkan badannya agar wajahnya bisa melihat wajah anak tersebut.
"Huwa! maafkan aku! kau tak apa-apa?" tanya Eren panik. Anak itu menganguk pelan tanpa suara. "tidak ada yang luka? Tak ada yang sakit?" anak itu menganguk menjawab pertanyaan Eren, masih tidak bersuara. Eren bingung dengan sikap anak ini yang tidak mau bersuara. Anak ini adalah seorang anak perempuan berambut hitam pendek, wajahnya datar dan sorot matanya mengingatkan Eren pada Rivaille.
Astaga, kenapa ingat senpai lagi?! Kau kan ingin melupakannya, Eren!, kesal Eren dalam hati. Sadar anak kecil itu terus memperhatikan Eren, Eren kembali mengajaknya berbicara. "Nee, kau bisa berbicara?" anak itu menganguk, tapi masih tidak bersuara. "Siapa namamu?"
"Mikasa." Eren menghela nafas lega mendengar anak ini akhirnya berbicara.
"Mikasa? Berapa umurmu, nak?"
"Lima." jawab Mikasa pendek.
"Dimana orang tuamu?"
"Papa sedang pergi sedangkan Mama sudah ada di surga..." Eren terdiam mendengar jawaban Mikasa.
"Benarkah? lalu apa yang kau lakukan di sini? ini sudah malam dan bahaya jika kau pergi sendirian. Lebih baik kau tunggu ayahmu di rumah." kata Eren sambil memegang tangan kecil Mikasa. Mikasa menggeleng. "Kenapa?"
"Di rumah aku sendirian, aku tidak mau sendirian..." jawab Mikasa lalu menundukkan kepalanya.
"Bagaimana kalau aku mengantarkanmu ke tempat ayahmu? kau tahu ia pergi kemana?" Mikasa melepaskan tangan kanannya dari genggaman Eren dan menunjuk ke arah restoran tempat reuni sekolah Eren berlangsung. Eren menelan ludahnya saat sadar ia harus kembali ke tempat itu.
"Paman mau mengantarkanku ke Papa? di kartu ini, Papa pergi ke tempat itu." kata Mikasa lalu menunjukkan sebuah kartu yang membuat mata Eren terbelak kaget. Itu kartu reuni yang sama dengan punya Eren.
"Tentu saja, paman sudah janji, bukan? ayo!" Eren mengangkat Mikasa dan menggendongnya. Perasaan ia tak enak, tapi ia berusaha menghilangkannya. Langkahnya berat saat berjalan kembali ke restoran. Jujur, ia tidak ingin ke tempat itu lagi karena ia tidak mau bertemu lagi dengan Rivaille.
Langkah Eren terhenti saat ia sudah berdiri di depan pintu masuk. Ia ragu apakah ia harus masuk atau tidak. "Paman, ada apa?" pertanyaan Mikasa membuyarkan lamunan Eren.
"Eh? tidak apa... ayo masuk dan cari ayahmu!" kata Eren sambil menutupi kegelisahannya. Saat mmasuki restoran, ia melihat beberapa teman SMA nya masih asyik bercanda dan makan. Ia bahkan melihat Hanji sedang berjalan dengan wajah marah.
"Errreeeennn! kenapa kau menghilang begitu saja!" teriak Hanji dengan nada kesal.
"Maaf, senpai. Tadi aku berencana untuk pulang tapi aku bertemu dengan anak hilang yang sedang mencari ayahnya." kata Eren sambil menahan sakit karena Hanji mencubit pipinya. Setelah merasa Eren sudah kesakitan, Hanji melepaskan tangannya dan memperhatikan anak kecil yang sedang digendong oleh Eren.
"Loh, bukankah kau..."
"Mikasa!" Eren, Hanji, dan Mikasa menoleh secara bersamaan saat mereka mendengar ada orang yang berteriak memanggil nama Mikasa. Badan Eren langsung kaku karena ia melihat orang yang berteriak itu adalah Rivaille, sedangkan mata Mikasa berbinar saat melihat orang yang berteriak memanggil namanya sedang berjalan menuju arahnya.
"Papa!" teriak Mikasa membuat dada Eren tiba-tiba sakit. Papa? tadi Mikasa memanggil Rvaille-senpi dengan sebutan papa?!
"Apa yang kau lakukan di sini?! bukankah kau sudah tidur?!" kata Rivaille dengan nada marah lalu mengambil Mikasa dari gendongan Eren.
"Aku tidak mau sendirian di rumah, pa. Aku takut." Rivaille menghela nafas mendengar jawaban Mikasa. Sadar yang berdiri di hadapannya adalah Eren, Rivaille membatu. "Eren..."
Panggilan Rivaille membuat Eren sadar dari kagetnya. "Ah, senpai! kita bertemu lagi..." kata Eren dengan nada canggung sambil mengelus rambutnya. Rivaille terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. Tapi kemudian ia menarik tangan Eren.
"Aku ingin bicara padamu." kata Rivaille masih menggendong Mikasa dengan nada dan pandangan serius. "Perkenalkan, ini Mikasa, anakku..."
Sesaat, Eren merasa waktu berhenti dan sekelilingnya hancur. Tuhan, bolehkah aku menangis sekarang?, doanya dalam hati.
Bagaimana? terlalu pendek kah? Saya berencana membuat chapter ini sebagai prologue tapi sepertinya gagal. Perlukah saya melanjutkan cerita ini? Karena tokoh-tokoh Shigenki no Kyojin memakai nama Jerman, jadi judul yang saya pakai untuk fanfic ini juga memaai bahasa German dengan bantuan Google Translate. Maaf jika translate nya tidak benar.
Saran dan kritik diterima, so R&R please.
