NARUTO belongs to Masashi Kishimoto, I gain no profit from this fanfiction.
Love in the Ice © Shim (Max/Choikang) Changmin TVXQ!
Note: AU, OoC (karena keadaan), mungkin masih ada (miss) typo
.
.
*~*~*~*~*~*~*
~* Love in the Ice *~
*~*~*~*~*~*~*
.
.
Naruto melihat anak perempuan itu lagi ketika ia saling melontari salju dengan teman-teman barunya. Anak itu kira-kira berusia lima sampai enam tahun. Hari ini pun anak itu hanya mengamati anak-anak lain yang asyik bermain di tengah taman, seakan-akan tak ada niatan untuk bergabung.
Naruto tak menghiraukan bola salju yang baru saja dilempar ke kepalanya yang terlindungi topi rajutan. Ia yang tidak bisa lagi mengabaikan anak perempuan itu, akhirnya beranjak ke gerbang taman dengan mengabaikan seruan teman-temannya juga protes mereka lantaran ia yang paling heboh secara mendadak keluar dari permainan.
"Hei," sapanya. Ia yang berusia sepuluh tahun harus menunduk agar bisa melihat wajah anak itu dengan lebih jelas, meski hanya sesaat karena anak itu cepat-cepat menunduk dan memainkan jari telunjuknya.
"Mau main bersama?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata, anak itu berlari menjauh dan Naruto langsung mengejarnya. Ia mengira anak itu mengajaknya bermain kejar-kejaran. Dan ia beranggapan bahwa berlarian di musim dingin tidak terlalu buruk.
Ternyata lari anak itu cepat juga. Barangkali karena anak itu adalah penduduk asli Hokkaido yang memang sudah terbiasa dengan udara yang serasa jauh lebih menusuk tulang pada musim dingin seperti ini dibandingkan bagian selatan Jepang. Berbeda dengan Naruto yang datang ke desa ini—Desa Niseko—hanya untuk mengisi liburan musim dinginnya bersama keluarganya.
Ia pun kehilangan jejak anak itu setelah melewati belokan ke sekian.
.
Perempuan itu tidak tinggi layaknya peragawati, namun semampai. Senyum tipis tak kunjung pudar dari wajah Naruto sejak ia mengikuti setiap langkah seorang perempuan yang kini berjarak tak lebih dari lima meter di depannya. Rambut indigo panjang yang sesekali tertiup angin itu seolah tidak berhenti-henti melambai padanya. Ia memasukkan kedua tangannya ke mantel kremnya, mengikuti aksi perempuan di depan sana.
Langkahnya turut terhenti tatkala kaki bersepatu bot itu tidak berjalan lagi. Ia menunjukkan senyum yang lebih lebar saat perempuan itu berbalik dan menatapnya tajam. Sungguh, ia sangat merindukan sepasang mata pucat itu.
.
Naruto kembali bertemu dengan anak itu pada keesokan harinya. Anak itu tetap dengan mantel lusuhnya yang kemarin. Entah apa yang dilakukan anak itu di depan pagar penginapan yang menjadi tempat bermalam untuk Naruto dan keluarganya selama berlibur di sana. Tetapi Naruto tak ambil pusing. Kali ini ia langsung menarik tangan anak itu agar turut bermain ski bersama. Kebetulan anak itu datang di saat yang tepat. Ia beserta kedua orang tuanya baru akan berangkat dengan berjalan kaki menuju lokasi wisata ski. Mungkin ia juga akan mengajak anak itu menaiki gondola. Orang tuanya pun tidak keberatan ia membawa teman.
"I-itai…."
Naruto sedikit ragu apakah suara anak itu yang didengarnya. Meskipun begitu, ia berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
"Apa tarikanku terlalu keras?" Nada bicara Naruto sarat kecemasan bercampur rasa bersalah. Buru-buru ia melepaskan genggamannya, lalu memeriksa pergelangan tangan anak itu. "Eh?" Ia terbelalak melihat lebam di kulit putih itu. "Astaga … apa ini gara-gara aku? Gomen ne…."
Anak itu hanya menggeleng cepat. Lantas Naruto mengizinkan anak itu untuk menggamit jemarinya selama sisa perjalanan.
.
Namanya Hinata. Seharusnya hangat seperti namanya, namun anak itu begitu dingin dan tampak rapuh layaknya butiran salju. Naruto memandang sedih pada sepatu Hinata yang jebol pada bagian depan dan memperlihatkan ujung kaus kaki yang tidak mampu melindungi ibu jari yang terlihat pucat. Pantas saja Hinata menolak diajak bermain ski. Pasti juga sulit berjalan di atas tumpukan salju dengan keadaan sepatu yang seperti itu. Karena terlalu senang mendapati salju yang membentang, Naruto jadi kurang memerhatikannya.
Naruto menarik Hinata ke tepi arena ski. Ia mencopot sepatunya juga kaus kakinya. Selanjutnya ia melakukan hal yang sama pada Hinata. Ia menukar kaus kaki mereka. Sedangkan untuk sepatu, ia tidak bisa memberikan sepatunya yang pasti akan kebesaran di kaki mungil Hinata. Ia pun membuang salju yang masuk di sepatu Hinata sebelum mengenakannya kembali pada sepasang kaki yang dingin itu. Ia juga melepaskan sepasang sarung tangannya ketika menyadari bahwa Hinata tidak mengenakannya. Tatapan sendunya mengarah pada tangan-tangan kecil yang tampak membeku itu sebelum memasangkan sarung wolnya dengan cepat.
Ini kali pertama bagi Naruto melihat senyum lepas Hinata saat ia kembali menegakkan kepalanya. Ada kehangatan yang menyeruak dalam relung hatinya yang membuatnya turut mengulas senyum.
Sebelum kembali ke penginapan, Naruto mengajak Hinata menaiki gondola. Dari sana terlihat bentangan pegunungan setinggi ribuan meter yang mengelilingi Desa Niseko. Naruto senang melihat Hinata yang sedang terpukau.
.
Naruto yang merupakan anak tunggal jadi merasa bahwa ia telah menemukan seorang adik. Hinata begitu menggemaskan layaknya anak-anak lain yang juga sebaya dengannya, namun juga misterius dalam waktu yang sama. Bagi Naruto, hal itu yang membuat Hinata menjadi istimewa di matanya.
"Kenapa dengan wajahmu?" Naruto bertanya dengan penuh rasa cemas ketika mendapati ada lebam di wajah Hinata. Bahkan sebelah mata Hinata tampak lebih bengkak dari yang lain.
"J-jatuh." Hinata tidak membalas tatapan lawan bicaranya.
Naruto meneliti tubuh pendek yang ringkih itu. Hari ini Hinata kembali mengenakan sepatu lama yang rusak di sana-sini, bukan sepatu baru yang dibelikan ibunya atas permintaannya. Pun tangan-tangan mungil itu tak lagi dilindungi oleh sepasang sarung rajutan yang hangat.
Naruto terus mencoba berpikir positif. Ia mengembangkan senyumnya sebelum menggandeng Hinata ke toko kue yang ada di dekat pintu masuk arena ski. Menjelang Natal seperti ini, toko kue sangat sibuk dengan pesanan pelanggan.
"Aku ingin punya toko kue seperti ini," kata Hinata dengan mata berbinar ketika keduanya tiba di depan toko berjendela kaca lebar itu. Mimpinya teramat sederhana. Ia hanya ingin memakan kue-kue cantik itu setiap harinya.
"Kamu boleh makan kue sepuasmu hari ini," ujar Naruto. "Aku membawa uang yang cukup banyak." Cukup banyak untuk ukuran anak-anak seusia mereka.
Hari itu adalah hari terakhir Naruto melihat senyum dan tawa Hinata sebelum ia sekeluarga kembali ke Tokyo.
.
"Tidak ada yang menarik di flat sempit dan kumuh. Berhentilah menguntitku," desis perempuan yang diterka Naruto sebagai Hinata-nya.
Tak bosan-bosan Naruto mendapati tampang kesal Hinata setiap malamnya. Di lain sisi, ia sangat merindukan ekspresi polos di wajah itu.
"Kau sungguh tak mengingatku?" Terselip pengharapan dalam nada tanya Naruto, walaupun ia mengatakannya dengan sedikit bergurau.
"Aku belum pikun. Kau bosku kalau di toko," balas Hinata tiada rasa takut.
"Seperti biasa, kau sangat bernyali." Naruto menyeringai tanpa bermaksud jahat. Ia lebih mendekat pada Hinata yang tepat berada di bawah lampu jalan. Selama itu Hinata tak sekalipun mengalihkan pandangan dari kedua matanya.
"Kau kaya dan menjadi bos, tak berarti derajatmu lebih tinggi daripada aku."
Naruto malah terkekeh pelan. Perempuan ini memang sangat menarik.
.
"Hari ini aku mau bermain ski," kata Hinata di hari keberangkatan Naruto. "Aku juga akan menunjukkan sungai yang sangat jernih pada Oniisan. Tapi biasanya airnya masih beku kalau musim dingin…."
"Gomen ne…," lirih Naruto berulang kali. Mata birunya terlihat berembun.
Naruto teringat kalung berliontin sebentuk cincin polos berbahan emas putih yang menggantung di lehernya. Sebenarnya itu adalah satu cincin, namun di bagian dalamnya ada cincin lain berbahan emas kuning. Jika cincin di bagian dalam diputar sembilan puluh derajat, maka bisa digunakan untuk liontin. Naruto melepas kalungnya dan menggantungkannya di leher Hinata.
"Itu pemberian Obaachan. Katanya aku boleh memberikannya pada orang yang ku sayang. Okaachan dan Otouchan sudah punya cincin, jadi aku memberikannya padamu saja." Naruto mengatakannya dengan nada candaan, berharap dapat melihat senyum Hinata lagi. "Jaga dirimu baik-baik…," imbuhnya disertai senyum simpul.
Hinata tidak mengatakan apapun lagi. Ia terus mematung di tempatnya berdiri. Bahkan ketika Naruto sudah masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke bandara, Hinata belum melakukan pergerakan berarti. Namun Naruto masih bisa melihat air mata yang menuruni pipi kemerahan Hinata saat kendaraan yang ditumpanginya mulai melaju.
.
.
.
Beberapa tahun berselang. Naruto yang sudah bisa melakukan perjalanan jauh seorang diri, kembali ke tempat yang menjadi pertemuan pertamanya dengan Hinata. Wilayah itu sudah banyak berubah. Lokasi wisata ski dan arena gondola masih ada, namun di sekitarnya sudah menjadi resor mewah dan lahan pertanian.
Ia pun baru tahu kalau sungai yang dimaksud oleh Hinata saat itu adalah salah satu sungai terjernih di Jepang karena mengalirkan salju yang mencair. Sekarang sungai itu menjadi bagian dari resor terbesar yang dikunjungi banyak wisatawan pada musim panas.
Naruto sudah tidak bisa menemukan Hinata di Hokkaido. Ia terus berharap dapat berjumpa lagi dengan Hinata jika mereka masih berada di bawah naungan langit yang sama.
.
.
.
TbC?
Bingung? Sama~ *author galau*
