Hi, everyone!

Anne datang lagi.. seperti yang sudah Anne share trailer fic terbaru di akun IG Anne (yang belum tahu bisa langsung cus lihat), nah, ini dia fic yang sudah Anne janjikan. Sebelumnya, Anne mau ucapkan terima kasih untuk semua pembaca, reviewers yang kasih favorit atau bahkan follow fic 'I Want You to Need Me'. Kalian bisa kok request fic ke Anne apapun itu, karena kalau sekiranya Anne ada waktu dan sanggup, bisa tuh Anne coba penuhi requestan readers semua. Maaf, ya nggak sempat balas satu-satu di fic sebelumnya. Yang pasti Anne sudah baca setiap review yang masuk kok. Thanks banget!

Oke, mungkin langsung saja. Ada apa sebenarnya dengan kisah Pulang?

Happy reading!


"Morfin! Di mana Daniel simpan morfinnya... Oh God, bantu aku!"

Isi lemari kayunya dibongkar habis-habisan demi menemukan cairan yang ia butuhkan untuk menyembuhkan pria sekarat di dekatnya. Mendung sore itu di tepi sungai, ia dikejutkan dengan suara erangan bercampur riak-riak sungai yang cukup deras. Seorang pria dengan wajah penuh luka hanyut berpegangan pada sebuah batang kayu. Entah mendapatkan tenaga dari mana, ia angkat perlahan tubuh penuh luka pria berseragam aneh itu menuju tepian tanah kering. Dibantu dengan selendang yang dipakai, ia mampu membawa pria itu pulang tanpa orang lain tahu meski dengan cara menyeretnya perlahan.

Namanya Maureen Miller dan kini ia dihadapkan oleh seseorang yang mengingatkannya tentang masa lalu. Tentang Daniel Miller, mantan suaminya yang kini telah tiada. Pria yang sangat ia cintai dulu, meski ia tak pernah dicintai.

Maureen tak tahu siapa pria yang kini ia tolong. Wajahnya penuh luka lebam dan sayatan benda tajam. Begitu juga tangan dan kakinya. Pakaiannya terkoyak dan tepat di area perut, darah segar masih terus mengucur, membuat sang pemilik tubuh hanya bisa mengerang tanpa bisa mengatakan satu kata pun dari mulutnya. Ada ranting tajam masih tertancap di sana.

"Tahan sebentar, kau akan baik-baik saja."

"Aaggh—"

Dengan segala ketakutannya, Maureen berani bersumpah jika ia takut dengan keadaan seperti ini. Untung saja, ia menemukan satu botol morfin beserta suntikannya. Ia berharap jarum masih bersegel itu cukup steril untuk ia gunakan mengobati. Pelan-pelan, Maureen menakar jumlah morfin dalam suntikannya. Beruntung dulu ia sering melihat Daniel melakukannya.

"Aku mohon tahan, ini akan membuatmu nyaman," bisiknya pelan.

Teriakan keras beriringan dengan masukkanya sebagian jarum suntik ke dalam pembuluh darah pria itu. Setelah Maureen merasa pria itu mulai tenang, ia bergegas mengambil air hangat dan alkohol untuk membersihkan luka-luka di tubuhnya. Satu persatu pakaian di tubuh pria itu ia buka. Sebuah jubah hitam ia lepas dari tali pengait di lehernya lebih dahulu. Mata coklatnya mengamati seragam aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada tiga lapis yang dikenakan pria itu, namun yang paling menyedot perhatiannya adalah lencana yang terpasang di dada kirinya.

"Auror?"

Tidak cukup dengan lencana itu, Maureen mengambil sebuah benda panjang terselip di pinggiran celananya. Sebuah tongkat kayu antik dengan gagang berlekuk indah. Maureen menelusuri tongkat di tangannya setiap inci berharap ada petunjuk lain tentang identitas pria yang ia selamatkan. Namun sayang, semua itu tidak ada hasilnya.

Satu persatu lengan pria itu Maureen bersihkan dengan handuk basah. Dimulai dari lengan kanan, Maureen menyusuri setiap sela jari untuk membersihkan sisa lumpur sungai yang kering. Beralih ke tangan kiri, Maureen tak sengaja menemukan sesuatu yang berkilap di salah satu jarinya. Sebuah cincin berlapis emas putih melingkar cantik di jari manisnya. Maureen tersentak.

"Dia sudah menikah." Batinnya kecewa.

Ya, pria itu telah terikat dengan wanita lain. Itu setidaknya tanda yang tertangkap oleh daya kecerdasan Maureen. Benar atau tidaknya lambang cincin itu, Maureen harus tahu diri jika pria itu bukanlah Daniel suaminya. Ia tak berhak mendapatkan pria itu untuk mengantikan siapapun tanpa terikat dengan hukum yang sah. Tapi entahlah, Maureen harus mengakui perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Ada getaran berbeda terasa begitu kuat tatkala ia menyentuh wajah pria itu. Membelainya dan mengamatinya dengan seksama.

"Siapa dirimu sebenarnya? Kenapa harus kau yang datang di saat Daniel benar-benar telah meninggalkanku?" Maureen hanya berharap satu, pria itu sadar dan menatap matanya dalam. Seperti yang selalu ia harapkan pada Daniel.

Dulu.

Surai merah tergerai. Jatuh tepat di atas wajah sang pria tanpa identitas pria, membelai lembut pipinya dan menyentuh halus kelopak matanya. Hidungnya yang mancung kecil mencium harum dalam lelap. Ia merasakannya. Seperti ketenangan seseorang yang selama ini selalu ia dapatkan. Ia sangat mengenalnya tapi ada satu masalah yang terjadi, ada sesuatu yang berbeda. Mengingatnya, itu bukan apa yang ia miliki selama ini. Matanya perlahan terbuka. Wajah yang harusnya sangat ia kenal. Pendamping, ia mengingatnya selalu mendampinginnya. Tapi itu bukan. Dan wanita itu bukan miliknya.

Reaksi morfin dari Maureen menghilang seiring pria itu menyadari kesakitan ditubuhnya yang seolah ingin membunuhnya. Perlahan, langit-langit kamar tidak terfokus, pria muda itu menyadari keadaannya. Matanya tak bekerja baik. Tidak ada yang terfokus sempurna, semuanya kabur. Rasa sakit di perutnya menyerang kembali. Tangannya dengan cepat tergerak menyentuh bebatan kain putih di sekeliling pinggangnya. Ia tak kuasa untuk berdiri.

Mulutnya kering, suaranya tertahan tak bisa bekerja normal. "To-tolong—" panggilnya tak jelas untuk siapa.

"Kau sadar. Syukurlah. Jangan bergerak dulu!"

Pria itu mengernyitkan dahi, berusaha membuat indera penglihatannya bekerja lebih keras. Tapi ia hanya melihat seseorang berdiri tak jauh dari dirinya berbaring. Tubuh wanita dengan rambut merah terikat menyamping. Ia segera tersenyum bahagia. "Gin—"

"Minumlah!"

Maureen langsung mendekat menyodorkan segelas air pada si pria misterius namun dengan cepat pria itu menepisnya. Segelas air putih di tangannya jatuh. Pecahan beling mengotori lantai di bawah ranjang. Pria itu tertegun. "Kau bukan istriku—"

"Astaga. Tenanglah!"

"Kacamata! Kacamataku mana? Kau siapa?"

Tangan Maureen menahan tubuh pria itu untuk bangun. Cepat-cepat ia memperbaiki kemeja yang terpasang di tubuh pria itu. Namun apa yang ia lakukan terkesan tidak sopan. "Apa yang kau lakukan?" bentak si pria.

"Aku perbaiki bajumu. Tubuhmu lebih kecil dari Daniel, jadi bajunya sedikit kebesaran di tubuhmu—"

"Apa?"

Panik, pria itu baru menyadari jika pakaian yang ia kenakan sudah berbeda dengan pakaian terakhir yang ia pakai. Ia hanya bisa tertegun tak percaya. Pakaiannya telah diganti, oleh wanita lain yang bukan istrinya. Ia teringat wanita paling dicintainya itu. Ia telah berjanji akan segera pulang setelah pekerjaannya usai. "Aku harus pulang sekara—aagghh!"

"Tidurlah. Kau harus istirahat beberapa hari, lukamu belum sembuh. Kau bisa katakan siapa namamu dan jelaskan keluargamu di mana—istrimu. Akan aku usahakan mencarinya, supaya.. mereka tahu keadaanmu."

Pria itu hanya bisa diam. Tidak mungkin ia mengatakan keberadaan istrinya. Maureen hanya wanita biasa. Tidak seperti istri dan keluarganya yang lain. Ia pun tak mungkin menjelaskan siapa dirinya. Identitasnya tidak boleh dengan mudah diketahu oleh kaum lain seperti Maureen.

Kaum non penyihir.

"Aku—" pria itu tak yakin dengan apa yang akan ia lakukan.

Mata hijaunya masih bersembunyi kecil dibalik kelopak matanya. Susah payah pria itu melihat tanpa bantuan kacamata untuk mengenali tempat ia kini berada. Wanita bersurai merah di hadapannya membalas tatapannya hingga tak berkedip. Bahkan ada air mata jatuh di salah satu pipinya.

Wanita itu tersenyum perlahan, "namaku Maureen. Tak apa, katakan saja. Aku akan membantumu. Percayalah!"

"Namaku Ha—" pria itu tiba-tiba berhenti, ia memandang cincin yang masih melingkar di jari manis kirinya, "James. James Evans."

Maureen mengangguk bahagia. Tanpa ia sadari, tangannya perlahan tergerak, menyentuh kembali pipi pria itu lantas berbisik.

"Aku akan menjagamu." Senyumannya tercetak, memberikan ketenangan pada siapapun yang memandangnya.


Seorang wanita berambut merah yang lain.. jauh di atas jejak tanah yang lain, duduk termenung menatap jendela di hadapannya. Ia meremas buku putih bersama pena bulu terakhir yang diberikan oleh sang suami. Wanita itu sangat suka menulis. Dalam lingkungannya, ia pun sangat dihormati sebagai salah satu penyampai berita terbaik melalui tulisan-tulisannya. Bahkan bagi suaminya sendiri. Ia adalah yang terbaik.

Ia menangis.

Seseorang yang ia tunggu tak kunjung pulang. Mulutnya bergumam kata-kata pengharapan. Permintaan. "Kembalilah!" air matanya lagi-lagi jatuh beruraian, "kau di mana? Aku akan selalu ada menunggumu—"

Satu tangannya tergerak turun, menyentuh lapisan kain pakaiannya seolah ingin menyapa nyawa yang bersemayam di dalamnya. Mengatakan agar ia harus turun tenang dan menunggu.

"Kami menunggumu pulang."

- TBC -


#

Sebagai pembuka, Anne cuma mau bilang kalau sebenarnya fic ini terinspirasi dari lagu Cinta dari GAC yang nggak sengaja Anne dengar waktu di mobil saat perjalanan pulang dari Malang beberapa minggu lalu. Tengah malam pula. Ada radio yang muter lagu ini. Di saat setengah sadar antara tidur sama enggak, tiba-tiba cerita ini muncul di kepala Anne. Pada lirik yang Anne dengar.. sejak kau pergi ku ingin kau tuk kembali.. langsung bikin Anne muter-muter sama alur yang tiba-tiba tercipta di kepala.

Jadilah.. jika kalian dengar lagu itu, bayangin itu soundtrack untuk fic ini. Hehehe... *nggak juga nggak apa*

Bagaimana kisah Maureen bersama pria yang mengaku James Evans? Siapa sebenarnya James Evans? Lalu siapa wanita lain yang selalu menunggunya untuk pulang?

Temukan jawabannya di chapter selajutnya!

Maaf kalau masih ada typo. Anne tunggu reviewnya, loh. Ungkapkan semuany! Anne sayang kalian, readers!

Thanks,

Anne xoxo