"Nah, kau bebas," katanya ketika Snape bangun dengan susah payah. "Untung ada Evans, Snivellus…"
"Aku tidak perlu bantuan dari Darah-Lumpur kotor seperti dia!"
Lily mengerjap.
"Minta maaf pada Evans!" James meraung kepada Snape, tongkatnya teracung mengancam ke arahnya.
"Aku tak ingin kau menyuruhnya minta maaf!" teriak Lily, berbalik menghadapi James. "Kau sama buruknya dengan dia."
"Apa?" dengking James. "Aku TAK PERNAH menyebutmu—kau tahu apa!"
"Mengacak-ngacak rambut karena kaupikir kau tampak keren kalau kelihatannya seperti baru turun dari sapumu, sok pamer dengan Snitch konyol itu, berkeliaran di koridor dan memantrai siapa saja yang menjengkelkanmu hanya karena kau mampu—aku heran sapumu tidak jatuh ke tanah saat kaunaiki dengan kepala sebesar itu. kau membuatku MUAK!"
Lily berbalik dan pergi.
"Evans!" James memanggilnya. "Hei, EVANS!" [1]
.
.
.
Analogi Snitch
by WatchFang
Harry Potter belong to Madam JK. Rowling
I don't take profit from this fic
.
.
Tahukah kau bahwa Snitch mempunyai ingatan daging?
Dia akan mengingat orang yang pertama kali menyentuhnya
.
Bagian Satu
Ingatan Daging dan Insiden Senja
.
.
Pemuda berambut hitam acak-acakkan tengah gelisah dalam tidurnya. Tangannya menggapai-gapai dan sesekali kakinya menendang selimut yang membalut tubuhnya. Suara deritan ranjangnya pun mendukung pemilik raga yang berbaring di atasnya.
Kamar khusus lelaki asrama Gryffindor kelas enam itu dihuni oleh empat orang pemuda yang menyebut diri mereka Marauder plus satu orang, Frank Longbottom. Dan, kesunyian malam ini dipecahkan oleh teriakan salah seorang di antaranya.
"Hei, Prongs, bangunlah!" Sirius menyibak tirai penutup tempat tidur James dan menepuk kedua pipi pemuda berambut hitam ini. "Kau mimpi buruk sobat."
James terbangun dan mengatur napasnya yang memburu seolah terbang bermil-mil jauhnya. Sembari mengusap matanya yang masih terpejam, pemuda ini meraih kacamata bundarnya di meja samping tempat tidur. Setelah memakai dan menyesuaikan pandangannya, mata hazel pemuda itu nampak redup.
Mendapati sahabat kentalnya telah terjaga, pemuda keturunan Black itu melemparkan seringaiannya. "Well, Evans lagi? Kukira kau sedang berlatih untuk pertandingan lawan Ravenclaw nanti, Prongs." Seringaian Sirius makin melebar.
Namun, James tak menanggapi.
"Jangan bilang kau masih teringat peristiwa pasca OWL itu ya? Atau … kau menyesal telah menjungkir-balikkan si Snivellus? Oh, Prongs, ku kira otakmu telah terbentur Bludger." Sirius berlagak sok dramatis dengan menangkupkan sebelah tangannya di mulutnya yang menganga.
James mendengus. "Tak kukira pemuda bangsawan sepertimu bisa berlagak layaknya sekumpulan cewek-cewek yang gemar mengikik itu, Pads." Dia bergidik sebelum menghela napas dan memandang lurus ke depan—ke arah dinding yang tertutupi karpet merah keemasan. "Aku hanya kepikiran tentang efek dari penyerangan itu," aku James lemah.
Seringai Sirius memudar. Ditatapnya James. "Kau membuatku khawatir, Prongs," James menoleh, "seperti bukan kau saja."
Mendapati dahi James yang mengerut tak mengerti, Sirius terkekeh. "Ouh, sakit," Sirius merintih—main-main ketika James meninju lengannya. "Baiklah, aku jelaskan," Sirius menarik napas dan menekankan kalimatnya, "kau. sedang. menyesal."
"A-aku tak menye—"
"Dengar," Sirius menyela perkataan James. "Seumuran kita memang sedang dalam masa peralihan. Dipenuhi gejolak hormon dan emosi yang meledak-ledak. Mencari jati diri dan pengakuan. Dengar dulu, James." ketika iris hitamnya menangkap gelagat James yang membuka mulutnya, "akhir-akhir ini, aku merenung bahwa tingkah kita tempo lalu keterlaluan. Sangat malah. Mungkin, di tahun keenam ini, kita bisa mencoba untuk bertingkah normal—mengurangi keonaran. Bagaimana?"
Dan—
Sirius meoleh ke arah James.
—tawa James meledak. Membangunkan Remus dan juga Peter.
"Ada apa ini?" tanya Peter. Diikuti tatapan bertanya dari Remus.
"Tak apa, hanya mendengar khotbah tentang seseorang yang insyaf," cengir James. Disusul dengan sebuah bantal melayang, menampar wajahnya—dan pekikan dari pemuda ini.
Semester kedua tahun keenam ini. Semuanya masih terasa normal. James masih saja mengejar gadis bermata hijau cemerlang, Lily Evans, dengan penuh semangat. Sirius, pemuda-tampan-bangsawan-Black yang masih saja mencemooh usaha karibnya ini.
Seperti saat ini.
Tepat di depan kelas Ramuan, senuah teriakan melengking terdengar.
"Potter! Kau tuli atau idiot sih?!" Teriak Lily Evans. Wajahnya memerah menahan amarah. "Aku bilang tidak mau ya tidak mau! Lebih baik aku pergi dengan cumi-cumi raksasa di Danau Hitam itu daripada pergi dengan orang bodoh dan besar kepala macam kau."
James terpaku.
Lily Evans membalikkan badannya dan pergi. Rambut merahnya berayun sejalan dengan irama langkahnya. Menciptakan efek dramatis untuk James.
"Ups. Kau kurang beruntung lagi, Prong." Ucap Sirius sembari menangkupkan tangan kanannya ke mulutnya yang menguap. Netra hitamnya bergulir, mengerling ke arah James yang masih mematung karena teriakan penolakan gadis itu. "Aku heran, menagapa kau tak kunjung lompat dari Menara Astronomi jua," Sirius menyeringai, "aku bahkan tak tahan mendengar teriakannya itu. Seperti Banshee—"
Tersadar dari trans yang tercipta dramatis dari penolakan gadisnya itu, James berkedip dan mengacak rambut hitamnya.
Dia tertawa—keras. Serombongan anak perempuan kelas dua menatap aneh ke arahnya dan mendadak merona merah ketika Sirius balik menatapnya—mendelik lebih tepatnya.
"Well, kau lihat itu?" Sirius mengarahkan dagunya ke arah rombongan anak perempuan tadi yang masih mengikik. "Kau berhasil membuat dirimu seolah orang aneh nan gila yang kabur dari bangsal St. Mungo," Sirius bergidik, "kau menakutkan, mate."
James menoleh. Manik hazelnut miliknya bertemu dengan manik hitam Sirius. "Kau harus melihatnya, Pads!"
Sirius memutar bola matanya. "Melihat apa? Melihat kau ditolak, lagi dan lagi?"
"Oh … Pads kau membuat hatiku sakit tahu—" James berlagak memegang dadanya. Disambut dengan tatapan jijik Sirius. "Kau harus melihatnya tadi, Pads. Melihatnya marah, rambut merah yang berkibar, mata hijau yang berkilat ganas dan pipi yang merona merah. Dia terlihat cantik."
Sirius mendengus. Dari dulu dia memang menyadari bahwa ada suatu kerusakan pada otak sahabat karibnya ini. Mengangkat bahu, dia beranjak pergi.
"Padfoot,tunggu aku! Kita ada detensi dengan Profesor McGonagall."
"Ya, aku tahu. Dan ini karena ulahmu yang nekat meledakkan bom kotoran di depan hidungnya."
James meninju main-main bahu Sirius. "Ku harap bukan detensi terpisah lagi,Pads. Lebih baik aku membersihkan kantor si Filch yang bau itu, atau —"
"—menyikat pispot-pispot kamar mandi tanpa sihir," potong Sirius.
Kedua sahabat ini berangkulan dan meninggalkan depan kelas Ramuan itu.
Dan—sepasang iris berwarna giok menatap punggung keduanya di balik tembok yang tersembunyi. Mungkin … menatap salah seorang di antaranya—pemuda berambut acak-acakkan.
Pukul lima sore merupakan waktu yang bebas bagi murid-murid Hogwarts, setelah menyelesaikan kelas meraka seharian ini. Ada waktu satu jam untuk bersantai melepas penat mereka. Sebelum kembali ke asrama masing-masing, membersihkan diri dan makan malam bersama di Aula Besar. Ada yang menghabiskan waktu di perpustakaan—hanya segelintir dan didominasi murid asrama Ravenclaw—ada yang berlatih Quidditch (olahraga paling popular di dunia sihir dengan enam tiang gawang tinggi, empat buah bola dan empat belas pemain di atas sapu terbang) dan menontonnya serta ada yang bermain di Danau Hitam dan bercanda dengan cumi-cumi raksasa,
Sore menjelang petang adalah waktu favorit gadis berambut merah ini. Duduk bersandar di bawah pohon Beach, meluruskan kakinya dan memejamkan mata. Menikmati sapuan sang angin yang meniupkan aroma dedaunan, membelai halus pipinya yang putih.
Lily menikmati ini. Mentari senja dengan sinar yang lembut. Semburat merah ke-orange-an mendominasi kanvas cakrawala. Sembari membuka kembali buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan.
Iris klorofilnya mengerjap, menatap serombongan berjubah merah gelap dan dihiasi warna emas—warna asramanya—berkibar-kibar di tengah lapangan Quidditch.
Satu lagi rahasianya. Selalu menonton latihan tim asramanya itu … dari tempat ini.
Tempat duduk favoritnya ini letaknya tersembunyi jika dilihat dari lapangan Quidditch.—jika kau tahu maksudku—dia takkan pernah memunculkan diri di bangku penonton saat sesi latihan.
.
.
"Merlin … aku tak mau menonton latihan itu, Mary." Tolak Lily pada ajakan sahabatnya itu.
"Ayolah, aku tahu kau luang, Lils," bujuk Mary. "Tak baik menghabiskan waktumu—bahkan waktu santaimu itu di hadapan tumpukan buku super tebal itu. lebih baik kau alihkan sementara pada serombongan cowok-cowok keren kita," Mary menambahkan dengan seringai, "terutama James. Dia—"
"—adalah orang besar kepala yang gemar mengacak-acak rambut semrawutnya itu," potong Lily. "Tak usah kau beri tahu, aku sudah tahu fakta itu sejak—" Lily menghitung dalam hati, "lima tahun yang lalu. Sejak dia dengan bangga memamerkan kemampuannya berdiri di atas sapu idiot itu." Lily berhenti dan mengambil nafas.
.
Mary memutar bola matanya. Sebagai sahabat terdekat gadis bermata zamrud itu, dia sudah tahu kekesalan Lily pada James yang selalu mengejarnya tak kenal lelah. Sebenarnya bukan benci yang dirasakan Lily. Hanya kekesalan dan kesebalan. ("Jika kau ditaksir oleh seorang pemuda sejak pertama menginjakkan kakinya di Hogwarts—berumur sebelas tahun—yang mana belum mengenal arti cinta dan terus-menerus berkoar-koar bahwa dia mencintaimu, bagaimana? Bahkan, parahnya disertai dengan cengiran bodoh itu—sambil terus mengacak-acak rambutnya. Dimana letak keseriusannya itu?"). Itu adalah jawaban yang diberikan Lily ketika ditanyai dirinya alasan penolakan terhadap James. Saat itu, Mary menghela nafas lega. Bukan prasangka buruk yang selama ini ia terka. Hanya tunggu waktu saja untuk mendinginkan kepala mereka—hingga menyatukan mereka.
Seperti saat ini, saat dimana Lily masih belum menyadari bahwa sedikit hatinya telah terjerat pesona James Potter. Sorot mata zamrud itu memang masih berkilat sebal, saat dengan dongkolnya Lily menumpahkan segala keusikan James di kelas lima dan kelas sebelum-sebelumnya. Dan … betapa tidak berdayanya dia—selaku Prefek menjatuhkan detensi padanya, karena rekan sesama Prefeknya—Remus Lupin merupakan anggota geng mereka. Saat itu, Mary bersumpah ada kilasan emosi yang berbeda melintas di mata emerald itu. Simpatikah? Pedulikah? Mary takut untuk mengambil hipotesa. Masih terlalu dini … dan ambigu untuk mereka berdua.
.
"Well, aku tak tahu kau seperhatian itu pada James, Lils." Mary memancing. "Bahkan kau sampai ingat segala, kapan persisnya James mulai membuktikan kemampuan Quidditchnya itu."
"Bu-bukan itu maksudku, Mary." Lily tergagap. "Ha-hanya—"
"Ya, ya, ya … 'hanya saja aku kesal dengan tingkah tengilnya itu'. Aku sudah hafal di luar kepala jawabanmu itu, Lily flower." Mary mengibaskan tangannya seolah mengusir lalat tak kasat mata di depan hidungnya. "Sudahlah, aku lebih baik ajak Alice saja. Kau. Tak. Asik," menekankan kalimat terakhirnya, Mary berlalu.
"A-aku sebenarnya ingin … tapi, ego ini masih saja tak mau," ucap Lily lirih. Iris klorofilnya menatap punggung Mary. Pintu lukisan Sang Nyonya Gemuk—penjaga pintu asrama Gryffindor terbuka. Dan, keluarlah sahabatnya ini bersama kekasih Frank Longbottom.
.
.
'Astaga, apa yang ku lamunkan?' percakapan tak penting dengan Mary itu tiba-tiba terlintas di pikirannya.
'Huh, merepotkan.'
Meraih sebutir kerikil di dekatnya, gadis bermarga Evans ini melemparkannya ke tengah Danau Hitan dengan sekuat tenaga.
Lily menjerit keras. "Dasar kepala besar!"
Puas dengan acara "waktu luangnya itu, Lily kembali ke kastil. Tanpa disadari, iris klorofilnya melirik ke arah lapangan Quidditch yang masih saja ramai. Dan—dilihatnya seorang pemuda berambut hitam acak-acakkan itu tengah memasukkan Quaffle dengan gaya, err … kerennya.
Menggelengkan kepala karena pemikiran anehnya itu, Lily meneruskan langkahnya.
Langkahnya terhenti ketika dia berpapasan dengan serombongan anak berlogo ular perak dan didasari warna hijau—Slytherin.
Nampaknya, bukan hanya Lily saja yang menyadarinya—
"Wow, lihatlah! Ada anak kesayangan Kepala Asrama kita, si Darah-Lumpur-Evans," cibir Avery.
"Minggir kau." Lily menatap lawan bicaranya satu per satu."Ah … Avery, Mulciber dan—" iris gioknya menatap sosok pemuda berambut hitam klimis, "—Snape. Rombongan kecil ular licik pengiku penyihir hitam." Lily mencemooh dan menatap sinis ketiganya.
Yang kemudian memusatkan pada salah seorang di antaranya. "Well, Snape, Kau sudah resmi bergabung dengan mereka, eh?"
.
Pemuda yang mendapati tatapan tajam Lily—Severus Snape hanya menunduk.
"Jawab dia, Severus," desis Mulciber seraya menyenggol rusuk miliknya. Severus mengangkat dagu dan membalas tatapan Lily.
Obsidian bertemu viridian—
Tatapan itu … berbeda. Tatapan berkilat dari bola mata badam berwarna hijau cemerlang. Penuh kebencian.
"Cukup. Latihan kita sudahi sampai di sini. Tak ada gunanya kita terus latihan, jika konsentrasi kita sudah terpecah dan tubuh lelah," ujar sang kapten tim Quidditch Gryffindor.
Sebenarnya, konsentrasinya lah yang terpecah. Begitu mata hazel miliknya menangkap sosok berambut merah gelap itu melintasi halaman. Sinar mentari senja membiaskan sinar lemahnya. Membuat rambut merah itu berpendar kemilau.
Berkali-kali dia memusatkan perhatiannya pada Quaffle yang hendak dia masukkan ke dalam gawang. Dan—tentu saja meleset, yang disambut dengan lenguhan penonton lain.
James menukik tajam ke bawah lapangan, kakinya menjejak dan mendarat dengan sempurna.
"Minumlah, Prongs," Sirius melemparkan sebotol air ke arahnya.
James menangkapnya gesit dan langsung menegak isinya. Sisanya ia gunakan untuk mengguyur kepalanya yang terasa panas. Meratakan air yang setengah membasahi rambutnya dengan mengacaknya. Membuat rambutnya mencuat ke segala arah.
"K-kau membuat mereka seperti demam. James," cicit Peter, seraya menunjuk kea rah segerombolan cewek-cewek yang merona merah dan mengikik sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya.
James hanya mengangkat bahu.
Sirius mendengus, "huh, kau akan kalah pamor, andai aku juga seorang pemain Quidditch, Prongs."
"Yah … dan kau akan langsung terjungkal saat pertama kali sapu itu terbang, Pads," cengir James. Tentu saja, bukan rahasia umum kalau pemuda keturunan Black ini tidak cakap dalam urusan terbang—menggunakan sapu tentunya.
"Maaf saja, aku tak level terbang menggunakan sapu."
"K-kau m-mengelak Padfoot."
"Oh, diamlah kau, Wormtail!."
James ber-high-five dengan Peter dan tergelak. Namun, tawa James terhenti—
Bola mata sewarna dengan daun di musim gugur ini melihat bahwa gadisnya—Lily Evans, bertemu dengan serombongan anak Slytherin. Menangkap gelagat yang tak beres, ia langsung melesat ke tengah halaman tersebut.
"Oi, James! Kau melupakan ini—" Sirius mengangkat tinggi-tinggi tongkat sihir milik James.
"Bergabung atau tidak, tentu saja bukan urusanmu, Evans." Snape menjawab. "Kau, Darah-Lumpur, tentu saja tak ada urusan denganku," tambah Snape disertai dengan cemoohannya.
Jujur, Lily bergetar.
Bukan sekali atau dua kali dia dipanggil dengan julukan menyakitkan itu—Darah-Lumpur oleh anak Slytherin. Bahkan berkali-kali, nyaris setiap bertemu dengan mereka. Namun, Lily tak pernah ambil pusing dan menebalkan telinganya.
Namun, kali ini berbeda. Ini—kedua kalinya dipanggil 'itu' dengan sahabat—oh, mantan sahabatnya sekarang. Tentu saja, ini terasa berbeda. Menyakitkan … dan menyesakkan.
Bukan Gryffindor namanya jika kita tak berani.
Pepatah konyol. Menguatkan hatinya, Lily terus menatap intens mata hitam lawan bicaranya. "Oh, tentu saja bukan urusanku, Snape. Aku tak ingin mengotori tangan dan darah yang kalian hina ini, dengan urusan kotor kalian."
"Kau, Sev-Snape, tak ada bedanya dengan mereka," Lily mengarahkan arah pandangnya—menunjuk pada Avery dan Mulciber lalu kembali memusatkan pada Snape. "Kalian para Darah Murni tak tahu diri! Kejam, hina. Tingkah laku kalian tak pantas dengan kemurnian darah yang kalian agungkan itu—"
"Cukup!" Avery menggeram marah. Terlihat tangan kanannya menggenggam sesuatu di balik saku jubahnya. "Kau, beraninya menghina kami, Darah Lumpur!"
Secepat kilat, Lily menarik tongkat Willow-nya. "PROTEGO!"—
—tepat dengan sinar ungu meluncur di balik tongkat Avery
Traang … sinar ungu itu menghantam perisai pelindung Lily. "Impedimenta!" serang Lily balik.
Kuatnya perisai pelindung Lily, dan mantranya yang berbalik—ditambah kutukan perintang gadis itu—menghantam Avery dan membuatnya jatuh terpental sejauh tiga meter.
Refleks. Kedua temannya, Mulciber dan termasuk Snape menarik tongkat mereka. Menghunuskan ke arahnya.
Menatap garang, Mulciber menggeram marah, "Kau, berani sekali, Darah. Lumpur. Kotor." Tongkatnya bergetar. Sedangkan Severus, tongkat miliknya hanya teracung tak berarti ke arah Lily. Dengan tatapan yang tak terdefinisikan.
"Dan kau, Snape, akan melakukan hal yang sama dengan rekanmu itu, huh?" Nada suara Lily terdengar dingin, mengacuhkan perkataan Mulciber. "Tentu saja ka—"
"—Expeliarmus!"
Sinar merah menghantam Lily. Tongkat Willow miliknya terbang sejauh tiga meter di sisi kanan tubuhnya.
Di saat atensi gadis bermata hijau cemerlang ini terpusat pada mantan sahabatnya, Avery yang sudah pulih dari mantra perintang Lily segera bangkit. Menyeringai licik, dia meraih tongkatnya yang tergeletak di tanah, seberkas sinar merah meluncur—
—Dan tongkat milik Darah Lumpur itu terlepas dari genggamannya.
Tanpa tongkat, Lily tak berdaya. Terlebih yang dihadapinya ini adalah tiga murid Slytherin yang gila Sihir Hitam dan—laki-laki. Astaga! Seorang perempuan melawan tiga orang lelaki … dan wandless—tanpa tongkat.
Keadaan itu nampaknya terbaca oleh Muciber. Mata hijau Lily melihatnya membuat gerakan menebas. Dan rasa perih menjalari lengan kanannya.—darah merembes disertai dengan luka sayatan dalam.
"Licik! Menyerang di balik punggung lawan—"
"Semua itu sah jika berduel, Nona."
Lily bergidik mendengarnya.
Mata hijaunya bersirobok dengan mata hitam Severus. Kemudian, Severus cepat-cepat menunduk.
Dilihatnya Mulciber yang menyenggol rusuk Severus—mengakibatkan mantan sahabatnya itu sedikit berjengit—mendesis pelan. Lily tak bisa menangkap apa yang dibisikannya. Tapi … apapun itu, pastilah sesuatu yang buruk.
Benar.
Severus kini mengacungkan tongkat ke arahnya—ke arah Lily . Dan mulai membuka mulutnya.
Seberkas sinar ungu meluncur. Tepat di depannya. Lily yang terkejut dan tak berdaya tanpa tongkatnya—menutup mata.
Namun, apapun itu, dia merasa tak kunjung merasakannya. Sinar kutukan itu tak menghantamnya—
.
Kedua manik hitam Severus melebar. Bukan. Bukan karena reaksi gadis yang ada di depannya. Namun, karena sinar yang meluncur—bahkan mulutnya pun belum mengucapkan sepatah mantra!
Indra pendengaran Severus menegak, diiringi dengan desisan lemah. Menoleh ke belakang, didapatinya Avery yang menyeringai keji.
.
—dan memantul.
Seolah terdapat perisai tak kasat mata yang mendadak tercipta di depan Lily.
Pemuda berambut acak-acakkan itu segera berlari.
Evans.
"Oi, James! Kau melupakan ini—" teriakan Sirius tak dia dengarkan. Entah apa yang dilupakannya, yang pasti Lily lebih mendesak.
Astaga, benar kan firasatnya. Seorang gadis tanpa tongkat dengan tiga orang pemuda bertubuh besar—oh, ralat, si Snivellus itu tidak termasuk bertubuh besar.
Tepat ketika sinar ungu melesat dari sisi belakang-kanan Lily. 'Main belakang pula,' pikirnya.
"Sial!" James mengumpat ketika dia merogoh saku jubah Quidditchnya. Kesalahan fatal. Tongkatnya tidak ada—dan James menepuk jidat. 'Aku menitipkannya pada Pads!'
Tak ada pilihan lain. Mungkin ini yang akan disebut dengan tindakan ksatria tapi bodoh—
James segera menghambur dan berdiri di depan Lily. Membiarkan dadanya yang terhantam kutukan bocah Slytherin tersebut.
Lily membuka mata dan menyadari bahwa wajahnya berada di balik punggung seseorang—dengan jubah Quidditch berwarna merah emas.
"Menyerang seorang gadis tanpa tongkat? Bahkan bergerombol. Merlin … kalian para Slyhtherin memang licik dan tak berperasaan." Suara pemuda ini, terasa familiar. Mungkinkah ini dia?
.
"Wah, wah … Kebetulan sekali. Kita kedatangan tamu spesial, Severus," Avery mencibir. Matanya berkilat licik. "lihatlah, James Potter, kapten Tim Quidditch Gryffindor datang. Mana gengmu yang bodoh itu, heh?"
Mulciber tertawa girang. "Dua singa Gryffindor yang sok berani. Menantang kita para ular, bahkan tanpa senjata sekalipun. Ini pasti akan menjadi tontonan menarik."
.
Benar. Tak meleset dugaannya. Siapa lagi pemilik rambut hitam berantakan dan mencuat?
Lily memandang punggung Potter. Bahunya terlihat naik turun seirama dengan napasnya yang tak beraturan—tersengal-sengal. Samar, wangi parfum musk tertangkap indra penciuman Lily.
Entah mengapa, hal ini membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ini … adalah jarak terdekat baginya—bagi mereka berdua—setelah bertahun-tahun lamanya.
Bukan rahasia umum jika James Potter menyukai Lily—dann belum ada balasan dari yang bersangkutan. Alih-alih membalas atau merespon, Lily malah menghindar. Lily lah yang membuat jarak. Sudah melihat wajah dan cengiran bodoh ditambah rambut acak-acakan Potter saja sudah membuat moodnya turun.
Namun, mengapa ini terasa ironi?
Terasa berbeda? Mengapa rambut acak-acakkan Potter terlihat … err, lucu? Lily harus mati-matian menahan kontrol terhadap tangannya.
'Stop berpikir bodoh, Lils' pikirnya. Menggelengkan kepalanya, ia memutuskan untuk melangkah dari belakang punggung Pottter dan mengambil tempat di sisinya.
Potter menoleh sekilas ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"
Sebenarnya Lily ingin mengacuhkan pertanyaan pemuda ini. Namun tubuhnya berkhianat. Luka sayatan yang menggores lengan kanannya, kini terasa perih dan berdenyut-denyut. Iris teduhnya menangkap ekspresi khawatir ketika dia tidak sengaja meringis kesakitan, sebagai pengganti dari menganggukkan kepala.
Tak tahan dengan pandangan intens pemuda di sisinya—Lily menolak untuk menatap hazelnya. Dibuangnya pandangan itu ke arah mana saja, asal buka manik sewarna daun yang gugur itu. Dan, dia menangkap siluet benda tipis-panjang. Itu … tongkat Willownya, tergeletak begitu saja di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Wormtail, sepertinya sobat kita memerlukan ini," kata Sirius sambil menunjukkan sesuatu.
Peter memandang benda itu—kayu berpelitur halus, pipih dn panjang—itu, tongkat James. "Astaga, dia melupakannya."
Sirius hanya memutar bola matanya. "Terkadang, cinta bisa membuat seseorang yang pintar menjadi bodoh, ya?" Pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban—pertanyaan retoris. Kemudian pemuda Black ini teringat, "ayo, Wormtail, kita jenguk Moony. Arrghh … gara-gara detensi sialan semalam, aku dan James tak dapat menemani dia jalan-jalan semalam."
Peter pun meringis.
"Jangan bilang, kau juga absen semalam."
Pemuda pendek ini mengangguk, sembari menggaruk rambut tipisnya. "Err … maaf, aku harus mengerjakan essai ramuan Tegukan Hidup Bagai Mati-nya professor Slughorn, Pads."
Sirius menghela napas. "Oh … kasihan Moony. Ku dengar, luka-luka akibat transformasinya semalam lumayan banyak. Pastilah dia mencakari dirinya sendiri." Kemudian dia bangkit berdiri dan mengulurkan tangan kanannya pada Peter—menariknya berdiri.
"Ayo, kita ke rumah sakit. Kasihan Moony, pastilah ia merindukan tikus gembul ini."
"Hahaha … sialan kau, Pads." Peter meninju bahu kawannya main-main.
Dan, dua orang pemuda ini—kurus tinggi dan pendek gembul—berlari menuju rumah sakit.
James meraba dadanya. Gelegar rasa nyeri kian terasa akibat terkena hantaman sinar ungu milik Avery. Dia tak tahu itu kutukan apa, yang jelas dia merasa semakin lemah.
Kini, Avery melipat tangannya di atas dada. Tersenyum licik. Dia menepuk punggung Snape dengan berlebihan.
"Kini, si Potter ini menjadi hakmu, Sev. Anggap saja kesempatan. Kau ingat tentang penyerangan pasca OWL tahun lalu bukan?
Perlahan, muka Snape yang tertunduk kini terangkat. Iris hitamnya berkilat. "Ku harap, kau tak lupa dengan tindakanmu itu, Potter."
Tentu saja tidak. Seberengsek dan sejahil apapun James, diam-diam dia memang menyesal. Saat itu, tingkah main-main James bertransformasi menjadi kemarahan setelah mendengar 'kata tabu' yang dilontarkan Snape pada Lily.
James tahu.
Tak seharusnya dia mempermalukan Snape. Menjungkirbalikkan dan mempertontonkan apa yang—James tak mau lagi menyebutnya.
"Dan terima kasih, berkat kau, kini aku menemukan jalanku sendiri." Suara dingin Snape kembali terdengar. "Aku hanya ingin kau merasakan sakitnya dipermalukan," Snape memandang berkeliling, "tapi sayang, semua murid telah kembali ke dalam kastil. Mungkin sedikit kutukan—"
Mulciber segera menyambarnya, "sudah lama aku ingin mempraktekan salah satu Kutukan-Tak-Termaafkan pada. Cruciatus mungkin?"
"Kau jangan gegabah. Aku tak ingin menarik perhatian. Ini masih di lingkungan Hogwarts dan di bawah lindungan Dumbledore," cegah Avery.
Tatapan lapar Mulciber hilang. "Tapi … aku ingin. Dan mumpung kita ada—"
"Levicorpus." Suara dingin itu menyerang.
Dan, detik berikutnya James tergantung terbalik—kepala di bawah dan kaki di atas—di udara. Seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram kedua pergelangan kakinya. Semua benda yang ada di saku James terjatuh. Termasuk Snitch-nya.
'Bagus, mereka sedang memperhatikan Potter,' batin Lily.
Sedikit melangkahkan kaki kanannya untuk menyeret tongkat Willow miliknya. Begitu sudah dirasa bisa dijangkau dengan tangannya, dia menunduk. Sedikit meringis, tangan kanannya segera menyambar itu.
Lily tak menyimak pembicaraan mereka—Potter, Avery, Mulciber dan Sev.
Atensi Potter pun nampaknya demikian. Hingga dia tak menyadari bahwa Lily sudah berada di sisinya.
Tepat saat tangan Lily mengenggam kembali tongkatnya, dia melihat seberkas sinar meluncur dari tongkat Severus dan menghantam tubuh Potter.
Mata hijau Lily terbelalak.
De ja vu—dengan keadaan yang terbalik.
Potter tergantung dengan Severus yang mempunyai kendali. Kontras dengan apa yang terjadi pada musim OWL tahun lalu.
"Sectusempra." Severus membuat gerakan menebas. Dan kini, Lily dapat melihat sayatan melintang di sepanjang lengan kiri Potter. Dalam, dengan darah yang terus menerus menetes.
Lily memandang tak percaya. Bahwa, Severusnya, sahabatnya kini benar-benar bertransformasi menjadi sosok yang sebenarnya. Desas-desus itu benar. Pelahap maut—
Kedua teman Severus pun tak jauh beda. Keduanya tampak ganas dan sadis.
"Crucio!" seru Mulciber.
Astaga! Bahkan mereka berani menggunakan Kutukan-Tak-Termaafkan di lingkungan sekolah!
Potter menggeliat. Mukanya semakin membiru. Namun, dia tak berteriak. Lily tahu itu sakit, melihat Potter menggigit bibirnya erat-erat untuk menjerit.
'Dia akan kehabisan darahnya!'
"Cukup! Kutukan itu akan membekas!" teriak Avery.
"Tidak akan berhenti, mate. Sebelum dia," Mulciber menunjuk Potter, "ber-te-ri-ak." Dia semakin menjadi-jadi, manambah intensitas kutukannya.
Lily tak tahan lagi. "Cukup! Hentikan! JAMES!"
.
.
TBC
.
.
Catatan kaki:
[1] Kutipan Harry Potter and the Order of the Phoenix chapter 28
Curcolan Author:
Tadinya mau ku publish tanggal 27 Maret kemarin sebagai hadiah ulang tahun si Prongs. Tapi, karena kerjaan belom beres ditambah sedang lembur yang menggila, baru sempat dipublish sekarang *dasar author pemalas*. Dan, niatnya juga mau jadi oneshot, tapi jari berkehendak lain deh #nyengir.
So, mind to review and concrit?
Your feedback give me a support to continue next chapter (^o^)
