Disclaimer : Bleach belong to Tite Kubo
This story is inspired by xxxholic
xxxholic belongs to CLAMP
Warning : AU, OOC
Genre : Drama, Supranatural, Romance, Adventure
Part 1 : Nice to meet you. I'm a snake.
Pagi. Seharusnya disambut dengan antusiasme tinggi oleh siapapun. Kicau burung gereja di sepanjang pepohonan, udara sejuk yang segar, maupun helai-helai sakura yang gugur, seharusnya tidak disia-siakan dengan kemurungan macam apapun. Pagi cerah ini disambut oleh keceriaan dan penuh rasa syukur oleh murid-murid SMU Karakura. Hal itu terlihat dari wajah-wajah cerah mereka menyambut musim semi. Beberapa murid berlarian memasuki gerbang SMU yang megah. Mereka saling bertukar sapa dan cerita dengan bersemangat. Tidak ada tempat untuk kemuraman di wajah-wajah mereka. Kecuali satu wajah.
Kuchiki Rukia berdiri di depan kaca jendela yang terletak di lantai tiga sekolah, memandang ke arah bebungaan merah muda dan putih yang kelopaknya berjatuhan. Mata jernih ungunya menerawang. Wajah mungilnya dihiasi beban, membuat wajah yang seharusnya terlihat manis, jadi masam.
"Kuchiki-san!"
Sebuah suara melengking menyapa Rukia dengan ceria, membuat gadis itu terlonjak.
"Ohayooooo!" si penyapa Rukia melambai-lambaikan tangan. Sementara Rukia hanya mengangguk kecil untuk membalas sapaan gadis itu.
"Ohayo juga, Inoue," Rukia memaksakan sebuah senyum yang setiap orang pun tahu kalau itu tidak tulus. Tapi yang dihadapinya ini adalah Inoue Orihime, si lugu yang selalu ceria dan memandang dunia bagaikan pelangi tanpa cela, alias hanya berisi kebahagiaan. Dia selalu berprasangka baik pada tiap orang, sekalipun orang lain tidak seperti yang dipikirkannya. Kadang Rukia iri dengan keluguannya itu.
"Kuchiki-san, tidak baik kalau pagi-pagi melamun," Orihime menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan wajah serius setibanya ia di samping Rukia.
"Iya. Aku hanya-"
"Dan tidak boleh berdiri terlalu dekat dengan jendela. Nanti kalau kau lupa, bisa-bisa nanti kau jatuh," potong Orihime dengan petuahnya.
"Etto...aku tidak mungkin lu-"
"Terus, nanti kalau ada hantu iseng yang lewat, kau bisa didorong jatuh, Kuchiki-san."
Rukia berkedip-kedip mendengar imajinasi Orihime, "Terima kasih, Inoue. Tapi kurasa-"
"Terus, kalau ada klub sepakbola latihan di koridor, lalu mereka lari-lari, lalu mereka tidak sengaja menabrakmu, kau juga bisa jatuh, Kuchiki-san."
Muka Orihime semakin menunjukkan kalau level keseriusannya meningkat.
Rukia menelengkan kepala demi mencerna logika Orihime.
"Inoue, aku rasa klub sepakbola tidak akan latihan di lantai ti-"
"Dan lagi Kuchiki-san," potong Orihime menggebu-gebu. Matanya membulat menyaingi huruf 'o'. "Kelas sudah mulai sejak satu menit yang lalu," kembali Orihime menggoyang-goyangkan telunjuknya.
Kali ini mata Rukia yang membulat. Otaknya segera mengirim alarm tanda bahaya mengingat yang mengajar adalah Unohana-sensei yang lembut tapi kejam.
"KENAPA TIDAK BILANG DARI TADI?" teriak Rukia sebelum mengambil langkah seribu ke kelas. Tubuh mungilnya segera menghilang di tikungan lorong yang memisahkan kelas-kelas, meninggalkan Orihime yang senyum-senyum tidak jelas.
Sedetik kemudian Orihime melihat Rukia kembali berlari-lari ke arahnya.
"Kita kan sekelas, Inoue. Gimana, siiiih?" kata Rukia sambil menarik Orihime untuk mengikuti larinya.
.
.
.
"Silakan berdiri di lorong...Kuchiki, Inoue," Unohana dengan senyum seseram maut, menyambut Rukia dan Orihime di ambang kelas. Dua remaja berumur tujuh belas tahun itu terengah-engah memegang lutut sehabis sprint mendadak di koridor kelas.
Rukia berusaha menyusun alasanan, "A-ano...Unohana-sensei, saya sudah tiba dari tadi, hanya saja saya keluar lagi. Tas saya juga sudah ada di bang-"
"Silakan berdiri di lorong...Kuchiki, Inoue," potong Unohana, tak lupa dengan senyum yang semakin menyesakkan dada.
Bahu Rukia melorot lemas. Dengan menyeret langkah dia berjalan menuju koridor, diikuti Orihime di belakangnya. Heran deh. Masih saja gadis teman Rukia itu senyam-senyum ganjil setelah menerima hukuman Unohana.
Rukia mendesah. Wajah murungnya kembali hadir. Diliriknya Orihime yang menyandarkan punggungnya seraya matanya menatap langit-langit kelas. Entah hal antik apa lagi yang dipikirkan oleh gadis berambut panjang itu. Tapi Rukia tahu, sekalipun Orihime terlihat bodoh, dia adalah juara satu paralel di SMU Karakura. Berbeda dengan Rukia.
Rukia tidak butuh hukuman ini untuk menambah bebannya. Beban yang timbul oleh nama belakang yang disandangnya. Nama terhormat keluarga bangsawan yang diidam-idamkan oleh hampir semua orang di seantero Jepang. Bagaimana tidak? Nama itu menguasai lebih dari setengah Jepang. Dari perekonomian sampai politik. Jika orang biasa mengejar materi, maka hal yang sebaliknyalah yang berlaku untuk keluarga Kuchiki. Pameo itulah yang dikenal oleh orang lain.
Namun bagi Rukia, nama itu adalah rantai yang menyesakkan.
Tahukah mereka bahwa Rukia menerima fasilitas keluarga Kuchiki dengan terpaksa? Nama itulah yang membesarkannya. Nama itulah yang memberi kehormatan dan kemewahan yang melimpah, dan di saat bersamaan juga menuntut Rukia hingga tercekik. Tahukah mereka bahwa menyandang nama Kuchiki membuat Rukia tertekan, sekaligus menyesal karena merasa tidak tahu diri dan tidak bersyukur dengan pemberian mereka?
Mereka tidak tahu itu. Mereka hanya tahu bahwa Rukia adalah salah satu anggota keluarga Kuchiki yang terpandang, yang memiliki hidup gemerlapan.
.
.
.
Namanya adalah Kuchiki Byakuya. Seorang kepala Kuchiki generasi terakhir yang memiliki kharisma luar biasa. Tangan dinginnya telah memimpin Kuchiki selama sepuluh tahun terakhir, dan nama keluarga Kuchiki semakin cemerlang berkat kerja briliannya. Tangan dingin itu jugalah yang telah mengangkat kehormatan Rukia dari panti asuhan bobrok di Rokungai, menjadi seorang gadis bangsawan terhormat.
"Anda mirip dengan Hisana-sama, mendiang istri Byakuya-sama. Karena itulah dia langsung jatuh sayang ketika melihat anda, Rukia-sama."
Itulah jawaban yang Rukia dapat dari kepala pelayan ketika ia menanyakan alasan Byakuya mengadopsinya. Saat itu Rukia yang masih berusia tiga belas tahun merasakan kehangatan di hatinya.
Dalam pikirannya, ia adalah simbol kasih sayang mendalam Byakuya terhadap Hisana. Dan Rukia merasa cukup puas dengan fakta itu. Maka dari itu, Rukia bekerja keras untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Ia ingin membahagiakan Byakuya, nii-sama yang dihormatinya. Sekalipun anggota keluarga lain tidak pernah menganggapnya. Sekalipun anggota keluarga yang lain terus-menerus bersikap dingin padanya, termasuk Byakuya.
Namun Rukia yang cerdas tidak dianggap cukup oleh keluarga Kuchiki yang menuntut kejeniusan. Peringkat tiga belas paralel Rukia waktu itu dianggap tidak ada apa-apanya jika disandingkan dengan peringkat satu Byakuya ketika Byakuya masih seumuran Rukia dulu. Kegagalan demi kegagalan membuat Rukia makin tenggelam di antara keluarga Kuchiki lainnya, yang memang mempunyai darah Kuchiki asli dalam arteri mereka. Sebenarnya bukan kegagalan, hanya saja prestasi Rukia dianggap terlalu biasa, terlalu normal. Dan normal sama dengan kegagalan di mata Kuchiki.
Pembawaan yang canggung, dan aura kebangsawanan yang hampir tidak ada, juga membuat Rukia tetap dipandang sebelah mata oleh keluarga Kuchiki lainnya.
Rukia mungkin tidak akan terpengaruh oleh hal-hal tersebut jika saja dia tidak mengetahui alasan yang sesungguhnya kenapa Byakuya mengadopsinya.
Rukia bukan saja mirip dengan Hisana. Rambut sama hitam, mata besar yang sewarna, tubuh mungil yang sama-sama tersusun dari struktur tulang-tulang kecil, itu semua bukanlah suatu kebetulan. Dia memang keluarga Hisana. Tepatnya, adik kandung Hisana. Dan Byakuya terpaksa mengadopsi Rukia karena permintaan terakhir Hisana yang telah meninggalkan Rukia di sebuah panti asuhan waktu orang tua mereka meninggal dalam kebakaran dulu.
Kala mengetahui hal itu, Rukia merasakan ada tali tambang besar yang mengikat dadanya. Ribuan kata 'kenapa' bermunculan tak terbendung di kepala. Matanya berkilat karena menahan air mata. Bibirnya bergetar menahan sesak dan tangis.
Kenapa Hisana membuangnya? Kenapa Hisana tidak mencarinya sedari dulu? Kenapa Byakuya tidak pernah bilang? Kenapa ia di sini? Untuk apa semua usahanya selama ini? Kehilangan tujuan kerja kerasnya, membuat Rukia juga kehilangan pegangan. Ia tidak tahu lagi untuk apa melakukan semua itu. Ia tidak tahu kenapa ia di sini sementara orang lain tidak menginginkannya. Bahkan nii-sama yang dihormatinya, yang ia jadikan panutan, tidak benar-benar menginginkannya.
Tapi ada satu kejelasan yang membuat hati Rukia makin tertusuk. Setidaknya ia tahu kenapa Byakuya tidak pernah melihatnya selama ini.
Untuk pertama kali, Rukia merasakan kekosongan besar melahap hati dan memakan napasnya.
.
.
.
"-lalu nanti aku akan memakai baju adat Korea. Kau juga harus mencobanya juga, Kuchiki-san. Setelah itu akan ada sesi foto-foto. Baru kita akan makan bento bersama. Etto...aku juga akan bikin bento campur kimchi. Itu resep baruku loh. Terus, terus, nanti kita akan-"
Pusing. Itulah yang dirasakan Rukia. Seharian disuruh berdiri oleh Unohana-sensei membuat kakinya kram. Dan sekarang, saat pulang sekolah, ia terpaksa berjalan bersama Orihime ke gerbang sekolah karena tak sengaja bertubrukan dengan Orihime di pintu keluar kelas. Oh, hari memusingkan ini belum mau berakhir. Jika tadi kakinya kram berdiri di koridor, sekarang telinga Rukia juga harus kram mendengar curhatan tidak jelas Orihime.
Ujung pangkal percakapan mereka bagi Rukia bagaikan kertas untuk menghitung soal matematika : buram. Seingatnya mereka tadi membicarakan hanami yang mulai ramai dibicarakan oleh teman-teman sedari pagi. Entah mengapa Orihime jadi membicarakan pakaian adat Korea. Dan bento campur kimchi? Rukia tidak mau membayangkannya.
Namun Rukia salut pada Orihime yang telah mengajaknya melakukan hanami bersama. Rukia tidak pernah menghadiri hanami yang diadakan di tempat umum. Keluarga Kuchiki selalu mengadakan sendiri hanami ataupun yozakura di kompleks taman belakang kediaman besarnya. Tidak ada teman yang mau repot-repot mengajak Rukia sekalipun untuk berbasa-basi, karena jawabannya pasti adalah tidak.
"Gomen, Inoue. Tapi aku rasa tahun ini aku juga tidak akan hanami bersama," kata Rukia jujur.
Orihime mengibaskan tangannya keras-keras.
"Aaa. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengajak Kuchiki-san melihat sakura berguguran di kompleks taman dekat rumahku. Di sana pohonnya besar-besar dan bunganya lebih lebat lho. Kalau berubah pikiran nanti bilang saja, ya," kata Orihime bersemangat.
Rukia tersenyum. "Arigatou, Inoue."
"Yup. Kalau begitu aku duluan ya. Jaa ne," dengan incah Orihime berlari. Tak lupa ia melambai-lambaikan tangannya ke Rukia sambil memasang senyum lebar.
Rukia lagi-lagi memaksakan sebuah senyum melihat Orihime yang selalu bersemangat. Ia berpikir betapa anehnya Orihime, tapi segera ditepisnya pikiran itu waktu menyadari mobil jemputannya belum ada.
'Mungkin sedikit terlambat,' duga Rukia dalam hati. Ia bersandar di dinding besar yang merupakan gerbang sekolahnya. Sesekali murid-murid berpakaian abu-abu melewati Rukia. Yang perempuan rata-rata membicarakan akan mengenakan apa waktu hanami. Yang lain mengeluhkan bagaimana susahnya membantu ibu menyiapkan makanan untuk dibawa. Sementara para murid lelaki tak kalah bersemangatnya membicarakan tentang sake yang ingin mereka minum waktu upacara hanami beberapa waktu mendatang. Rukia mengernyitkan kening. Ia jadi bingung apakah sebenarnya anak seusia mereka sudah diperbolehkan minum sake apa belum.
Satu dua pasang anak lagi melewati Rukia, sementara gadis itu menunggu jemputannya yang tak kunjung datang. Lama kelamaan Rukia merasa heran juga, kenapa jemputannya datangnya terlambat sekali.
Gadis itu melirik jam tangannya, hanya untuk kemudian menyadari bahwa keributan murid-murid sekolah telah menghilang. Tak nampak satupun murid berlalu-lalang di sepanjang sapuan mata Rukia. Bahkan halte bus yang tak jauh dari sekolah juga lengang.
'Kemana semua orang pergi?' tanya Rukia dalam hati. Gadis itu menolehkan kepala ke kiri kanannya. Nihil. Semua positif menghilang. Kesepian itu membuat jantung Rukia berdegup lebih kencang. Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba semuanya menghilang?
Tepat saat ia akan memeriksa ke dalam sekolah, sehelai mahkota sakura mengambang di hadapannya. Helai merah muda itu benar-benar diam di udara, seperti dalam film yang terkena efek tombol pause.
Rukia menelan ludah. 'Ini...bukan pekerjaan hantu seperti kata Inoue, kan?' pertanyaan itu malah menyulut rasa takut di hatinya. Dan ketika ia melihat ke belakang helai bunga itu, Rukia terbelalak. Helai-helai yang sama juga mengambang diam di udara. Dan anehnya hanya sepanjang jalan ke tikungan itu saja.
Untuk pertama kalinya, Rukia percaya pada ucapan ngawur Orihime. Tapi sialnya, ketika dia akan bergerak mundur, kakinya terasa seperti di lem. Menempel di pijakannya.
'Si-sial. Kenapa kakiku tidak mau bergerak?'
Dengan putus asa Rukia menggerakkan kakinya, sementara badannya menggigil ketakutan.
'Ayo, kaki! bergeraklah!'
Kaki itu tetap membatu di tempat, sepertinya penyebabnya memiliki kekuatan seribu kali lebih dahsyat dari pada melihat Unohana-sensei tersenyum ataupun marah.
Rukia menggerakkan kakinya ke belakang, tapi kakinya tetap tidak mau menuruti pemiliknya.
Dengan panik Rukia berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang.
'Berhasil!' sorak Rukia dalam hati ketika kakinya mau bergerak. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena kakinya malah bergerak ke arah yang berlawanan.
'Nani?'
Rukia semakin panik. Kakinya melangkah semakin lama semakin cepat, menyusuri jalanan yang dipenuhi helai-helai bunga mengambang.
"Berhenti! Hey!" teriak Rukia dengan kepanikan luar biasa. Tangannya menggapai-gapai, mencengkeram apa saja untuk mengerem laju kakinya.
"Ughhh!"
Sekuat tenaga Rukia mencengkeram tiang listrik demi menahan agar dia tidak berjalan ke arah yang kakinya inginkan.
Rukia mengerahkan segenap otot-ototnya untuk tidak berjalan, sepertinya usahanya mustahil. Namun seketika dia merasakan dorongan di kakinya menghilang.
Dengan ragu-ragu Rukia melepaskan pegangannya ke tiang listrik.
"Fiuh, untunglah sudah ber-KYAAAA!"
Bukan lagi berjalan, tapi Rukia sekarang berlari. Kaki-kaki mungil itu membawanya menyusuri jalan-jalan dan perempatan sempit, lalu belok ke jalan besar. Dan anehnya Rukia tidak melihat ada satu orang pun. Hanya ada helai—helai sakura yang mengambang di sepanjang jalan yang ditempuhnya, semakin lama semakin banyak.
Rukia menjerit-jerit ketakutan. Tak hanya fakta bahwa kakinya yang bisa bergerak sendiri, tapi juga tempat yang dilaluinya tidak ia kenal sama sekali.
Gadis itu mengatupkan kelopak matanya kuat-kuat. Bulir-bulir air matanya berjatuhan membentuk garis di sepanjang pipinya.
'Apakah hidupku akan berakhir seperti ini?' sesalnya dalam hati.
'Atau lebih buruk? Aku akan menjadi mainan hantu dan ketakutan selamanya?'
"Tidak...TIDAK MAU! TIDAK MAU! HENTIKAN! HENTIKAAAAN!"
CKIIT!
Mendadak kaki Rukia mengerem dan berhenti tepat setelah Rukia selesai berteriak.
Dengan badan gemetaran, Rukia membuka mata, takut kalau-kalau hantu seram akan muncul begitu matanya tidak terpejam lagi.
Namun yang ditakutkannya tak terbukti. Di depannya malah berdiri sebuah bangunan putih bergaya Jepang jaman samurai masih berjaya. Di sekeliling bangunan itu, rerumputan dipangkas rapi, mengelilingi sebuah pohon sakura besar yang sedang mengembang bunga-bunganya. Dahan-dahan pohon tersebut mencuat, digantungi oleh lentera yang padam apinya. Sebuah jalan setapak membentang menghubungkan jalan di luar pagar dengan tangga pendek di sisi depan bangunan, juga berhias lentera di sepanjang jalannya.
"Ini..." Rukia tercekat seraya memandangi bangunan itu dari atas ke bawah.
"Ini..." Lagi-lagi Rukia tidak melanjutkan kalimatnya seraya memandangi pohon sakura itu, sumber dari helai-helai sakura yang mengambang di sepanjang jalan tadi.
"Ini..." gigi Rukia gemeletuk, "..hanya berjarak beberapa puluh meter dari sekolah," desis Rukia geram. Siapapun hantu yang memantrainya hingga berlarian tak tentu arah dan melewati tempat-tempat yang tidak dikenalnya, telah menuntunnya berputar-putar hingga akhirnya tiba di depan bangunan tak dikenal ini.
Benar-benar-
"Hantu brengsek!" maki Rukia. Napasnya terengah-engah, bukan hanya karena memaki sepenuh hati, tapi juga karena energinya yang terkuras karena lari-lari tadi. Rasa kesalnya meluap, mengalahkan rasa takutnya pada hantu, bahkan mengalahkan tata krama ala Kuchiki yang susah payah ia serap di otak.
"Kalau berani sini keluar! Eh?" teriakan Rukia berubah kembali menjadi keterkejutan karena kakinya melangkah ke melewati pagar. Serta-merta Rukia menggapai apapun yang ada di dekatnya.
"Be-becanda! Jangan makan aku!" Rukia bahkan tidak tahu ucapan itu ia dapat dari mana. Yang dia tahu hanya bergelayut di pagar dengan sekuat tenaga. Namun seperti tadi, usahanya sia-sia.
Dengan cepat kakinya melangkah di atas jalan setapak itu. Angin berdesir menyentuh pipi Rukia, mengirim helai bunga sakura. Di sini, helai-helai bunga itu tidak mengambang. Mereka tampak seperti benda lainnya, tidak anti grafitasi seperti tadi.
Tanpa diperintah, kali ini tangan Rukia membuka pintu geser yang menutup bangunan itu dari dunia luar.
"Irasshaimase," sepasang suara maskulin menyambut Rukia.
Dan kini di hadapannya berdiri dua lelaki berusia sekitar awal dua puluhan. Dua-duanya memakai kimono. Pria yang berambut kuning disisir ke depan memakai kimono hitam, sedangkan pria yang bermata hijau memakai kimono putih. Tapi bagi Rukia, mereka memiliki kesamaan yang mencolok : sama-sama diserang penyakit murung tingkat akut. Dan yang membuat Rukia susah menelan ludah adalah kenyataan bahwa kedua pria itu membawa sebilah katana di punggung masing-masing.
"Ini dia orangnya?" tanya si rambut kuning. Mata redupnya yang berwarna biru melirik ke arah rekannya.
"Kita kan tadi sudah bilang irashaimase. Tidak salah lagi," jawab rekannya.
Penjelasan tidak jelas itu cukup memuaskan si mata biru. "Anda sudah ditunggu oleh tuan kami. Silakan masuk," kata pria berambut kuning itu lagi.
Rukia menggelengkan kepala takut-takut, "A-aku rasa anda salah orang. Aku cu-cuma numpang lewat."
Si pria berambut hitam menggeleng. "Anda adalah seorang pelanggan toko kami, silakan masuk," katanya. Kaki-kaki Rukia mulai menunjukkan ulahnya lagi.
"Tolong hentikan, anda salah paham. Aku bukan pelanggan!" kata Rukia putus asa sambil berlari ke arah yang tidak diinginkannya. Matanya menatap putus asa pada dua orang berwajah murung yang dilaluinya itu. Kemudian punggung Rukia menabrak benda keras, yang ternyata adalah pintu.
Pintu bermotif bunga itu bergeser, mengeluarkan asap dari dalam ruangan. Gadis Kuchiki itu terbatuk, kakinya tetap bergerak sendiri memasuki ruangan yang penuh asap itu. Rukia mendengar pintu bergeser lagi, menutup jalan keluar di belakang punggungnya.
Asap yang memenuhi ruangan itu tak ayal membuat matanya pedas. Saat matanya sudah menyesuaikan dengan udara ruangan penuh asap itu, ia melihat seorang pria kurus seumuran dua pria tadi, sedang duduk malas di atas sebuah sofa seraya tersenyum pada Rukia. Jemarinya yang panjang-panjang menahan sebuah pipa rokok dengan santai.
"Selamat datang, Kuchiki Rukia-chan," sapanya, dengan suara ringan dan santai.
Tubuh Rukia bergidik mendengar suaranya, melihat senyum lebarnya, serta rambutnya yang putih sepucat kulitnya. Dan Rukia bergidik menyaksikan matanya yang menyipit terbuka sesaat. Di balik kelopak mata itu, tersimpan bola mata biru yang memiliki gradasi di bawah warna langit, berkilau melihat Rukia.
"Siapa kau?" tanya Rukia. Kakinya mundur selangkah menyaksikan pria itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekatinya. Pria itu luar biasa jangkung, menjulang di hadapan Rukia yang mungil. Rukia merasa kakinya bisa bergerak di ruangan ini. Sesuatu yang membuatnya lega. Tapi pintu di belakangnya seolah terkunci rapat, tidak menyisakan jalan keluar barang secelah pun.
"Aku adalah pemilik toko ini," jawab lelaki itu. Senyumnya mengingatkan Rukia pada rubah-rubah legenda yang lukisannya menghiasi dinding kamar nii-sama-nya.
"Toko?"
Lelaki itu mengangguk, "Aku adalah pemilik toko ini. Dan ini, Rukia-chan, adalah toko harapan," jelasnya dengan santai, sesantai jemarinya yang bergerak di sepanjang pipi Rukia. Rukia berjengit jengah karena sentuhan tangan pria itu, membuat pria itu tersenyum makin lebar. Dan matanya yang sipit makin terkatup rapat.
"Nee, Rukia-chan, katakan, apa harapanmu?" tanya pria itu. Dia membungkuk untuk menyamakan tinggi badannya dengan Rukia. Wajahnya mendekat ke wajah gadis itu. Lagi-lagi Rukia berjengit dan merasakan punggungnya menempek di pintu geser.
"Aku tidak punya harapan," jawab Rukia.
"Masa?"
"Benar."
"Hontou?"
"Hontou."
"Bohong."
"Tidak."
"Rukia-chan," panggil pria itu, "Kau bisa melihat toko ini hanya menandakan bahwa kau punya harapan, keinginan yang ingin kau wujudkan. Kakimu bisa berjalan dan berlari ke sini hanya menandakan bahwa ada keinginan yang harus kau wujudkan. Kau putus asa," ujar pria itu seraya menjauhkan wajahnya. Ujung panjang kimono hitamnya yang bermotif sulur-sulur tanaman putih terseret di lantai ketika ia melangkah ke sofa yang tadi ia duduki. Rukia melihat motif sulur kimono pria itu bermuara pada punggungnya, membentuk sebuah bunga putih yang luwes. Bunga marigold.
"Maaf, tuan, tapi aku rasa dugaan anda itu keliru. Aku tidak punya keinginan apa-pun. Dan...dari mana anda tahu namaku?" tanya Rukia.
Pria itu berbalik menghadapnya, "Toko ini tidak akan bisa terlihat oleh orang yang tidak memiliki keinginan kuat, Rukia-chan," katanya mengabaikan pertanyaan Rukia. "Itulah cara kerjanya," jelas si lelaki.
"Katakan saja keinginanmu. Pacar?" tanya pria itu lagi.
Rukia menggeleng. Entah kenapa pria itu tersenyum makin lebar. "Syukurlah.." gumamnya.
Pria itu masih menebak, "Ukuran yang lebih besar?" tunjuk pria itu lurus ke dada Rukia.
Rukia melotot, "Jangan sembarangan, ya!" semburnya.
"Atau koleksi Chappy yang tak terbatas?" lanjut pria itu acuh.
Mata Rukia berbinar, tapi sesaat kemudian sorot matanya menjadi lebih curiga lagi dari sebelumnya. "Siapa kau? Kenapa kau tahu namaku? Dan kenapa kau sampai tahu tentang Chappy? A-apa kau stalker?"
Lelaki berwajah tirus itu berdecak mendengar tuduhan Rukia, "Aku adalah pemilik toko harapan ini. Sudah tugasku untuk tahu hal-hal semacam itu. Lagi pula...aku juga bisa melihat-" ucapan pria itu terhenti. Kepalanya yang tadi lurus ke arah Rukia, kini menunduk ke bawah, tepatnya ke arah roknya.
Aliran darah bagaikan terpompa naik ke kepala Rukia, membuat wajahnya merah seperti buah naga. Dengan panik tangannya menutup roknya, atau lebih tepatnya pakaian dalam bermotif tokoh kelinci kesayangannya.
"Yah, walaupun kau cukup imut, tapi kurasa tetap aneh untuk gadis remaja tujuh belas-"
"DIAM KAU, RUBAH MESUUUM!" jerit Rukia.
Selanjutnya pria itu terpelanting ke belakang sofa terkena pukulan Rukia. Tubuhnya menghilang tertutup sofa itu.
Napas Rukia terengah-engah menahan luapan kemarahan yang luar biasa. Belum pernah dia dipermalukan seperti ini. Hilang sudah, tata krama ala Kuchiki yang diagung-agungkan Byakuya.
"Nee, Rukia-chan," panggil suara di sebelah telinganya, membuat Rukia membeku di tempat.
"Aku bukan rubah. Tapi ular."
To Be Continued
...
Glosarium :
Ohayo = selamat pagi
Etto, ano = anu, um (semacam itulah ya,hehe)
Bento = makanan khas Jepang
Kinchi = asinan sayuran khas Korea
Hanami = upacara memandang bunga. Orang-orang Jepang di musim semi biasanya makan-makan dan minum-minum bersama keluarga, teman kantor, teman sekolah, ataupun kenalannya di bawah pohon sakura sembari menikmati bunga sakura mekar. Acara hanami itu biasanya berlanjut sampai malam. Acara malam hari itulah yang disebut yozakura. Biasanya lampion-lampion digantung di dahan pohon sakura.
Yozakura = lihat keterangan di atas
Gomen = maaf
Jaa ne = dadah/sampai nanti/sampai ketemu kembali
Sake = minuman fermentasi beras
Nani = apa
Irasshaimase = ucapan selamat datang menyambut pelanggan
Katana = pedang tradisional jepang
Hontou ( Hontou ka) = benarkah?
Chibinotes : Konbanwa, minna. Chibi dateng lagi dengan cerita bersambung. Alesan chibi nulis fic ini adalah chibi pengen ngeramein pair ginruki. Dan tertarik sama ceritanya CLAMP yang xxxholic. Chibi pikir bakal menarik kalau ngebayangin chara bleach ngejalanin peran ala cerita xxxholic. Dan...voila! Jadilah fic ini.
Kenapa chibi gak masukin fic ini ke kategori crossover adalah karena chibi nggak masukin tokoh xxxholic di cerita ini. Jadi ini murni tokoh-tokoh bleach semua. Chibi juga gak secara presisi nentuin tokoh siapa di bleach meranin siapa di xxxholic, karena emang jalan ceritanya dibikin lain. Cuma gin sama rukia aja yang berperan sebagai tokoh sentral di cerita ini ngegantiin yuuko sama watanuki. Penggambaran karakternya juga beda, disesuain sama cerita. Intinya, ada beberapa yang chibi ambil dari xxxholic buat menunjang cerita ini, antara lain temanya.
Terus, entah kenapa, chibi juga tergoda buat masukin fan service ginruki ke dalam cerita ini. Lagi nakal aja kali ya. Hehehe.
Hope you'll like it and give me some reviews and comments.
Arigatou
Chibiballoon
