Disc: BoBoiBoy © Animonsta Studios
Warn! Future!All chara. Rivalry. Harem!Yaya. Typo. AT.
Dia Pantas Untukku!
by
oczelt
[Chapter I – Modus!]
Dulu perempuan beragama muslim itu ingat, mereka berlima adalah pahlawan super yang diberi kuasa melalui jam untuk memberantas kejahatan dari alien yang ingin mencuri Ochobot dan koko. Sedih senang, suka dan duka, mereka arungi sejak sekolah dasar sampai sekarang.
Sekarang, pada umur mereka yang rata-rata 15 tahun (Gopal dan Ying adalah 16 dan 14 tahun), semua berubah.
Selalu ada kerusuhan. Kedua laki-laki yang bergandeng dengan sebutan 'rival' bukan hanya sebutan lagi. Keduanya selalu bersaing dengan tatapan saling membenci.
"Minggir kau, Fang! Atau kau akan terkena pedang halilintarku!"
"Silakan saja! Atau kau bakal tertusuk tusukan jari bayangku!"
"Dey, yang kena itu bukan antara kalian berdua," celetuk seseorang disana malas. "Tapi Yaya yang kalian gandeng."
=oOo=
Kelima sahabat disana berkumpul pada kedai yang sudah dianggap mereka tempat mangkal. Kedai yang tersedia meja tender dengan kursi-kursi mungil tanpa sandaran. Berjudulkan tulisan Kokotiam. Ada logo berupa seorang kakek dan cucunya tersenyum—yang diketahui maskot kedai itu memang diambil dari pemiliknya sendiri.
Sempat curiga sejak debut pemimpin pahlawan ini sukses besar, sang kakek memanfaatkan kelebihan tersebut untuk menambah devisa dengan menyertakan wajah cucunya sendiri. Tapi, siapa yang tahu? Kakek Boboiboy—sebut nama bocah bertopi jingga yang juga merupakan seorang cucu kakek itu sendiri—memang terlalu memanjakannya.
Yah, kehidupan kelima sahabat yang selalu penuh canda tawa disaksikan oleh kedai itu terus-menerus. Tempat tersebut sudah merupakan sejarah bagi semuanya sebagai tempat nyaman.
Saksi dari mereka hanya sekedar kawan yang kadang selalu berkelahi. Tempat dimana kakek Aba—nama pemiliki kedai tersebut—selalu heran dengan tingkah para cucu dan sahabatnya.
Bahkan sampai para sahabat itu mulai memijak masa remaja, tempat tersebut masih menjadi ukiran sejarah persahabatan mereka.
Tapi ada yang beda.
Orang bilang tidak ada kebahagiaan yang abadi. Sejak mereka memijak umur layak untuk masuk sekolah atas (SMA), semua berubah.
"Berhenti untuk memegang tangannya! Kau itu bukan muhrimnya!"
"Biar aku agama kong hu cu, aku tahu muhrim itu sesama! Kau pun sama saja, laki-laki pegang tangan cewek itu bukan muhrim!"
"Jangan pakai tapi-tapian! Buang tanganmu darinya!"
"Kau yang duluan!"
"Dasar licik! Kau yang harusnya duluan, dasar cowok modus!"
"Mengatai orang, tapi kau sendiri sama saja!"
Sisi kanan ada pemuda berkacamata kotak yang kini menggunakan kemeja berlengan pendek nuansa putih. Memakai celana berbahan kain ringan 3/4. Jaket bernuansa hitam ungu bertengger manis pada pinggangnya. Sepasang kakinya hanya mengenakan sepatu bertali hitam dengan kaos kaki putih pendek.
Sedangkan sisi lainnya ada pemuda beriris merah dengan topi hitam merah yang kini tidak ada lagi tanduknya—seperti penampakkan logo kokotiam dimana laki-laki tersebut masih memakai topi dinosaurus andalannya. Memakai jaket yang kini memenuhi seluruh lengannya. Dari dalam terlihat ia mengenakan kaos merah. Memakai celana hitam panjang sampai mata kaki, yang disisipkan dalam sepatu bertali hitam-merah.
Keduanya saling menggertakkan gigi. Kedua laki-laki berpostur ideal itu menyipitkan mata mereka, setidaknya menepis tuduhan saling melotot.
"Pergi kau dari tangannya! Kau itu bukan satu agama dengannya!"
"Memang apa masalahnya dengan agama? Kita sama-sama bukan muhrim—"
Kedua tangan pemuda itu berayun. Sempat masing-masing begitu kaget mendapati orang yang membuat tema kerusuhan mereka menatap tajam keduanya bergantian. Tangannya naik ke atas, membanting keduanya menuju tanah cukup kasar.
"Sungguh, aku capek dengan pertengkaran aneh kalian!"
Akhirnya sang penengah membuka suara. Perempuan dengan tubuh tinggi juga langsing itu memejam matanya. Ia mengenakan hijab segi empat berwarna abu-abu dengan jaket yang menutupi sampai seluruh lengannya. Kacamata renang yang biasa bertengger dari kepalanya kini tidak lagi ada. Bibir merah yang berkilau. Matanya yang bening juga bulu mata lumayan lentik. Memakai celana panjang sampai mata kaki bernuansa hitam. Ia juga menggunakan sepatu bertali bernuansa merah.
"Pertama kau, Fang," perempuan itu menunjuk poin pemuda berambut ungu-hitam berkacamata disana. "Aku ingin terbang untuk membeli bahan kue, tapi kau tiba-tiba main tahan tanganku."
Laki-laki beriris merah itu tertawa mengejek dari belakang. Fang memberi tatapan membunuh.
"Dan kau juga, Boboiboy," perempuan itu lalu memutar tubuhnya dan menunjuk poin pemuda bertopi. "Fang hanya sedang mencegahku tapi kau juga main tahan tanganku. Fang 'kan juga teman kita, kau tidak perlu main SARA membanding-bandingkan mereka dengan kita! Kau juga tidak perlu serius sampai berubah menjadi Halilintar!"
Kali ini Fang menertawai Boboiboy.
"Tapi—tapi Yaya... kau tidak lihat dia mengenggam tanganmu?" ketus pemuda beriris merah itu.
"Halilintar..."
"Kenapa sih kelihatan seperti orang cemburuan begitu?" Fang berdelik. "Kalau kau suka sama Yaya, bilang saja."
"Tch! Kau juga kenapa saat kusuruh lepas malah kau genggam kuat dia!" amuk Halilintar. "Rasakan ini, pedang halilintar!" kemudian kumpulan listrik seakan terpanggil dan berkeliling pada lengan kanannya, memadat menjadi sosok berwujud pedang beralirkan listrik. Tangannya siap mengayun pada laki-laki ras tionghoa disana.
"Perisai bayang!"
Keduanya saling berbenturan, menciptakan gaya tolak yang mampu membuat semua remaja disana menutup mata mereka.
"Mati sana!"
"Kau yang harusnya mati!"
Yaya menghela napasnya.
=oOo=
Ia juga tidak paham, awalnya Fang dan Boboiboy sudah demikian bersahabat. Fang selalu menerima segala argumen pemimpin mereka. Demikian juga, Boboiboy selalu tahu bagian unggul Fang ada pada mana. Mereka saling menghargai.
Tapi entah sejak mereka mulai memijak akhir SMP, tiba-tiba Boboiboy ketika berubah menjadi Halilintar selalu saja menciptakan suasana rusuh jika Fang sedikit berbaik hati pada Yaya.
Tahulah, Fang adalah pemuda beken yang juga antisosial. Yaya dan Ying adalah perempuan yang lain daftar dari penggemarnya. Makanya Fang begitu nyaman kalau ingin berbuat baik pada salah satu diantara mereka. Walau sepertinya ia begitu lembut pada Yaya dibanding perempuan dengan ras sama dengannya.
Dan mereka tidak tahu, kenapa Boboiboy selalu bertukar menjadi Halilintar pada kondisi Fang berduaan dengan Yaya. Saat ditanya ketika Boboiboy mengnonaktif jam kuasanya juga, yang bersangkutan hanya beralasan ia tidak begitu emosi pada Fang. Tapi ketika bertukar, kericuhan yang begitu menggemparkan akan kembali—contohnya seperti kemarin. Menepis ungkapan pemilik kuasa lima tentang pendapatnya.
"Fang, kamu udah kerjain PR matematika belum?"
Kelas begitu sepi jika masih pagi. Tapi disana Fang sudah ada pada kursinya. Ia menoleh pada suara yang mengajaknya mengobrol.
"Boboiboy, kau belum mengerjakan PR?" tanya Fang malas. Lebih tepatnya, dia masih terbawa jengkel dengan peristiwa ia diserang.
"Belum. Hehe, bantuin ya? Pliss~"
"Sana, kau kemarin ngajakin aku duel. Bête," gerutunya kecil.
"Masa' sama temen sendiri gitu ah. Fang ini..."
Fang menghela napasnya. "Ya deh, kubantuin."
"He? Bantuin apa?"
Kedua laki-laki disana menoleh, mendapati Yaya yang baru akan menaruh tasnya pada bangku miliknya.
"Pagi, Yaya," salam Boboiboy. "Gini, aku kesusahan buat ngerjain PR matematika. Jadi aku minta bantuan Fang."
"Oh, yang mana?"
Yaya ikut memasuki diskusi mereka.
"Ho, mudah aja Boboiboy. kamu tinggal jumlahin ini dan ini," Yaya menunjuk masing-masing angka dari soal yang tertera di buku tulis Boboiboy. "Terus ini dikali ini."
"Ohh gitu, aku paham!"
"Oh ya, Yaya," Yaya menoleh pada Fang yang memanggil namanya. "Sudah mencoba soal pada bagian permainan logika? Soal cerita."
"Oh yang setelah soal PR kita itu?" Yaya tersenyum. "Aku sudah coba. Hasilnya sungguh mengejutkan."
"Wow kau tahu? Aku hanya sulit pembagian Bapak x dan Bapak y itu harus membagi hasil mereka berapa persentase."
"Wah Fang, simpel saja. Pertama si bapak x itu harus—"
"Hanya perlu menambah angka keuntungan lalu ada permainan kata yang rupanya hasil si bapak y itu minim dari bapak x."
Boboiboy memapah pipinya pada meja Fang jengkel. Yaya kaget karena Boboiboy bisa memecahkan soal yang mereka diskusikan seakan mudah didengar. Bahkan dia seakan tahu hasil dari soal itu!
"He Boboiboy juga tahu?"
"...hah?"
Perempuan berhijab itu menampakkan ekspresi aneh. "Kau barusan jawab."
"Iyakah?"
Laki-laki ras tionghoa itu menatap dalam pemimpin geng mereka. Tatapannya kesal.
Fang yakin, tadi dia melihat sepasang iris Boboiboy sempat berwarna merah. Saat ia menjawab bagaimana penyelesaian soal dari yang Fang tanyakan.
=oOo=
Tempat mengadu Yaya tentang masalahnya sekarang hanyalah Ying. Sampai kapanpun, Yaya selalu percaya Ying bisa menjadi pendengar yang baik. Mereka bersahabat sejak kecil. Hati mereka sudah terpaut untuk saling percaya.
Yaya mempunyai masalah hati. Jadi pada saat jam istirahat pertama, ia meminta sahabatnya tersebut untuk menemaninya berkeluh. Segera Yaya menarik tangan Ying saat sahabatnya menyetujuinya, menuhu halaman sekolah yang cukup sepi.
Di bawah pohon rindang dengan angin sepoi lah mangkal mereka. Yaya mengajak Ying duduk pada rerumputan yang beresiko kecil mengotori seragam sekolah mereka.
"Aku merasakan hal yang aneh pada geng kita. Meski Adu Du sudah tidak lagi mau berbuat jahat, meski ada beberapa alien aneh yang juga tahu bumi, tapi aku lebih lelah melihat Boboiboy posesif," curhat Yaya. "Aku lelah banget."
"Tapi dia kayak sok polos gak apa-apa sama kamu ya, haha," Ying tertawa. Kacamata bingkai bundar masih menghiasi kedua netranya. Bahkan ia masih berpenampilan sama sejak sekolah dasar.
Yaya memijat keningnya. Setidaknya menyampaikan dera hatinya sedikit meringankan batin dia sendiri.
"Kamu cewek yang baik sih, siapapun pasti bakal tergila-gila sama kamu."
"Ying, kau mengatakan seakan mereka suka sama aku."
"Aku sebenarnya mau bilang itu barusan."
Yaya menatap Ying fokus. "A—apa maksudnya?! Heh, kita semua itu cuma teman! Kita memang harus saling tolong menolong, 'kan?"
"Entahlah Yaya, aku lihat Fang seperti selalu mau baik sama kamu. Dan saat Fang mau dekat sama kamu—bum! Boboiboy Halilintar datang dan menyabet tangan Fang!"
Ying mempraktekkan bagian kata 'menyabet' dengan satu lengannya ia buat seperti pisau. Menyabit tangan Yaya yang sayangnya tidak membelah apa yang dihantamnya.
"Ying..."
"Ahaha, itu memang terdengar lebai. Tapi aku serius, Fang dan Halilintar kelihatan suka sama kamu. Ingat tidak, saat Fang mau membantu membawa bahan belanjaanmu... Boboiboy yang tadinya hanya santai langsung berubah lalu menarik bahan belanjaanmu? Kayak gak rela kamu dekat sama Fang."
Yaya merasakan kedua pipinya memanas. Ia sedikit malu, rupanya sahabat dia sendiri pun bisa menyimpulkan hal yang ia sendiri tidak pernah pikirkan. Lebih-lebih memikirkan masalah sahabatnya, ia memilih banyak waktu senganggnya untuk mengerjakan tugas sekolah juga mencoba soal-soal sulit. Kelewat rajin memang.
"Makasih... aku sedikit lega," Yaya memeluk Ying lembut. "Aku tidak tahu harus kemana lagi untuk melampiaskan unek-unekku ini..."
"Sama-sama, Yaya. Bagaimana kalau kutraktir roti? Sebagai peringatan persahabatan kita!"
"Wah! Boleh!" Yaya melepas peluknya. Ia terkekeh semangat. "Akan kutraktir!"
Yaya segera bangkit dari tempat ia duduk. Sebelumnya ia mengepak-ngepak rok panjangnya, lalu menarik tangan Ying menuju dimana seharusnya mereka ada.
Ying menghela napasnya. Pelan sekali.
=oOo=
Langit sekolah tampak gelap, seiring dentang suara bel dikumandangkan. Semua anak-anak dari masing-masing kelas mengemas peralatan belajar mereka,, setelah para guru yang memasuki kelas mereka pada jam terakhir keluar.
"Yaya, kau hari ini bisa piket sendirian?"
Seorang pemuda dengan wajah tenang menghampiri meja Yaya. Ia tersenyum ketika kedua wajah mereka bertemu. Yaya yang menoleh itu mengangguk spontan.
"Tentu aku bisa!" ucap Yaya semangat.
"Haha, maaf ya... soalnya aku dan beberapa yang piket dipanggil sama ketua organisasi. Nanti minggu depan Yaya gak nyapu deh," janji anak itu.
"Tenang saja, aku gak bakal marah."
'Padahal biasanya ngamuk,' batin anak itu. "Oke. Kami duluan ya."
Perempuan berhijab itu mengangguk. Irisnya menggiring kemana pemuda itu berjalan, lalu berhenti melihatnya saat laki-laki tersebut sudah hilang pandangan ketika keluar dari kelas.
"Padahal harus membantu ibu masak," keluh Yaya. Tapi kalau sudah janji, ia tidak bisa menolaknya.
=oOo=
Fang sedari tadi terus mengejek jam kuasanya. Keuntungan praktis yang bukan hanya sebagai media kekuatan, namun juga sebagai penunjuk dimana mata angin. Entah untuk apa pemuda itu mengecek yang ia sendiri pun sudah tahu mana letak selatan, utara, barat, juga timur.
"Yaya lama sekali," katanya halus. "Dia tidak mungkin ketiduran dalam kelas."
Pemuda pemilik kuasa bayang itu menyenderkan punggungnya pada dinding suatu kelas. Ia mendongak, menghela napasnya.
"Harus lebih bersabar atau langsung pergi, kurasa yag bagus adalah langsung mendatanginya."
Fang memantapkan hatinya kembali menuju kelas. Pemuda bermata empat itu mengeratkan tas selempang putihnya menuju kelas dimana semua rekannya satu ruang. Ketika tinggal beberapa langkah saja mendekati pintu kelas—yang terbuka, ia memelankan langkahnya. Kelihatannya masih ada orang dalam kelas.
Ia berpura-pura melewati kelas. Saat sudah pada tengah pintu, ekor matanya menangkap seseorang menyapu lantai. Wajah perempuan yang bersenandung menyanyikan salah satu lagu Melayu itu sedikit membuat Fang memerah.
Betapa rajinnya. Batin Fang sebentar, hingga ia melihat kelasnya hanya dihuni Yaya seorang. Tunggu, ada yang janggal. Langkahnya segera berhenti.
"Eh, Yaya? Kau sendiri?"
Telapak tangannya menutup bibir cepat. Astaga, dia kelepasan.
"Eh, Fang?"
Yaya mendongak. Fang sedikit kikuk—tidak biasanya ia mengajak perempuan muslim itu hanya mengobrol berdua.
"Aku bantu... oke?"
Yaya langsung menggeleng, "Jangan, aku saja deh."
"Tidak! Kalau kau sendiri nanti capek, ini kelas luas loh!"
Fang juga pernah—bukan, sering—menjadi korban sendirian piket pada kelas seorang diri. Dia tahu rasanya capek setelah melakukan hal biadab itu bagaimana.
Pemuda berambut tidak beraturan itu berhambur masuk kelas. Kepalanya kesana-kemari mencari sisa sapu. Syukurlah, masih banyak perabotan kebersihan kelas yang nganggur.
"Fang... harusnya kamu ga usah bantu."
"Lagian ini kelas bersama, aku juga pantas bertanggung jawab."
Senyuman Fang begitu menawan. Jantung Yaya berdebar agak laju dari biasanya. Yaya menundukkan kepalanya, "Engh ya... maaf ya."
"Wah kalau yang bersihin kelas berdua, bisa-bisa kalian malah dicap melakukan kencan. Apalagi kalian beda kelamin."
Yaya dan Fang langsung menoleh pada sumber suara, yang tiba-tiba saja terdengar menyeletuk. Pemuda dengan rambut pendek hitam memegang gagang sapu lain. Iris merahnya juga menatap kedua orang yang menatap dirinya.
"Boboi—Halilintar..."
Seketika Fang dan Halilintar saling adu tatapan maut dengan saling menyunggingkan senyum.
Lagi-lagi Yaya memijit keningnya, lelah.
To be Continued?
A/N: Terinspirasi dari speedpaint seseorang yang buat fanart Aldnoah Zero. Tiba-tiba tercetus mau buat harem XD
Yak kenapa Hali bukan Boboiboy? Jujur aku lebih suka HaliYaya dari BBBYaya, karena Hali punya pribadi epic yang jauh dari Boboiboy aslinya. Pemarahnya, ketelitiannya, kadang bikin fangirl haha!
Ini hanya dilanjut kalau lagi buntu nyari plot lanjutan ff satunya, jangan merasa PHP ya.
Saran dan kritik sangat diterima!
