naruto (c) masashi kishimoto. no profit gained from writing this fic
contains genderbend; fem!hashirama and fem!izuna. rated m for feminism, politics and mature topics in general. there will be pairings. alur maju-mundur.
need songs? search the title of this fic in spotify to find the playlist i made for you :D
(and if you used it, pls tell me what you think)
revised 12042018
.
.
Usia Hashirama tujuh tahun, dan ada bayi di buaiannya yang mungkin takkan bertahan hidup esok hari.
Debur jantungnya tak menentu, matanya membelalak pada Kawarama yang terus menerus meraih dedaunan di atas mereka. Anak itu duduk dengan kedua kaki menjuntai dari dahan; Hashirama cemas ia akan tergelincir jatuh. Bulu kuduknya meremang; untunglah Kawarama akhirnya diam. Telinganya yang ia tajamkan sesekali menangkap tarikan napas tertahan dan sedu sedan teredam. Burung-burung hutan pun tak ada yang bersuara.
Seluruh belantara nyaris senyap.
Ia tak berani melihat ke tanah. Ada keributan di kejauhan; seruan-seruan kasar para lelaki dan jeritan banyak perempuan dari arah perkampungan. Yang bersamanya di dahan ini hanya kedua adik termudanya. Anak-anak kecil lainnya tersebar di berbagai pohon, menutupi diri di balik kerimbunan daun.
Sepupu perempuan mereka tadi pulang ke desa bertelanjang kaki, menjerit-jerit menyuruh semua anak bersembunyi di atas pohon. Suara-suara lelaki asing mulai berdatangan tak lama setelah mereka aman di dahan-dahan, disusul hantaman dan suara tempayan pecah.
"Kak," bisik Kawarama, memutus jalan pikiran gadis kecil itu. "Mau pipis."
Ia menjawab tanpa suara, "Ja, jangan sekarang…."
Air muka Kawarama memelas. Kini ia duduk menyamping, bergoyang maju mundur tak nyaman. Hashirama mencengkeram lengannya, kedua kakinya erat mengapit dahan. Lengan lainnya masih dihuni Itama yang terlelap, tetapi ototnya mulai pegal.
"Mau pipiiis," ulang adiknya tak sabar.
Di tanah, semua suara telah sirna.
Kegelisahan yang sama merebak ke pohon-pohon lain. Anak-anak yang lebih kecil mulai merajuk ingin turun. Anak-anak yang lebih tua melarangnya. Absennya suara manusia bukan pertanda bahaya telah hilang. Semua shinobi bisa bergerak tanpa membengkokkan sebatang rumput pun.
Itama gelisah dalam selimutnya. Mulutnya terbuka lebar, mendadak menangis sejadi-jadinya. Kawarama refleks menutup telinga, meringis perih.
"Ssh, Itama, jangan nangis…!" Usaha Hashirama sia-sia. Pastilah adiknya kelaparan, ia terakhir disusui sebelum ibu mereka pergi bersama sebagian besar sanak perempuan menjemput air di puncak bukit karena sumur-sumur mengering.
Tapi, di mana ibunya?
Batang pohon besar yang mereka duduki mendadak bergetar. Getaran halus, takkan disadari jika seluruh tubuhnya tidak sedang bersiap menyambut bahaya seperti ini. Hashirama bertukar pandang dengan Kawarama, yang matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dedaunan memang menyembunyikan mereka dari pandangan, tetapi mereka juga terjebak di sini. Dahan pohon lain terlalu jauh bagi kaki-kaki anak kecil seperti mereka.
Langkah-langkah. Menjejak kulit pohon. Tegas dan tak menyembunyikan kedatangannya sama sekali. Tangisan Itama pastilah menariknya.
Hashirama menutupi si bayi dengan tubuhnya. Ia yang duduk paling dekat batang pohon. Jika ia memberikan adik bungsunya kepada Kawarama, mereka bisa loncat ke dahan bawah sementara penyerang itu sibuk dengannya. Berisiko, tetapi diam pun sama saja. Tunggu, jika ada yang menunggu di bawah, mereka tidak akan selamat—
"Hashirama?"
Ia tercenung. Suara itu ia kenali dengan baik. Tangannya gemetar ketika ia menyibak dedaunan. Seluruh ketegangan yang mengikat tubuhnya lepas begitu berjumpa dengan wajah pemanjat pohon itu.
"Ayahanda…!"
Di bawah sudah berkerumun banyak pria dan pemuda lain, semua masih berzirah dari medan perang. Sementara anak-anak kecil lain diturunkan dari pepohonan, Hashirama buru-buru mencari ibunya, tak lagi berusaha mendiamkan jeritan Itama. Namun, salah satu kerabatnya, seorang wanita paruh baya, menghentikannya dan mengambil si bayi.
"Bibi, dia lapar…!"
Sang bibi hanya mengopernya ke perempuan lain, yang ia ketahui baru melahirkan beberapa hari lalu. Tubuh kedua perempuan dewasa itu penuh lebam. Itama segera disusuinya tanpa basa-basi.
"...Ibuku mana?"
Kedua wanita itu mengabaikan pertanyaannya. Wanita yang lebih tua mulai menyeka lecet dan lebam si ibu susuan. Namun, perhatian Hashirama tersita seutuhnya pada pipi merah si bayi sampai seseorang memanggil.
"Kakak."
Tobirama tiba menggandeng Kawarama, menuntunnya menjauh dari adik bungsu mereka dan bergabung dengan kerabat yang lain. Adik tertuanya masih berzirah, tetapi tidak terluka. Di sekeliling mereka pria-pria berzirah merah dan hijau mondar-mandir, menguarkan bau tanah dan darah. Hashirama tak mengerti apa yang sedang terjadi sampai mereka tiba di pemakaman klan Senju.
Ayah mereka mematung memunggungi ketiga anaknya sementara pria-pria Senju lain sibuk menimbun belasan peti mati kayu. Perhatiannya terpaku ke satu lubang tertentu.
"Ayahanda, mana ibu—"
Telunjuk yang lurus ke arah lubang kuburan di hadapannya memutus pertanyaan Hashirama. Gadis kecil itu tercenung, menebar pandang ke sederet kuburan di hadapan mereka.
Kerabatnya bekerja dalam diam, tetapi satu-dua yang bertukar kata memberitahunya bahwa semua peti itu berisi perempuan yang tadi pergi mengambil air. Termasuk ibu mereka. Mereka diserang oleh sekelompok bandit yang berkemah tak jauh dari sumber air. Hanya sebagian kecil perempuan yang selamat. Lainnya mati atau hilang tak tentu rimbanya.
"Bukannya bukit di timur laut itu sudah bebas bandit, terakhir kita patroli ke sana?"
"Klan Uchiha mengusir bandit-bandit di wilayah Daimyo Taneyuki minggu lalu, mereka semua menyebar…."
"Mereka pasti sengaja mengirim para bandit ke sini! Tepat saat kita semua pergi mengurus serbuan klan lain…."
Hashirama tidak memerhatikan lagi, larut dalam emosinya sendiri. Klan Senju memiliki banyak musuh, kata ayahnya dulu. Seperti para bandit yang biasa mengganggu desa-desa dan menculik penduduk yang tidak waspada. Namun, yang lebih berbahaya adalah klan-klan ninja yang tersebar di balik hutan dan gunung. Mereka lebih senang membunuh daripada menculik, anak-anak pun mereka bantai. Dari semuanya, yang paling berbahaya adalah klan Uchiha. Musuh turun-temurun keluarga mereka. Konon rupa mereka tak ubahnya manusia biasa, dengan mata semerah darah dan napas sepanas neraka yang menandakan keiblisan mereka….
Bau darah samar-samar hilang, ditenggelamkan oleh kepulan debu kemerahan dan bau tubuh-tubuh para penggali. Terik matahari memanggangnya, membuat butiran keringat menyelusup ke telapak tangannya yang erat menggenggam tangan mungil Kawarama. Tangisnya mulai pecah ketika semua kuburan selesai ditimbun. Semua anak-anak yang ada di sana juga menangis, kecuali Tobirama yang hanya menatap tanah galian lekat-lekat. Ada gundah gulana berkecamuk di benaknya, tetapi Hashirama tidak mengerti apa yang harus ia perbuat dengannya. Dikemukakan pun tak ada yang bersedia menerima.
Klan Senju ini klan ninja, 'kan? Klan pejuang, klan petarung? Mengapa semua perempuan ini kalah hanya melawan segenap bandit? Hashirama masih belum paham mengapa mereka gugur begitu mudahnya, atau mengapa mereka tidak diberikan senjata yang lebih besar daripada sebilah pisau. Atau mengapa para perempuan ini tidak dibolehkan maju berperang. Mereka semua pasti bisa memegang pedang juga jika diajari. Bandit atau klan Uchiha sekalipun tidak akan menjadi masalah besar.
"Kau masih kecil, Hashirama," kata ayahnya malam itu, setelah Itama kembali diberikan pada ibu susuan. "Kau tidak mengerti."
"Tapi saya ingin tahu, Ayahanda," ia bersikeras. Air matanya tak sanggup mengalir lagi.
Senju Butsuma menatap putri semata wayangnya dingin.
"Jika semua perempuan turut berperang dan gugur, siapa yang akan melahirkan anak-anak?"
Hashirama membisu, bingung.
Tak bisakah perempuan melakukan keduanya sekaligus?
.
.
Usia Hashirama dua puluh lima tahun, dan ia tidak mengerti mengapa penguasa negeri berniat datang ke sebuah dusun terpencil tanpa nama.
Jalan setapak menanjak yang didakinya berakhir di sebuah lapangan kecil terbuka yang dikelilingi ek dan cemara di atas bukit. Suara serangga hutan bersahut-sahutan, diselingi kaokan burung yang sesekali melintas di langit biru. Bunga-bunga iris tumbuh di dasar pohon, terlindungi bayangan. Gerumbulan asagao keunguan mekar tersebar di lapangan.
Senju Tobirama, dua tahun lebih muda dari saudarinya, berdiri dengan pedang terhunus. Ayunannya yang secepat kilat ditangkis sempurna oleh lawannya, seorang perempuan tinggi nan langsing. Ikatan rambutnya berkibar bagai cambuk setiap ia bertahan dan menyerang. Tak ada suara selain bilah besi beradu, keresak rerumputan, dan seruan penuh semangat. Keduanya seimbang; bergantian saling serang tanpa keluar dari tempo. Hashirama terpukau menyaksikan keduanya, bagaimana pakaian mereka yang kontras berkelebat dalam setiap gerakan secepat kilat hingga warna-warnanya seolah berbaur….
Kedua petarung bergerak semakin dekat ke mulut jalan. Sebuah dinding cakra tebal mendadak menerpanya, membuat Hashirama mengerjap-ngerjap kaget. Perempuan di lapangan berseru, "Berhenti!" lalu berbalik menghadapnya.
"Pagi, Tobirama, Izuna," sapa Hashirama kepada keduanya.
"Oh, Kakak."
"Hashi-san," Uchiha Izuna mengangguk singkat ke arahnya. Dinding cakranya menyusut. Dadanya masih naik-turun, dialiri jalur-jalur keringat yang bergulir ke balik kerah hitamnya. Ia menyarungkan pedangnya, kemudian membetulkan kain putih yang menutupi lubang matanya. "Ah melorot lagi…."
"Bukannya kalian biasanya berlatih di tempat lain? Kenapa pindah ke sini?" tanya Hashirama, menatap sang adik meminta penjelasan.
"Tempat itu sudah dipakai untuk menaruh bahan pembangunan rumah. Di sini cukup sepi." Tobirama menyandarkan diri ke sebuah batang pohon. Satu kakinya terjulur ke depan sementara ia meneguk isi tabung bambu yang dibawanya. Seekor kucing muncul dari balik pohon, dan Tobirama mengelus punggungnya. Dengkuran puas si kucing segera membahana.
Empat ekor kucing muncul dari pepohonan, menghampiri Izuna yang sudah duduk di lapangan. Semuanya mengeong heboh minta dielus. Sesekali ia terkikik dan memekik kencang ketika seekor kucing menggosokkan tubuhnya ke lengan bawah perempuan itu yang tak tertutupi pakaian. Puas bermain-main, ia segera beranjak bangun. "Ayo latihan lagi, Tobirama," ajaknya, meraba-raba rerumputan sampai menemukan sebilah pedang.
Tak ingin mengganggu mereka, Hashirama beranjak ke sebuah jalan setapak lain yang membawanya ke tepi puncak bukit. Dentang bilah pedang yang saling beradu kembali menggema dari tempat yang baru ia tinggalkan. Pemandangan yang menyambutnya di ujung jalan adalah hutan pinus yang mengelilingi sebuah pemukiman. Masih banyak petak-petak rumah yang kosong, sedangkan sebagian yang sudah berdiri utuh atapnya tak dicat, menampakkan warna alami kayu yang berpendar tersiram cahaya matahari pagi. Orang-orang tampak tak lebih besar daripada kelingkingnya, mondar-mandir menjalani kesibukan masing-masing. Sebuah tebing menjulang di sisi utaranya, tempat yang familier bagi Hashirama.
Lebih dari dua belas tahun yang lalu ia duduk di atas tebing itu bersama sahabatnya, membicarakan tentang sesuatu yang dianggap mustahil di masa itu: menghentikan peperangan dan mendirikan sebuah perkampungan bersama musuh bebuyutan keluarganya. Jika ayahnya dan leluhur mereka bisa melihatnya saat ini … entah apa yang akan mereka katakan.
Sekilas bayangan menjatuhi wajahnya. Hashirama mendongak, menemukan kelebatan ayam pegar berbulu hijau disambar oleh seekor elang. Ia mengenali elang itu. Keduanya melesat ke selatan, maka Hashirama menembus pepohonan menuruni bukit. Atensinya terus terarah ke atas, ke bayangan gelap di sela-sela kanopi kehijauan. Tak ingin tertinggal, ia melompati dahan-dahan raksasa dan menabrak ranting-ranting kecil. Bawahannya berkibar saat ia mendarat di tepi pemukiman yang datar.
Ayam pegar itu sudah tergeletak di tanah, darahnya deras mengalir. Elang yang memburunya mengendus udara, lalu melompat ke lengan bersarung seorang lelaki jangkung. Paruhnya mengambil segumpal daging merah dari jari pria itu, lalu pergi menghampiri pemuda lain yang telah memenggal buruannya. Pakaian keduanya berwarna gelap.
Hashirama berseru tersengal, "Madara! Kamu sudah pulang!"
Kedua orang itu berbalik bersamaan. Pemuda yang tidak dikenalinya membungkuk hormat, lalu buru-buru menyibukkan diri dengan si elang di lengannya. Lelaki satunya yang lebih tua melepas sarung tangan tebalnya, dan menyibakkan poni panjangnya.
"Hashi," Uchiha Madara menyapanya lirih. Nadanya serius. "Aku harus bicara denganmu."
"Eh?" Hashirama mengerjap, langkah-langkahnya memelan. "Ada apa?"
Sebelum menjawab, ia mengisyaratkan si pemuda untuk pergi hanya dengan anggukan kepala. "Aku berpapasan dengan kurir dari ibukota. Sudah tiga hari tersasar mencari desa kita." Ia mengeluarkan sebuah gulungan bersampul emas dengan simpul resmi dari sakunya.
"Apa ini?" tanyanya, menerima gulungan itu.
Kertasnya tampak mahal. Bahkan para daimyo saja jarang menggunakan jenis kertas ini. Shinobi sepertinya hanya menggunakan secarik kertas secukupnya, pesan-pesan digurat dengan pensil tipis dalam kalimat atau kode pendek. Perlahan diurainya simpul, dan penciumannya disambut dengan bau wangi tinta kaligrafi. Tak lazim.
Madara meraih ke sela rambut Hashirama, mengambil dedaunan yang terselip di antara helaiannya sementara wanita itu membacakan isi suratnya.
"'Kepada Tuan-tuan kepala klan shinobi Senju dan Uchiha' … oh, ini buat kita."
"Lanjutkan," perintahnya.
"'Kami harap Anda sekalian sehat-sehat saja' … sambutannya panjang sekali, astaga." Dahi Hashirama berkerut sembari ia melompati barisan kalimat yang kurang penting. Bahasanya terlalu berbunga-bunga dan beruntai-untai memusingkan. "Ada ucapan selamat atas berakhirnya konflik antar-daimyo…."
Madara berdecak keras-keras.
Matanya membelalak ketika ia nyaris mencapai akhir surat. "...Kaisar Nobutada ingin melihat langsung pemukiman kita." Hashirama mendongak dari gulungannya, terbata-bata, "Kaisar … Kaisar bulan depan mau ke sini…."
Tangannya berhenti bekerja sejenak, kemudian menyelipkan helaian rambut ke belakang kedua telinga Hashirama. "Ke sini?" ulang Madara masam. "Ke tempat terpencil begini?"
Wanita itu menyentuh puncak kepalanya, yang sudah bebas sampah hutan. Dalam hati ia berterima kasih, sekaligus malu karena terburu-buru menuruni bukit hingga tidak memerhatikan jalannya di hutan. "Begitu kata surat ini. Kaisar ingin berbincang juga dengan kepala desa." Gulungannya ia ikat kembali. "Aku nggak mengerti … daimyo sekalipun belum pernah ada yang datang sendiri menemui penduduk di luar kotanya. Jadi kenapa Kaisar…."
Madara mengangkat bahu, lalu berbalik mengitari desa. Hashirama mengikutinya, membaca ulang isi surat itu. Bagi para shinobi, sang kaisar adalah entitas di luar lingkup nalar mereka. Kekuasaannya membentang dari timur ke barat, utara dan selatan. Tapi sampai sejauh apa tepatnya, Hashirama tak tahu. Ia hanya tahu keberadaan kekaisaran lain nun jauh di balik cakrawala, yang berarti Hinokuni memiliki batas wilayah entah di mana. Ada Tsuchinokuni, Kazenokuni.…
"Menurutmu bagaimana?"
Madara telah berhenti berjalan tak jauh dari jalan utama menuju pemukiman. Kesibukan penduduk terdengar samar-samar dari tempat mereka berdiri.
Hashirama menatapnya, lalu buru-buru menggulung surat itu. "Kaisar sudah lama membiarkan para daimyo-nya berseteru," ia menjawab. "Sekarang ia mau repot-repot menemui kita. Padahal meninggalkan ibukota saja jarang."
"Semua orang tahu Kaisar hanya peduli pada sumbangan dari masing-masing daimyo dan memberi makan pasukan mahalnya." Madara tak menutupi nadanya yang diwarnai kekesalan.
"Aku senang beliau mau berkunjung, tapi … terlalu banyak yang harus dipertimbangkan." Hashirama menyelipkan gulungan itu ke balik pakaiannya, dan mereka melanjutkan perjalanan. Sesekali ia melirik sahabatnya, yang tampak larut dalam pikirannya sendiri. Sudah seminggu ini ia pergi, berburu babi hutan dan hewan liar lainnya sambil memetakan belantara. Hashirama paham desa mereka butuh pasokan makanan yang banyak, dan bahwa Madara adalah salah satu pemburu terbaik mereka di luar klan Inuzuka. Ia hanya berharap Madara tidak pergi terlalu lama— ada hal-hal yang ingin dibicarakannya mengenai desa mereka.
Tak lama kemudian, puncak-puncak rangka konstruksi kayu bangunan muncul dari balik pepohonan. Pria-pria yang semuanya berbaju gelap bekerja sambil bersahut-sahutan. Sudah berminggu-minggu, dan hanya klan Uchiha yang masih sibuk membangun sendiri.
"Beritahukan kepada klan lain bahwa kita perlu membentuk dewan desa secepatnya. Tapi rahasiakan surat Kaisar untuk sementara ini."
Saat ia menatap punggung Madara yang menjauh menuju kediaman klannya, Hashirama merasakan ganjalan aneh di hatinya.
.
.
"Mokuton."
Tanah pecah, merekah. Batang-batang kayu tumbuh dari lahan kosong di hadapannya, berbentuk persegi nan halus seolah telah dipoles oleh seorang ahli. Cabang-cabang persegi tumbuh dari sisi-sisi batang, sambung menyambung membentuk rangka bangunan dua lantai. Ia nyaris tidak berkedip menyaksikan mereka tumbuh, memastikan ukurannya sepresisi rancangan yang dipegangi Tobirama. Selesai dengan rangka, Hashirama melanjutkan membangun lantai dan dinding, lengkap dengan bukaan-bukaan bakal pintu dan jendela. Atapnya ia tumbuhkan terakhir, berupa papan-papan kayu berjejer rapi.
Perlahan-lahan Hashirama melepas segel ularnya, rasa pegalnya merambat hingga ke punggung. Lebih dari satu jam ia berdiri tak bergerak, menjaga agar fokusnya tidak goyah. Mengeluarkan energi sebesar itu bukan masalah jika ini di medan tempur. Namun, menjaga agar alirannya konstan dan tidak menyebabkan kayunya tumbuh berbeda ukuran sungguh menguras stamina. Bertumpu pada kedua lutut, ia menoleh pada adiknya. "Bagaimana?" tanyanya terengah.
"Lebih baik daripada percobaan sebelumnya," komentar Tobirama. "Sudah ada kemajuan."
"Aku sudah … berlatih…." Hashirama menarik napas dalam-dalam, melangkah melewati ambang.
Bangunan dua lantai ini akan menjadi kantor dewan desa yang sementara sampai bangunan yang lebih permanen selesai dibangun dari batu bata. Mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, Hashirama membuat meja, kursi dan rak-rak kayu. Lantai bawah akan menjadi ruang rapat, dan lantai dua akan menjadi kantor pribadi. Di luar, Tobirama menginstruksikan seorang tukang untuk menyelesaikan jendela dan pintu.
"Berapa banyak yang bisa Kakak buat dalam sehari?" tanyanya sembari mereka meninggalkan lokasi. "Hampir semua klan aliansi kita siap pindah kemari. Tidak ada cukup waktu untuk membuat rumah-rumah…."
"Sudah kubilang, tenang saja." Hashirama melangkah ringan di sampingnya, melewati lahan-lahan kosong yang baru dibuka. "Semuanya akan mendapatkan rumah. Aku bisa bekerja nonstop," tambahnya dengan mata berbinar.
Sang adik menatapnya skeptis. "Kakak belum lupa saat klan kita baru pindah, bukan? Waktu kita berdua terpaksa mengevakuasi diri karena atap rumah buatan Kakak runtuh tengah malam karena terlalu berat?"
Hashirama meringis bersalah. Mokuton-nya lebih sering digunakan untuk bertempur, sehingga saat ia harus membangun rumah dengan cepat, ia hanya membayangkan bentuk rumah itu sendiri dalam mokuton-nya. Konstruksinya tentu saja lemah. Beban bangunannya tidak tersebar dengan merata, sehingga ambruk dengan mudah. Keesokan harinya Tobirama menyuruh ahli bangunan klan mereka merancang rumah-rumah yang akan dibangun, dan meminta Hashirama melatih mokuton-nya di waktu luang.
Sungguh, memakai mokuton untuk membangun rumah jauh lebih melelahkan daripada saat dipakai bertarung melawan Madara. Dan omong-omong soal Madara…
"Klan mana yang rumahnya akan kita bangun lebih dulu?" tanya Hashirama, "Uchiha?" ia menambahkan, secercah harapan terselip dalam suaranya.
Tobirama menggulung sketsa rumahnya, menggeleng. "Mereka memilih membangun rumahnya sendiri. Kita harus cepat-cepat membagi zonasi tempat tinggal sebelum ada yang berseteru memperebutkan lahan."
Ia menatap langit yang biru tak berawan. Sekawanan burung terbang melintas. Gulungan surat itu ia tarik dari sakunya. "Aku … harus memberitahumu sesuatu. Kaisar Nobutada menyurati kita."
Mata merah gelap adiknya bergulir begitu cepat sejak membuka gulungan. "Ini … janggal."
"Iya, 'kan?"
"Arus informasi kita tersendat sejak kita mulai pindah. Tidak ada yang tahu kabar dari ibukota." Tobirama mengembalikan gulungan itu dengan rapi. "Bagaimana kalau malam ini kuminta petinggi semua klan berkumpul membahasnya?"
"Kurasa tak masalah. Tolong kabari klan lainnya." Kemudian Hashirama menambahkan, "Tapi jangan sebut-sebut soal surat ini juga." Ia meregangkan lengannya. "Aku akan membuat beberapa rumah lagi sebelum makan siang."
"Satu saja."
"Tiga."
"Kak," Tobirama memicingkan mata; gestur yang sudah sangat dihafal Hashirama, "tolong sadar diri. Kakak sudah lelah."
Wanita itu manyun sesaat. "Aku sadar akan kemampuanku, Tobirama. Percayalah."
.
.
Menjelang sore, Hashirama telah kembali berada di tebing, menghitung petak-petak rumah kosong yang belum ia bangun. Pandangannya mulai berkunang-kunang usai menyelesaikan rumah ketiga, maka ia buru-buru meninggalkan kerumunan penonton. Jika adiknya sampai tahu, ia pasti akan kena omel lagi. Jemarinya menunjuk-nunjuk udara. Ia sanggup membuat lima rumah dalam sehari … maka untuk membuat semuanya ia butuh….
"Kamu ngapain?"
Hashirama buru-buru menurunkan jemarinya. "Ah— Madara! Kamu kelihatan senang sekali."
Pria itu mengalihkan wajahnya, bersikeras, "Bukan apa-apa." Tetapi sudut senyumannya masih jelas terlihat. "Izuna … kemampuan kenjutsu-nya sudah seperti dulu lagi."
"Masih mematikan seperti biasa." Kini Hashirama turut tersenyum. "Aku menonton mereka tadi pagi."
Madara menyibakkan rambutnya yang liar, menunjukkan goresan merah panjang di bawah telinganya. "Aku berlatih dengannya barusan, dan ini yang kudapat."
"Aw." Tangannya maju, lembut menyentuh luka itu.
"Sudah nggak berdarah," katanya, meski ia membiarkan sahabatnya menutup lukanya hingga tak menyisakan bekas. "Dia marah nggak kuajak berburu."
Hashirama tidak berkomentar apa-apa soal itu. Ia sudah paham alasannya. "Omong-omong, aku sudah memberitahu para petinggi klan untuk berkumpul nanti."
"Aku dapat pesan adikmu," kata Madara, menebarkan pandang ke seluruh pemukiman. "Kita butuh nama."
"Eh? Nama siapa?"
"Nama untuk desa ini, Hashi," jawabnya sambil menghela napas lelah, "juga gelar untuk pemimpinnya."
"Oh iya, ya." Kepalannya menepuk telapak tangannya sendiri. "'Kepala desa' saja nggak cukup?"
"Isi desa ini bukan penduduk biasa…" ujarnya keras-keras, mengalahkan deru angin yang menerbangkan dedaunan ke arah keduanya.
Hashirama merapatkan pakaiannya untuk menahan angin. Jika hampir semua klan-klan shinobi Hinokuni bersekutu di bawah satu nama, maka pemimpinnya lebih dari sekadar kepala desa. Pemimpinnya sanggup melindungi lebih banyak orang, tak cuma penduduknya saja. Seantero Hinokuni pun pasti terlindungi….
"...'Hokage'," gumam Hashirama. "Bagaimana dengan gelar 'Hokage'? Pelindung penduduk Hinokuni dari bayangan? Bagus, nggak?" Ia menoleh, cengirannya lebar mengharapkan pujian atas idenya yang brilian.
Namun, Madara malah merengut. "Nggak kreatif sama sekali," komentarnya datar.
"Huuuh." Wanita itu manyun. "Memangnya kamu punya usul yang lebih baik?"
"Heh. Tentu saja." Di antara ibu jari dan telunjuknya terselip sehelai daun. Ada lubang besar di tengahnya bekas gigitan ulat. Diangkatnya daun itu sejajar dengan mata, sambil bergumam, "Konoha … gakure…."
Wanita itu menelengkan kepala. "Apa, apa? Suaramu pelan."
"Konohagakure," ulang Madara yakin. "Desa yang tersembunyi di balik dedaunan. Bagaimana?"
Rahang Hashirama turun perlahan. "Dari semua nama yang bisa kaupikirkan…" keluhnya dengan tatapan tak percaya, "kamu mengambil nama dari taktik bersembunyi yang paling dasar. Nggak kreatif, ih."
Madara menggeram sebal, "Sadar diri, oi! Kamu juga sama nggak kreatifnya!"
Wanita itu langsung terbahak-bahak. "Ya sudah, nanti kita minta usul dari yang lain! Tapi," ia berbalik untuk menghadapnya, "aku ingin kamu yang jadi Hokage."
"...Serius, nih?" Dahinya mengernyit tak percaya.
"Mhm!" Hashirama mengerling. "Aku nggak terpikir calon lain selain kamu."
"Kenapa?"
Wanita itu tak menjawab, hanya menampilkan senyumannya yang terlebar. Madara sungguh berdedikasi dalam menjaga keluarganya, dan ia adalah shinobi yang luar biasa kuat. Keluarga mereka sekarang tak hanya klan masing-masing, tetapi juga semua orang yang tinggal di desa ini.
Di Konohagakure.
"Jangan cuma nyengir begitu, ayo beri tahu alasannya," bujuk Madara.
"Itu—"
"Di sini kalian berdua rupanya."
Keduanya berbalik, melihat Tobirama mendaki tebing. Wajahnya cemberut. "Ayo turun, semuanya sudah berkumpul."
Setibanya di kantor, Madara langsung masuk ke ruang rapat. Namun, Tobirama mencegah Hashirama menyusul, dan mengisyaratkannya untuk naik ke kantor atas.
"Aku mendengar percakapan kalian tadi," katanya sambil menutup pintu. Adiknya bahkan tidak repot-repot berbasa-basi. "Kakak tidak bisa menunjuknya jadi pemimpin seperti itu."
Mata Hashirama melebar. "Apa salahnya…?"
"Pengisi posisi itu akan ditentukan dengan demokratis," tambahnya, "bukannya main tunjuk saja. Pendapat klan-klan lain juga harus diperhitungkan. Mereka pasti punya calon lain."
Ia menjatuhkan diri ke sebuah kursi. "Madara cocok jadi Hokage, Tobirama."
"Aku paham Kakak berpendapat begitu. Aku bukan meragukan kekuatannya atau kepemimpinannya … tapi, Kakak juga berkualifikasi menjadi Hokage. Kalian berdua sama-sama pemimpin klan yang kuat."
Hashirama merasa ada hal lain yang tidak diceritakan Tobirama kepadanya. "Kamu masih nggak suka dia."
"Biasa saja," sanggahnya cepat. "Ini bukan masalah pribadi."
Perhatian Hashirama mendadak terarah ke jendela kaca. Ia mendekat, dan membukanya lebar-lebar. "Kamu merasa ada orang, nggak, di luar sana?" Matanya tadi menangkap ekor bayangan sesuatu baru meninggalkan tempat itu, tetapi tak ada pertanda siapapun di sana.
"Cakra penginderaku tidak aktif."
Di bawah birai, hanya terserak guguran daun dari pohon di sebelah.
.
.
Usia Hashirama sembilan tahun, dan ia telah mempermalukan seluruh klan Senju.
Di penghujung siang musim panas itu, perkampungan terasa lebih penuh dari biasanya. Mereka kedatangan rombongan tamu dari lautan tenggara, para kerabat jauh yang telah tinggal selama separuh musim. Hari ini adalah akhir kunjungan mereka. Klan Uzumaki rutin mengirimi mereka senjata terbaik dan membagi ilmu ninjutsu hasil risetnya. Ketika klan Senju berperang pun, mereka terus mengumpulkan data untuk merumuskan jurus dan taktik demi kemenangan Senju.
Rombongan itu dipimpin oleh Uzumaki Ashina, seorang lelaki tua bertinggi sedang dengan jenggot merah berjalin helaian perak. Ia bercengkerama dengan lelaki dewasa lainnya, termasuk ayah Hashirama. Para bibi dan sepupu perempuan lain mondar-mandir membawakan camilan dan sake. Anak-anak bermain di luar lingkaran, mencoba menangkapi kumbang atau memamerkan kemampuan olah cakra masing-masing.
Hashirama sibuk menemani cucu-cucu kepala klan Uzumaki. Semuanya anak yang menyenangkan; keluar-masuk hutan adalah kegiatan rutin mereka selama di perkampungan. Rupanya tidak ada belantara dengan pepohonan raksasa di Uzushiogakure.
"Pulau Uzushio terlalu kecil," Uzumaki Mito menjelaskan sembari mengepang rambut panjang Hashirama. "Kamu bisa keliling pulau dalam tiga hari saja. Dari atas bukit, semua isi pulau pun terlihat jelas. Cuma ada hutan kecil berisi pinus dan ek, tapi nggak ada yang sebesar di sini."
"Nggak ada babi hutan juga?" tanya Hashirama. Ia duduk memeluk lutut, menonton para anak lelaki saling pamer tangkapan serangga hutan. Perbedaan antara anak-anak Uzumaki dan Senju cukup kontras. Pertama karena rambut merah Uzumaki yang khas, dan kedua karena tetamu mereka semuanya berpakaian bagus. Bahkan pakaian bermain saja dari sutra yang diwarnai dengan pewarna cerah. Sementara anak-anak Senju mengenakan pakaian dari rami yang mudah dicari, dan tak selalu diwarnai.
"Nggak ada. Paling-paling cuma ayam pegar dan merpati." Mito mengurai rambutnya dengan sisir berornamen. "Rambutmu mesti dirapikan, Hashi."
"Ladang-ladang kalian pasti aman dari serbuan hama, ya." Hashirama mengabaikan komentar soal rambutnya. Semua sepupu perempuan Uzumaki-nya cantik jelita, dengan aksesoris berkilauan menghiasi tatanan rambut mereka. Apapun yang Mito lakukan pada rambutnya, tak pernah menambah kecantikannya.
"Nanti kalau kamu main ke sana, kita bisa bermain di laut. Naik kapal-kapal pemancing."
Ia tidak menjawab. Entah di mana letak persisnya Uzushiogakure, tetapi dari percakapan selama mereka tinggal di kampung tampaknya cukup jauh. Sepengetahuannya, tidak ada anggota klan Senju yang pergi sejauh itu berombongan. Misi selalu dilaksanakan sendiri. Ayahnya pernah pergi ke kota, tapi dalam samaran malam hanya untuk menerima misi dari daimyo.
Keributan dari arah hutan menarik perhatiannya. Ia mendapati sekelompok sepupu Uzumaki tertawa riuh sampai suara mereka parau. Kelompok ini dipimpin Nobuo, anak lelaki seusianya yang tinggi besar dengan kepala plontos. Mereka mengelilingi seorang anak lain— anak Senju, jika dilihat dari kelebatan pakaiannya—
Jantung Hashirama mencelos. Ia mengenali suara Kawarama dari kawanan itu. Nobuo meraih sebuah ember dan menuang isinya ke tengah kerumunan. Tangis Kawarama pecah seketika.
"Cengeng amat, sih!" Nobuo menertawakannya, sementara teman-temannya membeo. "Gimana mau jadi ninja kalau begini saja nangis! Apa semua anak Senju cengeng, ya?" Kerumunan menyibak, menampilkan Kawarama berjongkok. Kepalanya berlumur sesuatu yang lengket seperti telur katak.
Adiknya sungguh takut pada telur katak.
"Hashi—!"
Dalam satu kedipan mata, gadis itu melesat meninggalkan Mito. Pada detik berikutnya, tinju Hashirama telak menghantam hidung Nobuo. Anak lelaki itu tersungkur di tanah, tetapi si gadis tidak berhenti meninjunya. Lengan gemuk Nobuo menggapai-gapai berusaha mendorongnya, tetapi Hashirama menjepit tubuhnya dengan kedua kaki. Mata kelabunya mulai berair. Telinganya berdengung, menulikannya dari segala suara selain hantaman tinju.
Tangan-tangan yang menarik tubuhnya mundur mengingatkan gadis itu akan keberadaan teman-teman Nobuo. Hashirama memberontak, tetapi ia kalah jumlah. Baru setelah ia mundur dan berdiri, gadis itu menyadari perbuatannya.
Bocah tinggi besar itu masih tersungkur, wajahnya penuh darah. Begitu juga dengan kepalan tinju Hashirama. Mito telah bersimpuh di sisi Nobuo, mencoba menghentikan pendarahannya. Pakaiannya yang putih terciprat merah.
"Kakak…?"
Telur katak yang lengket masih melumuri kepala Kawarama, tetapi adiknya itu telah berhenti menangis. Ekspresinya ketakutan. Ia bukan satu-satunya; semua orang di sekitar mereka menatap Hashirama dengan rasa takut yang nyata. Perlahan Kawarama melirik ke belakang kakaknya, dan bulu kuduk gadis itu seketika meremang.
Sebelum ayahnya sempat memanggil, Hashirama telah menghilang di antara belukar. Degup jantungnya memacu adrenalin, mendorongnya lebih dalam ke hutan. Tubuhnya refleks begitu saja; terpicu oleh tangisan Kawarama. Adu jotos bukan hal asing baginya, tetapi baru sekali ini ia meninju seorang tamu. Cucu sulung Uzumaki Ashina pula, sang kepala klan Uzumaki sendiri. Pelipis dan bibirnya sobek.
Larinya usai saat rusuknya mulai ngilu. Hashirama menyeka darah di tangannya ke dedaunan terdekat. Emosinya yang tadi meluap-luap sudah surut. Perutnya keroncongan, maka ia menjejak sebatang pinus raksasa dan meraih kesemek yang tumbuh di sebelahnya. Dari atas ia bisa melihat lautan hijau tak bertepi yang membangun labirin perlindungan kampung klan Senju. Cabang-cabangnya bergoyang lembut didorong-dorong angin.
Berhadapan dengan pemandangan favoritnya, murka Hashirama lenyap.
Kelebatan warna di bawah menarik perhatiannya. Sebuah iring-iringan baru meninggalkan kediaman klannya. Lambang lingkaran spiral merah menghiasi tandu mewah yang mereka bawa. Pengawal-pengawal yang mengapitnya semua berambut merah. Mereka menghilang di ujung lembah. Seluruh anggota klan Uzumaki sudah pulang.
Malam akan segera turun.
Hashirama merapatkan diri ke batang pohon, bersembunyi di balik rimbun dedaunan. Ayahnya pasti sedang murka saat ini, mencari-carinya ke seluruh sudut, bersumpah akan menghukumnya. Ia tak ingin semalaman berlutut memelitur lantai kayu sampai lututnya lebam. Bocah Uzumaki itu pantas ia tinju; masa bodoh kalau dia itu cucu kepala klan. Ia telah membuat Kawarama menangis, padahal ia seumur dengan Hashirama. Selama kunjungan, Nobuo sering mengganggu anak-anak Senju yang lebih kecil jika orang dewasa tidak melihat. Ditegur pun ia hanya berpura-pura bersikap manis….
"Psst."
Tubuh Hashirama seketika kaku, telinganya berusaha menangkap suara selain keresak daun dan desir angin. Ada seseorang di bawah, tetapi ia tak bisa menjulurkan leher untuk melihat tanpa kehilangan keseimbangan.
"Kakak, kau di atas, 'kan?"
Ia mengerjap, menyibak ranting terdekat untuk mengintip. "Kaukah itu Tobirama?" bisiknya. Remang senja menghalanginya melihat jelas ke bawah.
"Ini aku. Turunlah sebelum ada yang melihat."
Hashirama sudah separuh beranjak dari cabangnya ketika ia menyadari sesuatu. "...Apa kamu mau mengadu kepada Ayah?"
Tobirama tidak menjawab.
"Kalau begitu aku nggak mau turun."
"Kak…" Batang pohonnya sedikit bergoyang. Tobirama memanjat naik. Ia terengah-engah ketika mencapai tempatnya duduk. Kepalanya menyembul dari segerumbul dedaunan. "Kakak pasti harus pulang. Ayah akan menghukum Kakak juga. Ayolah."
Hashirama melengos. "Biar saja aku tidur di luar. Huh!"
"Ayah bilang kalau aku tidak membawa Kakak pulang, aku akan diumpankan ke klan Uchiha."
Anak perempuan itu membeku di tempatnya. Ungkapan 'diumpankan ke klan Uchiha' bukan hal baru baginya; ia sering mendengar anggota klan Senju berbicara begitu untuk menakuti anak-anak bandel. Namun, belum pernah ia mendengar ayahnya sendiri berbicara begitu kepada keempat anaknya. Apakah tindakannya meninju si Uzumaki itu sudah jauh melanggar batas?
"Kak." Tobirama menyenggol ujung kakinya.
Ditatapnya wajah Tobirama. Kalau benar ayah mereka akan membuang adiknya itu ke klan Uchiha … Hashirama tidak akan memaafkannya. Mereka semua iblis; barangkali juga kanibal.
Menghela napas, Hashirama mengaktifkan cakranya di kaki dan mulai berjalan menuruni batang pohon. Tobirama menyusul di belakang, menuruni dahan demi dahan seperti orang biasa. Hashirama tidak melepaskan perhatiannya dari adiknya itu, siap menangkapnya jika ia kehilangan keseimbangan. Begitu mereka sampai di tanah, langit nyaris gelap gulita. Tobirama menggandengnya sepanjang perjalanan pulang, memberitahunya jika ada halangan di jalan serta setiap tanjakan dan turunan.
Di depan pintu rumah, ditegakkannya bahu yang lesu, bersiap menghadapi amarah sang ayah. Tobirama menepuk pundaknya, dan mereka bertukar pandang sebelum sang kakak membuka pintu.
Senju Butsuma menatap tajam keduanya sejak mereka masuk dan duduk di hadapannya. Ia masih mengenakan pakaian terbaiknya, dihadiahkan Ashina pada hari kedatangannya di sini.
Tobirama menunduk. Hashirama membalas tatapannya dengan berani. Kedua tangannya terkepal di pangkuan.
"Nah, Hashirama?"
"Saya tidak menyesal memukul Nobuo, Ayah."
Ayahnya menghela napas dalam-dalam. "Kau baru bersikap kurang ajar kepada cucu Uzumaki Ashina dan kaubilang kau tidak menyesal?"
"Dia tadi bikin Kawarama mena—"
"Kau tidak boleh bersikap begitu pada orang yang mungkin akan kaunikahi nanti!"
Ekspresi jijik merekah di wajah si anak perempuan.
"Klan Uzumaki masih saudara jauh kita," kata Butsuma lagi. "Jika Nobuo menjadi kepala klannya, hidupmu akan terjamin di Uzushiogakure. Pertengkaran anak-anak tidak seharusnya menodai hubungan persaudaraan klan Senju dan Uzumaki!"
Kepalan Hashirama gemetar menahan marah. "Daripada menikah dengan perisak seperti Nobuo, lebih baik aku menikah dengan lelaki Uchiha saja!" semburnya.
"Kakak—!"
"Hashirama!" hardik Butsuma, cakranya menyala-nyala murka. "Malam ini kautidur di gudang! Lupakan makan malam!"
Ia bangun sambil mengertakkan gigi, kakinya mengentak-entak saat berjalan keluar. Matanya berair, tetapi Hashirama tidak membiarkannya tumpah sampai ia tiba di gudang. Tempat itu gelap, lembap dan dingin. Berkali-kali ia terantuk lemari tua atau kursi yang sudah patah kakinya. Rasa laparnya menjadi-jadi. Hashirama harus meraba-raba dalam gelap untuk menemukan tempat untuk berbaring di antara barang-barang tua dan berdebu. Tangannya menyentuh sesuatu yang tampaknya futon tua berbau apak di antara papan-papan. Ia sedang berusaha menariknya, ketika pintu gudang bergeser terbuka. Gelombang halus cakra dingin menyapunya.
"Kembalilah, Tobirama," katanya tanpa menoleh, menyeka wajahnya dengan lengan yang berdebu. "Kau tidak dihukum, 'kan?"
"Aku bawa apel." Tobirama meletakkan lilin di atas kursi yang patah, membantunya menarik futon dan menggelarnya di dekat pintu. "Kakak tidak serius, 'kan?"
"Apanya?"
"Waktu Kakak bilang mau menikah dengan lelaki Uchiha."
Hashirama menyandarkan dirinya ke dinding, menimang apel dalam serbet yang dibawakan adiknya. "...Tidak." Sungguh, ia hanya berteriak begitu karena marah. Apalagi Nobuo terus menerus mengganggu Kawarama selama delegasi Uzumaki tinggal di kediaman Senju. Tetapi….
"Tobirama, kalau aku menikah dengan kepala klan Uchiha, apakah kita bisa berhenti saling serang?" Sunyi. Hashirama menambahkan, "Bukankah itu yang dilakukan klan-klan di masa lalu? Membuat perdamaian dengan pakta dan pernikahan? Mengapa itu tidak kita lakukan?"
Didengarnya sang adik menghela napas. "Makanlah dulu," pintanya.
"Menurutmu gimana?"
"Apa Kakak sungguh mau menikah sama iblis?"
Hashirama tidak menjawab. Ia benar-benar tidak tahu seperti apa klan Uchiha sesungguhnya….
.
.
Ruang tertutup itu berisi sekitar tiga puluhan orang, para pemimpin klan dan perwakilan golongan penting. Mereka duduk dalam tiga lingkaran mengitari sebuah meja. Setiap klan diwakili oleh empat orang, termasuk ketuanya yang duduk di posisi depan.
Dari klan Senju adalah dua paman Hashirama: Azami dan Joji. Yang pertama adalah veteran perang berkaki satu yang sekarang sibuk beternak lebah, yang satunya adalah pria ringkih berkemauan sekeras batu. Klan Uchiha diwakili oleh pemuda bernama Hikaku dan salah satu paman Madara yang tidak dikenal Hashirama. Wajah-wajah lainnya masih belum familier, kecuali para kepala klan yang sudah sering ia temui. Selain dirinya, hanya ada dua perempuan lain di situ.
Semua obrolan mereda begitu ia masuk. Setelah berterima kasih atas kesediaan mereka hadir dan berbasa-basi, Hashirama menyilakan sahabatnya berbicara.
"Desa kita masih belum stabil," Madara menjelaskan kepada mereka. "Cepat atau lambat para daimyo akan mencoba mengontrak jasa kita lagi melawan klan di luar desa. Yang bisa kita lakukan saat ini hanya membentuk susunan pimpinan resmi."
Tidak ada yang menolak usulan nama desa dan gelar kepala desa. Hashirama bisa melihat Madara menahan diri untuk tidak menyeringai ke arahnya. Jantungnya berdebur tak nyaman ketika ia sadar apa tahap berikutnya dalam rapat itu.
"Untuk menentukan siapa yang akan mengisi posisi Hokage," Tobirama memulai, "akan diputuskan lewat pengambilan suara. Bukan penunjukan. Saya rasa ini lebih adil untuk semuanya." Kata-katanya disambut oleh anggukan setuju dari semua perwakilan.
"Tapi belum semua klan tiba di sini," kepala klan Nara angkat bicara. "Apa ini tidak apa-apa?"
Hashirama bertukar pandang sejenak dengan adiknya. "Kami rasa bukan masalah. Lagipula, Konoha membutuhkan pemimpin resmi secepatnya. Silakan mengajukan diri, atau orang lain yang dirasa pantas." Ia melirik sahabatnya. "Aku mengusulkan Uchiha Madara."
Tanpa jeda Tobirama menimpali, "Aku mengusulkan Senju Hashirama." Pernyataannya disambut oleh senyuman penuh arti dari kedua paman mereka.
Tak ada yang mengusulkan nama lain.
Hashirama tak berani melirik keduanya. Seseorang membagikan papan kayu kecil dengan sebatang kuas untuk menulis. Lama wanita itu menatap serat kayu dalam genggamannya. Mantap ia menuliskan nama Madara, lalu mengumpulkannya ke dalam kotak di tengah meja setelah kering.
Hening melingkupi ruangan sementara seorang pria Hyuuga sibuk menghitung papan-papan kayu. Ia menyortirnya sesuai nama yang ditulis di tiap papan. Satu tumpukan dengan segera meninggi mengalahkan yang lain.
"Hasilnya nyaris bulat," kata pria penghitung itu sambil tersenyum melihatnya. "Selamat, Senju-sama."
Hashirama masih menatap papan-papan kayu di hadapannya. Hampir semuanya bertuliskan namanya sendiri. Benaknya penuh tanya.
Bagaimana ini bisa terjadi?
"Selamat, Nona!" Inuzuka Tsubaki terbahak dan menepuk-nepuk pahanya, memamerkan taring tajamnya dengan bangga. "Anda sudah resmi jadi pemimpin desa baru kita!"
Yang diberi selamat hanya tersenyum canggung kepada sang pemimpin klan Inuzuka, mengabaikan kedua pria di kedua sisinya yang berjengit mendengar tawa kerasnya. Perlahan suara tepuk tangan mulai berkumandang, disusul ucapan selamat lainnya.
Perhatian sang Hokage terpilih tidak terfokus pada hasil pemilihan, melainkan pada setumpuk kecil papan kayu bertuliskan nama Uchiha Madara. Sang empunya nama duduk di sebelahnya, dengan lengan bersilang di dada.
"Selamat, Hokage-sama."
Ucapan terima kasih Hashirama mengalir lirih, masih berusaha mencerna kenyataan. Senyuman diplomatis pria itu lenyap secepat munculnya. Pandangannya teralih menjauhinya.
Sembari menjabat tangan orang-orang dan menghindari rangkulan erat Tsubaki, Hashirama melihat ekor pakaian Madara menghilang melewati pintu keluar.
Seharusnya tidak seperti ini.
Hashirama bangkit, berniat menyusul, tetapi Tobirama meraih lengannya lebih dulu.
"Biarkan ia pergi, Kak."
Adiknya itu tak mengerti. Hashirama harus mengejarnya.
"Nanti."
Tapi kapan?
.
.
Halo, gue derp. Nggak tahu gue kesambet jin apa tahu-tahu publish ini. Seperti yang gue tulis di a/n atas, fanfiksi ini bakalan ada tema yang cukup mature. Di tiap awal chapter akan diberi warning yang sesuai.
Terima kasih sudah baca!
