'Oniichan…,' sekelebat bayangan masa lalu Ichigo muncul. Wajah itu pernah dilihatnya. Wajah dari sembilan tahun lalu.


TRANSACCIÓN DE ALMA

—Bleach Version—

---

Ankoku Naito a.k.a Nanakizawa l'Noche

Bleach © Tite Kubo & Transacciόn de Alma © Ankoku Naito

---

00 | Prólogo


Mentari bersinar begitu terik siang itu, tepat pukul 12. Jalanan juga tampak begitu padat dan menambah panasnya suasana. Tiap orang yang lewat hampir selalu bicara dengan bahasa super cepat dan kacau, seperti tak memikirkan orang yang mendengarnya. Mungkin itulah yang terjadi pada manusia saat kelaparan, berburu makan siang dengan otak penuh tugas menanti. Karakura memang kota yang dipenuhi orang-orang sibuk.

'Membosankan,' begitu pikir seorang bocah berambut orange yang sedari tadi mondar-mandir di depan toko buah dan sayuran di pinggir jalan itu. Sesekali dia melirik ke arah wanita yang sibuk memilah buah di rak kemudian kembali mondar-mandir dengan bibir mengerucut. Akhirnya dia tak tahan lagi. "Kaa-san...," bocah berumur 8 tahun itu menarik ujung sweater si wanita. Wanita yang tak lain adalah ibunya itu menoleh kemudian membungkukkan badan, "Ichigo," wanita itu tersenyum. "Tunggu sebentar ya? Ibu harus membelikan oleh-oleh untuk Karin dan Yuzu," Ichigo semakin memonyongkan bibirnya. "Ichigo sudah janji akan jadi kakak yang baik kan?" Ibu itu mengelus rambut mencolok Ichigo. Ekspresi Ichigo berubah menjadi canggung kemudian mengangguk perlahan. Ibu itu tersenyum kemudian melanjutkan memilih buah.

Ichigo berdiri mematung di depat toko buah itu sambil mengamati satu per satu orang yang lewat.

"Ichigo!!!" seorang gadis seumuran Ichigo melambaikan tangan penuh semangat dari seberang jalan. "Tatsuki?" Ichigo setengah kaget. Dia balas melambaikan tangannya. Gadis bernama Tatsuki itu kemudian melambaikan sebuah buku. Ichigo merasa dirinya harus ke sana. Sepertinya buku itu sangat penting. Dia bergegas menuju ibunya. "Kaa-san, aku main dengan Tatsuki dulu ya?" kata Ichigo. "Jangan jauh-jauh ya," jawab ibunya. Ichigo mengangguk kemudian bergegas menyeruak di antara para pejalan kaki menuju zebra cross terdekat.

"Nggh…," Ichigo mendesah ragu-ragu saat melihat lalu lintas yang sebenarnya tergolong sepi karena banyak orang memilih berjalan kaki. Wajar saja, dia belum terlalu terbiasa menyeberang jalan sendirian. Tapi bocah itu buru-buru menepisnya. Dia menghela napas kemudian berkonsentrasi penuh. 'Jalan perlahan saja, Ichigo,' nasehatnya pada diri sendiri.

Akhirnya tak satupun kendaraan lewat di jalan yang menurut Ichigo super lebar itu. 'Tidak terlalu mengerikan ternyata,' batin Ichigo tenang. Dia berjalan dengan tenang karena traffic light masih merah.

"DIIIN… DIIIN…," Ichigo dikagetkan oleh raungan klakson truk besar yang kini menjurus tepat ke arahnya yang ada di tengah jalan. Mata Ichigo membulat seketika. Bukannya berlari, bocah ini malah mematung. "Ichigo!!!" sekilas Ichigo mendengar teriakan histeris Tatsuki. Truk itu melaju dengan amat cepat. Tampaknya remnya tidak berfungsi.

'Kaa-san…,' air mata mulai mengalir di pipi Ichigo. Dia memejamkan mata. Takut melihat apa yang terjadi selanjutnya. Tangannya tergenggam erat. Begitu banyak bayangan yang berkelebat di benaknya. Orang-orang yang melihatnya pun langsung berteriak histeris, menyuruhnya berlari. Percuma saja! Truk itu hanya berjarak dua meter darinya.

'Kaa-san…,'

"Grep!!" Ichigo merasa seseorang mendekapnya.

"DUARR!!!" tabrakan itu tak terelakkan lagi. Ichigo bisa merasakan kalau dirinya terpelanting dan terjatuh. Kemudian didengarnya teriakan dan bunyi logam bertumbukan. Pening langsung menyerang bocah itu.

"Nggh…," setengah tidak sadar Ichigo berusaha membuka matanya. Dekapan erat menyesakkan membuatnya tak dapat leluasa bergerak.

"Hah??" mata Ichigo terbelalak saat dilihatnya siapa yang menyelamatkannya. Dipandangnya pemuda berseragam SMU di depannya. Wajah pucat yang yang tampak kesakitan dipadu rambut biru muda. "Oniichan…," panggil Ichigo lirih. Wajah bocah itu amat khawatir. Disentuhnya pipi pemuda yang masih memejamkan matanya itu. "Oniichan…"

"Nggh…," perlahan pemuda itu membuka matanya. Mata berwarna biru yang sinarnya mulai meredup. Mata itu menatap ke dalam mata Ichigo. Wajahnya menyiratkan ketenangan.

"Kau… uhuk…," darah mengalir perlahan dari ujung bibirnya. Ichigo memandangnya penuh ketakutan. Dekapan pemuda itu makin erat. "…baik-baik saja kan?... Nath…," pemuda itu tersenyum. "Oniichan…," Ichigo merasa kalau dekapan pemuda itu kian melemah. Suhu pemuda itu pun semakin mendingin. "Oniichan…," Ichigo menggoyang-goyangkan tubuh si pemuda. Tak ada reaksi. Pemuda itu diam tak berkutik.

Orang-orang mulai berkumpul di sekitar Ichigo, termasuk ibunya. "Oniichan…," Ichigo berusaha menyadarkan si pemuda yang sedang diperiksa seorang pria. Air mata mengalir deras di pipi bocah berambut orange itu. Darah si pemuda yang turut membasahi tangannya itu tak dipedulikannya. Ichigo masih berusaha membangunkan si pemuda. Walaupun dia tahu itu sia-sia.

Beberapa saat kemudian pria yang memeriksa si pemuda menggeleng dengan wajah sedih. "Dia… sudah pergi," Ichigo tak percaya yang dikatakan pria itu. Dia tetap menangis, tetap memanggil pemuda itu. Pemuda yang telah menyelamatkannya.

###

"Oniichan…"

"Oniichan…"

"Onii…"

"DUAKK!!!"

"Adaw!! Siapa yang berani memukulku!?" pemuda SMU berambut orange itu tanpa sadar berdiri dan berteriak.

Seluruh mata di Perpustakaan Karakura itu balik memandangnya dengan tatapan mencela. Terang saja, pemuda itu sudah mengacaukan suasana baca para pengunjung perpustakaan. "Ehem," pria berkacamata tebal di balik meja penjaga berdeham. Wajah pemuda itu memerah seketika. "Ma-maaf," katanya bersungut-sungut kemudian kembali duduk. Suasana kembali tenang.

"Kau yang melemparku, Renji?" serunya lirih pada pemuda berambut merah di depannya.

"Hm," jawab Renji singkat tanpa mengalihkan matanya dari majalah otomotif.

"Kau…,"

"Kau mimpi apa lagi, Ichigo?" potong gadis bertubuh mungil di sebelahnya.

"Ah~~ bukan apa-apa, Rukia," jawab Ichigo berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Kau terus memanggil 'Oniichan', Kurosaki-kun," ujar gadis di depan Rukia, Inoue.

"Eh? Hehe…," Ichigo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 'Kenapa aku mimpi dia lagi?' tanya Ichigo dalam hati.

"Kenapa?" tanya Rukia curiga.

"Oh… Eh, kau baca buku Leukimia lagi, Rukia?" Ichigo mengalihkan pembicaraan.

Rukia kembali menenggelamkan diri di balik buku tebal bertuliskan 'LEUKIMIA' yang dipegangnya. "Bukankah aku sudah bilang ingin jadi ahli Leukimia?" ujarnya datar.

"Kau benar-benar pacar yang tidak perhatian, Ichigo!" ejek Renji. "Bilang saja kau iri," balas Ichigo. Mereka saling menatap layaknya siap berkelahi.

"Eh, sudah, sudah," Inoue menengahi.


Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 saat keempat pelajar SMU itu keluar dari perpustakaan. Jalanan begitu lengang. Hanya tampak sedikit kendaraan yang berlalu lalang.

"Huff… Dinginnya," keluh Inoue sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya.

"Kau tidak pakai sarung tangan?" tanya Rukia yang sibuk mengancingkan jaket super tebalnya. Inoue hanya tersenyum kecut, "Aku lupa bawa."

Ya. Hari ini adalah awal Januari yang dingin. Salju bagai ditumpahkan dari langit tak henti-hentinya. Beberapa ruas jalan pun ditutup untuk dibersihkan. Tak ayal jika banyak orang yang memilih mendekam di rumah daripada harus melawan dinginnya udara luar.

"Langsung pulang?" tanya Renji yang mendekap tubuhnya erat-erat. Ichigo melirik Rukia yang tampaknya sangat kedinginan. "Mm… kurasa aku ingin ke Choco Side dulu. Kalian bagaimana?" ujar Ichigo ragu-ragu. Renji, Rukia, dan Inoue mengangguk setuju. Tempat itu adalah tempat nongkrong mereka, sebuah kedai coklat terenak di Karakura.

Empat remaja itu sedang menyeberangi taman kota untuk mempersingkat jalan ketika dua orang remaja mengamati mereka dari pohon Sakura di sisi lain taman.

"Itu dia," gadis berambut crimson-silver yang duduk di dahan Sakura itu menunjuk ke arah Ichigo dkk.

"Hm…," jawab pemuda yang berdiri di bawah pohon. Mata pemuda itu tak lepas dari Ichigo.

'Kau sudah besar rupanya,' ujarnya dalam hati.

"Senpai," gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arah si pemuda tinggi itu. Si pemuda menoleh dengan satu alis terangkat. "Kau mengenal bocah jeruk itu?" tanya si gadis yang lebih muda darinya itu dengan wajah polos.

"Hm," jawabnya singkat. Gadis itu kembali duduk tegak. Dia memutar-mutar payungnya sambil bersenandung kecil. Gadis itu tersenyum sambil terus menatap Rukia sampai menghilang di kedai Choco Side.

"Tep," pemuda itu merasa sesuatu mendarat di kepalanya. Dia hampir menoleh saat sesuatu yang amat berat menjatuhinya. Dan…

"GUBRAK!!!" benar saja. Pemuda itu langsung terjatuh dengan posisi kepala di bawah ketika seorang gadis pendek berambut pirang dikuncir dua mendarat mulus di depannya setelah menjadikan kepala si pemuda sebagai pijakan.

"Ka-kau…," suara pemuda itu bergetar marah. Dia berdiri sempoyongan sambil membersihkan rambut birunya. "Seenaknya saja kau jadikan kepa…"

"Wah, tak kusangka daerah ini jadi seperti padang salju," potongnya datar. Matanya meniti setiap sudut taman dengan tatapan asing.

"Siapa kau!?" seru pemuda itu jengkel.

"Hiyori. Hiyori Sarugaki," jawabnya cuek. Dia mengulum permennya tanpa memedulikan wajah masam si pemuda. Gadis yang duduk di dahan pohon hanya menatap kedua orang itu dengan wajah bingung.

"Grimmjow Jaegerjaquez dan juniornya, Azura Shinkuiro kan?" selidiknya sambil menatap notes besampul hitam dengan sulaman benang merah yang baru saja dikeluarkannya. Pemuda itu tertegun menatap buku yang dibawa Hiyori.

"Hei, Grimmjow!" seru Hiyori menyadarkan pemuda itu. Grimmjow langsung menatap aneh Hiyori. "Kau tidak pernah dengar tentangku?" tanyanya sembari mengembalikan notes itu ke sakunya.

"Entahlah," jawab Grimmjow datar.

Hiyori mengerutkan dahinya sedikit. "Oke, tidak penting. Ikut aku sekarang," perintahnya kemudian melangkah cepat menyeberangi taman. Grimmjow dan Azura hanya mengikutinya tanpa protes.

"Kita mau ke mana, senpai?" tanya Azura berusaha mengimbangi langkah cepat Grimmjow. Grimmjow melirik sekilas, "Melihat Rukia Kuchiki." Azura tersenyum senang mendengarnya.


"Eh, kalian sudah dengar kalau ujian kali ini diajukan?"

Kue yang dimakan Ichigo dan Renji sepertinya berhenti di tenggorokan begitu mendengar perkataan Inoue. Rukia terkekeh melihat wajah shock kedua pemuda itu. "Yang benar saja?" ujar Ichigo setelah berhasil menelan kuenya. Renji memilih untuk pura-pura tidak mendengarnya. Menurutnya ujian adalah kata nista yang seharusnya dihilangkan saja.

"Kau ketinggalan jaman, Ichigo!" seru Rukia masih terkekeh. Pembicaraan itu berbuntut panjang hingga membuat Renji mual mendengarnya.

"PRANG!" suara gelas pecah memotong obrolan keempat remaja itu.

"Ma-maaf," pelayan muda itu buru-buru memungut pecahan gelas yang tersebar di dekat pintu masuk. Tampaknya dia menabrak gadis berambut crimson-silver yang baru saja memasuki kedai bersama dua orang lainnya. "Tidak apa-apa kok," gadis itu tersenyum sambil membersihkan bajunya yang sedikit basah.

"Hh… Kukira apa," desah Rukia kembali mengalihkan perhatian pada pembicaraan tadi.

"Jadi, Inoue, bagaimana ren…" ucapan Rukia terpotong. "Ichigo?" ditatapnya pacarnya yang kini tertegun menatap pemuda berambut biru di dekat gadis tadi.

'Oniichan…,' sekelebat bayangan masa lalu Ichigo muncul. Wajah itu pernah dilihatnya. Wajah dari sembilan tahun lalu.

Pemuda yang ditatap Ichigo balik menatapnya. Dia tersenyum…


A Ser Seguido


Yosh! Selesai juga! Gajhe kan? So pasti nyo~~

Sebelumnya saia ucapkan SELAMAT HARI PERSAHABATAN FFN! Sankyu very much buat yang udah mampir (poin++ buat reviewer -gombal warning-).

Transacciόn de Alma artinya Transaksi Jiwa. Maksud Transaksi Jiwa sendiri bakal saia ungkap di chapter depan. Oya, kalo ada yang nanya kenapa ada tulisan 'Bleach Version' itu karena cerita ini diambil dari original fic buatan saia. Ceritanya agak sama sih. Kohai Grimmjow, Azura Shinkuiro adalah OC saia. Karakter asli dari TDA original. Perannya di sini 'agak' minor.

Nah, sekian minna… Nanakizawa undur diri -???-. Mengharap minna-san klik green-colored box di bawah ini… Gracias y hasta luego!