[T] - YAOI/BL - TWOSHOT! (semoga)

Romance

Wu Yifan Huang Zitao

Warning : OOC! Alurkilat! HOMO! Typo!

.|.

.|.

.|.

Termenung. Di waktu tiga puluh lima menit lebih beberapa detik dalam hitungan kasarnya, sosok itu tidak pernah menduga bila salah satu hal yang paling menyesatkan dalam hidup adalah menetapkan destinasi. Bukan rumah. Bukan pula tempat untuk pulang. Namun sebuah tempat dimana arahannya memiliki proses yang lebih kompleks, berkepanjangan, seperti hal-nya rencana masa depan setiap orang. Dan baru lima puluh menit yang lalu ketika keberadannya masih di dalam ruang, ia sudah diingatkan dengan masalah itu. Ia kebingungan. Selama hampir 15 tahun dirinya bernafas, ia cukup yakin bahwa hampir semua makhluk yang telah hidup lebih lama dari dirinya pasti pernah melewati fase itu juga. Bedanya, ia hanya kurang beruntung untuk bisa menemukannya sampai saat ini, Sedangkan anak lain yang seusia dirinya, sudah pasti dengan mudah memikirkannya dari dulu-dulu.

Tentu, ia berbeda. Ia memang selalu berbeda. Mereka terlihat berwarna, ia abu-abu. Mereka terlambai bebas layaknya angin, ia terpaku. Mereka sempurna. Kehidupan, pergaulan, orang tua, teman, cita-cita, beberapa konflik ringan, segalanya sempurna. Namun ia tidak, karena nasib tidak membiarkannya untuk menjadi sempurna. Dan beberapa memperjelas hal itu dengan memaksanya untuk memilih dan berpikir. Sayangnya ia tidak pernah memiliki pilihan.

Mengulum senyum, sosok itu merapatkan mantel. Hingga beberapa menit terlewati dalam kebisuan. Pada kenyatannya, ia memang sudah terdiam dengan pijakan yang tetap kokoh berdiri di perbatasan. Di bawah suramnya langit, disela-sela tipis tirai hujan yang terbentuk, serta diantara pijakan trotoar dan kasarnya tekstur jalan beraspal. Sendirian. Beberapa entitas yang melintas banyak yang menanggapi aksinya diam-diam, namun tidak sedikit pula yang hanya menyumbang atensi lalu setelahnya berlalu tanpa menghampiri.

Toh, ia sama sekali tidak peduli.

"Hey..."

Sampai alunan suara bernada kekanakan itu membuatnya peduli. Suara pertama yang memanggilnya. Menyapanya. Meremat saku mantel bagian dalam, kepala seketika menunduk. Mengamati eksistensi mungil tidak jauh dari posisinya. Seragam khas anak TK, sepatu bergambar salah satu cartoon yang sedang tenar di televisi, ransel merah ngejreng serta botol air minum dengan tali yang dikalungkan di leher. Perfect. Ia memang seorang bocah.

"Hey, gege. Apa gege tidak kebasahan? Kenapa malah berdiri disini? Sekarang sedang hujan." lagi-lagi suara itu menarik atensinya. Bocah aneh. Diam-diam ia ingin sekali menarik kedua ujung bibirnya keatas mendengar suara khas anak-anak itu. Seolah baru tersadar, ia memang lupa menambah detail jika sekarang ini sang bocah tengah membawa payung motif belang-belang.

"Gege tidak membawa payung ya? Mau pinjam punyaku?" ragu-ragu, tangan kecil terulur untuk membagi satu-satunya pelindung. Bibir merah lalu merenggut lucu. "Kenapa diam saja?"

Tersenyum samar. Sosoknya berjongkok. Mensejajarkan tinggi badan. "Payungmu hanya satu. Kita akan memakainya bersama-sama."

Manik kelam membola. Tubuh kecil secara tiba-tiba terangkat dan tergendong sempurna. Sementara payung dengan pas tergenggam di kedua tangan mungil. Menaungi dua tubuh.

"Maaf, payungnya kecil. Gege marah?" Menggigit kecil-kecil bibir unik berbentuk kucing, sang bocah mencicit. "Di panti asuhan, kami tidak memiliki banyak payung. Aku bahkan harus berebut dengan anak-anak lain untuk mendapatkan payung ini."

Sosok itu tertegun. Diam-diam menatap intens entitas mungil di dalam gendongan. Binar mata dingin yang sempat dimiliki perlahan melembut. Dinding-dinding es yang semula kokoh sedikit demi sedikit mencair. Hatinya menghangat. "Kau... Tinggal di panti asuhan?"

"Umm~"

"..."

"Aku tidak punya orang tua, gege. Orang-orang di panti adalah keluargaku. Suatu saat nanti aku ingin membantu mereka semua. Aku ingin cepat besar, hidup mandiri dan punya banyak uang." tersenyum manis. Masih sibuk melanjutkan ocehan lugu. "Aku tidak ingin lagi merepotkan siapapun. Terutama Bibi Ming yang setiap hari merawat dan mengurus kami. Apa menurut gege, aku bisa melakukannya?"

Langkah diperlambat, gendongan dipererat. Sosoknya (lagi dan lagi) diam-diam merasa terkesan dengan hati yang mulai terpikat. Untuk ukuran seorang bocah yang sudah bercerita dengan orang asing, itu adalah harapan teraneh yang pernah ia dengar. Dan untuk ukuran seorang pemimpi, 'murni' adalah satu-satunya untaian kata yang paling pantas untuk disanjungkan pada seseorang yang masih begitu muda, namun menyimpan begitu banyak tekat dan ambisi tanpa sedikitpun menyakiti.

"Ya." jawabnya. Manik hazel bersiborok dengan mutiara hitam. "Ya. Kau pasti bisa melakukannya."

Magis. Senyum dan binar mata sang bocah TK bagai magis yang menghipnotis. Pandai untuk merayu dan membelenggu hingga ke batas-batas intelegensi. Antara hilang akal atau buta, ia sama sekali tidak ingin peduli.

"Siapa namamu?"

"Huang Zitao~~"

Di atas trotoar yang setengah becek, dinaungi sebuah payung kecil bermotif belang-belang, dan diantara pohon-pohon pinggir jalan yang setengah meranggas, jawaban itu - telah ia temukan. Sesuatu yang (sangat) ia inginkan akhirnya ia dapatkan dari seorang bocah berumur 6 tahun.

"Terima kasih."

"Huh? Gege mengatakan sesuatu?"

"Terima kasih karena sudah datang untuk menemukanku, Zitao."

"Aku tidak mengerti. Tapi baiklah, ayo kita pulang~"

Pelan-pelan, sosoknya melangkah. Kertas kecil dalam saku ia remas perlahan. Kertas putih kosong. Kertas yang seharusnya ia kumpulkan berpuluh-puluh menit yang lalu sebelum pulang. Kertas yang semestinya bernoda kata-kata singkat, namun ia urung untuk memasukkannya ke dalam kotak seperti hal-nya teman-teman yang lain. Mulai detik ini, dirinya tidak memerlukan kotak berbentuk apapun lagi. Toh, sesuatu yang ia cita-citakan sudah tersimpan rapi di dalam bilik hati.

Pada hari ini, tepat tanggal 20. Untuk pertama kali dalam 15 tahun, bibir kaku nan tebal itu akhirnya mengulas senyum makna dengan bayang-bayang arogansi.

.

.

.

Tujuan hidupku adalah mewujudkan apapun yang menjadi tujuan hidupmu – Wu Yifan

.

.

.

Just the Two of Us © Harumi Shiba

Didedikasikan untuk event #CagarBudayaKT

HAPPY READING AND ENJOY!

.

.

.

"Pagi Zitao-er, dapat kiriman bunga lagi?" pria paruh baya menyapa hangat. Berdiri ditengah-tengah lorong dengan peralatan bawaan berupa sapu, kain pel dan sepasang sarung tangan karet. Mata sayunya menghujam satu titik. Entitas 'cantik' yang tengah berdiri di depan pintu putih sambil menciumi beberapa pucuk bunga mawar warna merah darah. Pemandangan yang sempurna.

"Pagi paman~ pagi ini bunga mawar lagi. Seperti seminggu belakangan ini." Zitao mengulum senyum manis dengan atensi terfokus penuh pada buket bunga dalam dekapan. Kemudian teralihkan. "Apa paman sudah selesai bersih-bersih? Perlu aku bantu?"

Pria paruh baya menggeleng pelan. Sukar sejenak untuk berkata-kata. Terlalu takjub dengan pemandangan manis di depan matanya. Setiap pagi, ada buket bunga cantik (berbeda jenis dan bentuk) tersaji apik di depan pintu milik pemuda beraura malaikat itu. Setiap sore atau malam, ketika dirinya tengah menjalankan tugas untuk menge-check, menjaga keamanan dan kenyamanan bangunan apartement tempatnya bekerja, ia hampir selalu mendapati berbagai hadiah berbungkus kertas elegan teronggok sunyi di depan pintu yang sama. Siapapun yang mengirim, eksistensi itu sangatlah beruntung dan pandai dalam memilih pusat afeksi.

"Paman sudah selesai Zitao-er. Tidak perlu repot-repot membantu. Bukankah Zitao-er ada kelas pagi ini?" membagi senyum, mata lelahnya kembali memperhatikan Zitao. Sosok yang sering kali ia (atau banyak orang yang mengenal) sandingkan dengan keberadaan malaikat. Baik hati, menyenangkan, dan murah senyum. Tidak mengherankan bila ada banyak orang diluar sana yang mendamba sosoknya diam-diam.

"Kelasku masih satu jam lagi." Zitao membelai buket bunga secara perlahan dengan pancaran mata yang penuh akan rasa sayang. Pria paruh baya diam-diam mengulum senyum tipis.

"Paman melihatnya. Beberapa kali."

"Eh..."

"Ada seorang pria tampan. Sosoknya tinggi, berjas hitam rapi dan paman pernah memergoki dirinya menaruh hadiah di depan pintu apartementmu. Zitao-er mengenalnya?"

"Tidak. Tapi aku cukup familiar dengan keberadaannya."

Pria paruh baya menatap bingung. Zitao tidak tahan untuk tidak menarik kedua ujung bibirnya keatas dan menyembunyikan senyum itu di antara pucuk-pucuk mawar merah. Lalu melanjutkan. "Dia malaikat penjagaku."

Ting!

Suara pintu lift terbuka. Dua entitas serempak menoleh. Seorang pemuda berparas manis berjalan menghampiri. Senyumnya lebar nyaris ke telinga. "Pagi princess~~"

Zitao sempat mengernyit tidak suka, namun beberapa detik setelahnya ia membalas senyum. Tidak baik berlama-lama kesal dengan sahabat baik. Sementara Pria paruh baya menggeleng maklum, melalui isyarat mata, ia pamit pada Zitao. Pemuda itu mengangguk ramah.

"Bunga mawar lagi? Wow Zizi-er, kau beruntung sekali..." ujarnya syarat akan kekaguman. Manik kembarnya seketika jeli meneliti tangkai demi tangkai. "Jumlahnya ada 20 buah. Apa maksudnya?"

"Aku tidak tahu, Jun. Kemarin dia mengirimiku 20 tangkai mawar juga. Ah, kalau diingat-ingat jumlahnya memang selalu 20." Zitao bergumam, lebih kepada diri sendiri. Lalu kembali menghirup aroma bunga mawar dalam dekapan. Kegiatan yang belakangan ini sering ia lakukan.

"Aku penasaran. Kau taruh mana semua bunga-bunga itu? Terakhir kali aku melihatmu membawa masuk sebuket bunga ke dalam apartement, kau menyebar semua kelopaknya ke dalam bathtub. Itu terjadi 2 hari yang lalu ngomong-ngomong." ujar Jun panjang lebar. Matanya tertarik untuk mengikuti gerakan luwes sang sahabat. Bagaimana ia masuk, meletakkan buket bunga langsung ke dalam vas besar yang berada di ujung ruang tamu, lalu mengambil tas warna abu-abu di sofa.

"Aku akan menatanya nanti selesai kuliah. Tugasmu sudah selesai?" balas Zitao sembari menutup dan mengunci pintu.

"Sudah. Bagaimana denganmu?" Jun mulai sibuk mengotak-atik tablet saat tiba-tiba saja ia memekik kecil. "Tu-tunggu! Breaking news pagi ini. Pewaris tunggal konglomerat Wu akan segera bertunangan?! Bagaimana bisa?! Terakhir kali kudengar, dia sudah beristri. Mana yang benar? Dasar orang-orang kaya."

Zitao memulas senyum samar lalu berbalik. Dirinya menatap heran sang sahabat dekat."Masih tetap update mengikuti berita-berita tidak penting? Sadarlah, Jun. Masih ada banyak hal yang perlu kau pikirkan dan renungkan. Nilai-nilaimu yang merosot semester ini, contohnya."

"Hei, apanya yang tidak penting?! Ini mengenai penerus konglomerat Wu yang terkenal itu, tahu?! Wu-Yi-Fan. Tidak mungkin kau tidak mengenalnya, Zitao?!" sang sahabat mendadak heboh. Meraung seperti orang kesurupan tepat di depan wajah Zitao sendiri.

"Aku memang tidak mengenalnya. Lebih baik kita berangkat sekarang, Jun. Kurang 15 menit lagi kelas kita dimulai."

Sosoknya berjalan mendahului. Sang sahabat tergopoh-gopoh menyusul. Secepat kilat menutup tablet miliknya dan mensejajari langkah konstan Zitao. Dua menit berlalu dalam kebisuan, hingga akhirnya mereka sampai di pelataran gedung apartement.

"Zitao?"

"Hmm?"

"Apa yang sedang kau pikirkan? Mendadak, kau berubah pendiam."

"Entahlah. Ada banyak hal dalam hidupku yang masih perlu aku pikirkan."

"Salah satunya?"

"Malaikat penjaga." Zitao menoleh dengan senyum samar. Kelereng hitamnya tampak meredup dengan sudut atensi yang kurang begitu fokus. "Malaikat penjagaku. Sepertinya - dia akan pergi."

Dan Jun mengeryit tidak mengerti.

.

.

.

.

Eksistensinya tenar tanpa batas. Terutama untuk kaum hawa yang masih berstatus single dan memimpikan pendamping hidup yang begitu potensial. Usianya bahkan baru menginjak 27 tahun. Namun tidak dipungkiri bila banyak wanita yang akan rela mengemis atau bahkan menyayat diri sendiri untuk bisa mencicipi belaiannya. Banyak media yang meliput sosoknya setiap waktu. Mengeluk-elukkan namanya sebagai pria paling diinginkan sepanjang sejarah. Tampan. Kaya. Kharismatik. Fisik tanpa celah. Pembawaan diri tanpa cacat. Pewaris keluarga konglomerat yang masih memiliki hubungan darah dengan kekaisaran jaman dulu.

Wu Yifan. Atau beberapa sumber kadang menyebut sosoknya sebagai Kris Wu. Dibalik nama marga yang sudah melekat di dirinya semenjak dulu, hidupnya tidaklah secemerlang jalan hidup miliknya yang sering dibicarakan banyak orang. Mereka selalu menyebut dirinya sebagai sosok yang beruntung dan sempurna. Benar, ia memang beruntung. Ia menjadi beruntung setelah berhasil menemukan tujuan hidupnya. Impian terpendam miliknya. Sayangnya dirinya tidaklah sesempurna itu. Tidak akan pernah bisa jikalau sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya belumlah terlaksana.

Padahal, impiannya sangat sederhana. Ringan namun menyimpan berbagai makna tersirat sekaligus mengikat. Wu Yifan ingin mewujudkan segala apapun yang menjadi keinginan sosok berparas malaikat itu. Andai kata ia harus membusuk di neraka sekalipun, ia akan rela. Apapun. Asal satu-satunya sosok yang paling berharga di hidupnya itu bahagia.

Bertahun-tahun Wu Yifan kerja keras. Melanjutkan sekolah dan kuliah di negeri orang. Tanpa pernah sekalipun bertatap muka atau bertegur sapa. 8 tahun Menjaga dan melindunginya dari jauh. Mengawasi setiap gerak geriknya, memimpikan sosoknya dalam tidur dan bahkan seringkali mendamba untuk dimiliki seorang diri. 12 tahun sudah Wu Yifan menginginkan orang yang sama. Dan 4 tahun ia habiskan untuk menjadi stalker sejati.

Huang Zitao

Sosok mungil bagai peri telah menjelma menjadi malaikat indah yang begitu mengagumkan.

Sosok kecil yang bahkan di pertemuan pertama telah mengajarkannya arti kehidupan.

Wu Yifan jatuh cinta. Pada sosok yang lebih muda 9 tahun dari dirinya. Entah ia gila atau benar-benar buta. Namun sungguh, ia tidak bisa jika harus menjadikan sosok itu hanya sebagai saudara atau keluarga. Ia ingin Zitao menjadi pendamping hidupnya. Belahan jiwa.

Terlalu berdelusi. Terlalu bermimpi. Itulah beberapa kata yang sering dilontarkan oleh sang sahabat dekat. Bahkan kadang-kadang menyebutnya sebagai obsesi atau Taonisasi.

Wu Yifan peduli? Sama sekali tidak.

"Aku sarankan padamu Tuan Wu yang terhormat. Pergilah ke psikiater atau dokter ahli kejiwaan. Makin lama kau makin tidak waras."

Wu Yifan membela diri? Tidak sama sekali.

"Lihat? Itulah yang aku maksud. Tinggalkan layar monitor itu dan berkacalah. Jangan malah tersenyum padaku. Totally creepy."

Kevin Shin. Sahabat Wu Yifan sejak kecil. Mulai yakin lebih dari seratus persen jika sobatnya itu positif sakit jiwa. Tampan. Sempurna. Tapi sayangnya gila. Tergila-gila pada seseorang sebenarnya. Dunia memang tidak adil.

"Apa sih yang kau lihat?" berniat mendekat, namun urung saat hujaman tajam membuatnya merinding. Ia buru-buru menjaga jarak. "Kau mengintipnya di kamar mandi?"

"Tentu saja tidak. Aku tengah menontonnya berganti baju."

"Dasar mesum!"

Wu Yifan menarik kedua ujung bibir membentuk sudut miring. Culas sekaligus superior. Parasnya yang kokoh berbalut pakaian semi formal memang terlihat kaku, namun jelas-jelas mengintimidasi. Terutama mimik muka yang sering kali datar dan tidak banyak berekspresi. Hanya tatapan mata. Tatapan mata miliknya yang seringkali berubah bila berhadapan dengan pusat afeksinya. Seperti saat ini.

"Dia sepertinya sedang tidak enak badan." bibir tebal bergumam lirih. Hazel indah meredup perlahan. "Apa aku perlu mengirimkan dokter pribadi untuknya?"

"Tentu. Sekalian saja kau beli seluruh rumah sakit yang ada China dan kirimkan langsung padanya. Siapa tahu dia akan luluh lalu memaafkanmu. Seseorang yang telah memasang kamera cctv di setiap penjuru apartement-nya." sarkastik memang. Kevin Shin cukup percaya diri sang sahabat tidak akan mengulitinya. Katakan apapun, Wu Yifan tidak akan peduli. Tapi jangan harap akan tetap bertahan hidup jika berani menyinggung malaikatnya. Kevin sudah terlalu hafal.

"Lagipula, mana mungkin dia tidak lelah? Dia kuliah seharian, kerja paruh waktu lalu malamnya mengerjakan tugas-tugas kampus. Aku akui, dia memang pemuda yang luar biasa." Kevin melanjutkan. Lalu cepat-cepat menambahkan saat lirikan tajam menusuknya. "Kalau kau memang khawatir, temuilah dia. Apa kau tidak ingin menyentuhnya secara langsung? Mungkin selama ini, hal itulah yang diam-diam dia inginkan juga."

Termangu. Wu Yifan bungkam. Manik kembar masih setia mengawasi. Bagaimana sosok itu kini tengah meringkuk bagai bayi. Sendirian. Menarik sisi dominannya untuk datang dan memeluk tubuh rapuh itu. Membisikinya lagu penenang dan sapuan-sapuan lembut penuh rasa sayang. Tapi -

"Aku tidak bisa..."

"Kenapa? Apa gara-gara rencana pertunangan itu? Kupikir kau bisa lebih tangguh daripada ini, Wufan."

"Bukan. Aku hanya takut tidak bisa mengendalikan diri setelah berdekatan dengannya. Dia masih belum legal."

"Seriously Wu Yifan? Dia sudah 18 tahun. Dia sudah diperbolehkan untuk minum alkohol dan bahkan mencoba hal-hal berbau dewasa."

"Jika kau lupa, Kevin. Ini bukan Amerika tapi China."

"Tapi tetap saja - " sang sahabat masih bersikukuh. Manik kembar melotot tidak ingin kalah. "Kau bisa menculiknya sekarang. Membawanya kabur ke luar negeri. Dan kau bebas menggagahinya dengan gaya apapun. Beres-kan?"

Mematikan layar monitor, Wu Yifan memutar kursi kerja. Menghadap sang sahabat yang saat ini tengah bersender pada jendela berbahan kaca bening. Tatapan mata berkilat aneh. "Terima kasih, Kevin. Kau memberiku ide."

"Huh, apa?! Kau benar-benar ingin menculiknya?!"

"Menurutmu?"

.

.

.

.

Bunga lily putih. Bukan mawar merah. Huang Zitao menemukan buket bunga berisi 20 tangkai lily di dekat pintu loker miliknya. 15 menit yang lalu. Disaat ia dengan langkah terseok-seok berkeinginan untuk mengganti baju, cuci muka seadanya lalu pulang. Tidak menyangka sama sekali jika ada 'segerombol' tangkai bunga tengah menunggu. Haus untuk dikecup pucuknya satu persatu atau sekedar ia dekap penuh perasaan. Aneh. Ia tidak pernah menerima sebuket bunga di tempat kerja. Well, sebenarnya pernah. Disaat ia berulang tahun. Hari valentine. Atau hari-hari perayaan lain. Tapi mawar merah, bukan lily putih. Dan jelas hari ini tidak ada perayaan apapun.

Hal yang lebih aneh lagi, manajer kafe tempatnya bekerja paruh waktu, tiba-tiba saja ingin bertukar kata sebelum ia pulang. Dengan raut wajah tegang dan tertekan tidak pada tempatnya.

"Zitao, mulai besok kau tidak perlu lagi datang jam 4 sore. Kau boleh datang jam 6 dan pulang jam 9 malam seperti biasanya. Liburmu berganti menjadi 2 hari dalam seminggu. Kau bisa bebas memilih harinya."

"Eh?"

Ia kebingungan. Zitao takut gajinya akan ikut terpotong juga. Jam kerjanya berkurang, dari 5 jam menjadi 3 jam. Tidak ada alasan untuk tidak mengurangi gaji. Bahkan hari off-nya menjadi 2 hari. Menaiki lift apartement dalam kebisuan, dirinya hanya bisa mendesah pasrah. Toh ia sejujurnya merasa senang. Belakangan ini ia memang kelelahan. Lebih lelah daripada biasanya, entah kenapa. Dan memiliki waktu luang untuk istirahat sejenak sebelum memulai aktivitas kembali, itu benar-benar hal yang Zitao butuhkan.

Ting!

Tertegun selama beberapa saat. Sosoknya dengan luwes menyelinap keluar dari sela-sela pintu lift lalu bersembunyi di balik dinding. Sebuket bunga lily putih dipeluk dalam dada erat. Raut wajah mendadak sukar untuk dibaca. Antara terkejut, tidak percaya, senang dan terharu. Mutiara hitam kembar dengan telaten mengikuti gerak gerik sang obyek. Mengamati bagaimana entitas berperawakan gagah itu mencium sebuah boneka dan meletakkannya di depan pintu. Pintu apartement miliknya. Diikuti dengan sekotak hadiah di dekat kaki sang boneka.

Beberapa menit. Ketika sosok itu telah lenyap dari pandangan, Zitao ragu-ragu menampakkan diri. Mendekat, ia pelan-pelan mengangkat sang boneka, yang ternyata panda, menciumnya singkat lalu memeluknya erat. Berjongkok setelahnya, ia terpaku.

Di dalam kotak, ada beberapa botol minuman penambah energi. Berbagai jenis pil bervitamin. Coklat batangan. Dan permen-permen kesukaan Zitao. Lalu secarik kertas bertuliskan : 'Semoga cepat sembuh'

Terenyuh. Zitao mencium kembali pucuk kepala berbulu lembut milik sang boneka. Diam-diam menyembunyikan sapuan merah muda di kedua pipi. Bibir bagai kucing setelahnya berbisik dengan senyum tipis. "Terima kasih..."

Lalu pelan-pelan menambahkan. "Tapi, bukankah beberapa hari lagi kau akan pergi meninggalkanku, wahai malaikat penjaga?"

Tidak pernah sadar, ada sesosok eksistensi yang mengamati dirinya dari kejauhan.

.

.

.

.

Hari sabtu. Semua orang suka hari sabtu atau minggu. Dulu Wu Yifan membenci hari itu, namun sekarang ini ia memutuskan untuk memfavorite-kan hari sabtu dan minggu karena seseorang telah memilih hari itu untuk mengistirahatkan diri. Dulu ia mengutuk hari sabtu dan minggu, karena berkat adanya dua hari itulah seseorang tetap menjalankan rutinitas sementara kebanyakan orang diberkahi kesempatan untuk bebas dan bersenang-senang. Wu Yifan dulu memang terpaksa membatasi kuasa untuk menghargai pilihan sosok malaikatnya, namun belakangan ini, ia sama sekali tidak menyesal telah memperlebar kuasa untuk pelan-pelan menguasai sang malaikat.

Dan Malaikat itu kini - terlihat bahagia.

Karena untuk pertama kali dalam beberapa minggu terakhir yang sebetulnya padat akan rutinitas, di hari sabtu ini, Huang Zitao akhirnya tertawa lepas dengan begitu indahnya. Merdu, persis alunan dawai malaikat. Sangat menenangkan.

Wu Yifan diam-diam menyunggingkan senyum tipis. Bersandar pada kursi. Memejamkan mata rapat-rapat seolah meresapi setiap melody yang tercipta. Hingga suara pintu mobil yang terbuka, mengusik kesenangannya sesaat. Ia bersuara.

"Bagaimana? Apa kau sanggup?"

"Bossy as always, huh?" menanggalkan kacamata hitam dan topi, entitas tambahan diam-diam mencibir. "Tidak masalah. Kau tahu aku tidak pernah gagal dalam urusan ini, tuan Wu yang agung."

"Bagus. Kau memang pantas untuk disebut sebagai sahabat."

"Benar sekali. Aku adalah sahabat dekat dari Huang Zitao. Seorang sahabat yang kau bayar untuk selalu berada di sampingnya. Menjaga dan mengawasinya dari dekat. Ada tambahan?" tersenyum sinis. Jun merapikan tatanan rambut dengan cekatan. Sesekali mencuri pandang ke arah depan. Di kejauhan. Dimana terdapat segerombolan eksistensi berbeda umur yang tengah sibuk bercanda, bermain, dan tertawa riang. Begitu hangat dipandang mata.

"Termasuk membiarkan dirinya terjatuh dari tangga 2 hari yang lalu?"

"Hey, kau berlebihan. Itu hanya kecelakaan kecil."

"Ya, hanya. Dan kakinya keseleo setelah itu."

Jun menggeram tipis. Masih waras untuk tidak menghantam manusia angkuh di sebelah dengan batu bata. Sosok yang sempurna sebetulnya. Hanya (lagi-lagi) kurang waras. Posesif dan terlalu protektif.

"Aku akan lebih menjaganya lain waktu." mengalah, Jun bersandar pada kursi. Keheningan menyelimuti. Ia sibuk dengan tablet sementara Wu Yifan dengan headset yang sejak tadi terpasang dikedua telinga. Sampai 3 menit berlalu akhirnya Jun membuka suara. "Selain stalker, kau juga seorang maniak ya? Tidak hanya memasang kamera cctv, kau juga memasang alat penyadap di tasnya."

Hening.

Wu Yifan memulas senyum miring. Manik hazel-nya intens mengamati pergerakan seseorang di kejauhan. Bagaimana ia berbicara. Berinteraksi dengan anak-anak. Tersenyum manis hingga tertawa lepas. Huang Zitao. Zitao-nya. Ia akan rela melakukan apapun untuk melihat Zitao yang seperti ini. Termasuk menjadi 'gila' sekalipun.

"Lalu, apa masalahmu?"

"Tidak ada. Entah aku harus prihatin atau takjub dengan Zitao. Sepertinya hanya dia manusia satu-satunya di dunia ini yang sanggup mengendalikan dirimu, Tuan Wu yang agung. Bagaimana reaksinya nanti ketika mengetahui watakmu yang sebenarnya? Dia bahkan menyebut dirimu sebagai malaikat penjaga." Jun melirik kearah Yifan sekilas. Lalu mengangkat bahu cuek. "Padahal menurutku, kau lebih cocok dipanggil lucifer. Kelihatannya baik namun sebetulnya picik luar biasa."

"Terima kasih."

"Aku tidak sedang memujimu, Tuan Wu Yifan."

Jun dan Kevin. Mereka sama saja. Diantara banyak orang yang mengenal Wu Yifan, hanya dua orang ini yang masih selamat setelah sedemikian rupa mencaci maki dan menjatuhkan harga dirinya. Selain Kevin yang berstatus sahabat, Jun adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya selama bertahun-tahun untuk menjaga Zitao.

"Jun, apa impian Zitao?"

"Heh..?"

"Aku bertanya padamu."

Wu Yifan memang sempurna. Jun sangat paham. Sempurna dalam menguasai diri. Emosi, perasaan, hasrat. Bahkan sosoknya-pun tidak suka berbasa-basi. Selalu tenang, tidak tersentuh dan pandai mengendalikan situasi. Jun sebenarnya selalu bingung. Apa Wu Yifan manusia biasa? Ia terlihat seperti eksistensi lain.

"Jujur, aku tidak tahu. Zitao tidak pernah bercerita padaku." Jun menutup tabletnya lalu menghela nafas. Manik kembar seketika menerawang jauh. "Tapi dia pernah mengatakan sesuatu, kebahagiaan dirinya sendiri tidaklah penting. Hanya itu."

Dirasa tidak ada gunanya lagi berada disana, Jun memberesi barang bawaan. Beberapa menit berlalu dalam kebisuan hingga ia membuka pintu mobil, diikuti dengan sebelah kaki yang sudah menjajaki tanah, namun mendadak gerakannya terhenti. Ia menoleh. "Katakan padaku, Wu Yifan. Bagaimana persiapan pesta pertunanganmu besok? Apa berjalan lancar?"

"Sepertinya begitu."

"Sebagai sahabat dekat Zitao, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Kuharap beberapa buket bunga dan hadiah yang dibuang Zitao beberapa hari belakangan ini, tidaklah berakhir sia-sia. Kau mengerti apa yang aku maksud."

"..."

"Baiklah, Aku pergi. Jangan lupa bayaran untuk hari ini, Tuan Wu Yifan."

Mematung. Seperti tersambar petir tiba-tiba di siang bolong. Yifan ingat. Sungguh, ia tidak pernah merasa setidak berdaya ini dalam hidup. Penolakan pertama dari Zitao belakangan ini membuatnya lemah. Buket bunga. Berbungkus-bungkus kotak kado. Semuanya tidak berarti. Sel-sel otaknya telah kembali diingatkan bahwa masih ada beberapa hal di dunia ini yang berjalan tidak sesuai dengan harapan. Dan Wu Yifan merasa kalah.

Tidak. Ini semua memang sebagaimana segalanya harus terjadi. Kesalahan yang telah ia rencanakan. Namun dengan reaksi yang tidak disangka-sangka diluar keinginan. Biarlah. Untuk saat ini, dirinya memang sengaja mengalah. Karena seseorang yang akan mendapatkan hadiah termahal. Tak ternilai harganya. Nantinya adalah dirinya sendiri. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

Sejak awal, entitas penuh bernama Wu Yifan memang tidak pernah menerima penolakan. Terutama dari malaikat indah bernama Huang Zitao.

Drrttt!

Pesan masuk.

Yifan dengan ogah merogoh saku celana. Meraih gadget canggih berwarna hitam kemudian membukanya. Beberapa detik berlalu. Hingga sebuah senyum misterius terpatri menawan di bibirnya. "Mereka tidak akan datang."

Layar gadget dimatikan. Mesin mobil ia nyalakan. Sebelum benar-benar hilang dari pandangan, ia sempat berbisik lirih dengan senyum samar.

"Oh God, betapa aku ingin merengkuhmu saat ini, Huang Zitao..."

.

.

Berbalik. Dan Zitao tidak melihat siapapun. Padahal sebelumnya ia yakin seseorang tengah memanggilnya. Melipat dahi samar, ia terdiam begitu saja ketika beberapa anak panti asuhan menariknya untuk masuk. Gerimis. Kata mereka. Namun Zitao hanya membagi senyum tipis dan menyuruh mereka untuk masuk terlebih dahulu. Ia ingin menunggu. Setidaknya, berdiri diantara tirai-tirai hujan adalah hasrat terpendamnya.

"Zitao? Apa yang kau lakukan? Mau mati kedinginan?"

Berbalik kembali. Kelereng kelamnya membola sempurna. "Jun? Apa yang kau lakukan disini?"

"Menemuimu tentu saja. Paman penjaga memberitahu bahwa kau akan menginap beberapa hari di panti asuhan. Aku menyusulmu."

"Ohh..."

Hening. Zitao mendongak. Hujan di sore hari. Matanya tiba-tiba memanas tanpa sedikitpun bisa ia cegah. Sementara Jun diam-diam membutakan diri. Tidak pernah sanggup memandang Zitao yang seperti ini.

"Jun..."

"Hmm?"

"Aku sangat ingin memeluk seseorang. Walau hanya sekali."

"Siapa?"

"Malaikat penjagaku. Apa yang harus aku lakukan?"

Sang sahabat membisu. Pelan-pelan ia mendekati Zitao lalu memeluknya erat. Membiarkan saja saat isakan lirih mengalun diantara mereka berdua. Zitao. Zitao. Sebagaimanapun ia terlihat kuat dan tangguh diluar, ia hanyalah sosok yang masih begitu kecil dan rapuh didalam.

"Zitao..."

"Katakan padaku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia... Dia akan pergi."

Zitao semakin meringkuk. Layaknya anak kecil, ia menyembunyikan wajah di ceruk leher sang sahabat. Tangannya gemetar mencari pegangan. Karena sejujurnya, dalam beberapa jam, penopang hidupnya akan lenyap.

"Pulanglah..."

.

.

.

.

Jika definisi pulang yang Jun maksud adalah kembali menjalani rutinitas, melupakan kegundahan untuk sesaat, dan bersikap seolah segalanya baik-baik saja, maka Zitao tidaklah berpikir demikian. Terhitung baru satu menit ia kembali ke apartement. Hal pertama yang ia lakukan adalah meringkuk di balik pintu yang tertutup. Lalu menangis sejadi-jadinya. 18 tahun ia hidup, ini adalah kali pertama Huang Zitao ingin menghilang untuk sekedar tidak ingin ditemukan. Bagaimana ia bisa pulang tepat di hari ini, hari minggu tanggal 20, Jun-lah yang memberi koordinasi dengan bumbu paksaan. Karena bagi Zitao sendiri, ia benci 20. Angka yang ingin ia hapus keberadaannya dari kalender bulan ini.

Terisak. Tubuh ringkih menyandar pada daun pintu. Lalu merosot perlahan. Ransel abu-abu teronggok begitu saja. Sepatu, jaket, bahkan syal merah favoritnya. Hadiah natal dari seseorang tahun lalu. Topeng itu kini retak. Satu hari ia lihai membagi canda dan tawa. Hari ini, tanpa malu-malu lagi, ia menangis dan merintih dalam kesunyian. Sendirian. Benar kata mereka (orang-orang yang mengenalnya) dirinya memang pandai menyamarkan suasana hati. Tentu saja. Ia hidup sebatang kara. Hanya sedikit hal-hal di dunia ini yang dijadikannya berharga. Dan sekarang, dalam kurun waktu kurang dari 2 jam, satu-satunya harapan yang pernah dimiliknya akan musnah tanpa sisa. Malaikat penjaga itu, satu-satunya alasan Zitao untuk tetap bertahan, memilih menjadi malaikat penjaga untuk orang lain.

Sosok itu bahagia, dan itu jelas bukan dengan dirinya.

Memeluk kedua lutut erat, pertahanannya runtuh.

"Gege...Wu Yifan-gege..."

Ini pertama kali dalam beberapa tahun. Huang Zitao memanggil namanya secara langsung. Sebelumnya ia hanya berani menyebut nama itu dalam bisikan sebelum tidur, memimpikannya, ataupun diam-diam mengukirnya di bidang kertas. Di buku tulis. Buku-buku pelajaran. Bahkan novel-novel yang sering ia baca.

Malaikat penjaganya sempurna. Jadi Zitao mengapresiasi dirinya dengan cara yang berbeda.

Malaikat miliknya hanya satu. Dan kini, keberadannya semakin abu-abu.

Tok! Tok!

"Aku disini, sayang..."

Terisak semakin keras. Zitao menutup kedua mulutnya rapat-rapat. Itu halusinasi. Ia tahu. Itu bukan bentuk realisasi.

"Huang Zitao, Tao-er, aku mohon... Jangan menangis..."

Tapi suara itu nyata. Ia berasal dari balik pintu. Tepat di belakang Zitao sendiri. Keberadaan sang malaikat penjaga sangat dekat dari tempatnya meringkuk saat ini. Hanya berbatas daun pintu.

"Sayangku Zitao, Aku mengamatimu setiap hari. Mengawasimu setiap saat. Dan aku suka melihat semua ekspresi yang kau keluarkan. Tapi aku benci saat melihatmu menangis... Jadi kumohon, berhentilah menangis. Aku akan melakukan apapun untukmu, demi dirimu tapi jangan keluarkan lagi air matamu... Aku sangat membencinya. Karena melihatmu seperti ini, hatiku benar-benar sakit."

Dan benarlah, sosok tinggi gagah dengan balutan busana elegan itu kini tengah menumpukan dahi pada daun pintu, diam-diam menahan desakan air mata. Walaupun Zitao sendiri tidak menyadarinya.

"Aku datang. Aku benar-benar datang saat ini. Kau ingat payung kecil yang aku pinjam dulu? Di pertemuan pertama kita? Bertahun-tahun aku masih menyimpannya juga merawatnya. Dan hari ini, tepat pada tanggal 20 -seperti dulu- Aku ingin mengembalikannya padamu. Sayangku, apa kau tidak ingin membuka pintu ini dan menerimanya kembali? Apa Zitao... Tidak ingin memelukku?"

Menahan isakan, Zitao berdiri dengan kaki gemetar. Tangannya tanpa perintah menarik kaitan kunci lalu membuka daun pintunya perlahan. Detik berikutnya yang ia tahu, tubuhnya langsung menghambur ke pelukan seseorang.

.

.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau bisa berada disini? Tidak seharusnya kau ada disini saat ini. Bagaimana dengan pesta pertunanganmu?! Bagaimana bisa kau meninggalkan hari bahagiamu begitu saja?! Kau sungguh bodoh, Wu Yifan!" berteriak. Memaki. Keadaan ini benar-benar salah. Ini memang harapannya jika Wu Yifan datang namun bukan berarti keinginan. Dan sebuah keinginan tidak harus terlaksana, terutama dalam kondisi seperti ini. Maka dengan linangan air mata, Zitao melanjutkan. "Pergi. Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau tidak bahagia. Kau dengar aku?! Aku akan membencimu jika kau merusak kebahagiaanmu sendiri, gege!"

Yifan tidak mengerti. Dicerca sedemikian rupa, ia sungguh tidak paham sama sekali. Ia hanya bisa diam, mendengarkan, dengan kedua lengan masih merengkuh sosok kesayangan, walau sang empunya masih sibuk berteriak dan menyuruhnya pergi.

"Sshhhhhh sayang, tenanglah..."

"Aku tidak bisa. Aku tidak bisa jika gege masih berada disini. Pergilah, aku tidak apa-apa, sungguh. Gege tidak perlu khawatir. Kembalilah ke sana, gege... Aku mohon, sebelum aku merusak impianku sendiri." melepas pelukan. Kedua tangan yang gemetar mendorong perlahan dada bidang di hadapannya. Zitao menyuruh Yifan pergi. Memaksanya dalam ketidakrelaan. Walau dengan raut wajah penuh luka dan tatapan yang mencekik ulu hati.

"Sayang, apa yang kau bicarakan?" Yifan diam-diam menahan luapan emosi. Penolakan kedua dari Zitao membuatnya hampir hilang kendali, sisi dominan-nya tersakiti. Ia tidak pernah tahu jika Zitao sekeras kepala ini. Padahal jelas-jelas sosoknya tersakiti.

"Aku sungguh ingin mewujudkan kebahagiaan seseorang, gege. Sejak dulu, itu keinginanku. Walau aku terluka, tersakiti bahkan menderita sekalipun, aku ingin melihatnya bahagia. Karena aku tahu, ada seorang malaikat penjaga yang baik hati menjagaku bertahun-tahun. Diam-diam menolongku saat aku kesulitan... " Zitao berbalik dan mendongakkan kepala. Enggan untuk menatap sang gege yang saat ini menatapnya penuh admirasi terselubung. Dengan telapak tangan bagian kiri menutup bagian mulutnya, menahan isakan. "... Aku bahkan tahu sosok itu yang mengatur dan mengendalikan semua bagian hal dalam hidupku. Aku tahu, dan aku menerima. Selama ini aku selalu menolak mereka yang berkeinginan menjagaku, mengusir mereka yang mendekatiku karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan rela melakukan apapun untuk membuatnya merasa tetap terhargai dan bahagia. Impianku, satu-satunya, aku ingin melihat Wu Yifan bahagia. Jadi kumohon, - "

Wu Yifan memeluk tubuh rapuh itu dari belakang. Dalam diam, menghentikan. Dalam tindakan, membungkam kalimat yang ia tahu akan menyakiti dua hati bila diteruskan. Ia tersakiti? Tidak masalah. Tapi ia yakin tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika sosok dalam rengkuhan sayangnya tersakiti. Dan itu karena ulah dirinya.

"Kau salah, Huang Zitao. Kau ingin aku bahagia, lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Katakan padaku. Apa kau rela jika sekarang ini aku pergi dan menjadi milik orang lain?"

"..."

"Kukatakan satu hal padamu, sayang... Kebahagiaanku adalah melihatmu hidup bersamaku. Kebahagiaanku hanyalah dirimu. Dan kau tega menyuruhku pergi bersama orang lain? Tao-er, Tao-er, Aku tidak tahu kau sekejam ini,..."

Tubuh yang lebih kecil terserang kejut. Tidak percaya. Ia seketika memutar tubuh dan menatap lekat manik hazel mempesona. Penuh selidik. Penuh dengan perhitungan dan penilaian. Hingga sebaris kata yang meluncur dari bibir kucing itu adalah, "A-apa?"

Tersenyum manis. Sosok yang lebih tinggi mengangguk. Ia menangkup kedua pipi Zitao lalu mencuri ciuman di ujung hidung bangirnya yang memerah. "12 tahun. Aku menginginkan sesosok malaikat bernama Huang Zitao selama 12 tahun lamanya. Sosok yang membuatku percaya bahwa cinta itu ada. Perasaan yang murni itu ada. Sosok yang juga mengajarkan satu hal padaku bahwa semua orang di dunia ini memiliki makna hidup yang berbeda satu sama lain. Dan aku Wu Yifan, telah memilih untuk memaknai hidupnya dengan menyayangi dan mengasihi Huang Zitao sampai kapanpun..."

Bulir-bulir air mata turun. Lidahnya kelu. Detak jantungnya berdebar dengan ritme yang menyenangkan. Untuk pertama kali dalam hidup, Huang Zitao ingin menangis dan tersenyum dalam waktu bersamaan. Ia berubah kebingungan. "A-aku tidak tahu... Ini terlalu tiba-tiba, ak – apa yang harus kulakukan?"

Tersenyum tampan yang sesungguhnya jarang, Yifan berbisik dengan penuh perasaan.

"Sayangku tidak perlu melakukan apapun. Sekarang giliranku yang akan melakukan semuanya untuk Zitao. Katakan, apa yang harus kulakukan? Aku bisa meminangmu hari ini juga tanpa perlu mempemasalahkan apapun lagi. Tidak orang tua, tidak status yang aku tahu selalu kau takutkan, atau pandangan orang-orang tidak berguna yang ada diluar sana. Dengar? Aku bahkan rela jika harus menunggumu beberapa tahun lagi sebelum memilikimu secara legal. Janjiku hanya untukmu, sayang... Hanya untuk Huang Zitao seorang. Kau percaya padaku?"

Hatinya tentu menghangat. Diiringi sentuhan yang membakar namun menenangkan, juga rasa bagai candu yang begitu manis sekaligus memabukkan saat Wu Yifan merengkuhnya dalam dekapan. Erat-erat. Zitao mengangguk kecil berulang kali sebagai tanggapan. Dan kristal bening yang berharga itu... Kembali turun.

.

.

.

.

.

T.B.C.

Note : jangan pada heran kalau gaya penulisannya (lagi-lagi) aneh. Heran, kelamaan hiatus jadi begini efeknya. -_- Rencana bakal twoshot! (Semoga) dan akan diupdate pada penutupan event nanti. Maaf saja ya, kalau kurang 'sesuatu'... Selain gak jago, Author juga lagi budreg (sakit gigi) plus kehabisan ide. :3 :3

Siapa saja, ayo! Ramaikan event #CagarBudayaKT yang jarang2 diselenggarakan ini. Tulisan jelek, cerita ancur, atau apapunlah, tidak perlu malu. Banyak author (termasuk sy) diluar sana yang sebetulnya gak bagus2 amat kok tulisannya. LOL Kita hanya menang pede dan coba2 nekat nuangin ide yang ada di kepala. Syukur2 berhasil XDD

Siapapun bisa jadi penulis. Tergantung tekat, keberanian dan dorongan dari dalam diri sendiri. Serius, sy bahkan gak nyangka bisa jd penulis, iseng2 soalnya. Klu sy yg begini2 aja bisa, kenapa kalian tidak?

Sebetulnya sy hanya merasa prihatin. Author2 KT makin lama makin nipis(?) eksistensinya. Yg ada ya itu2 aja. Dimana kalian wahai generasi penerus?! Calon2 author berbakat? Kapal kita tidak seloyo(?) ini!

Hidup KT! #seketikabaper T_T

Ahh Syudahlah. Saya mohon pamit. See u next time~~ :) :)