Hello!

Fanfic pertama di fandom D.C/Case Closed ini penulis persembahkan untuk ShinKai/KaiShin-shipper fellas yang menyebar di seluruh penjuru Indonesia.

Disclaimer: D.C/Case Closed bukan milik penulis dan merupakan sebuah mahakarya dari Gosho Aoyama, di sini penulis hanya memiliki hak penuh atas fanfic ini dan akun di mana fanfic ini berada.


.

.

Case 1: New Year's Eve

"Another fresh new year is here. Another year to live!"

~William Arthur Ward

.

.

Malam ini, huh?

Dengan satu alis terangkat, Shinichi memfokuskan pandangannya pada lembaran koran yang baru saja dilipatnya. Kedua matanya memandangi setiap tulisan yang tertera dengan kening berkerut, 'Kaito KID akan kembali menunjukan aksinya untuk mencuri permata 7 warna bernama Tears of Joy', dan tertawa pelan seusai membacanya.

Masih dengan tawa sinis yang terngiang dalam kepalanya, Shinichi membalik halaman koran yang dibacanya dan memutuskan untuk membiarkan pencuri itu menikmati satu malam saja tanpa kehadirannya sebagai rival.

Hanya malam ini.

"Mou, Shin-chan! Kau tak mau mendorong mobilnya? Sudah 30 menit kita menunggu, mobil derek tak kunjung tiba."

Melirik dari sudut matanya, Shinichi bisa melihat ibunya, Yukiko Kudo, sibuk menekan tombol pada ponselnya. Ini merupakan rengekan wanita itu yang keduabelas kalinya, dan tentu saja tak membawa hasil apapun. Sekali lagi, apa yang bisa terjadi jika kau hanya merengek dan mengeluh tanpa berbuat apapun?

Menekuk kembali korannya dan meletakannya di dalam laci mobil, Shinichi menoleh ke arah jendela dan melihat ke sekelilingnya. Tumpukan salju putih dan gelapnya malam, hanya itu.

30 menit sudah ia dan ibunya menunggu bantuan karena mobil yang mereka kendarai mogok dan hingga saat ini tak ada tanda-tanda mobil derek—atau setidaknya, bantuan—yang berjalan ke arah mereka. Semuanya karena rencana ibunya untuk menonton kembang api di rumah salah seorang kenalannya yang terletak lumayan jauh dari kediaman mereka. Dan hal ini cukup membuat Shinichi kesal karena, selain harus melewatkan waktu 'bersenang-senang' saat KID melancarkan aksinya, ia juga harus meninggalkan semua pekerjaan rumahnya dalam keadaan bersih dan belum tersentuh.

Hampir 2 tahun ia menghilang dari kehidupannya dan menjalani masa-masa sebagai Edogawa Conan membuatnya dirinya tertinggal banyak sekali materi pelajaran. Beruntung kedua orang tuanya mau diajak berkompromi untuk menemui pihak sekolah dan dengan sukses para guru memberikan ekstra pekerjaan rumah dan test untuknya sebagai syarat kelulusan.

Setidaknya lebih baik daripada harus melihat teman-teman seangkatannya lulus dan harus mengulang kelas 1 SMA. Memikirkannya saja bisa membuat bulu kuduknya berdiri, apalagi dengan pengalamannya kembali mengulang masa-masa kelas SDnya.

"AAH! Baterai ponselku habis!" Jerit wanita itu lalu menempelkan kepalanya pada gagang setir dan menghelakan napas lelahnya. "Kalau begini caranya, kita tak akan bisa menonton kembang api di malam tahun baru…" gumamnya pelan, menandakan kekecewaannya pada putranya, yang terlihat acuh dan hanya menatap ke luar jendela.

"Sepertinya tak ada jalan lain—" Shinichi meraih payung yang tersimpan di laci mobil dan membuka pintu mobil dengan satu tangan, "—kita harus menumpang ke rumah penduduk sambil menunggu salju berhenti turun. Sekitar 1.5 kilo dari sini ada rumah penduduk sekitar, 'kan?" Tanpa aba-aba, Shinichi melangkah keluar setelah mengembangkan payung hitam miliknya. Remaja itu memutari mobil untuk membukakan mobil untuk ibunya—karena hanya ada satu payung—dan dengan sabar menahan dingin mulai berjalan menyusuri jalan raya menuju rumah warga sekitar.

Benar adanya, sekitar 20 menit berjalan dari posisi mobil mereka terparkir terlihat beberapa rumah penduduk, lampu-lampu menyala dengan terangnya dan dari beberapa rumah bisa terdengar musik keras yang memekakan telinga dan tawa para penghuninya.

Tanpa banyak bicara, Shinichi dan ibunya berjalan menuju sebuah rumah yang terlihat tidak terlalu 'heboh' dibanding rumah lain. Sebuah rumah minimalis dua lantai dengan cat putih.

"Kenapa kau memilih rumah ini, Shin-chan?" Yukiko mengangkat alisnya penuh harapan akan ada penjelasan dari putra tunggalnya. Dibanding rumah yang terlihat sepi ini, bukankah lebih baik memilih rumah yang sedikit ramai? Siapa tahu pemilik rumah putih ini sedang pergi dan tidak mau diganggu?

"Musik dari rumah itu terlalu keras, aku sedikit curiga mereka tak akan mendengar bunyi bel rumah. Dan sepertinya sedang ada pesta alcohol di rumah itu.—" Shinichi melangkah masuk ke pekarangan rumah putih itu lalu melanjutkan, "—lagipula sepertinya pemilik rumah ini baru saja kembali, melihat dari jejak sepatu ke arah dalam rumah lebih dalam daripada yang menuju keluar, sudah tertutup oleh salju."

Yukiko hanya mengangguk mendengarnya, walau ia sedikit tak mengerti dengan penjelasan yang ada. Kalau memang pemilik rumahnya baru pulang, lalu?

Dan sepertinya kebingungan ini ditangkap oleh mata Shinichi yang kemudian menghela napas pelan dan memutuskan untuk menjelaskan detailnya. "Di kebun rumah ini, tadi sempat kulihat ada bekas kembang api. Masih baru karena masih berasap. Dan tercium bau masakan, ini menandakan bahwa si pemilik rumah berhenti bermain kembang api lalu masuk ke dalam rumah melalui pintu ini dan kembali masuk karena sudah waktunya makan malam."

Begitu mendengar penjelasan cukup panjang dari Shinichi, Yukiko mengangguk pelan dan membiarkan putranya itu menekan bel rumah putih itu.

Tak lama setelah bel ditekan, pintu depan terbuka, menampakan sosok seorang wanita berambut pendek yang masih menggunakan celemek dan sebuah spatula di tangannya. Wanita itu tersenyum dan menghampiri Shinichi untuk mengetahui maksud kedatangan remaja itu sementara dilihatnya sosok Yukiko tengah melihat sekeliling rumah dari tempatnya berdiri.

Wanita itu terlihat sedikit terkejut mendengar penjelasan Shinichi dan nada kasihan serta khawatir terdengar dari suaranya. Tanpa pikir panjang, wanita itu melebarkan pintu dan mempersilahkan keduanya untuk masuk ke dalam rumah.

"Ah, sebelumnya. Boleh kutahu nama kalian?" Tanya wanita itu sebelum Shinichi melangkah masuk. "Wajah kalian sepertinya tak asing."

Shinichi tersenyum tipis lalu mengangguk ke arah wanita itu, "Shinichi Kudo, detektif. Dan wanita tua—ma, maksudku wanita ini adalah ibuku, Yukiko Kudo." Nyaris saja. Nyaris ia katakan julukan yang bisa membuatnya merasakan simulasi neraka itu.

Wanita tuan rumah itu tampak berpikir, memiringkan kepalanya dengan tatapan menyelidik pada kedua tamu yang datang itu. "Shinichi—ah! Detektif SMA itu, bukan? Kau cukup terkenal di kalangan sini, khususnya para ibu-ibu yang biasa menemaniku mengobrol, mereka mengidolakanmu!" Ujarnya dengan senyum penuh antusias. "Namaku Chikage, Kuroba Chikage."

Yukiko menoleh. Kuroba? Sepertinya nama itu—ah! Mungkinkah—

"t, Toichi! Toichi Kuroba—apa mungkin anda adalah istri dari Toichi Kuroba?" Ucapnya sesaat setelah mendorong Shinichi untuk bergeser dan member ruang untuknya dan menggenggam tangan wanita bernama Chikage itu.

Wanita itu tampak sedikit terkejut, namun tetap terlihat tenang. Dengan seulas senyum tipis, ia berkata pada kedua tamu itu untuk masuk dan ikut makan malam bersama. Tanpa memberikan kepastian jawaban atas pertanyaan yang diajukan Yukiko.

.

.

.

.

Yukiko menganggukan kepalanya, membuat Shinichi menghelakan napas lega setelah memastikan bahwa mereka sudah menghubungi pihak bengkel posisi mereka saat ini dan pihak bengkel pun berkali-kali terdengar meminta maaf pada Yukiko karena keterlambatan mereka, lebatnya salju yang turun dan karena ini malam tahun baru, para staff pun pulang lebih awal untuk merayakan malam tahun baru bersama sanak saudara mereka.

Tipikal.

Usai mengucapkan terima kasih karena sudah diizinkan memakai telpon, Yukiko dan Shinichi diajak berjalan menuju sebuah ruangan yang, sepertinya, merupakan dapur sekaligus ruang makan. Cukup besar, dengan sebuah meja makan di tengah yang penuh dengan makanan dan—hanya dua?

Shinichi mengelilingkan pandangannya, melihat keanehan di ruangan itu. Instingnya sebagai detektif merasa ada kejanggalan di rumah itu. Namun, ya, ia mencoba menghilangkan sikap paranoidnya dan mengatakan pada dirinya bahwa tak ada hal aneh yang akan terjadi.

Setidaknya ia bukanlah Kogoro Mouri, atau yang biasa disapa 'Kogoro Tidur', yang selalu membawa bencana di mana pun ia berada. Kehadiran pria itu, memancing datangnya kasus. Itu yang dikatakan Inspektur Megure akhir-akhir ini saat kebetulan bertemu dengannya saat makan siang.

Menoleh, Shinichi mengangkat satu alisnya saat melihat 2 kursi yang terposisikan seperti sudah diduduki dan orang yang mendudukinya sedang tidak mendudukinya. Mungkin salah satunya adalah tempat duduk wanita bernama Chikage ini? Tapi, tidak. Dilihat dari posisi alat makan yang masih tersusun rapih dan terlihat seperti belum tersentuh—

ARGH! Shinichi menggeleng cepat, mencoba menghapus kembali—atau setidaknya, untuk sesaat melupakan—hal-hal yang hanya membuatnya semakin bersikap paranoid. Sesekali merasa waspada mungkin boleh, tapi jika ia terus begini… yak! Lupakan!

"Apa yang lain sedang keluar?" Tanya Yukiko sambil menarik satu kursi dan duduk, pandangan matanya melihat berkeliling namun semuanya terlihat sedikit sepi. Wanita itu menangkap ekspresi kesal dari putranya namun hanya bisa membalas tatapan itu dengan wajah bingung.

Chikage tersenyum saat menyajikan sup dari dalam panci ke dalam dua mangkuk berbeda, wanita itu mengangguk pelan lalu meletakan dua mangkuk itu di meja makan, tepat di hadapan Shinichi dan Yukiko. "Putraku pergi untuk mengantar makanan ke rumah kenalanku tak jauh dari sini bersama temannya. Dan ya, aku hanya tinggal berdua dengan putraku."

Yukiko mengangguk pelan. Wajahnya sedikit merona ketika asap yang mengepul dari permukaan mangkuk sup menyentuh wajahnya, memberikan sensasi hangat di tengah cuaca dingin. Wanita itu sekilas menoleh ke arah putranya yang beranjak dari tempat duduknya dan meminta izin pada Chikage untuk menyalahkan tv yang ada di ruangan itu.

Begitu mendengar kata 'ya' dari wanita bernama Chikage, Shinichi dengan segera menyalahkan tv dan memindahkan channelnya untuk mencari berita malam. Remaja itu hanya diam melihat selintas ucapan dari reporter acara dan kembali mematikannya.

Permata itu palsu? Batin Shinichi saat kembali duduk di tempatnya, berusaha memproses kembali ingatannya tentang ucapan si reporter. 'Begitu Kid terlihat memegang permata itu, bunyi ledakan keras terjadi', kurang lebih itulah yang dikatakan si reporter tv.

Inikah sebabnya polisi hanya diperintahkan untuk berjaga di luar ruangan? Agar Kid bisa leluasa masuk dan mengambil permata itu lalu meledakannya? Apa tidak terlalu berlebihan? Hanya untuk menangkap pencuri seperti itu, hingga meledakan satu ruangan? Di sebuah gedung pencakar langit milik—Hah! Sudahlah, semua itu sudah berlalu dan bukan urusannya.

Melepaskan topi rajutan yang dikenakannya, Shinichi meletakan topi itu di atas meja. Ada yang bilang, tak sopan memakai topi saat makan dan semacamnya. Ya, ucapan seorang yang berusia lanjut ketika ia terlibat sebuah kasus pembunuhan di ruang makan.

"Hee? Shinichi-kun, kau terlihat sangat mirip dengan putraku." Chikage dengan mata berbinarnya menatap tak percaya ke arah Shinichi yang membalasnya dengan tatapan bingung. Wanita itu tertawa pelan, "Sewaktu melihatmu di tv, aku sedikit tak percaya. Tapi, begitu kulihat lagi—" Chikage menghentikan pembicaraannya sesaat begitu mendengar suara pintu depan terbuka dan suara pria terdengar dari sana, "—ah, sepertinya ia datang."

Wanita itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan dengan riang menyambut kedatangan seseorang ini.

Dari tempatnya, Shinichi bisa mendengar suara Chikage yang terus mendesak anaknya agar cepat-cepat menemui tamu yang baru saja datang dan diselingi dengan suara menggerutu cukup keras dari seorang yang diperkirakan seusia dengannya. Remaja berambut hitam ini tertawa pelan saat menyadari kondisi seperti ini tak berbeda jauh dengan dirinya dan ibunya, selalu dipaksa mengikuti keinginan sang ibu dan hanya punya kesempatan untuk mengeluh. Keluhan itu pun tak berarti banyak jika berakhir dengan 'ia harus mengikuti kemauan sang ibu'.

Dan suara seseorang ini, mengingatkannya akan sesuatu. Sesuatu yang untuk sesaat membuatnya lupa namun ia merasa ingat—suara…? Suara—YA! SUARA!

"Suaranya mirip dengan suaramu, Shin-chan. Hanya saja terdengar lebih ceria dan tidak terdengar suram." Gumam Yukiko pelan, namun cukup keras agar bisa terdengar oleh Shinichi yang duduk tepat di sampingnya. Heh, terdengar suram, eh? Batin Shinichi dengan tatapan datar ke arah ibunya.

"Shinichi-kun, ini putraku yang kuceritakan padamu, Kaito."

.

.

.

.

Dulu sekali, Shinichi kecil pernah bertanya pada kedua orangtuanya, apakah ia punya saudara atau tidak. Namun kedua orang tuanya, terutama ibunya, hanya tertawa mendengar pertanyaan ini dan berkata 'Shin-chan satu-satunya anakku yang kumiliki~'. Sejak saat itu ia tak pernah bertanya lagi karena memang ia merasa tak mungkin ia punya saudara seusianya. Bagaimana pun cara berpikirnya, tetap tak mungkin.

Lalu pernah sekali, ia mendengar cerita dari ayahnya tentang kenalannya yang memiliki anak kembar, namun karena suatu hal keduanya hidup terpisah tanpa mengetahui keberadaan saudara kembarnya. Hal ini membuatnya berpikir, apa mungkin kedua orang tuanya menyembunyikan kenyataan bahwa ia terlahir sebagai anak kembar? Dan, ya. Pertanyaan itu segera ia hapuskan dari pikiranya mengingat—entahlah, kemungkinan dirinya terlahir kembar seperti sama sekali tak ada. Ia yakin bahwa ia adalah anak tunggal pasangan Yusaku dan Yukiko Kudo.

Dan waktu pun berlalu.

Ia sama sekali tak pernah mengungkit masalah itu dan hidup sebagaimana adanya. Anak tunggal, tinggal sendirian di sebuah rumah sementara kedua orangtuanya tinggal di luar negeri, dan dikenal sebagai seorang detektif muda yang cukup tersohor akhir-akhir ini.

Dan hingga akhirnya ia berada di sana, di sebuah ruang makan di kediaman Kuroba, dalam keadaan berdiri mematung dan kedua mata membelalak menatap pantulan dirinya. Pantulan.

Ya, mungkin bisa dibilang seperti sedang berdiri di depan sebuah cermin dan melihat pantulan dirinya. Seperti yang biasa ia lakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah atau saat berjalan di sebuah shopping mall atau—apa cermin masa kini memiliki kemampuan mengubah gaya rambut? Karena Shinichi sangat yakin bahwa ia selalu memastikan rambutnya dalam keadaan rapih saat keluar rumah, sedangkan di sana, di hadapannya yang berdiri adalah remaja—yang bisa dibilang seperti kopian dirinya—dengan rambut hitam yang cukup berantakan.

Well, mungkin untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa mereka hanya 2 individu yang kebetulan terlahir di dunia yang sama dengan beberapa kemiripan. Ya, hanya itu.

Menundukan kepalanya, Shinichi yang masih sedikit terkejut mencoba mengembalikan kesadarannya dan memberi salam, "Kudo Shinichi, detektif."

"t, tan,tantei—Ahem, Ah! Aku pernah dengar, detektif SMA yang sering muncul di tv itu, 'kan? Nakamori-keibu juga per—" SIAL! Kaito menggigit bibirnya sebelum kalimatnya selesai. Kenapa harus kuungkit-ungkit nama pria tua itu, bagaimana kalau nanti — tunggu! Yang lebih penting, kenapa orang ini ada di rumahku! Batin Kaito setengah merutuk dalam hatinya.

Dilihatnya sang detektif muda kini menatap bingung ke arahnya, "Nakamori-keibu?"

"Ah, kau benar! Setiap berkunjung ke sini, Nakamori-keibu selalu menyebut namamu, Shinichi-kun. Ia tinggal tak jauh dari sini, beliau punya seorang putri dan putrinya adalah teman bermain putraku." Chikage dengan satu tangan menutupi mulutnya tertawa pelan, "Mereka berdua sudah kuundang untuk makan malam bersama, tapi sayang sekali mereka tak bisa datang."

Kaito mengangkat bahunya, "Ia sibuk karena malam ini Kaito KID muncul, 'kan?," Remaja itu dengan seringai di wajahnya mengalihkan pandangan ke arah Shinichi dan memberi tanda hormat dengan menunduk, "Kuroba Kaito siap melayani, Sir~"

.

.

.

.

Kaito Kuroba sekali lagi menatap punggung Shinichi dengan raut kebingungan yang terpancar dari wajahnya. Sekitar 1.5 jam sudah berlalu sejak ia kembali dari misinya untuk mencuri sebuah permata, lari dari kejaran Nakamori-keibu dan pengikut-pengikutnya, serta berhasil selamat sampai di rumah untuk menemukan kenyataan bahwa ada tamu di rumahnya.

Bukannya ia tak terbiasa dengan tamu di rumahnya, hanya saja di tengah dinginnya malam dan badai salju yang lebatnya mampu membuat jaket hitamnya tertutup salju ini — ditambah kenyataan bahwa ini adalah malam tahun baru — sedikit aneh bagi tamu untuk datang berkunjung.

Apalagi jika tamunya… seperti itu.

Ia cukup terkejut saat ibunya menyambut kedatangannya dengan tawa riang dan menjelaskan padanya bahwa ada tamu sedang berkunjung karena mobilnya mogok, dan menyeretnya ke arah ruang makan. Disana, dengan keterkejutan yang tak kalah hebatnya, ia membelalakan matanya menatap Shinichi Kudo, detektif muda yang beberapa kali menggagalkan aksinya.

"Kaito, kenapa melamun? Cepat ambilkan selimut tambahan!" Chikage, ibunya, berujar dari dalam ruang makan.

Menoleh, Kaito dengan sedikit canggung menjawab, "Ah, y, ya." , dan mempercepat langkahnya ke tempat di mana ibunya menyimpan selimut dan bantal tambahan. Rumahnya mungkin memang tak punya kamar untuk tamu, namun memiliki cukup cadangan selimut dan bantal jika dibutuhkan.

Mengambil 2 buah selimut dan beberapa bantal tambahan, Kaito kembali menemukan dirinya melamun menatap lemari di mana selimut dan bantal itu disimpan.

Sejauh ini, yang ia tahu adalah Shinichi Kudo, detektif SMA itu, datang bersama ibunya karena mobil mereka mogok dan bengkel mengabarkan bahwa mereka akan membawa mobil mereka saat badai salju sedikit reda. Lalu ia pulang dan memperkenalkan diri sebagai Kaito Kuroba dan makan malam di satu meja bersama, bersama detektif yang selalu berusaha menggagalkan rencananya dan dengan kecerdasannya ingin menangkapnya, menangkap Kaito KID yang merupakan dirinya.

Demi tuhan! Apakah ini karma karena mencoba mengerjai Aoko saat gadis itu sedang berdoa di sebuah kuil? Apakah ini semacam reality show? Apakah ia sedang dikerjai oleh ibunya? Atau oleh Jii-chan? Atau jangan-jangan ini ulah arwah mendiang ayahnya? Atau—argh! Terlalu banyak kata 'atau' muncul dalam kepalanya.

Mungkin untuk sesaat ia harus mendinginkan kepala dan mencoba mengikuti alur yang ada. Sebisa mungkin tak usah terlihat mencurigakan dan bertingkah aneh, mengingat detektif SMA bernama Shinichi itu—setelah bertemu beberapa kali saat pertarungan mereka—sedikit memiliki mata elang dan sedikit mudah curiga oleh lingkungan sekelilingnya. Paranoid, tepatnya.

Kaito menghela napas pelan lalu mengatur eksprei wajahnya agar tak terlihat mencurigakan, hey! Selama ini ia berhasil menutupi identitasnya sebagai KID dihadapan teman-teman sekelasnya, dan lingkungan sekitarnya, 'kan? Kenapa terdengar jadi sangat repot?

"Permata itu palsu, eh?" Kaito menggumam saat kembali turun dan melihat Shinichi tengah duduk dengan pandangan tertuju lurus pada layar tv. Dengan satu tangan, ia mengoper bantal dan selimut tambahan untuk detektif di sampingnya dan ikut duduk untuk menyaksikan seornag reporter wanita menceritakan kronologi saat di TKP malam itu.

"Ya, balasan karena mengganggu waktu berkumpul di malam tahun baru." Ujar Shinichi pelan saat layar tv menunjukan rekaman di mana KID berhasil mencuri permata itu dan ledakan keras terjadi.

Whoa, komentar yang pedas…

Shinichi dengan satu tangan menekan tombol pada remote tv, mematikan tv itu dan bersandar pada punggung sofa.

"Tak keberatan kalau kunyalakan lagi, 'kan?" Kaito bertanya seraya meraih remote tv dan kembali menyalakan tv yang dimaksud, tangannya dengan cepat bergerak untuk memindahkan channel dan berhenti di sebuah channel. Drama?

"Sekedar informasi, aku tak begitu suka menonton tv saat ibuku memaksaku menemaninya menonton drama ini dan berakhir… Seperti ini." Kaito menjelaskan dengan cepat saat melihat remaja di sampingnya mengangkat alisnya melihat layar tv yang kini menjadi pusat perhatiannya. "Sesekali tak ada salahnya." Gumamnya pelan.

Shinichi mengangguk pelan, masih sedikit tak mengerti mengapa remaja di sampingnya mau menjelaskan sesuatu yang—yang tak begitu menarik minatnya. Walaupun baginya, untuk anak seusianya yang bergender 'laki-laki', sedikit aneh untuk menonton drama tengah malam yang bertemakan percintaan dua insan manusia itu. Ini tidak berarti bahwa ia ingin tahu mengapa remaja di sampingnya ini mau menonton acara itu, sama sekali tidak.

"Ekoda High." Shinichi menggumam pelan dan mendapatkan respon Kaito yang menoleh. "Kelas 3?"

Kaito mengangguk pelan, kedua matanya kembali terfokus pada layar tv. "Begitu libur musim dingin selesai, mungkin para guru dengan senang hati akan memberikan tumpukan test dan 'Kaa-san akan melarangku main keluar."

"Sudah memutuskan akan meneruskan untuk studi apa?"

Kaito mengangkat bahunya, "Sempat berpikir untuk ikut sekolah pesulap, tapi sepertinya itu bisa kulakukan sendiri di rumah. Mungkin teknik kimia?"

"Sekolah pesulap? Kau suka melakukan trik sulap?"

Kaito mengalihkan pandangannya ke arah Shinichi sesaat sebelum seringai di wajahnya melebar. Satu tangannya terulur ke depan wajah Shinichi untuk menunjukan pada remaja di sampingnya bahwa tangannya kosong. Kaito membalik telapak tangannya hingga menghadap ke atas dan dalam dengan gerakan cepat ia menjentikan jarinya, memunculkan satu pack kartu di atas telapak tangannya. "Hmm, terlalu klasik?" Gumamnya pelan lalu mengulangi aksinya untuk memunculkan sebuah mug berisi coklat panas, "Hot chocolate?"

Menggeleng pelan, Shinichi berniat mengatakan apa yang ada di pikirannya saat Kaito menarik tangannya dan memunculkan mug lain dengan aroma kopi yang cukup pekat. "Lumayan." Pujinya singkat lalu melingkarkan tangannya di badan mug dan mencium aroma pekat cairan hitam dalam mug itu, asap putih mengepul dan menyentuh permukaan hidungnya.

"Kau sendiri ? Berniat meneruskan studi? Atau meneruskan karirmu?" Kaito berujar setelah menyesap coklat panas dari mugnya. Ah~ Tak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan segelas coklat panas di udara dingin.

"Entahlah, mungkin kedokteran? Kupikir ilmu kedokteran bisa kupakai saat menyelesaikan kasus, tapi kriminologi tak terdengar buruk."

Dan dengan itu pembicaraan di antara keduanya terus berlanjut. Ini di luar dugaan Kaito, sejauh yang ia tahu sejak kepulangan detektif SMA dari timur ini dan sepanjang pengalamannya berhadapan langsung dengan detektif ini, keduanya memiliki faham dan cara berpikir yang berbeda. Kurang lebih tak jauh berbeda dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan detektif bernama Hakuba itu.

Sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Itulah yang Kaito pikirkan dan tak ada tanda-tanda bahwa detektif muda itu tahu rahasianya, bahwa ia dan pencuri yang secara internasional sedang diburu adalah individu yang sama. Cukup melegakan.

Topik terakhir yang mereka bicarakan adalah rencana keduanya untuk bermain ski di sebuah arena ski akhir pekan ini sebelum akhirnya terlelap dalam tidur.

Kaito, untuk pertama kalinya, menemukan fakta bahwa detektif muda ini memiliki satu sisi baik, yakni, 'bisa diajak mengobrol santai' diluar keseriusan dan sikap dinginnya saat bertemu kasus, terutama saat mereka berdua berhadapan.

Ini akan menjadi sangat menarik.

.

.

.

.


Penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan perlu diberitahukan bahwa penulis berencana meng-update cerita ini setiap minggunya jika tidak berhalangan. Sampai jumpa minggu depan. : )