Vocaloid (c) Crypton FM, Yamaha. Tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini.
a/n: sedang berusaha menulis dengan hati. nggak tahu kenapa tapi saya suka banget snow!AU
Kita berjalan di bawah salju yang sama seperti tahun-tahun lalu; aku dengan topi wol dan kamu dengan syal menjuntai hingga pinggang. Tangan kita bertaut sebagaimana kita berbagi kehangatan. Aku melirik jam di pergelangan tangan kanan, menghitung waktu, detik demi detik.
"Kamu tidak akan terlambat, Miku," kamu berujar ringan sambil mengayun-ayunkan jari-jemari kita, lengan sweater-ku yang kepanjangan menyembunyikan hingga hanya buku-buku pertama yang tampak.
"Aku tidak memikirkan itu, kok," sahutku. Kenyataannya tempat kursus tak seberapa jauh lagi dan jam masih terlalu awal. Kuturunkan jam dari pandangan, menengadah pada butir-butir kapas seolah tumpah, pada kelabu langit yang menopang. Kamu tersenyum, cuek menjilat es krim vanila di tangan yang bebas, es krim yang kubelikan beberapa menit lalu sebagai ganti latte panas dalam gelas kertas yang kuseruput lewat sedotan. Aku tidak habis pikir tentang ketahanan tubuhmu mengonsumsi es di cuaca sedingin ini.
"Oh," kamu menanggapi santai, mengikuti arah atensiku tertuju. Sebersit kutangkap kilau musim dingin berpijar di kedua manik birumu, membuatku penasaran apakah hal yang sama juga memantul di mataku. "Kalau begitu hati-hati, ada lubang di depanmu."
Aku refleks menggeser kaki dan melompati lubang tak rata tepat sejengkal di depan sepatuku, melempar tatap protes yang hanya kautanggapi cengiran. "Kau bisa memberitahu lebih awal!"
"Kalau begitu aku akan kehilangan kesempatan melihatmu jatuh," aku menyemplak rambut biru membingkai kepalamu.
Sepatu kita bergesekan dengan saju, sesekali melesak dan tenggelam rendah sebelum kita membuat jejak-jejak baru. Aku menoleh ke belakang, memandangi jejak-jejak sepatu yang memanjang hingga tak lagi terlihat ujungnya; sepertinya kita sudah cukup lama berjalan.
"Kamu capek?"
Seharusnya itu menjadi pertanyaanmu, tapi cepat-cepat kuserobot hingga kamu hanya sempat mengucap kata pertama. Kamu berdecak sedang aku tertawa.
"Apa aku terlihat lemah?" tanyaku.
Kamu tampak menimbang-nimbang, lalu bersubstitusi dengan senyum ringan. "Tidak."
"Baguslah," aku mengacungkan ibu jari yang menghimpit satu sisi gelas kertas latte. "Aku jauh lebih sehat dari hari-hari lalu. Itu cuma demam biasa, Kaito."
Kamu menghampiri puncak kepalaku oleh telapak tangan yang besar. "Tentu saja, aku tahu."
Kita melangkah di bawah siraman salju, di atas karpet tebal penghantar dingin nan menyenangkan, di antara perbedaan es krim dan latte panas, disatukan oleh taut telapak tangan sepanjang jalan; irama jantung kita berdetak sejajar seolah kita sungguh ditakdirkan bersama.
Aku, kamu, dan salju memang sesederhana itu.
