WARNING: Full OC POV, EYD tak meyakinkan, OoC (maybe), judulnya gak nyambung...
Konnichiwa! Namaku Qenna Hafida Dianty, umurku 16 tahun. Saat ini aku kelas 2 SMA atau kelas 11. Tahun lalu, aku pindah dari Indonesia ke Jepang. Aku ke Jepang karena tertarik akan manga dan animenya. Berhubung pamanku ada yang tinggal disini, aku ikut saja. Lagipula istri pamanku mengijinkanku tinggal di rumahnya karena kesepian tak punya anak.
Orangtuaku tinggal di Indonesia. Aku sering mengunjungi mereka saat liburan. Ayahku bekerja sebagai guru olahraga dan Ibuku sebagai ibu rumah tangga. Kami sering berhubungan melalui telepon.
Di Jepang aku sudah terbiasa dengan bahasanya. Karena aku, kan sering nonton animenya. Lagipula di SMPku ada pelajaran Bahasa Jepang.
Aku bersekolah di SMA Seirin, SMA yang baru dibuka tahun lalu. Bangunannya masih baru dan suasananya bersahabat. Belajar disini sangat nyaman karena ruangannya selalu dijaga agar tetap bersih.
Di sekolah aku tergolong anak yang pendiam dan pemalu. Tapi, kalau sudah akrab dengan seseorang, cerewetnya gak ketulungan. Aku berteman dengan seorang cewek berambut pirang, namanya Ogawa Yuki. Ia teman sekelasku. Kulitnya seputih salju, cantik, model rambutnya selalu berganti. Pokoknya kawaii!
Tapi yang membuatku tak nyaman justru teman sebangkuku. Sudah setahun setengah aku duduk dengannya. Kenapa juga ia menarik nomor undian yang sama denganku saat pembagian bangku? Kenapa setiap semester selalu dengannya? Aku bosan stadium akhir tau!
Namanya Izuki Shun. Sejujurnya dia keren, tenang, juga tinggi. Namun sifat pendiamnya itu, lho … keterlaluan! Ia seringkali melucu pada teman-teman yang sudah akrab dengannya. Kuakui, leluconnya memang bagus. Sayangnya ia tak pernah berbicara padaku selain hal-hal yang penting. Itu membuatku jengkel.
Kudengar Izuki punya mata elang? Mata elang apaan orang matanya normal-normal saja. Aku tak terlalu peduli dengan gossip itu, sih. Tapi aku penasaran! Pernah aku melihatnya saat bermain basket, itu sungguh mengagumkan. Walau begitu, image-nya sebagai orang pendiam yang menyebalkan tetap ada di pikiranku.
Ooh~, aku ingin akrab dengannya! Bayangkan jika kau memiliki teman sebangku yang tak akrab denganmu, risih banget pasti! Aku tak bisa membayangkan kalau kelas 12 nanti sebangku dengannya lagi.
.
.
.
.
.
tulisan di-bold berarti Qenna ngomong pake Bahasa Indonesia, sementara yang lainnya anggap saja pakai Bahasa Jepang!
RUN! RUN! RUN!
.
The Basketball Which Kuroko Plays © FUJIMAKI TADATOSHI
This fic © Sheilla (saya tidak menjiplak milik siapapun karena saya suka karya saya!)
.
.
.
.
Hari Selasa pagi, kelasku ada pelajaran olahraga. Sebagai pemanasan, murid-murid di kelas kami harus mengelilingi lapangan sekolah sebanyak tiga kali.
Baru putaran pertama, Yuki sudah tampak kecapekan, napasnya tersengal-sengal. Ia mengeluh padaku, mengajakku untuk istirahat sebentar. Aku tak menurutinya, dengan terpaksa aku menyeretnya berlari. Habis, kalau sudah lari terus berhenti, kalau mau lari lagi rasanya jadi malas dan tambah capek.
"Haahhh … Qenn … hah … aku capek … hah … jangan lari …" ujarnya, masih dalam keadaan –kupaksa- berlari.
"Jangan ngeluh, Yu-chan! Kita akan menjadi orang pertama yang finish!" seruku dengan semangat. Kecepatan lariku kutambah, otomatis Yuki juga tambah cepat.
Tiba-tiba saja ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Duduk dengan kaki yang diluruskan. Ia memandangku lalu tertawa kecil, "Qenna lari duluan saja, lagian teman-teman yang lain masih banyak yang dibelakang," ujarnya. Aku tersenyum, "baiklah, Yu-chan! Doakan aku jadi yang pertama!"
Tanpa basa-basi aku langsung tancap gas. Lari secepat yang kubisa. Lumayan kalau jadi yang pertama, biasanya diberi nilai tambahan oleh guru olahraga. Aku selalu berharap demikian, ia selalu saja yang menggagalkannya. Tapi itu belum menghancurkan niatku untuk mendapat nilai tambahan dari guru!
"Izuki … sekali-sekali kau harus mengalah pada teman sebangkumu!" geramku dalam hati. Cowok berambut hitam itu masih saja memimpin. Ia menoleh padaku saat aku mulai dekat dengannya.
"Qenna-san?" sekilas aku mendengar gumamannya. Tapi aku tak peduli, semakin lama ia semakin ada di belakangku. Harapanku untuk jadi yang pertama dalam pemanasan hampir terwujud. Aku berlari dengan penuh semangat.
"QENNA-SAN! UANGMU JATUH!" Izuki yang ada di belakangku melambai-lambaikan tangannya. Tak kusangka si pendiam itu bisa teriak sekencang ini. Aku tetap tak menghiraukannya, takut kalau itu tipuan. Meskipun itu benar, aku akan mengambilnya setelah dapat nilai! Tapi, ah, aduh! Kakiku sedikit mengalami masalah teknis sehingga membuatku nyungsep dengan anggunnya. Kepalaku terbentur.
"Qenna-san, tak apa-apa, kan?" tanya Izuki seraya berlari kecil padaku. Ia membantuku berdiri. Ekspresi wajahnya langsung kaget saat aku mendongakkan kepalaku.
"Tak apa-apa dari mananya, lututku lecet begini, Sakiiittt! Kepalaku puyeng," jawabku padanya dengan memakai Bahasa Indonesia. Dia memiringkan kepalanya sambil berkata, "hah?". Aku yakin ia bingung dengan apa yang kuucapkan. Apalagi aku mengucapkannya dengan wajah datar. Jadi ia tak tahu kata-kata itu menggambarkan ekspresi apa.
Tanpa berkata apapun tiba-tiba saja ia menarikku ke UKS. Saat sudah tiba, ia langsung menyuruhku untuk berbaring di kasur. Aku menurutinya.
"Tunggu saja disini, aku akan panggil guru kesehatan. Cih, kemana perginya orang-orang PMR, sih…"
Izuki pergi keluar UKS. Tak lama kemudian, ia kembali. Bukannya dengan guru kesehatan, malah sama Yuki-chan. Sebenarnya ada apa ini?
"Astaga, Qenn-chan … duduklah, akan kuobati!" Yuki langsung panik melihatku. Ia mencari-cari sesuatu di kotak obat. Entah karena tak ketemu atau apa, ia bergegas keluar dan hanya mengatakan kata singkat, "tunggu bentar!"
Aku meraba dahiku, ternyata ada benjolan kecil serta darah disana. Jantungku langsung berdebar, aku, kan takut darah! Lagian, si Izuki, kenapa gak bilang sejak awal coba kalau dahiku luka? Hiks…
"Maaf, aku tak bisa mengobati luka," ujar Izuki pelan, lalu duduk disampingku. Aku menggeleng, "tak masalah".
"Ng, Izuki, kenapa kau tak pernah bicara padaku?" tanyaku. Izuki menatapku dengan pandangan datar, seperti biasa.
"Karena kau tak mengajakku bicara," jawab Izuki. Tak puas dengan jawabannya, aku bertanya lagi,
"Sebagai teman sekelas, bahkan sebangku, kau harusnya mengajakku bicara," ujarku ketus. Ia menopangkan kepalanya di tangannya.
"Seharusnya, cewek yang harus memulai pembicaraan," Skak! Kenapa aku serba salah? Setelah itu aku diam saja. Tak tahu harus bicara apa lagi dengannya. Kurasa dia menyebalkan. Apa pantas dia kusebut tak setia kawan? Tidak, tadi ia menolongku!
"Hei, Qenna-san, ini uangmu, kan?" Izuki menyodorkan uang dua ribu yen kepadaku. Aku merogoh saku yang ada di baju olahragaku. Ternyata benar uangku tidak ada. Sekali lagi, aku merasa tertolong olehnya.
"Iya, ini milikku," aku mengambil uang itu dari genggamannya dengan cepat. Ia mengerucutkan bibirnya, "setidaknya ucapkan terimakasih!".
"Iya, iya, makasih!" ucapku masih saja dengan judes. Sial, padahal aku tak bermaksud mengatakannya dengan seperti itu. Namun bibirku tak bisa kukendalikan saat bersamanya. Kenapa aku ini?
"Qenna-san, nama margamu apa?"
"Namaku Qenna Hafida Dianty, gak ada marganya."
"Panjang sekali, ya? Jadi itu nama kecil semua?"
"Panjang atau tidak gak ada urusannya denganmu."
"Qenna-san, Kau dingin sekali terhadapku," gerutu Izuki.
"Kau juga tak pernah mengajakku bicara, Izuki!" balasku.
"Hei, bukankah sekarang kita sedang bicara?"
"Bukan seperti ini yang kumaksud. Dikelas kau tak pernah mengajakku bicara meski sekedar sapaan!"
"Aku pernah menyapamu, kok!"
"Iku lak pas awal-awal masuk!"
"Apa?"
"Itu, kan waktu awal-awal masuk!"
"Huh, ya sudah, aku akan menyapamu mulai hari ini!"
"Terimakasih. Lalu ajak aku bicara saat di kelas, tepatnya di bangku, biar aku gak bosan, ok?"
"Hei, apa-apaan? kamu kan cewek, harusnya kamu duluan!"
"Kamu du—"
"KALIAN BERDUA BERISIK!" tiba-tiba Yuki sudah kembali dengan obat merah yang dibawanya.
"Aduh, Qennaa … lukamu! kalau lama-lama bisa infeksi!" Yuki segera mengurus luka yang ada di dahi, siku, dan lututku.
"Ogawa darimana, sih? Lama banget!" sahut Izuki. Yuki menatapnya dengan pandangan horror. "Kau tahu … aku baru saja disuruh guru kesehatan untuk membeli apotik!" jelas Yuki dengan deathglarenya. Izuki berbalik, hendak keluar UKS.
"Terimakasih telah mengobati Qenna-chan," katanya lalu pergi dan menutup pintu.
Apa? Dia memanggilku dengan akhiran –chan? Kenapa rasanya jadi aneh gini, ya? Kok aku malah berdebar-debar? Duh…
TBC
Minna, gimana ceritanya? Layak untuk dilanjutkan gak? Mohon komentarnya…
Nama tokoh utama disini kuambil dari nama sahabatku waktu SD. Sebenarnya aku belum ijin padanya #dor! Kan jarang nama pake huruf Q, aku jadi tertarik pakai namanya, hehe…
#Sheilla7G
