Disclaimer : Naruto sepenuhnya milik Masashi Kishimoto-sensei. Saya hanya seonggok fans yang ingin mengekspresikan otak absurdnya dengan cerita yang tak kalah absurd.
.
.
.
Chic White Proudly Present
(A sequel from Thariqul Jannah)
.
.
.
Hurul 'Ain
[Prolog]
Seluruh penghuni Pondok Pesantren Ibnu Sina—Kakek Madara sekalipun—menuduh kalau Sasuke tertarik pada Sakura sejak awal mereka mengenal satu sama lain. Sikapnya selama ini yang jelas-jelas menunjukkan kalau gadis itu spesial cukup untuk mengundang tanda tanya. Tetapi, dia sama sekali tidak memandang Sakura sebagai gadis yang potensial menjadi istrinya di masa depan. Begitulah, dia ngebet ingin punya adik perempuan dan Sakura memenuhi semua aspek yang dibutuhkan untuk jadi adiknya. Sekian terima kasih.
Sasuke bukan orang yang perhatian pada orang lain, tapi bukan berarti ia tidak peka. Tidak sulit bagi Sasuke untuk menyadari ketertarikan akhwat penghuni pondok padanya seiring bertambah umurnya. Bahkan, ia yakin sekali Sakura pun begitu. Beberapa kali, tatapan gadis itu tampak berbeda. Apalagi, kalau Sasuke sedang tersenyum padanya.
Jujur, Sasuke agak kecewa tahu gadis yang ia anggap adik itu menyukainya. Berhubung mereka bukan adik-kakak sungguhan dan sikap gadis itu tak ada yang berubah...ya Sasuke biarkan saja.
Ketika umurnya menginjak kepala dua dan usahanya sudah sukses, Sang Bunda mulai gencar mengenalkan anak-anak kenalannya untuk ia jadikan istri. Sasuke sendiri mengakui ia sudah siap memenuhi ekspektasi wanita yang telah melahirkannya itu. Akan tetapi, tak ada satu pun dari akhwat jelita itu yang mampu membuat hatinya tersentuh dan kepalanya berpikir, "dialah orangnya".
Sudah tak tahan dengan serangan kode keras Ummu tercinta yang ingin menggendong cucu darinya, Sasuke melaksanakan shalat istikharah. Berharap Gusti Allah berkenan memberikan petunjuk perempuan manakah yang harus ia persunting menjadi istri.
Jawaban datang dari mimpi. Ia bertemu dengan mendiang ayahnya di sana, langsung mencurahkan kegundahan hatinya yang sudah jengah dengan permainan kode-kodean ibunya. Sang Ayah tertawa, lalu berbisik, "Shalat tahajudlah di mesjid." Satu tepukan di pundak didapat, Sasuke pun terbangun. Tentu saja, ia langsung berlari ke mesjid saat itu juga.
Jam dialog di mesjid menunjukkan pukul 2 malam—masih satu jam lagi sebelum ia harus membangunkan santri untuk bersiap sahur. Dalam keadaan sudah punya wudhu, Sasuke hanya mampu membeku di pintu mesjid. Di balik tirai tempat akhwat, ia dapat melihat bayangan samar-samar seseorang yang sedang duduk. Hatinya bergetar, mendengarkan tilawah yang dilakukan sosok itu. Surat Al-Kahfi—surat yang paling sering Sasuke kumandangkan di waktu senggangnya—dibacakan dengan indah. Di tengah keheningan, suaranya terdengar begitu nyaring, jernih, dan lembut di saat yang bersamaan. Suara yang acapkali membuat Sasuke tidak bisa tidak tersenyum dan membuat hatinya menghangat. Suara yang amat ia kenali setelah pertemuan rutin tiap bulan ramadhan maupun waktu-waktu tertentu jika ia pulang ke pondok.
"...Sakura?" tegur Sasuke ragu.
Tilawah terhenti sejenak, dilanjut hingga waqaf, lalu diakhiri. Tirai dibuka, Sasuke berhadapan dengan 'adik'nya.
"...Akhi? Eh? Sekarang jam bera—AIH?! JAM 2?! Duh, aku lupa tidak membantu Ummu Mikoto! Ma'assalama, Akhi! Assalamualaikum!"
Sasuke masih diam berdiri di tempatnya, menggumamkan balasan salam dengan kepala masih nge-blank. Sasuke mendadak gagal paham.
"Apa...artinya ini?" Sasuke meringis kecil. Menampik jauh-jauh kesimpulan yang mampir di kepalanya.
Mungkinkah... Sakura adalah hurul 'ain(bidadari syurga)nya?
Tidak, tidak boleh. Sasuke tidak mau kehilangan adiknya yang menggemaskan itu. Titik. Mungkin hanya kebetulan saja.
.
.
.
Allah Maha membolak-balikkan hati. Sasuke percaya itu.
Ada sesuatu yang berbeda sejak hari itu. Ada adrenalin asing ketika mereka bertemu. Ada perasaan aneh ketika ia mencuri pandang pada Sakura. Ada rasa sesak yang tak pernah dirasakan sebelumnya saat bus membawa Sakura pulang ke kampung halamannya.
Sasuke tiba-tiba mendapat dorongan untuk menyeret Ino ke Pondok Utama dan mengintrogasinya di sana. Menjadikan sahabat 'adik'nya itu sebagai perantara taarufan.
...Mungkin Sasuke harus berhenti memanggilnya adik mulai sekarang.
.
.
.
Sakura meminta waktu 2 tahun untuk mempersiapkan diri. Sasuke menyetujuinya. Sebagian ikhlas memaklumi, sebagian lain berpasrah diri. Tentunya ia tidak mau memaksa dan malah membuat Sakura menolaknya mentah-mentah.
Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah.
...Tetap saja, pulang ke rumah, ia merasa tubuhnya tiba-tiba kehilangan energi. Disuruh makan rasanya malas, beringsut dari sofa empuk pun tidak mau.
"Mas Itachi... Ternyata begini ya, rasanya galau." Sasuke bahkan tak punya tenaga untuk protes pada kakaknya yang tertawa terbahak-bahak hari itu.
"Ummu tidak mau tahu. Pokoknya dua tahun lagi Nak Sakura harus jadi menantu Ummu. Kalau bisa kau bujuk dia untuk mempercepatnya."
"Ummi!"
"Sudah, ambil air wudhu sana! Curhat sama Allah, bukannya mengeluh pada Mas-mu atau Ummu!"
Luar biasa. Ummu Mikoto itu memang benar-benar 'perhatian' pada putranya.
.
.
.
Bersambung
Mari temani saya berbaper ria. HAHAHA #gagitu
Sekian terimagaji.
Salam Petok,
Chic White
(Your Possible!Chic-ken*roosting*)
