Angin musim semi berhembus menerbangkan kelopak bunga sakura—aku tahu ini adalah salah satu pembuka yang klise namun sayang sekali hanya itu saja yang ada di pikiranku.
Sebuah kalimat pembuka yang selalu aku baca di buku-buku yang ada di perpustakaanpun sebagian besar memiliki pembukaan yang klise.
"Pagi Gil-chan!" Aku mendengar sebuah sapaan dari belakang, seorang gadis yang seumuran denganku.
"Selamat Pagi, Rei." Balasku, kini ia telah berjalan disampingku. Sambil mengeratkan pegangannya pada tasnya.
"Akhirnya semester baru di mulai, dan kita jadi kakak kelas!" katanya dengan semangat tingkat dewa. Sementara aku hanya bisa tertawa renyah.
"Kakak kelas ya?" Gumamku sambil memasuki gerbang sekolah.
Rasanya akan sangat menyenangkan ya—
Mungkin.
Karena aku tak tahu kalau hari ini, kehidupan normalku akan berakhir.
The Holy Grail War
A Fate/Series fanfiction.
I don't own Fate.
Language: Indonesia
Genre: Supernatural, Action, Shounen.
Warning: OOC! Oc, as bad as shit. Don't read don't read. Flame for character(s) is unacceptable
Prolog: Summon The Servants—The War is Begin.
Part 01—Lancer―
"Haaah~" Sebuah helaan napas keluar dari mulutku merasa bosan dengan pelajaran yang diberikan oleh guru.
Ah aku belum memperkenalkan namaku ya?
Namaku adalah Gil Illyvich Petrovsky—ahahaha, namaku bukan aneh. Aku adalah murid kelas 2 di salah satu sekolah dasar di kota Fuyuki ini.
Dua tahun yang lalu akibat urusan keluarga, akupun ikut pindah dari Russia ke negeri Jepang ini. Dan akhirnya bersekolah di tempat ini.
Tempat ini adalah tempat yang sangat bagus.
Banyak teman-teman yang baik dan mau mengajakiku bermain.
Aku benar-benar senang.
Aku tidak mau hari-hari yang indah ini berakhir.
Tanpa sadar, bel istirahat makan siangpun telah berbunyi. Setelah memberi hormat, banyak siswa yang bergegas keluar untuk mengambil makan siang mereka di cafetaria—entah akan mereka bawa ke sini atau mereka makan disana.
"Gil-chan~ mau makan siang bareng?" Ajak salah satu temanku, akupun menganggukkan kepalaku mengiyakan ajakan tersebut dan pergi menuju cafetaria.
"Nee, Gil-chan. Sedari tadi aku bertanya-tanya. Kau pakai tatoo?"
Aku mengerutkan keningku bingung.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak menggunakan—" aku terdiam melihat tanda yang ada di punggung tangan kananku ini.
Tanda apa ini? Warnanya merah seperti darah.
Aku belum pernah melihat benda ini sebelumnya? Ini apa?
"Eh? Sejak kapan? Aku tidak tahu lho." Teman-temanku saling bertatapan satu sama lain.
"Sebaiknya kau hapus saja—kalau sampai para guru tahu kan brabe."
"Eum, tentu saja akan aku hapus." Kataku sambil membereskan peralatan makanku lalu berdiri dari posisi dudukku.
"Ayo kita kembali ke kelas."
Ya, saat itu aku masih belum menyadari.
Bahwa sesuatu yang kuanggap tatoo inilah yang kelak akan mengubah hidupku.
Pembatas keren
"Sampai jumpa besok Gil-chan~" Aku melambaikan tanganku kepada Rei yang berlari meninggalkan sekolah, sementara aku berjalan berlawanan arah dengannya.
Sesekali aku memerhatikan punggung tangan kananku, masih terbawa rasa penasaran dengan apa yang terukir diatasnya.
Sebuah tatoo? Namun aku tidak pernah mengingat menggunakan tatoo—lagipula aku masih berumur 8 tahun. Mana mungkin bisa memakai tatoo.
"Hah~" Sekali lagi helaan napas keluar dari bibirku dan melanjutkan perjalananku menuju rumah.
Namun belum sampai belokan terakhir aku membalikkan badanku. Seperti ada yang mengikutiku dari belakang.
Sesuatu yang sangatlah berbahaya.
Aku masih berdiri di tempat, menatap tajam ke segala arah, mencari sesuatu yang aneh.
Namun nihil. Menghela napas kembali akupun kembali berjalan.
Mungkin aku terlalu khawatir.
"Aku pulang!"
Nihil, tidak ada siapapun yang merespons panggilanku.
Tentu saja, jam segini ayah dan ibu masih bekerja—dan tidak tahu kapan akan pulang.
Akupun menutup pintu rumah dari dalam dan membuka sepatuku. Kulangkahkan kakiku menuju kamarku yang berada di lantai dua untuk berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian dari seragam menjadi sebuah kaos putih dan celana pendek selutut akupun duduk di ruang keluarga sambil menonton tayangan anime di televisi.
Merasa bosan dengan tayangan di televisi, akupun memutuskan untuk keluar dan jalan-jalan mungkin bermain dengam teman-teman yang lainnya di taman.
Kakiku melangkah keluar. Lalu mengunci pintu rumah dan menaruhnya di tempat rahasia yang hanya aku dan keluargaku saja yang mengetahuinya.
"Yosh." Akupun berbalik meninggalkan rumah.
Pembatas Keren
"Sampai jumpa semuanya!" ujarku sambil melambaikan tanganku kepada teman-temanku yang sudah di jemput oleh orang tuanya.
Sementara aku sendiri, masih duduk diatas ayunan kayu ini.
Tidak ada ayah ataupun ibu yang datang menjemputku, semua masih sibuk bekerja.
Aku dengan pelan kembali mengayunkan ayunannya dengan pelan. Hari sudah cukup sore namun aku masih belum beranjak dari taman yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumahku ini.
Tap
Tap
Tap
Aku menoleh ke arah sumber suara, ada dua orang yang datang ke arahku.
Dua orang pria gagah yang kini berdiri tepat di beberapa meter di depanku.
"Mengonfirmasi command seal." Gumam salah satu pria tersebut.
"Bunuh."
Eh?
"Huaa!" aku refleks menghindar dari serangan pria yang satunya. Keringat dingin mengalir dari tubuhku.
Aku benar-benar beruntung memiliki tubuh kecil dan lincah seperti ini. Aku lalu berlari dengan cepat—namun tetap saja tersusul.
Bagaimanapun juga seberapa kencangnya aku berlari aku tak akan bisa mengimbangi langkah kaki yang jauh lebih lebar dari tubuhku sekalian menghindari serangan yang terus keluar.
Entah kenapa aku merasa sangat beruntung kali ini, entah kenapa semua serangan berhasil aku hindari—meski itu menimbulkan kerusakan cukup parah di sekitar.
Akupun dengan sigap mengambil kunci rumah lalu masuk dan kembali menguncinya dari luar.
Aku mengatur napasku yang terengah-engah sambil menyengerkan badanku di pin—
Jleb
Aku merasa sesuatu menujuk menembuh perutku, sebuah pedang yang tak begitu panjang putih bajuku kini tersiram oleh warna merah yang keluar dari luka perutku.
"Apa aku akan mati disini?"
Pedang itu keluar dari tubuh kecilku, aku lalu menggunakan sisa tenagaku untuk berjalan hingga sampai di ruang tengah, namun aku bisa mendengar ia berhasil menjebol pintu depan. Aku yang semakin takut mempercepat langkahku, mencari tempat berlindung.
Ya—namun semuanya terlambat. Sosok pria tersebut tiba-tiba muncul di depanku dalam sekejap dan melemparku hingga menabrak menjebol pintu sebuah ruangan.
"Uhuk! Uhuk! Ukkhh..." Aku terbatuk sembari merintih kesakitan, pandangan mataku tampak sangat buruk, semua mulai memudar. Dan aku merasa seseorang menarik rambutku.
"Kau tahu~ aku suka sekali menyiksa anak kecil! Aku suka melihat wajah kecilnya yang merintih meminta pertolongan, ahahaha! Kalau aku bisa memenangkan perang cawan suci ini akan kupastikan aku akan meminta pada cawan suci agar aku bisa menyiksa seluruh anak kecil di dunia ini. Maka dari itu aku tidak biia membiarkanmu mengikuti perang suci ini dan mengganggu impianku."
Aku terkejut mendengar ucapan pria itu, apa—
Apa aku akan mati di tangan si psikopat ini?
Tidak mau!
"Jan...gan ber...can..da... apa ba...gusnya menyik...sa..." kataku dengan sisa kekuatanku yang tersisa, sedikit aku bisa melihat raut wajahnya yang marah.
Ia lalu membenturkan kepalaku ke tempok di belakangku. Membuat cairan merah tersebut kembali mengalir dari tubuhku.
Aku hanyalah anak kelas 2 SD.
Dan kini aku akan mati di tangan seorang psikopat, maniak penyiksa.
Aku tidak mau mati—
Terutama di tangan bajingan ini.
Tolong aku.
"Siapa saja... to...long..."
Tolong aku.
"Sia...pa sa..ja..."
"Heh, percuma saja, tidak akan ada yang bisa menolongmu! Tidak ada manusia yang mau mati percuma demi hanya menolong seorang bocah!"
Tolong...
"Aku... tidak mau... mati." Aku mengunakan kekuatan terakhirku untuk menggigit tangan pemuda itu hingga aku terjatuh diatas lantai semen yang kasar.
"Kau apa yang kulakukan?!!" Ia tampak marah dan menendang wajahku dengan kakinya.
Aku malah membalas dengan tatapan jijik.
"Dasar maniak... mati saja sana. Dasar anjing kampung."
Mungkin aku sudah tidak sayang nyawa, mengatakan hal seperti itu disaat nyawaku sudah sangat dalam bahaya. Ia tampak kesal sejenak. Lalu ia mundur dan menyuruh pemuda lainnya untuk memotongku hidup-hidup.
"Bunuh dia.." pedang itu siap menebas tubuhku menjadi dua—padahal aku tidak mau mati. Aku menyentuh lantai dengan tangan kananku.
Tiba-tiba muncul cahaya menyilaukan tepat sebelum pedang itu membelahku menjadi dua.
Merasa aneh karena tidak merasakan apa-apa, akupun memberanikan diri membuka mataku. Di sana ada seorang pemuda berambut panjang hijau muda dengan sebuah benda yang tampak seperti tongkat―atau mungkin sebuah tombak yang melindungiku dari serangan pemuda itu.
"Kau tidak apa-apakan, Master."
Master? kenapa ia memanggilku master. Tapi ia melindungiku.
"Tolong aku..."
"Tentu saja." Jawabnya, aku hanya bisa tersenyum lemah dan semuanya menjadi gelap.
Pembatas Keren
Aku membuka mataku pelan, hal yang pertama kali kulihat adalah sinar lampu yang menyilaukan. Akupun menutupi sumber cahaya menggunakan tangan kananku.
Dan aku masih bisa melihat tanda yang ada di tanganku.
"Kau sudah bangun, master?" aku berbalik menatap sosok pemuda yang kini masuk ke dalam ruangku. Kurasa ini rumah sakit.
"Apa yang terjadi? Kau siapa?" Tanyaku, ia hanya tersenyum.
"Aku adalah servantmu. Kau bisa memanggilku Lancer."
Ia tersenyum
"Selamat datang di Perang Cawan Suci ke Enam. Gil Illyvich Petrovsky."
Aku hanya bisa membulatkan mataku mendengarkannya.
"Eh?"
TBC
Hai~ aku buat FF baru lagi, padahal FF yang lama belum dilanjut. Abis aku ndak ada mood buat lanjutin itu. Aku mau fokus ke yang ini dulu.
Sampai jumpa chapter depan!
