Disclaimer : I do not own Naruto!
Warnings: OOC, total AU, hanya sepotong drama yang mesti dikeluarin dari otak.
Tangan Hinata bergetar, matanya terbelalak menatap layar ponselnya. Rasa perih mulai terasa menyengat di matanya, hatinya seakan berubah menjadi batu sangat terasa berat, menyesakkan dada. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya, kalau ini mimpi berarti ini adalah mimpi terburuknya. Tanpa memejamkan matanya air mata mulai mengalir, kemampuan untuk bergerak seakan terenggut darinya, dia mematung. Layar ponsel itu meredup kemudian mati, sama seperti hatinya. Telah lama dia menyangkal hal ini, walau semua orang disekelilingnya berteriak di telinganya dia takkan mempercayainya. Tapi bukti di genggamannya melemahkannya, mengiris hatinya.
Dia disana berdiri memandangnya, sebelum mengalihkan pandangannya. Hinata membalasnya dengan senyuman manis, sahabatnya yang kaku itu sangat disayanginya. Dia selalu disana, memberikan tatapan acuh, atau mengeluarkan pernyataan pedas. Tapi dia memberikan perhatian yang jauh lebih berarti baginya bila dibandingkan dengan kata-kata manis orang lain yang hanya menghibur hati, tapi tidak dengan sahabatnya yang satu itu perhatian yang diberikannya lebih dari sebuah kata-kata tapi tindakan nyata yang berharga.
Setelah semua yang telah bertahun-tahun telah dilakukan dan diberikan oleh Hinata, untuknya. Hanya untuknya semata, kini semua itu seakan tak berarti menghilang ditelan bumi. Apa yang salah di dirinya, seluruh hati telah dia serahkan, betapa banyak pengorbanan dilakukan tapi yang diterima Hinata hanyalah penghianatan di saat dia merapuh. Apakah dia pantas menerimanya? Tentu saja tidak, lalu siapa yang salah bila takdir telah menyatukan mereka tapi tidak cukup kuat untuk mempertahankan cinta yang dimiliki oleh mereka.
Dia duduk disisi Hinata, menawarkan sandaran untuk hati yang terluka. Kesedihan yang dimiliki Hinata kini terpantul di mata hitamnya, kedua sudut bibirnya sedikit tertarik kebawah. Dia menguatkan Hinata hanya dengan berada di sampingnya, tanpa sepatah katapun dia menenangkan hatinya. Tanpa satu sentuhanpun dia memberikan Hinata kenyamanan dan kehangatan. Sahabatnya yang tersayang itu tidak selalu mendukungnya, dia hanya menawarkan kejujuran. Dia tidak akan berkata hitam itu putih atau sebaliknya bila itu tidak baik untuk Hinata.
Mungkin ini memang salahnya, dia belum bisa menjadi yang terbaik untuknya. Mungkin bila dia lebih baik dalam segala hal semua ini tidak akan terjadi, mungkin bila dia selalu ada disampingnya tidak akan ada sedikit celah pun bencana ini terjadi. Hinata tertawa di antara tangisnya, menertawakan pemikiran bodohnya.
Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Kenyataannya inilah yang terjadi, sepahit apapun inilah kebenaran. Dia tidak akan mau lebih lama lagi tersesat di dalam kebohongan, lebih baik dia merintih sakit meratapi apa yang terjadi daripada tersenyum bahagia dan menari diatas tanah penuh dengan kotoran yang bertopengkan padang rumput indah bertabur bunga berwarna-warni.
"Apakah kau akan terus membodohi diri sendiri?" kata-kata sahabatnya begitu tajam menusuk.
Kamar tidurnya yang luas itu entah kenapa saat ini terasa sangat pengap, dia harus keluar, dan hanya ada satu orang yang terlintas di pikirannya yang dapat menenangkan perasaan gundah di dirinya.
-.
Mereka duduk berdampingan di taman yang sunyi di malam hari, hanya suara jangkrik yang samar-samar terdengar. Udara malam semakin dingin, namun bukan itu alasan Hinata duduk berdekatan dengan Sasuke, kedua bahu mereka bersentuhan. Pertemuan itu diadakan karena secara bersamaan ada sesuatu yang penting yang harus masing-masing dari mereka bicarakan, namun setelah bertemu hanya keheningan yang menyiksa menyelimuti mereka untuk beberapa saat lamanya. Hinata tertunduk, memandang kedua tangannya yang tidak berhenti meremas ujung jaketnya.
"Apa yang mau kau bicarakan?" tanya Sasuke tanpa menoleh, dia masih memandang kejauhan di depannya.
Hinata sesenggukan menahan tangis, Sasuke menghela nafas berat.
"Tidak usah ditahan, Hinata" nadanya tidak lagi dingin.
Pertahanan Hinata telah runtuh seiringnya jatuhnya kristal kesedihan dari kedua matanya. "Aku begitu bodoh selama ini" ucap Hinata dengan suara serak diantara tangisnya. Tubuhnya semakin melengkung tertunduk, jaket di lengannya kini basah oleh air mata. "Aku begitu bodoh, karena membiarkan hal seperti itu terjadi" Hinata semakin terisak-isak setelah pengakuannya.
Sasuke dengan ragu-ragu membelai kepala Hinata, lalu menyandarkan di bahunya. Dia menarik tangannya kembali ke sisi tubuhnya membatasi sentuhan, dia membiarkan wanita itu membasahi bahunya dengan kesedihan. Hatinya sakit memandang sahabatnya, wanita yang sangat disayanginya terluka. Rasa sakit itu muncul bersamaan dengan kemarahannya yang meluap-luap, ingin sekali dia membunuh seseorang saat ini.
"Akulah yang salah Sasuke" tangisnya mulai mereda.
"Hinata" ada setitik kemarahan di suaranya.
Hinata mengangkat kepalanya, dia memandang wajah Sasuke dengan mata yang masih basah. "Ini semua bukan salahmu" mata Sasuke menatapnya tajam "Jangan pernah kau salahkan dirimu atas apa yang terjadi"
Hinata dengan ragu-ragu mengangguk kecil, dia mencoba meyakinkan diri sendiri kalau apa yang dikatakan Sasuke itu benar. Dia sudah sangat tersiksa dengan apa yang menimpanya tanpa harus ditambah dengan menyalahkan dirinya sendiri.
Sasuke menghela nafas lagi, menggumamkan sesuatu yang tidak tertangkap oleh telinga Hinata. "Kau harus kuat demi malaikat kecilmu" Sasuke secara perlahan menaruh tangannya di atas perut Hinata yang sudah mulai membuncit. Mata Sasuke yang biasanya dingin kini melembut, Hinata menatap tangan Sasuke, tangannya terasa sangat hangat walau terhalangi oleh baju dan jaket yang dikenakannya.
Pipi Hinata merona merah, dia tersenyum kecil. Dia tidak akan membiarkan dirinya terlalu lama larut dalam kesedihan.
"Aku hampir bisa mendengarnya" mata Sasuke masih melekat pada apa yang disentuh lengannya "Katanya 'kau harus kuat mama, sampai aku terlahir nanti, senyummu adalah hal yang pertama ingin kulihat' " kini ia menatap mata Hinata lekat-lekat.
Air mata kembali jatuh di pipi Hinata, kali ini dengan alasan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Nafas Hinata tercekat, perasaanya bercampur aduk. Sedih itu menguap berganti menjadi haru, namun keharuan yang dirasakannya hanya sementara sebelum berganti lagi menjadi pahit.
Perasaan itu menohoknya, seakan dia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Apa yang disaksikannya bukanlah Sasuke yang dikenalnya, tapi hal yang dilakukannya adalah hal yang sangat berarti baginya yang saat ini terpuruk di bagian terbawah roda kehidupan.
Sasuke menarik kembali tangannya, memaksa dirinya memalingkan wajah. Perasaan itu mulai memenuhi dadanya, dia harus segera mengakhiri ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk.
"Terima kasih, Sasuke" ucap Hinata sambil tersenyum hangat, ingin sekali dia memeluk sahabatnya itu saat ini.
Sasuke bangkit berdiri Hinatapun ikut bangkit dari duduknya, dia menghapus semua jejak air mata di pipinya hingga tak bersisa. Mereka berdiri berhadapan dalam diam.
"Mm Sasuke, apa yang mau kau katakan?"
"Lebih baik, mulai saat ini kita harus menjauh" wajahnya masih datar, namun suaranya sedikit bergetar di awal.
Hinata terkesiap, dia tidak dapat menutupi keterkejutannya. "Mengapa Sasuke? Mengapa tiba-tiba?" Hinata menatapnya nanar
Batin Sasuke mengutuk kebodohannya, mengapa dia tidak mengerti kalau dia menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Dan melihat Hinata tersiksa seperti ini lebih menyiksanya lagi. Dia ingin sekali membunuh si bodoh itu. Si bodoh yang telah menyia-nyiakan Hinata, menduakannya saat Hinata sedang mengandung darah dagingnya. Apa yang dipikirkannya? Si pirang bodoh itu takkan pernah mengerti perasaannya yang ingin sekali berada di tempatnya.
Hinata sangat berarti baginya, seorang wanita baik, tulus, dan hangat. Dia akan membunuh si bodoh itu bila dia lebih lama lagi tinggal di kota yang sama dengannya, tapi bila si bodoh itu mati Sasuke yakin sekali Hinata yang sangat mencintainya akan semakin bersedih. Jangankan membalas cintanya, yang terjadi malah sebaliknya dia akan sangat membencinya.
Dia tidak boleh membiarkan dirinya dan Hinata lebih jauh lagi terbawa oleh hati, semua tidak akan semakin membaik bila Hinata tahu apa yang dirasakannya. Hal-hal tidak akan menjadi lebih mudah bila Hinata menyadari perasaan yang dimiliki kepadanya, segalanya tidak akan menjadi lebih indah bila Hinata mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.
"Aku harus pergi" katanya sambil berlalu pergi.
Hinata menatap punggungnya, sahabatnya yang disayanginya pergi meninggalkannya. Dia berjalan pergi meninggalkannya tanpa menoleh sekalipun. Apa yang telah dilakukannya? Mengapa dia pergi meninggalkannya? Dia tahu pasti kalau dia membutuhkannya, dia sangat menyayangi sahabatnya. Dia yang selalu menguatkannya selama ini, dia yang memberikan perhatian yang tidak bisa diberikan oleh suaminya. Dia yang selalu peduli kepada kesehatan bayi yang dikandungnya saat suaminya hanya peduli kepada perempuan berambut merah yang baru dikenalnya di suatu bar.
Dia tidak akan kuat bila tidak ada dirinya, Hinata tak percaya dengan apa yang dipikirkannya. Perpisahan ini bukan berarti selamanya kan? Mengapa kehilangan dirinya sesakit ini? Apakah karena Sasuke telah mempunyai tempat yang besar dihatinya, tempat khusus untuk seseorang yang melebihi seorang sahabat? Di lubuk hati terdalam Hinata tahu dia sangat menyayangi Sasuke setelah semua perhatian yang tercurah kepadanya. Namun dia juga tahu bahwa keadaan tidak akan lagi sama, mereka hanya akan menjadi orang asing yang berbagi banyak kenangan indah.
Dia akan kuat menghadapi semua yang terjadi, seperti apa yang Sasuke katakan demi malaikat kecil di rahimnya. Tidak masalah suaminya mempunyai kekasih lain disana, tidak masalah kalau suaminya dan perempuan itu telah tidur bersama, tidak masalah bila mereka saling mengirimkan foto bugil mereka, tidak masalah bila sahabat yang ternyata dicintai pergi meninggalkannya dengan alasan itu yang terbaik bagi keluarga kecil yang dimiliki Hinata, dia tidak akan memperdulikan semua itu selama sumber kekuatan terbesarnya bersemayam di perutnya. Dia akan melakukan apapun agar keadaan menjadi lebih baik, dia tidak akan membiarkan dirinya terlalu lama larut dalam kesedihan.
Yang Hinata inginkan hanyalah kelak malaikatnya terlahir sehat, pada saat itu hanya senyumlah yang akan pertama kali dia berikan untuk menyapa malaikat kecilnya di dunia ini dan hanya tawa bahagia yang akan Hinata berikan untuk menyertai hari-hari di dalam hidupnya.
Dia akan membuatnya menjadi orang yang kuat dan tangguh. Dia kan mengajari semesta hidupnya itu kekuatan yang sesungguhnya, kuat tanpa takut menangis, membangun tanpa takut kembali hancur, mencintai tanpa takut kehilangan itu adalah kekuatan yang sesungguhnya.
E/N : My first fanfic for Naruto fandom, thx for RnR ^.~
Mungkin nanti bikin sequel lanjutin Strength in fragility yg MC tp ga janji dalam minggu" ini, btw thx again buat reviewer,yg dah fav and follow.
