"We all, We all, have unforgettable and precious treasure..."

- c.h.a.o.s.m.y.t.h (ONE OK ROCK)

.

.

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

An Unforgettable Memory © Faboeloes and OS_AomineD

Main cast / pairing : 青峰大輝 Aomine Daiki • 相田リコAida Riko

Warning : you have known it right?~ it's just like : OOC, and Typo(s) everywhere.

p.s : Modern!AU, hampir semuanya dialog

Just a two-shots fanfiction •

DLDR, Enjoy, and please REVIEW and FAVORITE

.

.

Let's begin

.

.

Di pagi hari, sudah menjadi rutinitas seorang Aida Riko, mantan pelatih tim basket SMA Seirin untuk mengunjungi 'rumah' sahabatnya yang merupakan mantan musuh bebuyutan Kagami Taiga, Aomine Daiki. Riko mengunjungi rumah (baca : kamar) Daiki dan mengetuk pintunya.

"Sumimasen~"

Terdengar suara langkah kaki dari dalam kamar yang luas itu. Riko memasang senyumnya yang seperti biasa dia berikan pada pemuda ini.

"Ohayou, Aomine-kun~"

"Yo, genki ka?" Daiki bertanya dan segera keluar dari kamarnya yang berantakan.

"Genki, kimi?" Riko tidak mendapatkan jawaban melainkan hanya Daiki yang mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.

Daiki dan Riko adalah anak yatim piatu. Riko hanyalah gadis yang sederhana dan Daiki adalah orang yang cukup terpandang. Daiki dan Riko tinggal di atap yang sama. Mereka saling membantu dalam kehidupan mereka yang sekarang. Dan mereka rasa, mereka bahagia dengan kondisi yang seperti ini.

"Kau sedang ada masalah, hn?" tanya gadis itu.

"Tidak juga," jawab Daiki dengan nada datar sambil duduk di sofa ruang keluarga.

"Tapi, raut mukamu tidak menunjukkan kau baik-baik saja, Aomine-kun."

"Hhh... Sudahlah, tidak usah dibahas." Daiki menjawab malas dan sekarang dia merebahkan dirinya di sofa itu.

"Apakah... karena Kuroko-kun?" Riko bertanya to-the-point. Membuat Daiki kembali tidak menjawab dan hanya memijat pelipisnya dengan lelah. Kuroko Tetsuya adalah sahabat Daiki dari mereka masih SMP dan sekarang pemuda bersurai secerah langit itu sudah tidak ada kabarnya.

"Dia... memang sudah lama tidak ada kabarnya ya...?" tanya Riko lagi dengan sedih.

"... Ya," jawab Daiki sekenanya.

Tiba-tiba, tiada angin dan tiada hujan, Riko menghampiri Daiki yang sudah merubah posisinya menjadi duduk, membuat Daiki terkejut. Riko lalu memeluk Daiki dan membuat matanya membelalak.

"Hei... Aku juga merasakan hal yang sama denganmu..."

Ya, 2 tahun yang lalu, pesawat yang ditumpangi sahabat masa kecil Riko—Hyuuga Junpei, mengalami kecelakaan saat ingin kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan bersama ayahnya. Dan sampai sekarang, pesawat itu tidak ada kabarnya lagi.

"Maksudmu?" Dan sayangnya, Riko tidak pernah memberitahukan ini kecuali kepada Kiyoshi Teppei, mantan center di tim basket asuhannya itu.

"Aku..." Riko menunduk. Setiap mengingat kejadian itu, dadanya terasa sesak dan ingin menangis. Dia lalu menggeleng supaya Daiki tidak khawatir dengannya. "Tidak... lupakan saja..."

"Kau kenapa?" Daiki semakin bingung dengan tingkah gadis surai coklat didepannya ini. 'Tidak biasanya dia seperti ini...' batinnya.

"T-tidak... tidak..." Riko melepas pelukkannya dan tersenyum manis. "Aku baik-baik saja..."

Daiki menatap Riko dan menemukan sirat kebohongan dari matanya yang mulai berair. Dengan reflek, Daiki menarik tangan Riko dan memeluknya.

"Kau berbohong, Riko." Pemuda beriris navy blue ini mengusap kepala Riko dengan lembut. Tentu saja, Riko merasa terkejut saat dipeluk oleh Daiki. Tidak biasanya Daiki begitu peduli padanya.

Dengan suara bergetar Riko menggumamkan namanya dan bisa merasakan pandangannya memburam akibat air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. Pada akhirnya, Riko menangis dalam diam didalam pelukkan Daiki. Daiki menghela nafas melihat Riko.

"Menangislah sepuasmu..." Hanya itu yang bisa Daiki ucapkan pada Riko. Dan menimbulkan isakan yang cukup keras.

"A-Aomine-kun... gomen..." Bahu kecil gadis itu bergetar untuk meredam tangis.

"Untuk apa?" Daiki mengelus punggung Riko untuk membuatnya sedikit tenang.

"A-aku... jadi cengeng... seperti ini..." Mata gadis itu sembab karena kebanyakan menangis dan dia memeluk Daiki erat. Riko tidak ingin Daiki melihat wajahnya yang seperti ini. Respon yang diberikan Daiki hanyalah sebuah kekehan kecil.

"Aku malah tidak suka dengan orang yang selalu menyembunyikan perasaan," ujarnya lembut.

"Terima kasih... Aomine-kun..." Riko masih menangis dan memeluk erat Daiki. "Aku... terlalu sering menyembunyikan... perasaanku..."

"Sama-sama... Lain kali jangan begitu lagi, oke?" tanya Daiki sambil mengusap rambut Riko.

Riko merasa nyaman dan aman dengan perlakukan sahabatnya itu. Dia memejamkan mata dan hanya menggangguk lalu bergumam 'baiklah' sambil mendengarkan detak jantung Daiki. Daiki kembali terkekeh melihat Riko.

"Sudah makan?" tanya Daiki.

"Um... B-belum..." Riko mendongak untuk melihat wajah Daiki.

"Ayo makan." Daiki membuat cengiran khasnya yang lantas membuat Riko tersenyum senang.

"Baik~"

"Sebelum itu... bisa..." ujar Daiki.

Dia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Lalu Daiki melihat Riko. Riko yang ditatap seperti itu hanya menatap balik Daiki dengan tatapan bingung dan tidak mengerti. Daiki melihat tatapan itu lalu tersenyum tipis dan melepas pelukkan Riko perlahan.

"Sana mandi," ujar Daiki sambil tersenyum nakal.

"Kau juga, bodoh. Disini 'kan kamar mandinya 2."

Riko menjitak kepala Daiki dan langsung mendapat protes. Riko hanya tertawa melihat pemuda yang jauh lebih tinggi darinya. Riko sebenarnya menyukai Daiki. Namun, menurut presepsi Riko, Daiki menyukai Tetsuya. Riko dan Daiki lalu mandi dikamar mandi masing-masing dan bersiap-siap.

Daiki melihat Riko yang menenakan rok 10 cm diatas lutut serta sebuah kaus oblong yang press dengan tubuhnya. Daiki hanya mengenakan celana jeans panjang dan polo shirt berwarna senada dengan rambutnya, serta jaket. Daiki menyunggingkan senyumnya dan menggandeng tangan gadis itu.

"Ini lebih baik, ayo," ujarnya.

Wajah Riko mulai memerah dan kembali menggenggam tangan Daiki erat,"H-ha'i..."

"Mau makan dimana?" tanya Daiki sambil memperhatikan tingkah Riko yang membuatnya terkekeh geli.

"Terserahmu saja, Aomine-kun. Yang jelas, aku memang mulai lapar sih..." Riko menunjukkan ekspresi seperti ini, '3')/

"Teriyaki saja? Atau okonomiyaki? Takoyaki?" Daiki kelihatan sedang berpikir.

"Teriyaki saja. Aku tahu kau sangat menyukai itu." Riko tertawa pelan membuat Daiki kembali nyengir untuk kesekian kalinya.

"Heh, baiklah." Dan mereka berjalan ke restoran teriyaki terdekat. Mata Riko memandang kejalanan. Dia bersyukur dalam hati, karena masih diizinkan Tuhan untuk melihat pemandangan ini lagi.

"Terima kasih, Aomine-kun..." gumamnya sambil mengikuti Daiki. Lantas, Daiki menoleh karena mendengar suara Riko.

"Eh? Untuk apa?"

"Atas semua yang Aomine-kun berikan padaku... Aku...aku...benar-benar merasa sangat senang..."

"Sou... Jadi, jangan sedih terus ya? Aku malas melihat orang yang berharga bagiku sedih. Janji?" Aomine kembali menatap gadis itu sebentar.

"Aku janji, Daiki-kun... Aku tidak akan bersedih lagi..." jawab Riko sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa dia memanggil nama Daiki dengan 'Daiki-kun' bukan 'Aomine-kun' lagi.

"Bagus, Riko." Daiki kembali nyengir. Seakan nyengir adalah kebiasaannya. "Saa, sudah sampai..."

Mereka berdiri didepan pintu masuk bersamaan dengan Riko yang menggumamkan 'whoa...'. Sepertinya, Riko terlihat belum pernah ke restoran ini sebelumnya. Daiki membuka pintunya dan menarik tangan Riko pelan. Membuat sang gadis kembali merasakan wajahnya yang memanas.

"Ramai... Mau duduk di mana?"

Mata Riko menjelajah keseluruh penjuru ruangan dan akhirnya dia menemukan tempat yang kosong untuk 4 orang. Dia menarik tangan Daiki kebawah untuk mendapat perhatiannya.

"Mungkin di sana. Aku menemukan satu tempat kosong." Riko menunjuk dengan matanya dan dibalas dengan anggukkan dari Daiki.

"Baiklah, ayo ke sana..." ujar Daiki dan dibalas dengan gumaman 'baik' oleh Riko.

Mereka berdua menempati tempat duduk bersebelahan. Mereka dan disambut ramah dengan salah satu pelayan wanita disana. Pelayan itu memberikan daftar menu pada mereka berdua.

"Kau mau pesan apa, Riko?" tanya Daiki sambil melihat daftar menu itu.

"Mungkin teriyaki pedas dengan taburan wijen. Aku biasa memakan itu bersama ibuku dulu. Kau suka?"

"Baiklah, samakan saja," ucapnya pada pelayan itu. Pelayan itu mencatatnya di selembar kertas.

"Minumnya kau yang pilih deh." Riko menutup buku menunya.

"Hm, kocha saja? Aku sedang malas minum yang macam-macam." Dan langsung dihadiahi anggukkan dari Riko. Pelayan itu tersenyum dan membungkuk. Riko ikutan tersenyum ramah.

Daiki terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Riko melihat apa yang dikeluarkan Daiki dan langsung menahan tangannya saat ingin menyalakan benda yang menjadi musuh terbesar Riko—rokok.

"Daiki-kun..." Riko menatap Daiki dengan pandangan cukup sedih. Semenjak Tetsuya tidak ada kabar, Daiki mulai mendekatkan dirinya dengan rokok dan itu membuat Riko sedih.

"Eh? Kenapa?" tanya Daiki bingung.

Riko terdiam dan kemudian menggeleng. "Tidak..." Dia melepaskan tangannya dari Daiki.

"Hanya satu batang, Riko." Daiki menyalakan rokoknya dan menghisapnya. "Hhh..."

Riko menghela nafasnya. Sebenarnya, Daiki sudah merokok selama 3 bulan terakhir dan itu membuat Riko tersiksa diam-diam. Riko berkata bahwa dia sangat tidak mau Daiki sampai kecanduan dan hanya dibalas dengan elusan tangan besarnya di kepala Riko. Wajah gadis itu kembali memerah malu.

Daiki kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya. Membuat Riko merasakan paru-parunya sesak. Riko terbatuk pelan.

'Uhh... Aku membenci asap rokok, sungguh... Ini membuat paru-paruku terasa perih..." batinnya.

Tanpa berkata apa-apa seakan mengerti, Daiki berjalan keluar meninggalkan Riko. Riko mendongak dan mencoba menahan Daiki. Namun, Daiki sudah terlebih dulu pergi. Riko menghela nafas kecewa dan mengambil handphone-nya, lalu mengirimkan pesan.

'Kalau makanannya sudah datang, aku SMS ya :)'

Riko lalu meletakkan benda itu dimeja. Daiki terkejut saat mendapati telepon genggamnya itu bergetar. Daiki tersenyum tipis dan membalas.

'Baiklah.'

Riko tersenyum setelah mendapat balasan. Dia menunduk menatap benda berbentuk persegi panjang itu. Dan dia sangat terkejut ketika mendapati darah segar mengalir dari hidungnya dan menetes di meja. Riko langsung mengambil tissue banyak-banyak dan mengelap darah yang tidak kunjung berhenti.

"S-Shimatta..." gumam Riko.

Daiki tiba-tiba bersin tanpa sebab dan kembali merokok sambil kembali menikmati hembusan angin yang segar. Daiki terkejut kembali saat mendapati HP-nya bergetar menandakan ada pesan yang masuk.

'Daiki-kun, makanannya sudah datang. Cepat sini, nanti dingin~ ^o^)/'

Riko tersenyum kecil melihat pesannya sendiri dan meletakkan tissue penuh darah itu diatas meja. Daiki langsung mematikkan rokoknya dan masuk kembali ke dalam. Riko yang melihat Daiki datang langsung memberikan gestur 'sini!'.

"Maaf," ujar Daiki lalu berlalu ke wastafel untuk membersihkan mulutnya yang bau asap rokok. Riko menatapnya dengan bingung.

"Kenapa?" Riko tidak menyadari keberadaan tissue tersebut.

"Mulutku bau rokok. Ada apa tadi?" tanya Daiki sambil menatap tissue yang ada darahnya itu.

"Oh..." Riko langsung keringat dingin. "T-tidak apa-apa... Jangan dipedulikan..." Dia tersenyum kaku dan langsung membuang tissue itu ke tempat sampah terdekat. Sementara, Daiki hanya meminum kocha-nya dalam diam.

'Yokatta...' batin Riko sambil memakan teriyaki-nya. "Whoa~ Oishi~"

'Dia kenapa ya...?' batin Daiki sambil memakan teriyaki miliknya.

Riko menoleh dan menyadari perubahan raut wajah Daiki. "Kau kenapa, Daiki-kun?"

"Eh? Hm... Darah di tissue tadi apa?"

Deg.

"A-ah...t-tidak..." Suara Riko menjadi terbata dan dia merasa takut dengan Daiki yang wajahnya serius.

"Jujur, Riko." Daiki mengeluarkan tatapan tajamnya yang berhasil membuat nyali Riko ciut.

"D-Daiki-kun... A-aku..." Jujur, Riko merasa sangat takut kali ini. Dia hanya bisa menatap teriyaki yang baru separuh dia makan. Dia tak mau Daiki mengkhawatirkan keadaanya. "...punya... p-penyakit..."

"Ha? Penyakit apa?" ujar Daiki penasaran.

"...Kanker...paru-paru..." Riko hanya bisa tersenyum getir sambil melanjutkan makannya.

"H-ha?!" Tentu saja respon Daiki adalah terkejut. Selama 3 tahun mereka tinggal seatap dan Daiki baru mengetahui kenyataan ini.

"H-hm..." Gadis bersurai brown ini menatap sendu ke arah makanannya. "Aku belum tahu ada penyakit apalagi yang menggerogoti tubuhku... Sekarang, aku sering mimisan..."

"Kau tidak ke dokter?" Bisa dilihat Daiki berucap tenang, padahal batinnya merasa teriris.

"Buat apa? Toh, sudah terlalu parah... Aku malas ke dokter..." jawab Riko sambil menghela nafas.

"Setidaknya periksakan dulu..." Daiki kembali menyuapkan teriyaki kedalam mulutnya.

"Aku sudah lelah, Daiki-kun... Aku ingin merasakan hidupku tanpa kekangan rumah sakit..." Riko menghabiskan makanannya dan meminum kocha-nya.

"Hn? Mau cepat mati?"

"Entahlah... Kalau gak bisa disembuhkan...ya gimana?" Riko membersihkan mulutnya dengan tissue.

"Hhh... Sudah sudah..." Daiki memanggil pelayan dan membayar pesanan mereka.

"Arigatou, Daiki-kun... Setelah ini, mau kemana?" tanya Riko sambil berjalan keluar dari restoran itu.

"Terserah aku akan menemanimu." Daiki menyusul Riko yang menjawab sambil memandangnya,"Boleh kita ke taman?" Daiki mengangguk.

"Arigatou... Ayo, akan aku tunjukkan."

Riko menggenggam tangan Daiki erat dan mendapat kekehan dari Daiki. Daiki mengekor dibelakang Riko jadi Daiki hanya bisa menatap punggung Riko yang bergetar menahan tangis. Daiki hanya bingung melihat gadis itu karena dia tidak tahu bahwa Riko sedang menangis.

"Kau kenapa?" tanya Daiki sambil terus memperhatikan Riko.

"H-he..? T-tidak... aku baik-baik saja. Mungkin... terasa dingin saja..." Riko menggerakkan tangannya untuk mengelap air matanya.

"Sou, ayo cepat!" Daiki tersenyum dan memegang tangan Riko erat.

"Ha'i." Mereka berjalan lagi kira-kira 3 menit. "Kita sudah sampai. Taman ini sangat tertutup dan hanya beberapa orang yang datang kesini..." Riko berjalan masuk ke taman indah itu sambil memperlihatkan isinya lalu duduk disalah satu bangku.

"Sou... Kenapa kau mengajakku kesini?" Daiki hanya bisa mengikutinya dengan heran.

"Kau lihat bukit di sana?" Riko bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah bukit yang tidak jauh dari sana.

"Ya, kenapa?" Daiki memang melihat bukit itu karena jaraknya lumayan dekat dengan mereka. Disana ada sebuah pohon yang sangat rindang.

"Disana ada makam ibuku. Aku sudah berpesan pada paman dan bibiku yang ada di Kyoto, jika aku pergi nanti, aku ingin selalu berada dekat ibuku..." Riko lantas tersenyum sambil memandang pohon itu.

"Eh... maaf sudah menanyakan itu..." Daiki menunduk dan merasa tidak enak karena menanyakan hal yang sensitif seperti itu.

"Tidak apa-apa. Disini sangat menyenangkan, banyak bunga yang indah... Bisa menghilangkan rasa sakit yg kuderita saat melihatnya."

"Mattaku..." Daiki tiba-tiba merangkul pundak Riko dan berhasil membuat gadis itu blushing.

"D-Daiki...kun?" Riko memberanikan diri untuk menatap pemuda itu. Daiki ikut-ikutan menoleh dan menjawab,"Ya?"

Riko menggelengkan kepalanya dan kembali menatap taman itu dalam diam. Tangan Daiki terulur dan mengelus rambut Riko pelan. Wajah Riko kembali memerah. Harus Riko akui kalau sedari pertama kali bertemu, Riko merasa love at first sight dengan Daiki. Riko merasa Daiki adalah orang yang baik dan bisa dipercaya. Makanya, saat Riko diajak tinggal satu atap dengan Daiki, Riko tidak bisa menolak.

Riko mendekatkan tubuhnya dan memeluk Daiki lalu menenggelamkan wajahnya di dada atletisnya. Ia sama sekali tidak bersuara dan merasakan air matanya mengalir. Daiki bisa merasakan bajunya basah.

"Kau kenapa, hm?" tanya Daiki sambil menepuk bahu Riko lembut.

"T-tidak... Aku...baik-baik sa—"

"Bohong." Daiki memotong perkataan Riko.

"A-aku...takut...D-Daiki-kun..."

"Takut? Takut apa?"

"A-aku...t-takut...pergi...m-meninggalkan...o-orang yang kusayangi..." Riko mulai merasa paru-parunya sesak dan serasa di remas kuat. Nafasnya tersengal-sengal dan sukses membuat Daiki panik dan cemas.

"K-kau kenapa, ha?!" Daiki bertanya dan dibalas dengan cengkraman erat di punggungnya. Daiki langsung saja menggendong Riko dan mencarikan taksi lalu bergegas ke rumah sakit milik temannya—Midorima Shintarou.

"T-tasu..kete..." Riko hanya bisa mencengkram baju Daiki selama perjalanan.

"Sabar, Riko... Sebentar lagi..." Daiki menggenggam tangan Riko yang melemah.

Daiki menelepon Shintarou untuk langsung menyiapkan 1 kamar untuk Riko. Daiki langsung saja memberhentikan taksi ketika mereka sampai di tujuan. Daiki menggendong Riko secara bridal style. Shintarou ternyata telah menunggu Daiki di lorong rumah sakit.

Shintarou telah menyiapkan ranjang dorong disana. Daiki langsung membaringkan Riko disana. Daiki ikut berlari untuk menyeimbangkan gerakan ranjang itu. Riko tidak melepaskan genggamnya pada lengan Daiki.

"Ja...ngan... p-per...gi..." Riko menggeleng lemah.

"Ttaku..." Mau tak mau Daiki menemani Riko masuk ruangan UGD. Mata Daiki bisa menangkap gerakan bibir Riko yang berucap 'gomen'.

"Daijoubu..." jawab Daiki sambil menggenggam balik tangannya. 'Dia kenapa...?' batin Daiki bingung.

"Aomine, kau keluar dulu. Aku akan memeriksanya terlebih dahulu," ucap Shintarou tegas. Daiki menggangguk dan berjalan keluar.

Daiki mondar-mandir di ruang tunggu. Satu jam kemudian, Shintarou keluar dengan raut wajah yang tidak dapat di deskripsikan.

"Ada apa...?"

Shintarou menghela nafasnya. "Kemungkinan hidup Riko sangat kecil, bahkan bisa dibilang tidak ada dan mungkin hanya bisa bertahan tidak lama."

Daiki shock berat saat mendengar ucapan Shintarou dan menggumam,"Ttaku... Si bodoh itu..." Mata Daiki memandang Riko yang dibawa ke ruangan inapnya. "Boleh aku bertemu dengannya?"

"Tentu saja. Jika ada apa-apa, kau tahu 'kan tombol darurat dimana?"

Daiki mengangguk mengerti dan menyusul suster ke kamar inapnya. Daiki membuka pintu bernomorkan 510 itu dan masuk ke sana. Mata navy blue-nya melihat Riko yang sedang tertidur.

"Riko..." ucap Daiki pelan sambil menutup pintu.

"Mng..." Riko merasakan sakit di dadanya, namun perlahan membaik. Daiki berjalan mendekati Riko dan duduk di kursi yang ada di pinggir ranjang.

"Kimi wa baka..." gumamnya sambil menyentuh dan menggenggam tangan Riko.

"Uh...ng..."

Riko menggeliat kecil dan membuka matanya perlahan. Cahaya yang masuk membuat matanya sakit dan dia berkali-kali mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan diri. Tangannya bergerak dan mencari dimana Daiki. Daiki terkejut saat Riko membuka matanya. Daiki langsung mengarahkan dagu Riko kearahnya.

"Bisa melihatku, kan?" tanya Daiki dan dibalas dengan anggukkan, membuat Daiki nyengir senang.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Daiki lagi dan kembali dijawab dengan anggukkan.

"Daiki-kun...baik...?" ucap Riko sambil mengulurkan tangannya untuk mengusap surai yang senada dengan warna rambut pemuda itu. Daiki reflek meletakkan kepalanya di ranjang.

"Ya, dan kau..." jawabnya sambil menatap sendu.

"Aku? Oh iya. Dokter bilang apa?" Riko tersenyum dan mengelus rambutnya. Daiki hanya diam saja, dia merasa tidak tega untuk memberitahukan ini kepada Riko.

"Daiki-kun...? Aku kenapa? Dokter bilang apa?"

"Kau...ukh..." Daiki menghadap kearah lain agar Riko tidak melihatnya.

"Daiki-kun? Nande?" tanya Riko dengan bingung dan polos.

"Waktunya 2 minggu..."

"Waktu apa? Aku ada disini?" Riko menatap Daiki yang tidak menoleh kepadanya dan dia melihat kepala Daiki mengangguk dengan lemah.

"Souka..." Riko berucap dengan tenang. Daiki akhirnya membalikkan kepalanya dan menatap Riko dengan bulir air mata. Tangan pemuda itu menggenggam tangan Riko erat.

"Aku tahu, Tuhan akan jemput aku sebentar lagi, Daiki-kun. Tuhan punya yang terbaik buatku..." ucap Riko lagi sambil ikut menggenggam tangan Daiki.

"T-tapi..." Daiki tidak bisa berkata-kata lagi.

"Daiki-kun gak boleh sedih. Tuhan hanya kasih Riko 20 tahun dan aku gak boleh marah sama Tuhan..." Riko meremas lembut tangan Daiki sambil tersenyum dan diiringi air mata.

Tiba-tiba, Daiki melepas genggaman tangan Riko dan pergi keluar dari sana. Riko dapat melihat gerakan mulut Daiki sebelum melangkah pergi.

"Stop..."

Review = Continue

Arigatou