Let Me

Taekook/Vkook ; BoyXBoy ; Rate T ; Typo(s) ; Romance ; Drama

Taehyung menatap kesal sosok di sampingnya itu. Sementara yang di tatap hanya tertuju pada film yang sangat ia sukai. "Chagi-ya!". Dan hanya mendapat gumaman kecil. Taehyung mengelus dada bidangnya, kebiasaan jika ia sedang kesal. Taehyung berdiri, meninggalkan Yein yang sama sekali tak bergeming menatap TV. Taehyung mendengus, menempatkan tubuhnya pada sofa. Matanya menatap tajam sosok di depannya, namun yang di tatap tetap saja tak bersuara. Dan sasarannya di depan mata, sedetik sesudahnya, remot TV laknat -menurut Taehyung- itu berada dalam genggamannya. "Chagi-ya!". Dan benar saja, Yeoja chingunya tetap tak berkutat sedikitpun. 'Pip' Yein menoleh. 'Gotcha' Taehyung menyeringai menang, dalam hati ia bersorak. "Oppa, kenapa di matikan TVnya? Film kesukaanku sedang di putar". Yein mendengus sebal. "Kau terlalu mengabaikanku, Chagi. Kau tau kan, aku sangat tak suka di abaikan". Taehyung menepuk sofa di sebelahnya, mengisyaratkan agar sang Yeoja chingu duduk behadapan dengannya. Dan Yein menurutinya, ia menatap malas sang lawan bicara. Taehyung mengelus pipi sosok di depannya, ia suka saat kekasihnya kesal padanya. "Chagi-ya". Taehyung merendahkan suaranya, menjadikan Yein sedikit bergidik. "Apa?!". Shit, kekasihnya ketus sekali. "Hey, aku ingat. Kemarin, aku mendapatkan Voucher belanja". Dan hell, reaksinya sangat luar biasa. Matanya langsung berbinar, seolah ucapan Taehyung adalah Surga baginya. Ck, sungguh berlebihan. Terkadang, Taehyung berpikir apakah Yein benar-benar mencintainya. Entah cinta dalam arti sesungguhnya atau cinta karna mengincar hartanya? Entahlah, hanya waktu yang membuktikannya.

.

.

.

.

.

Damai, tentram untuk suasana sunyi dalam ruangan hangat itu. Dengkuran kecil menjadi lagu merdu pertanda sang empu sedang berada di alam bawah sadarnya. Taehyung, berdecih tat kala suara sang ayah memaksanya keluar. "Ada apa?". Matanya masih setengah terkatup, rambutnya bahkan terlihat seperti semak-semak tak terawat. "Keluarganya sudah datang. Cepatlah turun, mereka menungumu". Setelahnya sang Ayah pergi meninggalkan sang Anak, setelah sebelumnya menepuk bahunya. Taehyung hanya menggumam tak penting, yang sedetik kemudian menghilang dari ambang pintu. Ia mengganti kaos putihnya dengan kemaji rapi, dan celana hitam panjang. Rambutnya hanya ia elus, cukup rapi untuk penampilan khas 'bangun tidur ala Taehyung'. Ia membuka knop pintunya, sedikit menguap karena acara tidurnya yang terganggu. Ia mengintip dari lantai atas, menampakkan 3 orang asing yang sedang berunding dengan keluarganya. "Ck, mengganggu saja". Kaki jenjangnya ia langkahkan, mengundang beberapa pasang mata untuk mengikutinya. "Nah, di anakku. Tampan bukan?". Taehyung membungkuk, tersenyum ramah pada 2 paruh baya di hadapannya. Cih, kau memang pintar menjadi Aktor. "Duduklah, Nak." Dan dengan mudahnya menuruti perkataan sang Ayah. Sofa empuk itu telah ia duduki. Sambil memasang senyum 'palsu'nya, yang sialnya terlihat sangat ramah. "Umurmu berapa tahun, Nak?". Taehyung menoleh pada lelaki paruh baya itu. "19 tahun". "Ah, sangat muda ternyata". 'Ck, membuang waktu saja'. "Sekolahmu?". Lagi-lagi Taehyung mengumpat dalam hatinya. "School Of Perfoming Art". "Wah, satu sekolah dengan anakku". Alis Taehyung terangkat, ia tak pernah tau jika 'calon tunangannya' satu sekolah dengannya. "Hei, jangan menunduk. Berkenalanlah dengan Taehyung". Anak itu hanya tersenyum kikuk, masih tak ada niatan baginya untuk mendongak. Sang ayah menepuk bahu Taehyung. "Bawa dia ke kamarmu, ajak ia berkenalan. Dia pemalu". Taehyung hanya mengangguk lalu berdiri dari persemediannya. Tangan Taehyung terulur, wajahnya mencoba terlihat seramah mungkin. Yang menunduk ikut berdiri tanpa menghiraukan tangan Taehyung. Taehyung mengumpat pelan, ia benci jika di abaikan. Taehyung berjalan memimpin, yang hanya di ikuti lelaki kecil itu. Wajahnya tetap ia tekuk, cukup membuat Taehyung sedikit penasaran. Sesampai di depan pintu kamarnya, Taehyung menoleh. Dan setelahnya, melangkah masuk menuju ruang hangatnya. Lelaki kecil itu berdiri di ambang pintu, tak berniat untuk masuk dan duduk di kasur Taehyung. "Aku normal". Datar, sangat datar Taehyung berucap. Tak tersirat sedikitpun nada di dalamnya. Lelaki tadi mendongakkan wajahnya, tak begitu mengerti arah pembicaraan Taehyung. "Aku tak ingin memakai kekerasan, namun aku ingin mencekikmu. Kau datang padaku dan menghancurkan impianku. Kau pengganggu. Aku tak tau jika lelaki sepertimu menerima pertunangan ini, sungguh dunia tak adil. Sejak kapan aku mengatakan tertarik dengan sejenis? Dan apa alasanmu dengan mudahnya bertingkah seolah aku menerimamu? Cih". Lelaki itu tersenyum. "Sudah? Dan boleh aku berbicara?". Taehyung mengernyit. "Kau kira aku setuju dengan perjodohan ini? Kau salah jika beranggapan aku menyetujuinya. Aku tak pernah menganggap kau tertarik dengan sejenis, sejak kapan aku mengatakannya? Tenang saja, aku tak akan mencampuri urusanmu. Aku tak akan mendekatimu, anggap saja kita tak pernah kenal. Anggap saja pertunangan ini hanyalah mimpi". Lelaki itu kembali tersenyum, sembari melangkahkan kakinya keluar. "Aku Jeon Jungkook, dan aku tau kau Kim Taehyung. Jadi tak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Terimakasih untuk waktunya". Dan pergi meninggalkan Taehyung yang menghendikkan bahu. "Jungkook?".

.

.

.

.

.

Wajahnya terlihat lesu, matanya terbuka sayu. Ia terlihat kacau, sangat. Baru saja ia melangkahkan kakinya memasuki kelas, seorang menepuk bahunya dengan keras. "Pagi, Kookie". Jungkook menoleh, mendapati Jimin yang tersenyum lebar ke arahnya. "Ah, Jimin hyung". Jungkook melangkah masuk dengan gontai. Bibirnya menggerutu kecil, tak biasanya ia seperti ini. "Hey, ada apa denganmu? Kau terlihat kacau. Wajahmu pucat, kau memiliki kantung mata yang sangat jelas. Kau tak tidur semalam? Dan cincin apa yang kau pakai? Kau bebeda hari ini. Kau ada masalah?".Jimin mengikuti gerak-gerik Jungkook, menempati kursi kosong di sampingnya. Yang ditanya hanya menggeleng, tak ada tanda untuk bebicara. Jimin meremas bahu Jungkook, menghadapkannya untuk bertatapan. Matanya menatap tajam sahabatnya, yang sayangnya tak merespon. Jungkook menghela nafasnya panjang, menurunkan tangan jimin perlahan. "Hyung, aku bertunangan". Sedetik kemudian, raut wajah Jimin berubah. Matanya terbuka lebar, senyum mulai tertera jelas di wajahnya. "Dengan siapa?". "Taehyung". "Wah, chukkae Jungkokie. Akhirnya kau mendapatkannya, sungguh terlalu cepat". Jungkook menunduk, matanya ia pejamkan. "Kau tak mengerti hyung. Taehyung tak seperti yang kau pikirkan. Dia tak menerima kedatanganku, dia membenciku". Jimin mengusak rambut Jungkook, ia tak suka jika sahabatnya seperti ini. "Kau belum mengenalnya jauh, aku ini sudah sejak kecil bersamanya. Kau akan tau Taehyung suatu saat nanti, kau tak akan menyesal". Senyum Jungkook mulai terlihat, walau ia paksakan. Ia merasa bahwa Taehyung memang benar-benar tak menyukainya. "KYAA TAEHYUNG OPPA!" "KYAA OPPA!". Jungkook menutup telinganya, ia bisa tuli muda jika mendengar jeritan gila para penggemar tak penting itu. "Ck, mereka berlebihan sekali. Apa spesialnya seorang Kim Taehyung yang kurus kering bagi mereka? Tidakkah mereka melakukannya saat aku bermain basket? Itu terdengar jauh lebih baik". "Yah, jika saja tinggimu bertambah, Hyung". Jimin mendelik tajam, dan Jungkook tertawa menghiraukan tatapan Jimin. Dan tawanya hilang ketika seseorang memasuki kelasnya. Mulutnya merapat, jantungnya berdegup kencang saat orang itu mendekat ke arahnya. "Chagi-ya, kau kemana saja? Aku merindukanmu". Dan ia hanya tersenyum miris saat Taehyung melewatinya. Taehyung mencium pipi Yein, tak menghiraukan jeritan para siswi yang menyaksikannya. Jungkook berdiri dari bangkunya, keluar dari kelasnya sebelum ia menangis melihat pertunjukan biangsat-ralat- yang tak ia sukai. 'Kau terlalu berharap'. Jungkook menempati kursi kosong di depan kelasnya, membuka buku yang sempat ia bawa. Perlahan pikirannya mulai tenang, matanya hanya terfokus pada deretan tinta hitam yang tertera di depannya. Bibirnya menggumam melantunkan setiap kata yang ia baca. "Hei". Dan konsentrasinya buyar ketika sebuah suara mengejutkannya. Ia menoleh, mendapati Jin yang tersenyum tulus padanya. "Ah, Jin sunbae-nim". Jungkook membungkuk, menggeser tempat duduknya. Jin mengelus surai hitam Jungkook. "Tak usah seformal itu, panggil saja aku hyung". Jungkook tertawa canggung, ia sangat gugup jika berhadapan dengan idolanya. Yah, hanya Jungkook yang tau jika ia mengagumi sang ketua osis itu. Jangan salahkan mengapa, Kim Seok Jin pintar, ramah, dan bijak. Berbalik fakta dengan adiknya, Kim Taehyung. Jauh berbeda, sangat. Jika Jin itu siswa paling ramah, maka Taehyung adalah siswa paling tak sopan di sekolah ini. Dan jangan tanyakan, buku poin pelanggaran? Guru mengklaim, jika saja semua murid di sekolah ini dijadikan poin, mungkin tak cukup untuk mencapai jumlah poin Taehyung. Ck, tak bisa di pungkiri. "Kenapa tak masuk ke kelas?". Jungkook menggeleng. "Di kelas sangat jenuh hyung, lebih nyaman disini". "Apa karena ada adikku?". Jungkook menggeleng cepat, ia tersentak mendengar pertanyaan Jin. "B-bukan hyung, bukan". Jin terkekeh, ia mencubit hidung Jungkook. "Kau menggemaskan sekali. Yasudah, aku ke kelas dulu. Ah ya, besok ada rapat osis. Ku harap kau datang, dan jangan lupa sarapan terlebih dahulu. Aku tak ingin mengingat saat perutmu berbunyi nyaring ketika rapat osis sedang berlangsung, seperti minggu lalu". Wajah Jungkook memerah, ia malu mengingat kejadian memalukan itu. "Haha, baiklah. Sampai bertemu lagi Jungkook". Jungkook melambaikan tangannya, dan berdiri dari persemediannya. Matanya terasa mengantuk, mungkin karena semalam ia tak tidur. Apalagi semalam pesta pertunangannya terlalu lama, untung saja ia tak tertidur saat pesta berlangsung. Mungkin ia akan menyesal jika melakukannya. Sudahlah, lupakan.

.

.

.

.

.

Taehyung membuka pintu rumahnya kasar. Ia sangat kesal hari ini. Cukup ketika kekasihnya memintanya menemani berbelanja. Well, kau tau bukan jika wanita berbelanja itu sangat lama. Dan lagi, ia harus menguras dompetnya hanya untuk membayar barang-barang Yein. "Argh, menyebalkan sekali". "Kenapa pulang terlambat? Kau tau, sekarang sudah jam 7 malam. Kau terlambat 3 jam, dan kau tak menepati janji untuk menemaniku membeli buku, Taehyung". Taehyung duduk di samping sang kakak, ia lelah seharian ini. Ia juga belum makan, perutnya meronta sedari tadi. "Sudahlah hyung, kita bisa membeli buku besok. Aku lelah, jangan membuatku semakin kesal. Lebih baik kau membuatkan makanan untukku, aku sangat lapar hyung". Jin menggeleng, ia benci jika adiknya kelaparan hanya karena wanita tak jelas itu. Ia berjanji tak akan menerima wanita itu untuk datang kerumahnya, sungguh ia tak akan sudi. "Sudah ku bilang, jangan pernah melanjutkan hubungan kalian. Dia itu hanya memanfaatkan uangmu, ia tak sungguh-sungguh mencintaimu, Tae". Taehyung menghebuskan nafasnya kasar. "Hyung, ku mohon jangan membahasnya. Aku sedang lelah, lapar. Bisakah hyung membuatkan makanan untuk adikmu ini?". Taehyung merajuk, wajahnya memelas agar sang kakak terbujuk. "Hh, baiklah. Tunggu sebentar". Taehyung tersenyum penuh kemenangan. Ia menghidupkan TV besar yang sedang termenung kesepian, mencari-cari acara yang mungkin akan sedikit menghiburnya. "Ck, membosankan sekali". Baru saja ia hendak membanting remot tvnya, dering telpon membuatnya terpaksa membatalkan kegiatan mari-membanting-remot-bersama-Taehyung. Ia mengangkat panggilan dari sang ayah dengan malas. "Yeoboseyo?". 'Taehyung, kau sekarang berada dimana?'. "Dirumah, kenapa?". 'Baguslah, besok kau jangan kemana-mana. Aku akan menyuruh Jungkook untuk membawa barangnya ke rumah. Appa dan eomma akan keluar kota dengan keluarga Jeon untuk beberapa hari, dan ku pastikan agar kau dan Jungkook saling mengenal satu sama lain. Sampaikan juga pada kakakmu, bahwa appa menyerahkan kalian padanya. Jangan membakar rumah, dan jaga sikapmu di depan Jungkook'. IPip'.

1 detik

3 detik

5 detik

Gulp. 'Matilah kau Kim Taehyung' Taehyung mengusap wajahnya kasar, ia sungguh dalam mood tak baik hari ini."Dari appa?" Taehyung menoleh, kakaknya sedang membawa kimbap dan teh hangat di tangannya. "Hm". Alis Jin terangkat, sembari meletakkan 'pesanan' Taehyung di atas meja, ia meletakkan pantat kecinya di sofa. "Appa mengatakan apa?" Taehyung menghela napas panjang, ia memposisikan dirinya menghadap Jin. "Appa dan eomma tak bisa pulang, ia akan keluar kota dengan keluarga Jeon. Dan, 'calon tunanganku' akan menginap disini mulai besok". Mata Seokjin membulat, ia bahkan merasakan pupilnya akan keluar. "Ya! Itu sangat menyenangkan! Yeah, Jungkook! Menginap! Aku harus segera menelponnya". Taehyung menyumbat telinganya menggunakan bantal, ia bisa mati jika Seokjin terus berteriak di depannya. Hei, ludahnya bahkan sempat menyentuh muka mulus Taehyung. Ia merasakan pergerakan sang kakak, dan yang ia lihat, sang kakak menyambar telepon rumahnya. Biar Taehyng tebak, ia pasti sedang menelpon Jungkook. 'Yeoboseyo?' "Jungkook, besok pagi kau jangan keluar rumah. Aku akan menjemputmu". 'Nuguya?' "Ini aku, Kim Seokjin. Ingat, besok pagi kau jangan keluar rumah. Kau jangan berangkat sekolah terlebih dahulu". 'Tapi hyu-' 'Pip'. Jin segra berlari menuju Taehyung, ia memeluk sang adik kesayangannya. "Yeah, Jungkook akan menginap disini." 'Mungkin aku harus menginap di rumah Yein".

.

.

.

.

.

TBC

/DOR

Hai, Ini Ff pertamaku. Sebenernya aku udah mau publish Ff ini dari dulu, tapi akun aku yg VKook7 udah aku sable akun Fbnya. Tapi sukurdah, aku masih sempet bisa publish disini. Oke, Mind To RnR? ^.^