Author Note: Horeee! UN telah selesai! Ai sudah enggak tahan, pengen nulis fanfic ini! Hohoho, liburan nulis fanfic plus novel XDD
Fanfic ini.. Bisa dibilang fanfic Fantasy-Romance pertamaku. Tapi, Romance disini lebih ke Dark Romance. Jadi kalau enggak begitu suka... Monggo, silakan tekan back.
Masih prolog, jadi belum amat serius cerita ini. Ai usahakan seminggu sekali update ini fanfic. Bersamaan Red Balloon and Blue Sky~
Met, silakan membaca, ssu
—...—
.
Fanfiction
Kuroko no Basuke (c) Tadatoshi Fujimaki
.
Can you hear me? Can you kill me?
.
―...—
.
"Kuroko, kau harus membunuh bangsa Chró̱ma"
.
"Bukankah mereka sama seperti kita?"
.
"Mereka menyebabkan penderitaan kita, bangsa Skiá."
.
Sesungguhnya, pilihan terbaik saat ini adalah membunuhnya.
Pemuda minim ekspresi itu memperhatikan seluk beluk pria dihadapannya. Pakaian tempur pria itu kini tidak sebagus milik dirinya. Banyak sekali noda darah yang keluar dari lukanya. Sesekali pria itu merintih dan memegang lukanya untuk menghentikan pendarahannya.
Tangannya memegang pedangnya erat. Dua meter dari pria itu, meningkatkan kewaspadaanya. Pria itu—musuh kaumnya—seharusnya dibunuh sekarang. Tapi membunuh saat sedang terluka parah, sama saja tindakan pengecut dan bukan tindakan kaumnya.
"Kau tidak membunuhku, bocah?"
"Namaku, Kuroko dan usiaku sudah 17 tahun."
Pria itu malah tertawa terbahak - bahak. Konyol sekali, seseorang memberikan namanya dihadapan musuh. Apa dia tidak tahu, hanya mengetahui namanya, pria itu bisa membunuhnya dengan sihirnya?
Tapi untuk saat ini tidak akan. Pria itu harus menyimpan semua sihirnya untuk menuju ke markasnya, negeri Chró̱ma. Jika menggunakan sihir itu sekarang, sama saja mencari mati.
"Sekarang apa maumu, Kuroko? Membunuhku?"
"Mungkin." Kuroko berguman pelan. "Hanya saja... jika aku membunuhmu, itu menghabiskan sihirku. Aku saja tidak bisa teleport ke negeriku"
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Kuroko bergeming. Lari dari sini dengan jalan kaki adalah kegiatan paling konyol. Hutan Carresius, medan perang kaum Skiá dengan kaum Chró̱ma itu bukanlah hutan sembarangan. Banyak sekali species dan sihir hutan yang sulit dimengerti—bisa - bisa membunuh siapa saja. Belum lagi hutan ini belum ditemukan ujungnya. Hanya pintu masuk saja yang diketahui.
Satu - satunya cara keluar disini hanyalah teleport. Namun karena kebanyakan menggunakan sihir, Kuroko tidak bisa teleport ke negerinya.
"Kau punya sihir banyak?"
"Kau meremehkan aku?" Pria itu menyunggingkan seringainya. "Kalau bukan karena luka sialan ini, aku bisa membunuhmu saat ini juga."
"Aku masih memiliki obat penyembuh. Kalau kau bersedia teleport aku ke negeriku, aku akan menyembuhkanmu."
"Huh, untuk apa aku menerima obat darimu." Dia menatap tajam Kuroko. "Hal tabu jika aku menerima obat darimu."
"Jadi kau lebih suka mati disini."
Alis pria itu terangkat dan menyeringai. "Mungkin. Toh hidup ini membosankan."
"Kau berkata itu karena belum melihat indahnya dunia."
"Seperti kau pernah lihat saja."
Kuroko tersenyum. "Aku memang pernah lihat."
Hening sejenak.
"Tch, mati dihadapanmu terdengar konyol." Pria itu menyilangkan tangannya didadanya. "Aku terima tawaranmu—cepat sembuhkan aku dan aku akan keluarkan kau dari sini."
Sekarang Kuroko ragu. Bangsa Chró̱ma terkenal licik dan penuh tipu muslihat. Belum lagi sifat munafik jika berteman dengan mereka. Apa ini keputusan tepat dalam kondisi ini?
"Namamu siapa?"
"Untuk apa kau menanyakan namaku?" Pria itu melirik mata Kuroko. Ada kilat keraguan dimatanya. "Kau ragu?"
"Aku pernah dengar. Orang Chró̱ma sangatlah munafik." Kuroko mengeratkan pedangnya. "Aku punya mantra untuk membunuhmu saat menjelang kematianku. Yah, aku hanya butuh namamu untuk jaga - jaga."
Pria itu terdiam sejenak. "Tak kusangka, bocah lemah sepertimu pendendam. Namaku Akashi."
"Apa kau janji... membawaku keluar dari hutan ini dan tidak membunuhku?"
"Aku janji."
Kuroko mengambil botol kecil didalam tasnya. Jarinya yang telah dibasahi cairan berwarna hijau menyentuh luka Akashi. Awalnya Akashi merintih, namun rasa sakit itu perlahan reda—dan menghilang. Dalam waktu sekejap luka ditubuh Akashi menghilang.
Belum sempat Kuroko berdiri, tiba - tiba saja ia merasakan pukulan di perutnya. Akashi menyeringai keji begitu melancarkan tendangannya ke perut Kuroko.
Sekarang giliran Akashi yang berdiri tegap dan Kuroko terkapar sembari memegang perutnya yang sakit. Akashi dengan sombongnya melancarkan mantranya untuk membuat Kuroko lumpuh.
"Kau—bodoh sekali—begitu mudah ditipu." Akashi mendongak, melihat langit mulai berwarna gelap. "Anak baik harus pulang. Karena itu, aku pulang dulu ya..."
Akashi memaksa Kuroko melihat wajahnya dengan kakinya bersamaan sayap hitam mulai keluar dari punggungnya. Sayap itu menunjukan betapa tangguh dan kuatnya Akashi.
"Aku tidak akan membunuhmu—sebagai tanda terima kasihku."
Kuroko mendecak. Akashi mengibaskan sayapnya dan siap pergi menuju rumahnya. Sial kenapa dia bisa tertipu dengan pria yang tingginya hampir sama dengannya.
Akashi melafalkan bait mantra. Kuroko hanya bisa melihat Akashi tanpa berbuat sesuatu. Saat bersamaan, Kuroko merasakan sesuatu melilit di kakinya. Tanaman hutan Carresius akan bergerak mencari mangsa jika menjelang malam.
Sial! Kuroko bisa mati disini.
Sebelum Akashi meninggalkan hutan ini, dia berbalik untuk melihat pemuda yang sangat mudah ditipunya. Tidak butuh waktu lama, tubuh Kuroko hampir terikat oleh akar pohon disekitarnya.
Akashi melihatnya. Kuroko sudah tidak disadarkan diri. Sihir dan energinya benar - benar diserap.
"Tch, kau sangat merepotkan."
Saat itu juga, kilauan sihir merah terlihat diantara mereka.
.
"Akashi, aneh sekali kau menolong seorang Skiá."
.
"Anak itu menarik. Aku melihat potensi di anak itu."
.
"Bangsa kita, Chró̱ma. Terlalu buta untuk melihat indahnya dunia."
.
"Kau sudah bangun?"
Kuroko berkedip berberapa kali, menyesuaikan intens cahaya terang yang masuk ke matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke asal suara itu. Pria berambut merah itu duduk di samping sofa dengan buku di pangkuan.
Tanpa aba - aba, Kuroko langsung memasangkan dirinya di posisi bertarung. Pria brengsek itu—Akashi—dengan santainya menutup buku dan mendekati tubuh Kuroko yang berbalut selimut.
"Kau sudah baikan?"
"Dimana aku?" tanya Kuroko balik tanpa menurunkan kewaspadaan.
"Mansionku." Akashi menjawab tenang. "Aku tidak akan membunuhmu. Kau kira aku tipe pengingkar janji."
"Untuk apa aku percaya padamu?"
"Yah, aku mengerti kau berkata begitu."
Kuroko melirik Akashi yang mengambil nampan di atas meja samping kasurnya. Perhatian Kuroko teralih satu sup hangat dan segelas susu sekarang berada dihadapannya. Manik birunya melirik ke Akashi.
"Makanlah, agar sihirmu kembali seperti semula—dan pulang ke Skiá."
Sebuah buku milik Akashi kini kembali dibaca pemiliknya. Pemuda berambut biru itu sesekali melirik buku yang dibaca Akashi.
"Kau suka tentang alam?"
Akashi mengangguk.
"Perasaanku saja... Atau memang Chró̱ma sudah berubah?"
Alis Akashi terangkat sebelah, "Maksudnya berubah?"
"Yah, di Skiá penuh sekali hal - hal berbau asri, hijau dan sebagainya. Tapi Chró̱ma penuh dengan teknologi, rumah modern dan sejenisnya. Bisa dikatakan, Chró̱ma telah mengubah alam."
"Itu pujian?"
Kuroko menghela nafas, "Terserah kau mengartikannya." Dia melihat dibalik jendela. Banyak sekali asap pabrik dari sana. "Kalau kau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang indah."
"Maksudmu, kau menyuruhku ke negerimu?"
Kuroko mengangguk dan membalikan tubuhnya untuk menatap Akashi.
"Disana banyak tempat yang kau tidak mungkin temui. Yah, kalau kau tertarik."
"Konyol sekali. Aku tidak tertarik dengan semua itu."
"Kau bisa bilang begitu karena belum melihat negeriku yang asli." Kuroko menyenderkan tubuhnya. "Kalau kau lihat Skiá, kujamin kau akan menarik semua kata - katamu."
"Ohh... Aku tertarik dengan tantanganmu."
.
"Kau cantik dengan warna putih, Kuroko."
.
"Walau aku pria—entah kenapa aku menyukaimu."
.
"Kuroko, apa kau mencintaiku?"
.
"Aku bersumpah. Aku akan selalu bersama denganmu, mencintaimu sampai mati."
.
"Kalau kau melanggar, aku akan membunuhmu, Kuroko."
.
"Aku sangat mencintaimu."
.
"Ke—kenapa kau ada disini?"
.
"Ah, ayo kemari tuan penipu. Tenang, aku memaafkanmu"
.
"Aku akan melaksanakan sumpahmu, Kuroko."
.
Semuanya berjalan begitu cepat.
Rasa sakit pada satu titik menjalar ke seluruh tubuhnya. Sedetik kemudian, Kuroko merasa pusing. Darah dari luka yang telah tercipta keluar begitu deras. Ironisnya, orang yang paling ia cintai menghunuskan pisau tepat di jantungnya.
"Ke-kenapa?"
Tubuh Kuroko merosot dan akhirnya jatuh di lantai. Matanya memandang Akashi tak percaya. Akashi dengan entengnya menjilati darah Kuroko yang mengotori pisau miliknya.
Air mata Kuroko keluar lewat ekor matanya. Perlahan - lahan, kesadaran akan hilang. Ia merasakan sesuatu yang menarik jiwanya. Sebentar lagi, Kuroko akan mati.
"Akashi―kenapa?" Kesadarannya sebentar lagi akan menghilang untuk selamanya.
"Heh, kau telah melanggar sumpah palsumu. Wajar 'kan aku membunuhmu. Aku tidak butuh penghianat sepertimu."
Mulut Kuroko bergerak di detik - detik terakhirnya. Namun percuma, rasa sakit yang ia alami membuatnya tidak bisa bersuara. Hanya bisa mengeluarkan nafasnya yang sudah tidak berima.
Apakah cintanya terhadap Akashi akan berakhir?
"Aku mencintaimu Kuroko, dan kau menipuku."
Sedetik kemudian Kuroko menghembuskan nafas terakhirnya. Mati di tangan orang yang paling ia cintai.
Jika Akashi mau mendengarnya, apa yang ia lihat hanyalah kesalahpahaman. Kuroko melakukan itu semua untuk melindungi Akashi dan hidup bersama Akashi seterusnya.
Tapi Akashi sudah membencinya dan Kuroko sendiri sudah mati.
Drama romantis picisan ini―sudah berakhir.
.
.
Namun itu semua memulai kisah sesungguhnya...
.
.
"Apa harapanmu, ketika terlahir kembali, sayang?"
.
"Akashi, apa kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan?!"
.
"Aku berharap, ketika hidup kembali tidak pernah mengenal Akashi dan melupakan semuanya."
.
"Bohong... Tidak mungkin, Kuroko―A-aku sudah membunuhnya."
.
"Kau tidak perlu sosok Akashi. Yang kau butuhkan hanyalah aku, Kuroko."
.
"Ketika Kuroko bereinkarnasi, akan kubuat dia menjadi milikku selamanya. Karena Kuroko adalah milikku, milik Akashi!"
.
.
Dan cerita ini dimulai.
.
.
.
—...—
.: Guilty Crimson :.
—...—
—To be continued—
