Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Bleach © Tite Kubo
Setting : Kota karakura
Note : Hanya kehidupan biasa tanpa hollow dan kekuatan shinigami
Inilah hasil editan ficku. Kalau dibaca lagi, yang kemarin agak aneh, jadi rasanya perlu perbaikan. Mudah-mudahan berubah lebih baik fu fu fu. Yosh, silakan baca kawan.
"You are my friend aa ano hino yume..."
"WHOA~" teriakku sewaktu mendengar dering pesan dari handphoneku. Tepat sekali suara kerasnya seperti bergemuruh di telinga kananku. Keras sekali, Ya, karena volumenya sampai nada tertinggi. Sial~ Rasanya gendang telingaku hampir pecah dibuatnya.
"Cih! siapa pagi-pagi yang mengganggu tidurku sih?" Setengah sadar dan tanpa berniat bangkit, segera kubuka paksa mataku dan menuntunnya ke arah jam dinding yang menggantung di kamarku.
Jam 8.
"Aaah ternyata sudah jam segini," pikirku. Kuambil asal handphone yang sudah terlempar ke kakiku.
"Kakashi?" Aku tersentak kaget ketika membaca nama sang pengirim pesan. Masih tak percaya dengan penglihatanku yang masih setengah sadar, kukerjap-kerjapkan sejenak dan menatap lekat-lekat sekali lagi untuk memastikan.
"Untuk apa dia mengirim pesan padaku?" batinku.
"Yooo, Anko-san. Selamat pagi. Bagaimana? Apakah tubuhmu masih sakit?" begitulah isi pesan darinya.
Aku menghela nafas sejenak.
Apakah ia mengkhawatirkan diriku? Atau mau mengejekku seperti biasanya... aaah, dasar bodoh! sudahlah. Aku tidak boleh berpikiran macam-macam begini, mungkin saja ia memang berniat baik padaku, batinku.
Kubalas dengan jawaban singkat, "Sekarang sudah lebih baik."
Hanya butuh beberapa menit sampai balasan pesan Kakashi datang.
"Jadi begitu? Untunglah. Entah kenapa malah aku jadi khawatir padamu."
Deg. Aku bisa merasakan detak jantungku berdetak sangat kencang. Khawatir? Rona merah pasti muncul diwajahku ketika mendapat jawaban darinya. Tanpa sadar, aku malah berharap lebih padanya.
"Tentang yang kemarin, arigatou Hatake-kun." jawabku singkat.
"Tidak perlu sungkan begitu. Jika kau sampai sakit begini 'kan nanti aku yang repot karena harus mengajar anak-anak didikmu."
Seketika kurasakan aliran darahku naik ke kepala mendengar jawaban darinya. Ternyata dia hanya mau bilang begitu. Merasa direpotkan olehku? Tidak berubah, selalu saja bikin kesal. Bodoh sekali kalau kupikir dia berubah jadi baik padaku, dan yang lebih bodoh lagi, aku sampai mengharapkan yang lebih darinya.
"Hey, dengar~ Aku tidak pernah menyuruhmu! menyesal sekali aku berterimakasih padamu," balasku dengan geram.
"Apa? Wah, aku tadi hanya bercanda. Kenapa kau anggap serius begitu? Nanti kau cepat tua."
"Fuuh~" aku mendengus kesal, rasanya aku ingin memaki-makinya. namun aku sudah tidak berniat membalas lagi pesannya, karena kurasa aku ingin mengistirahatkan pikiranku saat ini.
Aku menghempaskan kembali tubuhku. Entah kenapa tiba-tiba aku malah berpikir tentang kejadian kemarin itu. Aku yang jatuh terpeleset di depan kelas tempatku mengajar, pada waktu jam pulang sekolah, ia membawaku ke ruang kesehatan. Membawa? Aaah, Tapi kurasa lebih tepat dikatakan menggendong. Awalnya memang risih, aku sempat menolak bantuannya. Tapi ia bersikeras. Kelihatannya malah sedikit panik dan ya, aku juga tak bisa menggerakkan tubuhku. Para siswa di sekolah tempatku mengajar masih ramai dan mereka memperhatikan kami. Tapi, setelah itu Kakashi tidak berhenti membantuku, dia malah menjagaku di ruang kesehatan. Rasanya sekarang ini aku... jadi menyukainya. Apakah semudah itu aku menyukainya? Hanya karena pertolongan darinya? Tidak. Beberapa waktu yang lalu memang aku merasa mulai menyukainya namun tidak pernah kupedulikan perasaanku itu. Jujur saja, sebelumnya aku merasa dia orang yang paling menyebalkan. Setiap ada rapat sekolah, dia selalu saja mengambil segala resiko dengan tampang sok tenang. Padahal demi sekolah selalu saja aku berpikir untuk yang terbaik, tapi Kepala Sekolah Yamamoto sangat mempercayainya dan selalu saja memilih ide-ide konyol darinya. Katanya, idenya memang selalu saja brilian. Bahkan semua guru selalu setuju dengannya. Dan lebih parahnya, ia selalu mengejekku dengan kata-kata konyol dan sok kerennya.
Tok! Tok!
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Ah lagi-lagi. Sedikit kesal, aku segera bangun dan merapikan rambutku. "Tolong tunggu sebentar!"
"Permisi. Perkenalkan namaku Rukia Kuchiki dan ini kakakku, Byakuya Kuchiki." Seorang anak perempuan bermata violet indah menyapaku dengan hangat ketika aku membukakan pintu. Disampingnya ada pria yang bertubuh tinggi dan berwibawa, namun sikapnya dingin dan tanpa menunjukkan senyum sedikitpun.
"Kami baru pindah kesini. Maaf mengganggu anda pagi-pagi begini tapi kami mau pinjam telepon untuk mengabari kerabat kami. Baterai handphone kami sudah habis jadi kami datang kemari untuk pinjam telepon" jelas Rukia dengan sopan.
"Salam kenal. Namaku Anko Mitarashi. Baik, kalau begitu silakan pakai handphoneku," kataku sambil tersenyum dan memberikan handphoneku yang kebetulan sedang kugenggam.
Rukia meraihnya dan mulai menelepon seseorang.
Setelah beberapa lama, "Arigatou, Anko-sama." ucap Rukia sambil membungkuk.
"Aaah douitashimashite. Uhmm... selain kalian, apa masih ada anggota keluarga lainnya juga?"
Rukia menggeleng. "Tidak ada. Hanya kami berdua."
"Begitu ya?Kalau begitu mampirlah sebentar." kataku menawarkan mereka untuk masuk.
"Maaf, tapi kami harus beres-beres. Tadi kami belum sempat beres-beres karena harus menghubungi saudara kami dulu."
"Wah repot juga kalau hanya berdua saja. Kalau begitu boleh aku bantu kalian?"
"Tidak perlu repot-repot Anko-sama." Rukia menolak sopan tawaranku.
"Tidak kok lagipula aku sedang bosan di rumah dan tidak ada kerjaan."
Rukia memandang kakaknya sebentar.
Lalu, "Baiklah kalau begitu sekali lagi terima kasih." Rukia membungkuk.
"Tidak perlu sungkan begitu. Lalu dimana rumah kalian?" tanyaku.
"Di ujung jalan sana." Rukia menunjuk sebuah rumah bercat warna putih yang terlihat mewah, rumah mereka ternyata sangat dekat dengan rumahku.
"Baiklah. Nanti aku akan menyusul."
Rukia dan Byakuya membungkuk mengucapkan terima kasih dan kemudian pulang.
"Ini foto siapa?" tanyaku begitu memegang foto yang berwajah sangat mirip dengan Rukia, tapi hanya saja terlihat lebih dewasa. Foto berdua bersama byakuya.
"Ia kakak kandungku, Hisana-neechan. Tapi dia sudah meninggal. Beliau istri Nii-sama" Rukia menjelaskan.
"Waah... m-maaf." kataku.
"Tidak apa-apa Anko-sama." Rukia tersenyum.
Aku memperhatikan wajah bahagia Hisana dan juga byakuya. "Cantik sekali" pikirku. Lalu tiba-tiba aku malah teringat pada Kakashi. Terbayang wajah kami berdua ada dalam foto itu.
"Tolong serahkan itu padaku," Suara Byakuya membuyarkan lamunanku.
"Aaah...ya," Aku buru-buru menyerahkannya pada Byakuya. Kemudian Byakuya mengambilnya dan masuk ke kamarnya.
"Ma-maaf jika Nii-sama bersikap dingin" Kata Rukia.
"Tidak apa-apa" Kataku melebarkan senyum.
"Oh ya, Kamu kelas berapa? Kenapa berniat pindah ke kota ini?" lanjutku.
"Aku kelas 2 SMU. Tiba-tiba saja kakakku mendapat mutasi pekerjaan di kota ini jadi kami pindah ke kota ini. Terlalu terburu-buru sih! tapi kami akan menetap disini." jawabnya. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, dari ekspresi wajahnya, kulihat ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Mungkun perasaanku saja, batinku.
"Kelas 2? Wah aku wali kelas 2 di SMU Karakura. Berarti nanti kamu bisa jadi muridku di sekolahmu yang baru" kataku tersenyum.
"Ya, Anko-sama... uhmm maksudku... sensei!" Rukia berkata dengan semangat.
Aku terdiam kemudian tertawa. Rukia pun tertawa. Minggu yang membosankan ini jadi menyenangkan buatku.
Kami membereskan rumah sekaligus menghabiskan waktu bersama seharian dengan tawaan dan cerita tentang kehidupan kami. Dalam sehari saja kami bisa jadi akrab. Sore hari aku mengajak Rukia berkeliling daerah tempat tinggal kami dan berkenalan dengan tetangga kami. Aku merasa senang karena rasanya seperti punya saudara. Kuharap, Rukiapun merasa begitu.
TO BE CONTINUED
A/N: Cerita yang gaje. Tunggu Chapter berikutnya ya. Aku harap review kalian.
